Share

3. Dalam Bahaya

"Dek, jangan bersikap begini. Adek ingin Zana tetap hidup bukan? Ingat apa yang sudah kita diskusikan berulang kali tadi." Pak Azwar menenangkan istrinya. 

"Iya, Bang. Iya. Aku cuma takut kehilangan Zana." Bu Nuraini mengangguk berulang kali. Ia harus bisa mengontrol emosinya.

"Di mana... Zana?" Gayatri mengubah kalimat anak saya menjadi menyebut nama putrinya secara langsung. Ia tidak boleh sembarangan berbicara, mengingat kondisi psikologis Bu Nuraini. 

"Anak kami ada di dalam."

Anak kami. Pak Azwar langsung menunjukkan kepemilikannya. Sesungguhnya Pak Azwar juga sama takutnya dengan Bu Nuraini. Gayatri memejamkan mata--menenangkan diri, terlebih kala mendengar penjelasan selanjutnya.

"Anak kami mengalami kecelakaan tadi siang saat pulang dari sekolah. Mobil yang membawanya ditabrak mobil pick up yang remnya blong."

"Nama anak itu Zana bukan? Sekarang keadaan Zana bagaimana?" Gayatri memberi singnal kalau ia tidak menyukai kalimat kepemilikan Pak Azwar.

Melalui sudut mata, Gayatri memindai Bu Nuraini memeluk erat sebelah tangan Pak Azwar. Bu Nuraini menangkap maksud ucapannya.

"Ehm, Zana kehilangan banyak darah dan memerlukan transfusi darah secepatnya. Masalahnya golongan darah Zana itu adalah AB-. Sementara saya dan istri memiliki golongan darah A+ dan B+."

Gayatri tidak mendengarkan secara jelas lagi apa sisa kalimat Pak Azwar. Karena golongan darahnya sendiri adalah O+. Itu artinya ia juga tidak bisa memberikan darahnya untuk Zana. Golongan darah AB- itu hanya bisa menerima pendonor dari golongan darah O-, B- dan AB- itu sendiri. Itu artinya ia harus bisa menghadirkan Iwas di sini.

"Kebetulan stok darah golongan AB-, O- dan B- sedang kosong di rumah sakit ini maupun PMI. Kantong terakhir yang digunakan Zana sudah habis setengah jam tadi. Makanya kami meminta Bu Fauziah menghubungimu."

"Golongan darah saya O+, Pak. Jadi saya juga tidak bisa menjadi pendonor. Saya akan menghadirkan ayah kandungnya saja." Gayatri membuka tas tangannya. Ia akan menghubungi Citra. Di antara teman-teman sekelasnya dulu ia hanya masih saling berkirim kabar dengan Citra.

"Jangan!" Pak Azwar dan Bu Nuraini kompak menolak. 

"Pak Sanwani dulu berpesan  kalau orang tua kandung Zana tidak boleh mengetahui tentang keberadaan Zana. Itulah syarat dari Pak Sanwani saat memberikan Zana pada kami dulu."

"Jadi Bapak dan Ibu lebih memilih Zana mati? Kalau saya sih tidak. Anak saya harus tetap hidup. Ingat, sayalah ibu kandungnya. Kedua orang tua saya dan kalian berdua telah merampasnya begitu saja tanpa sepengetahuan saya!" 

 *****

"Cit, lo tahu nomor telepon Bang Iwas nggak?" Gayatri menelepon Citra di taman rumah sakit. Setelah berdebat seru dengan Pak Azwar dan Bu Nuraini akhirnya suami istri itu setuju juga memanggil Iwas. Keadaan Zana melemah. Ia membutuhkan transfusi darah secepatnya.

"Tunggu... tunggu... tunggu... Setelah sepuluh tahun berlalu kenapa lo menyinggung nama  Bang Iwas lagi? Lo jangan macem-macem ya, Tri? Gue udah kapok meminta Bang Iwas datang ke ulang tahun gue dulu."

Dugaan Gayatri tepat. Citra langsung mengambil ancang-ancang menentang setelah ia menyebut nama Iwas. 

"Gue sebenernya nggak mau ngomong. Tapi kayaknya lo harus tahu satu hal sebelum lo nyari masalah sama Iwas lagi. 

"Apa satu hal itu, Cit?"

"Setelah Bang Iwas dikeluarkan dari kampus dan Pak Ilham dipecat, Bang Iwas nemuin gue di kantin. Katanya, ayah lo udah menghancurkan keluarganya. Ayahnya tidak punya muka lagi menghadapi dunia. Makanya mereka sekeluarga pindah dari Jakarta. Ingin menata hidup baru katanya. Dia juga bilang kalau ia dendam sekali pada kalian sekeluarga. Makanya gue mohon, jangan mengusiknya lagi, Tri. Jangan membangunkan macan tidur."

"Gue sama sekali nggak punya maksud jahat pada Bang Iwas, Cit. Gue mencarinya karena ada hal yang benar-benar penting. Singkatnya masalah hidup dan mati."

"Kayaknya masalah ini serius. Ada apa sebenarnya, Tri?"

"Nanti. Setelah semua musibah ini berhasil kami lalui, gue akan menceritakan semuanya pada lo. Sekarang lo bantu gue dulu mencari nomor telepon Bang Iwas."

"Oke. Lo tunggu bentar. Gue akan menghubungi si Ussy dulu. Minggu lalu katanya dia ketemu dengan Bang Iwas. Gue akan mengorek keterangan dari dia dulu."

"Oke. Gue tunggu kabar baiknya dari lo secepatnya ya, Cit?"

Gayatri menutup ponselnya. Harap-harap cemas ia menunggu berita dari Citra. Semoga saja Citra bisa membantunya. Beberapa menit kemudian ponsel Gayatri bergetar. Gayatri pun langsung mengangkatnya. 

Semoga dapat... semoga dapat...

"Bagaimana, Cit?"

"Gue udah dapet nomor teleponnya, Tri. Just for your information, doi sekarang adalah notaris beken dan juga dosen part time di Surabaya sana. Gue harap informasi sepotong dari gue ini bisa membuat lo berpikir bijak. Gue WA sekarang nomor ponselnya ya, Tri?"

"Oke. Terima kasih banget atas infonya ya, Cit? Gue janji, setelah semuanya selesai, gue akan cerita sama lo." Gayatri mematikan ponsel. Ia kemudian membuka WA dari Citra dan  menyalin nomor ponsel Iwas ke kontak. Gayatri menarik napas panjang dua kali sebelum menelepon Iwas. Seiring nada pemanggil ponsel, seperti itu jualah debaran jantung Gayatri. Bukan hal mudah baginya kembali bersinggungan dengan Iwas.

"Hallo,"

"Ha--hallo, Bang Iwas." Gayatri terbata. Lihatlah hanya mendengar sepotong kata hallo saja, benaknya langsung terlempar ke masa lalu. 

"Mau apa lagi kamu mencari saya?"

Deg!

Gayatri terhenyak. Ia tidak menyangka Iwas langsung mengenalinya hanya dengan mendengar satu kalimat saja.

"Abang mengenali suara saya ya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status