LOGIN"Ibu ... Ibuuu ...."
Nara mengerjap, begitu juga Argan. Mereka terbangun karena mendengar teriakan Sakha yang terdengar nyaring. "Astaghfirullah ...." Argan turun dari ranjang dan segera bergegas menuju kamar anaknya. Nara menyusul, ingin tahu apa yang terjadi pada anak tirinya. Nara mematung, mengamati Sakha yang menangis sesenggukan sementara Argan memeluk tubuhnya erat. Ia mengusap-usap punggung putranya. "Kamu cuma mimpi, Sakha. Tidur lagi, ya. Tidak terjadi apa-apa." Argan berusaha menenangkan putranya. Tiga tahun berlalu. Argan pikir, kejadian tragis itu tak akan lagi mengusik pikiran Sakha. Nyatanya, ia salah besar. Betapa satu kejadian tragis itu telah menghancurkan kehidupan anaknya, memporak-porandakan kondisi psikisnya. Argan hanya bisa menangis dalam diam, tanpa seorang pun tahu. Ia emban semua beban itu sendiri. Siapa yang tak bersedih melihat buah hati tercinta menanggung trauma hingga membalikkan karakternya 180 derajat. Argan merindukan Sakha yang tertawa lepas, bermain bola bersama teman-temannya, dan terbuka bercerita apa pun padanya. Anak itu menjadi pemurung, antisosial, temperamen, terkadang meledak-ledak saat marah, dan di sisi lain bisa sedemikian rapuh dan menangis tersedu-sedu tanpa bisa dihibur. Sakha baru lima tahun kala mendapati sang ibu meregang nyawa di dalam bathub. Siapa yang tak akan trauma? Sungguh anak sekecil itu belum bisa menyikapi segala sesuatu secara dewasa. Yang ia tahu, ibunya meninggal dan darahnya bercampur dengan air dalam bathub, begitu mengerikan di matanya. Ia tak bertanya kenapa ibunya melakukannya, kenapa wanita yang paling berharga dalam hidupnya memutuskan membunuh dirinya sendiri. Ia tak bertanya akan hal itu. Hanya terngiang satu fakta yang mengelayut dalam benak, ibunya meninggal dan banyak darah. Anak itu trauma hebat hingga selalu berteriak histeris kala melihat bathub. Argan memutuskan untuk tak lagi menggunakan bathub dalam kamar mandi. Ia singkirkan semua hal yang mengingatkan anak itu pada kejadian tragis yang menimpa ibunya. Argan meminta bantuan tukang menghancurkan kamar mandi tempat istrinya mengakhiri hidupnya dan membangun kamar mandi pengganti di pojok ruangan yang lain. Anak itu menjerit histeris dan berteriak-teriak ketakutan setiap kali terluka dan berdarah, entah jatuh hingga lututnya berdarah atau tak sengaja teriris pisau kala ia mengupas buah. Ia selalu ketakutan melihat darah. Kecemasan menyergapnya sewaktu-waktu, panik menyerangnya tiba-tiba terlebih jika ia teringat akan kejadian tragis itu. Psikiater mendiagnosa dia memiliki anxiety disorder, gangguan kecemasan. Seiring berjalannya waktu, anxiety-nya sudah berkurang, tapi tidak dengan traumanya. Sakha masih sering bermimpi buruk, bermimpi akan kematian ibunya. Sepanjang hari hidupnya serasa dihantui ketakutan akan sakitnya kehilangan. Sejak kematian ibunya, sejak itu pula, dunianya berubah drastis. Sepakbola tak lagi menjadi hal menyenangkan untuknya. Berkumpul bersama teman-temannya tak lagi menjadi sesuatu yang menyenangkan sejak teman-temannya sering kali berceloteh, 'ibunya Sakha bunuh diri', 'ibunya Sakha meninggal di kamar mandi', 'aku nggak mau main ke rumah Sakha, di sana banyak setannya. Ibunya kan mati bunuh diri'. Sakha merasa ikut terhakimi ketika orang-orang di sekitar menanyakan perihal kematian