Share

Bab 3

Author: Pena_Zahra
last update Last Updated: 2023-10-01 21:22:51

Bab 3

Ibra cukup terkejut mendengar penuturan gadis yang berstatus sebagai istrinya itu. Ia tak menyangka bahwa Arumi akan senekat itu, sampai memintanya mengakhiri pernikahan hanya karena ia enggan menyentuhnya.

"Jangan labil! Tidurlah, kamu pasti capek!" sahut Ibra dengan nada datar sedatar springbad baru yang kini kosong tanpa ada yang menempatinya. Hampa, sehampa hati Arumi yang ditolak di malam pertama. Kosong, sekosong hati Ibra yang telah lama tak disentuh cinta.

Lelaki berprofesi dosen itu mengayun langkah, mengambil posisi di sofa, berbaring dan kembali fokus dengan ponselnya. Berlagak mengabaikan Arumi yang kini meringkuk di kasur, dengan air mata yang mulai berderai membasahi sarung bantalnya. Ibrahim bersikap seolah tidak terjadi apa-apa antara ia dan istrinya, padahal, hampir saja rumah tangga mereka berakhir dengan satu kalimat jika ia mengiyakan permintaan istrinya.

"Kenapa rasanya sesakit ini ya ditolak sama suami sendiri? Padahal cinta juga nggak. Nikah aja dadakan, tapi rasanya sakit banget, berasa jadi perempuan nggak ada harga diri.

Tapi kenapa Mas Ibra nolak, ya? Apa aku kurang cantik? Kurang menarik di matanya? Tapi masa iya, sih? Bahkan hampir semua cowok yang kukenal selalu mengagumi kecantikanku. Tak ada yang memungkiri bahwa Allah menganygerahkan paras yang indah terhadapku. Tapi Mas Ibra?

Atau mungkin beliau nggak normal, ya? Secara sampai kepala tiga beliau memutuskan untuk tetap membujang dan tidak menikah. Andai tidak karena kondisi Yusuf yamg kritis, mungkin Mas Ibra nggak akan nikah selama-lamanya.

Ah ... gimana kalau ternyata benar Mas Ibra ...? Astaghfirullah, Arumii ... mikir apa sih kamu ini? Beliau dosen ilmu agama, Rum! Mana mungkin dia masuk dalam anggota kaum pelangi, nggak mungkin ah!" Arumi sibuk dengan pikirannya sendiri, menepis pikiran-pikiran buruk tentang suaminya.

Sementara Ibrahim, lelaki itu terlihat tak perduli, padahal dalam hati ia merasa khawatir akan kondisi perasaan Arumi. Ia bahkan sampai tak menyadari, bahwa posisi ponsel yang dibawanya terbalik.

"Kasihan Arumi, dia harus terjebak dalam situasi sulit ini. Semoga Yusuf segera pulih, dan aku bisa segera melepas Arumi.

Andai Ibu tak memintaku dengan air matanya untuk melakukan ini, aku tak akan segan menolak pernikahan lawak ini. Bagaimana mungkin seorang Ibrahim memutuskan untuk menikahi seorang wanita hanya dalam kurun waktu kurang dari 30 menit? Sementara di tiga puluh dua tahun usiaku, aku sama sekali tak memikirkan tentang pernikahan. Sungguh ini lawak sekali." Ibrahim nenertawai dirinya sendiri.

Ia lalu menghela nafas panjang, sembari mencuri-curi pandang ke arah Arumi. "Maafkan saya, Arumi ... mungkin kamu merasa terluka akan sikap saya yang terkesan dingin dan enggan didekati olehmu. Mungkin sikap saya membuat kamu merasa tersinggung dan insecure. Namun jujur, saya tidak berniat melakukan hal hal menyakitkan itu padamu. Saya hanya ingin menjaga komitmen untuk tak lagi bermain-main dengan cinta, karena cinta telah melukai saya begitu dalam, dan saya tidak ingin mengulangnya bersamamu.

Saya tidak ingin menyentuhmu, lalu membuatmu merasa memiliki harapan atas pernikahan ini. Karena sejatinya tak ada yang bisa diharapkan dari pernikahan sandiwara ini. Kamu berhak bahagia bersama Yusuf, lelaki yang mungkin bisa memberimu cinta, bukan lelaki yang hatinya mati seperti saya.

InsyaAllah, ini keputusan yang paling tepat. Saya akan menjagamu, sampai Yusuf dinyatakan pulih dan sanggup menikahimu." Ibrahim berbicara sendiri dalm hati. Hingga tiba-tiba suara Arumi mengejutkannya.

"Kalau baca di hp tuh jangan dibalik, Mas ... kecuali rotasi otomatisnya nyala. Lah itu Mas bacanya terbalik, apa nggak sakit mata?" tanya Arumi yang tiba-tiba sudah duduk di sisi suaminya.

Ibra terlonjak kaget, namun seperti biasa, ia selalu berusaha untuk terlihat stay cool.

"Mikirin apa, Mas, sampai pegang hp saja terbalik?" tanya Arumi sembari memandang wajah suaminya. Ia telah menguatkan hati, untuk tidak menyerah dalam pernikahan ini. Jika Ibra menolak untuk menalak, maka ia akan memaknainya dengan adanya harapan dan ruang untuk ia memperjuangkan cinta, agar cinta itu hadir di tengah rumah tangga mereka yang baru bermula.

Bukannya menjawab, mata Ibrahim justru memicing ke arah Arumi, "Ada apa lagi, Rum? Sudah tidur sana!" ucapnya sembari membenarkan letak kacamata.

"Arumi nggak terbiasa tidur jam segini, Mas .... Mas Ibra lagi ngapain sih, lagi sibuk, ya?" tanya Arumi sembari melirik ponsel milik suaminya.

"Lagi meriksa data skripsi mahasiswa, kenapa?" tanya Ibrahim sembari meletakkan ponselnya di meja. Sejenak ia menatap Arumi, menelisik mencari raut kesedihan dan kekecewaan dari wajahnya, namun ia tak berhasil menemukannya.

"Bagaimana cara gadis ini mengolah perasaannya? Sepertinya baru beberapa menit lalu dia terliahat gundah gulana, tapi sekarang, dia bisa terlihat baik-baik saja. Sungguh aneh tapi nyata." Dalam diam Ibra merasa heran.

"Kalau meriksa data skripsi mbok jangan dibalik-balik hp nya, Mas ... ntar Mas bisa salah baca, terus yang disalahin mahasiswanya lagi," celetuk Arumi berniat mencairkan suasana.

"Suka-suka saya mau bacanya gimana." Seperti biasa, lelaki dengan julukan tembok itu hanya menjawab datar.

"Lagian pengantin baru masa tetep nugas sih, Mas? nggak ambil cuti, gitu?" lanjut Arumi lagi sembari menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Mana sempat ngajuin cuti? Mutusin nikah saja baru beberapa jam yang lalu?" sahut Ibrahim dengan kalimat cukup panjang.

"Iya juga ya, Mas ... kalau begitu kita ambil cuti minggu depan aja, Mas? Gimana?" tanya Arumi bersemangat.

"Mau ngapain? Nggak ada cuti-cutian!" Ibrahim menyahut ketus.

"Ya bulan madu lah, Mas ... kan pengantin baru?" sahut Arumi mulai berani menunjukkan sisi asli dirinya yang friendly.

"Nggak ada bulan madu-bulan madu!" sahut Ibra seketika membuat bibir Arumi mengerucut.

Merasa kehadirannya tak mendapat sambutan, Arumi beranjak dari tempatnya, berjalan menuju pintu dan membuka kenopnya, berniat untuk menemui Abah dan Umminys.' Seketika membuat suami cueknya menoleh ke arahnya.

"Mau ke mana?" tanyanya sembari melepas kaca mata.

"Keluar kamar doang, Mas ... harus izin kah?" sahut Arumi dengan raut kesal.

"Ganti bajumu!" titah Ibra sepihak.

"Ngapain harus diganti, Mas? Di rumah ini mahron semua sama Arumi. Hanya ada Abah sama Ummi saja kok," protes Arumi, walau sebenarnya ia pun tak nyaman jika harus bertemu kedua orang tuanya dengan pakaian seperti itu.

"Tetep aja nggak sopan! Ganti dengan yang lebih sopan!" titah Ibrahim tak terbantah.

Arumi hanya mencap-mencep kesal, namun tak urung ia tetap menuruti suaminya. Ia mengenakan Abaya sebagai penutup tubuhnya, tanpa terlebih dahulu melepas piyama tidurnya.