ibunya. Ia menarik diri dari pergaulan. Ia lebih suka mengurung di kamar dan dia tak memiliki teman akrab. Sakha membatasi diri dan memang tak menginginkan seorang teman. "Sakha sekarang tidur lagi, ya?" Argan memegang kedua lengan putranya dan menatapnya lembut. "Ayah apa Ibu bisa masuk surga? Kata ustaz orang yang melakukan bunuh diri telah melakukan dosa besar dan kelak dimasukkan ke neraka jahanam. Ia akan disiksa dengan apa yang ia gunakan untuk bunuh diri, selama-lamanya." Tangis Sakha semakin keras dan menyayat. Argan tercekat. Sepanjang hari dia selalu memikirkan hal ini, apakah dosa istrinya yang bunuh diri akan diampuni. Dia mengerjakan sholat, puasa, menutup aurat, taat pada suami, sayang keluarga, dan hidupnya berakhir dengan bunuh diri. Ada luka perih mencabik-cabik hatinya, benar-benar perih. Perasaannya hancur dan puing-puing itu masih berserakan hingga detik ini. Sesuatu yang sudah runtuh tak akan mungkin kembali utuh kendati kepingan-kepingan itu direkatkan kembali. Jejak-jejak retak itu tetap terlihat jelas. Argan memeluk putranya sekali lagi. Air matanya ikut menetes seiring dengan tangis putranya yang tak jua berhenti. Nara yang tengah mematung di dekat pintu hanya bisa menganga, shocked tak terkira mengetahui satu realita getir akan penyebab kematian ibu Sakha. Sejuta tanya berkecamuk, apa yang menyebabkan almarhumah bunuh diri. "Sakha nggak mau ibu disiksa Ayah ... Sakha nggak mau ibu masuk neraka jahanam ....," tangis Sakha semakin mencekat. Nara trenyuh mendengarnya. Hatinya ikut meradang. Ia membayangkan jika ia ada di posisi Sakha, pasti akan begitu berat untuknya dan ia tak tahu, apa ia bisa sekuat Sakha. "Sakha jangan mikir yang nggak-nggak. Sakha banyak berdoa sama Allah, minta Allah mengampuni dosa ibu." Argan mengusap air mata yang membanjir di wajah anaknya. Ia melirik Nara yang membisu. "Saya akan menemani Sakha sampai dia tidur lelap. Kamu balik lagi aja ke kamar, nanti saya menyusul." Nara tak membalas apa pun. Ia menurut saja dengan apa yang dikatakan Argan. Ia kembali ke kamar. ****** Argan membuka pintu kamarnya lalu menutup kembali. Ia melirik sang istri yang tengah terbaring, miring ke kanan. Mendengar suara pintu bergeser, Nara terkesiap. Ia melirik Argan naik ke ranjang dan duduk selonjoran di sebelahnya. Nara bangun dari posisinya dan menatap Argan dengan penuh tanya. Setelah melihat raut wajah sang suami yang terlihat lelah, Nara tak jadi bersuara, kendati ia begitu penasaran ingin tahu perihal kematian almarhumah istri Argan yang berakhir tragis. Ia melihat bulir bening mengalir dari kedua sudut mata laki-laki itu kala memeluk anaknya. Bertanya soal kematian istrinya sama saja membuka kembali kisah getir dan menorehkan luka di atas luka yang masih basah. Argan menatap Nara datar. "Almarhumah ibu Sakha meninggal karena bunuh diri. Sakha melihatnya pertama kali di kamar mandi. Almarhumah meregang nyawa di dalam bathub. Darah bercampur air menggenangi tubuhnya. Dia melukai pergelangan tangannya dengan cutter yang ditemukan tergeletak di sebelah bathub." Argan menerawang, mengamati langit-langit dengan sejuta kesedihan kembali mendera. Nara terdiam. Ada perasaan sedih, trenyuh, dan menyayangkan tindakan nekat bunuh diri almarhumah. Sebuah peristiwa tragis yang akhirnya membawanya ada di posisi ini, menjadi pengganti almarhumah untuk menjadi istri dari Argan dan ibu dari Sakha. Meski ia tahu, sosok almarhumah tak akan pernah tergantikan di hati Argan dan Sakha. Nara ingin sekali tahu motif apa yang melatarbelakangi almarhumah untuk melakukan bunuh diri. Namun ia tahan mulutnya. Ia merasa tak enak hati menanyakannya. "Sampai sekarang saya belum tahu kenapa almarhumah bunuh diri. Hubungan kami baik-baik saja. Dia tak meninggalkan catatan atau pesan apa pun sebelumnya." Argan menunduk. Tak mudah baginya bercerita gamblang pada orang lain mengenai kematian sang istri. Nara harus tahu karena ia merasa tak bisa menyembunyikan hal ini darinya. "Saya ikut bersedih mendengarnya, Pak." Nara berkata lirih. Argan kembali menatapnya tajam. Nara sedikit salah tingkah. Ia tak mau membuat kontak mata dengan suaminya. "Sakha mengalami trauma yang hebat. Dia kerap bermimpi buruk. Sifatnya yang dulu periang berubah pemurung dan tertutup. Saya sengaja menyekolahkan dia di tempat yang agak jauh, agar dia bertemu dengan orang-orang baru yang tak tahu-menahu akan kejadian tragis tiga tahun silam." Argan mengembuskan napas pelan. "Saya tidak mau siapapun membuka kembali luka lama yang belum sembuh. Guru-gurunya sering bercerita kondisi dia di sekolah yang pendiam dan menarik diri dari pergaulan. Saya hanya mengatakan bahwa dia trauma kehilangan ibunya tanpa pernah saya bercerita bahwa ibunya meninggal bunuh diri." Nara mendengar penuturan suaminya tanpa menanggapi apa pun. "Saya sudah membawanya ke psikolog bahkan psikiater waktu anxiety-nya kambuh dan semakin parah. Saya melakukan serangkaian upaya untuk melenyapkan rasa traumanya, tapi semua tak semudah membalikkan telapak tangan. Psikolognya pernah berkata bahwa Sakha mengalami post-traumatic stress disorder atau PTSD, gangguan akibat melihat ataupun mengalami suatu kejadian berbahaya atau berat. Hal ini memengaruhi kondisi psikologis Sakha." Argan mengembuskan napas pelan. Ia melirik istrinya yang diam tercenung. "Maaf, saya telah bercerita banyak." "Tidak apa-apa, Pak. Kalau dengan bercerita bisa membuat Bapak lega, dengan senang hati saya akan mendengarnya. Mohon maaf kalau saya nggak bisa menanggapi banyak. Bukan karena saya nggak bersimpati, tapi permasalahan ini begitu kompleks dan saya ikut sedih mendengarnya." Argan tersenyum. "Terima kasih sudah mau mendengar. Itu saja sudah cukup buat saya." Argan beranjak. Tatapan Nara mengikuti langkah suami menuju kamar mandi. Suara gemericik air menggaung dari dalam kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, Argan berjalan mendekat ke arah lemari. Ia membuka pintu lemari. Ia melepas piyamanya. Nara yang masih duduk selonjoran di ranjang sembari memainkan ponsel mengerjap. Ia menatap tubuh bagian atas Argan yang terlihat atletis, perut sixpack, dada bidang, tubuh yang begitu ideal. Ia buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. Argan mengganti piyamanya dengan baju koko. Saat Argan berjalan menuju pintu, Nara terpancing untuk bertanya. "Bapak mau ke Masjid malam-malam begini?" Argan mengulas senyum. "Nggak, saya mau ke ruang sholat. Mau sholat Tahajjud." Nara tak membalas. Ia hanya tersenyum tipis. Ia menyadari satu hal, dirinya dan Argan bagai bumi dan langit. Argan sosok yang religius, sedang dirinya sosok yang selengekan dan kerap