"Mau ngapain di luar? Jangan bicara aneh-aneh dengan Abah dan Ummimu, ya!" pesan Ibrahim pada istrinya.

"Kenapa memangnya? Mas Ibra takut ya kalau Abah dan Ummi tahu Mas nggak menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami dengan sebagaimana mestinya?" tebak Arumi.

"Bukan takut, tapi males ribet saja." Ibrahim menyahut santai.

Arumi mengangguk, "Oke, Arumi nggak akan ngadu soal itu, tapi ada syaratnya," sahut Arumi tiba-tiba mendapatkan ide cemerlang.

"Syarat apa?"

"Minggu depan kita cuti bulan madu, setuju?"

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosen Dingin itu Suamiku   Bab 39

    Bab 39"Assalamualaikum." Ibrahim mengucap salam, seketika Yusuf dan Azizah menoleh ke arah mereka. Azizah hang tengah menemani putra bungsunta itu menyambut dengan senyuman, memandang Ibrahim yang datang menggandeng tangan istrinya. Sementara Yusuf, ia memandang saudaranya dengan pandangan yang sulit diartikan.Kakak Yusuf itu menutup pintu, kemudian berjalan perlahan menghadap Ibunya, masih dengan tangan yang menggenggam erat tangan istrinya.Diraihnya tangan wanita yang telah melahirkannya itu, lalu menciumnya dengan penuh takdzim, hal yang sama dilakukan juga oleh Arumi, kemudian istri Ibrahim itu berdiri tertunduk di sisi suaminya."Suf ... gimana kabarmu?" tanya Ibrahim berusah tetap terlihat tenang di depan adiknya, adik yang sebelum ini menjadi calon suami dari wanita yang kini menjadi istrinya. "Ya ... beginilah, Bang ... Alhamdulillah, masih Allah berikan kesempatan untuk hidup," sahut Yusuf juga terlihat santai. Pandangannya beralih memandang Ibrahim dan Arumi bergantian.

  • Dosen Dingin itu Suamiku   Bab 38

    Bab 38"Kok nangis? Sakit, ya, Rum? Saya mainnya kasar?" Ibrahim bertanya sesaat setelah mencapai puncak kenikmatannya.Arumi menggeleng sembari tersenyum."Terus kenapa nangis? Jangan nangis, dong ...!" Ibrahim mengusap air mata Arumi.Tak menjawab, Arumi hanya memandang suaminya penuh haru."Kenapa, Rum? Kamu menyesal?" sekali lagi Ibrahim bertanya, namun lagi-lagi Arumi menggeleng."Arumi nggak apa-apa, Mas ...." Arumi menjawab sembari menyentuh tangan Ibrahim di pipinya."Terus kenapa nangis?""Gimana, ya, Mas? Arumi bingung jelasinnya," sahut Arumi sembari mengelus perut bagian bawahnya yang terasa nyeri."Bilang aja nggak apa-apa? Sakit ya?" tanya Ibrahim sembari meringis."Iya, Mas ... tapi lebih ke terharu aja sih nangisnya, karena akhirnya kita sudah menjadi suami istri seutuhnya," balas Arumi dengan memandang suaminya penuh cinta."Bukan karena sakit? Saya kasar, ya?" Ibrahim terlihat khawatir dan merasa bersalah.Arumi tersenyum, "memang sakit, Mas, tapi bukan karena Mas Ib

  • Dosen Dingin itu Suamiku   Bab 37

    Bab 37Menjelang maghrib, hujan baru reda, sementara Arumi yang sudah mendapatkan kehangatan dan kenyamanan, malah tertidur di bahu suami tercinta.Ibrahim memandang Arumi melalui ekor matanya, wajah gadis itu terlihat damai dalam tidurnya. Kedua sudut bibir Ibrahim terangkat membentuk senyuman yang indah,saat ingatannya memutar kembali momen manis yang baru saja ia lalui bersama Arumi. Manis, semanis bibir Arumi yang akhirnya ia cicipi di tengah hujan badai mengguyur bumi."Arumi Hayfa Hasan, tak pernah kusangka takdirku akan berakhir di pelukannya. Dia hadir menyembuhkan banyak luka, lalu menjadi penyejuk jiwa yang telah lama gersang tanpa sentuhan cinta." Ibrahim membatin.Perlahan ia menggerakkan tangan, membelai pipi Arumi hingga membuat matanya yang terpejam itu terbuka dan perlahan mengembalikan kesadarannya."Mas ...." Arumi tersenyum dan membenarkan posisinya."Sudah reda ya, Mas?" sembari mengucek mata Arumi bertanya."Sudah, sudah hampir maghrib juga. Kita balik, ya? Kamu