melanggar aturan. Satu prinsip yang ia pegang, tak ada pacaran dan tak ada seks sebelum menikah. Sebengal apa pun kelakuannya, ia tak pernah mau menjalin hubungan romantis dengan laki-laki apalagi melakukan kontak fisik dengannya. Bukan karena ia tak menyukai laki-laki. Ia perempuan straight seutuhnya, hanya saja ia belum tertarik membangun hubungan romantis dengan lawan jenis. Kini ia berada di satu posisi yang seakan memaksanya untuk belajar membangun hubungan romantis dengan suaminya. Namun, ia belum tertarik dan Argan juga telah menyetujui poin-poin yang ia ajukan selama mereka berumahtangga, minimal sampai ia wisuda.Waktu berlalu begitu cepat. Cherry bersyukur antar dua keluarga sudah sepakat menentukan tanggal pernikahan. Awalnya Cherry hampir putus asa karena ibu dari Guntur belum sepenuhnya setuju. Beliau lebih menyukai Layla. Namun karena usaha pantang menyerah dari Guntur untuk meyakinkan sang ibu, juga usaha Cherry untuk mendekati calon ibu mertuanya, perlahan Bu Sekdes mau memberikan restu. Hubungan Cherry dan Layla juga semakin baik. Layla ikhlas melihat laki-laki yang disukainya menikah dengan temannya sendiri. Ia yakin akan ada jodoh terbaik yang sudah dipersiapkan Allah untuknya.Pernikahan Cherry dan Guntur diadakan di Cilacap, di kediaman Pak Sekdes dan Bu Sekdes. Hal ini sudah menjadi kesepakatan dua keluarga. Teman-teman KKN Cherry semuanya diundang. Suasana bahagia terasa mengharu biru kala Guntur menjabat tangan ayah Cherry dan mengucap akad."Saya terima nikah dan kawinnya Cherry Liana Arin binti Nugraha Wildan dengan mas kawin tersebut tunai.""Sah saudara-saudara?""Sah.""A
Cherry mengembuskan napas berkali-kali, menetralkan deru napas yang seolah berkejaran. Irama jantungnya terdengar tak beraturan tapi pacuannya lebih cepat dari biasanya. Ia sedikit nervous, gugup, berdebar, dan deg-degan. Bukan perasaan jatuh cinta seperti pertama kali jatuh cinta pada Guntur, tapi lebih kepada perasaan takut mengecewakan teman. Ia takut Layla marah dan tak mau lagi bertemu dengannya setelah membicarakan soal ini.Cherry mengirim pesan whatsapp untuk Layla.La, aku ada di teras kost. Aku pingin ketemu.Tak lama kemudian, suara pintu bergeser. Cherry menatap Layla keluar dari balik pintu. Cherry melengkungkan segaris senyum di bibirnya. Layla membalas senyumnya dengan senyum yang sangat tipis."Masuk Cher..." Cherry mengikuti langkah Layla ke kamarnya. Sejak terlibat cinta segitiga, interaksi dua sahabat itu tak lagi lepas dan selalu ada atmosfer canggung di antara keduanya."Ada apa, Cher?" Layla duduk di karpet sembari memeluk boneka panda kesayangannya.Cherry yang
Nara berdzikir dan memusatkan fokus pada proses persalinan bayinya yang insya Allah akan lahir sebentar lagi. Segala rekam jejak moment berharga dalam perjalanannya seolah berseliweran di kepala. Ia teringat saat bersanding di pelaminan bersama Argan. Awal menikah, ia belum bisa menerima status pernikahannya. Dengan kesabaran dan ketulusan, Argan berhasil membimbingnya, memberikan cinta yang luar biasa indah. Sebulan yang lalu ia wisuda. Dengan perut yang sudah besar, ia menjadi satu-satunya mahasiswi yang wisuda dalam keadaan hamil. Kebahagian membuncah. Perjuangannya selama skripsi yang ia lalui tidak mudah dengan kondisi berbadan dua telah berbuah manis. Kini ia dihadapkan pada perjuangan yang lebih mendebarkan. Ia terbaring, setelah sebelumnya mondar-mandir karena merasa tak nyaman dengan posisi berbaring. Kontraksi masih setia menerjang. Yang awalnya frekuensinya tidak begitu sering, kini terasa semakin sering dan teratur. Nara berkali-kali mengusap perutnya. Bibirnya meringis
“Kalau Nara mau main sama teman, Mas ngizinin asal tahu waktu. Kalau Nara mau bebas tugas dari kerjaan rumah tangga, silakan. Mas nggak pernah nuntut Nara untuk ngerjain pekerjaan rumah tangga. Mas nggak ingin Nara merasa terbebani. Tapi coba pikirkan, setelah menikah, kehidupan Nara jauh lebih baik atau malah semakin buruk?” Nara mencerna dalam-dalam pertanyaan Argan.“Jauh lebih baik, Mas. Dulu hidup Nara kacau, berantakan. Nara nggak bisa masak dan sepertinya potensi Nara banyak yang masih terpendam. Setelah menikah, potensi itu tergali setelah Nara belajar banyak hal. Nara belajar masak, membuat mainan untuk Sakha. Nara belajar menjadi istri dan ibu yang baik meski masih jauh dari sempurna. Hidup Nara terasa jauh lebih berarti.”“Meski Nara nggak seenergik dulu karena sekarang sedang hamil, nggak bisa bebas naik turun tangga, nggak bisa main sampai malam, apa Nara ikhlas? Apa semua yang didapat Nara sekarang tidak ada manfaatnya untuk Nara dan orang-orang di sekitar Nara? Bayangk
Nara berjalan memasuki perpustakaan bersama Tasya. Sesekali ia berhenti dan memegang pinggangnya. Rasanya sedikit pegal. Usia kandungannya sudah 21 minggu. Perkembangan skripsinya sudah hampir tiba di seminar hasil. Ia tengah rajin-rajinnya belajar dari banyak referensi. Ia berniat meminjam buku ke perpustakaan untuk tambahan referensi.Tasya mengamati wajah Nara yang terlihat pias.“Na, kamu capek ya? Istirahat aja. Biar aku yang nyari bukunya,” ucap Tasya.“Nggak, kok, Tas. Aku masih kuat.” Nara mengulas senyum. Nara berjalan menaiki tangga dengan dituntun Tasya. Ia melangkah hati-hati. Setiba di lantai kedua perpustakaan, Nara mencari buku di salah satu lorong. Ia mengambil dua buku lalu duduk lesehan, membaca buku-buku sambil selonjoran untuk meluruskan kaki dan mengurangi rasa pegal yang mendera. Punggungnya bersandar di dinding ujung lorong.Tasya masih sibuk memilih buku. Nara melihat tiga orang mahasisiwi melangkah memasuki lorong yang terbentuk antara dua rak buku yang cuku
Setelah Ranti dan Yeti pamit, Nara melangkah ke dapur untuk memasak menu makan malam. Sakha belum pulang dari TPQ. "Na, kamu duduk saja, biar Mas yang masak." Argan memeluk Nara dari belakang dan mengusap perut istrinya. Ia mendaratkan kecupan di pipi Nara. "Emang Mas Argan nggak capek?" Argan menggeleng. Ia mengganti posisinya menghadap Nara. Argan menundukkan badan dan mengecup perut sang istri. "Dede lagi ngapain di dalam? Baik-baik selalu ya, De. Ayah kangen banget sama Dede. Kalau lagi kerja di luar, rasanya pingin cepet-cepet pulang biar bisa cepet ngobrol sama Dede dan Mama." Nara tersenyum setiap kali mendengar Argan menyapa Dede bayi di dalam perut. Suara lembutnya seolah menjadi caranya bercerita bahwa ia begitu menyayangi bayi mereka. Usapan jari-jari Argan yang lembut di perut membuat Nara merasa tenang dan nyaman. Jari-jari ini yang selalu menggenggamnya erat seolah dengan sekali genggaman ia meyakinkan bahwa dirinya akan selalu mendampingi dan menguatkan.Argan kemb