  • Dosen Dingin itu Suamiku   Bab 36

    Bab 36"Arumi, are you okey?" Ibrahim segara menyambut Arumi di depan toilet. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia tak mengira bahwa aroma kecombrang yang digemarinya akan memberikan pengaruh sejauh itu untuk istrinya."Nggak apa-apa, kok, Mas, maaf, ya?" sahut Arumi sembari tersenyum santai."Saya nggak tahu kalau kamu sangat sensitiv dengan aroma kecombrang, maaf karena sudah memaksa." Ibrahim mengiringi langkah Arumi yang kembali berjalan menuju saung tempat di mana mereka meninggalkan makanan."Arumi nggak terpaksa sih, Mas ... bahkan tadi dengan senang hati makannya, karena disuapin Mas Ibra. Cuma emang nggak suka aja dasarnya, Arumi pikir dengan disuapin Mas Ibra rasa makanan yang nggak enak di mulut Arumi bakal jadi enak. Seperti teori-teori di sinetron-sinetron pas adegan romance gitu. Eh ternyata teorinya sesat." Arumi menceritakan apa adanya sembari terkikik sendiri menertawai dirinya."Kamu itu ada-ada aja! Kamu pikir tangan saya tangah

  • Dosen Dingin itu Suamiku   Bab 35

    Bab 35Ibrahim beberapa kali menghela nafas panjang dan menghembuskannya. Mengafirmasi positif pada dirinya."Benar kata Arumi, rilex saja, Ibra! Nggak perlu tegang. Apa yang perlu ditakutkan? Arumi istrimu, dia halal untukmu, kamu halal menikmati setiap keindahan tubuhnya. So, nikmati saja! Bukankah ini sebuah tahap untuk kamu bisa mencintainya secara utuh?" Ibrahim bermonolog dengan dirinya sendiri.Perlahan afirmasi positif itu mulai dirasakan manfaatnya. Ia mulai menikmati momen kebersamaannya dengan Arumi yang cukup intim.Melalui perjalanan sembari mengobrol, membahas pemandangan indah di sepanjang jalan yang mereka lewati. Bahkan sesekali tangan Ibrahim menyentuh tangan Arumi yang melingkar di perutnya, sekedar membelainya saat wanitanya itu tengah membuatnya bahagia dengan celotehannya."Mas tahu nggak?" tanya Arumi masih dengan posisi yang sama."Nggak tahu.""Eh, iya juga ya, kan Arumi belum cerita. Kalau gitu, mau Arumi kasih tau nggak?" Arumi terkekeh."Kasih tahu apa?" sa

  • Dosen Dingin itu Suamiku   Bab 34

    Bab 34"Kamu sudah selesai?" Ibrahim meletakkan kembali ponselnya saat melihat Arumi keluar dari kamar mandi."Sudah, Mas." Arumi menjawab sembari mendekat ke arah suaminya."Sudah selesai telepon Ibunya, Mas?" tanya Arumi seraya duduk di tepi ranjang, tepat di sisi suaminya."Sudah.""Terus, gimana?""Aman. Sesuai rencana."Segaris senyum penuh kelegaan terukir di bibir Arumi."Mas mau siap-siap? Yuk Arumi bantu." Arumi menawarkan bantuan. Ibrahim yang masih sedikit pening tak menolak, perlahan ia berganti posisi menjadi duduk dibantu oleh Arumi. Meneguk air mineral sebelum beranjak menuju kamar mandi.Dengan dipapah oleh sang istri, Ibrahim berjalan menuju kamar mandi. Bukan tak mampu berjalan sendiri, hanya saja ia mulai menikmati perhatian-perhatian yang diberikan oleh Arumi."Mandi air hangat, ya, Mas, biar rilex," pesan Arumi saat mereka sampai di ambang pintu kamar mandi."Iya, terima kasih, ya?" ucap Ibrahim sembari tersenyum manis ke arah istrinya. Arumi balas tersenyum dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status