Nara menggenggam secarik kertas dan melirik laki-laki itu sepintas, "Saya akan membacakan poin-poin yang harus Bapak patuhi. Poin pertama, jangan sentuh saya sampai saya wisuda. Saya tak ingin hamil sebelum lulus. Poin kedua, jangan menganggap pernikahan ini nyata. Jangan menganggap saya sebagai istri, sebenar-benarnya istri. Saya pun tak akan menganggap Bapak sebagai suami. Poin ketiga, jangan membebani saya dengan pekerjaan rumah tangga, saya tak suka. Poin keempat, Bapak bebas berpacaran dengan wanita lain yang Bapak cintai dan saya juga berhak jatuh cinta pada laki-laki lain, yang lebih muda dari Bapak tentunya. Poin kelima, Bapak jangan melarang saya bergaul dengan teman-teman dan beraktivitas di luar rumah, saya juga nggak akan melarang Bapak. Poin keenam, izinkan saya untuk menjadi diri saya sendiri. Poin ketujuh, kita akan tidur seranjang, tapi tolong jangan macam-macam sama saya." Nara menghela napas. Ada rasa lega yang seolah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. "Boleh aku meminta sesuatu juga darimu?" Argan menatap wajah polos dan cute Nara begitu menelisik. "Aku nggak minta banyak. Cukup sayangi anakku. Minimal bacakan cerita sebelum dia tidur dan kecup keningnya. Itu saja." Argan menatapnya datar. Ia beranjak dan melangkah menuju kamar. Kisah pernikahan perjodohan dosen berusia 32 tahun Bintang Arganta Yudha dan mahasiswi berusia 19 tahun Chandragitha Nara dengan segala kisah yang mengaduk-aduk perasaan. Ini tentang cinta, keluarga, dan ketulusan.
Lihat lebih banyakSeorang gadis mengenakan piyama bergambar Keropi melayangkan pandangan pada sosok di hadapannya. Bintang Arganta Yudha, laki-laki berusia 32 tahun, tepatnya tiga belas tahun lebih tua dari sang gadis duduk terpekur dengan ekspresi wajah seperti biasanya, datar, tenang, dan misterius.
Gadis tomboy, tapi tetap cantik dengan rambut panjangnya bernama Chandragitha Nara menggenggam secarik kertas. Ini adalah malam pertamanya di Purwokerto, kota kelahiran laki-laki yang baru kemarin resmi menjadi suaminya sekaligus tempatnya menimba ilmu di bangku universitas. Tentu atmosfer terasa sedemikian aneh dan asing untuknya. Kemarin dia memang sudah tidur sekamar dengan suaminya. Tapi dalam rumah itu masih ada orang tua dan kerabatnya. Dan statusnya masih "perawan" karena laki-laki yang biasa dipanggil Argan belum menjamahnya. Nara berharap laki-laki itu tak akan pernah menyentuhnya. Lidahnya serasa kelu. Namun, dia sudah yakin untuk membacakan poin-poin yang harus dipatuhi Argan selama mereka menikah. Nara terpaksa mengiyakan perjodohan orang tua masing-masing setelah dia terganjal kasus hukum dan terancam kehilangan segalanya. Gadis bengal itu digiring ke kantor polisi karena kedapatan bergabung dalam pesta narkoba di salah satu night club. Nara bukan pemakai, apalagi pengedar, tapi keberadaannya di situ memaksanya untuk ikut diamankan. Dari hasil pemeriksaan urine, hasilnya negatif. Tentu saja, karena ia tak pernah mengonsumsi narkoba. Namun, seperti pepatah bahwa seseorang dinilai dari siapa sahabatnya, nama baik gadis itu ikut tercoreng. Orang tua sang gadis merasa kecolongan. Dia percaya anak gadis mereka bisa menjaga diri. Kendati berat hati melepas putri bungsunya kuliah di perantauan, tapi mereka tak bisa menahan langkah sang putri yang akan berjuang meraih masa depan. Kepercayaan mereka justru dikhianati. Ayah dan ibu Nara marah besar. Dia bersyukur memiliki sahabat lama yang tengah mencari istri untuk anaknya yang berstatus duda dengan satu anak laki-laki berusia delapan tahun. Istri sang duda meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Yang membuat semua terasa seperti kebetulan yang manis adalah sang duda bekerja sebagai dosen di universitas tempat Nara kuliah, hanya saja mereka beda fakultas. Berharap anak gadis ada yang menjaga dengan baik selama kuliah di Purwokerto, maka orang tua sang gadis mengusulkan pada sahabat lama mereka untuk menjodohkan anak-anak mereka. Gayung bersambut. Sahabat lama mereka bersedia melamar Nara untuk putra sulungnya. Orang tua sang gadis bersyukur dan lega karena sang anak mendapatkan seorang suami yang religius dan insya Allah bisa membimbingnya dengan baik. Mereka sudah lelah menyaksikan gaya hidup anak gadisnya yang cenderung liar, suka clubbing, dan seenaknya. Nara tak bisa menolak karena ia tak mau mengecewakan orang tuanya kedua kali, begitu juga dengan Argan yang tak bisa menolak permintaan orang tuanya. Ia memang sempat berpikir, Nara terlalu muda untuknya. Namun, ia berharap Nara bisa mengisi kekosongan hati Sakha akan kerinduan pada sosok ibu. Ibunya meninggal saat Sakha berusia lima tahun. Meski anak itu lebih pantas dikatakan sebagai adik Nara, dibanding anak tirinya. Nara mengembuskan napas pelan. "Pak, saya akan membacakan poin-poin yang harus Bapak patuhi." Argan terdiam. Ia mendengar ucapan gadis yang di matanya seperti anak kecil itu dengan seksama. Sungguh ia tak menyangka, saat ini gadis yang berusia tiga belas tahun lebih muda darinya telah sah menjadi istrinya. "Poin pertama, jangan sentuh saya sebelum saya wisuda. Saya tidak mau hamil sebelum lulus." Laki-laki gagah dan berwibawa itu cukup tersentak mendengar penuturan istrinya. Nara melirik suaminya sepintas. Ia akui ketampanan wajah Argan begitu menawan. Namun, ia tak mau terpikat. Seleranya bukan laki-laki yang jauh lebih tua darinya, meski dia tampak baby face sekalipun. "Poin kedua, jangan menganggap pernikahan ini nyata. Jangan menganggap saya sebagai istri, sebenar-benarnya istri. Saya pun tak akan menganggap Bapak sebagai suami. Poin ketiga, jangan membebani saya dengan pekerjaan rumah tangga, saya tak suka." Nara menghela napas sejenak. "Poin keempat, Bapak bebas berpacaran dengan wanita lain yang Bapak cintai dan saya juga berhak jatuh cinta pada laki-laki lain, yang lebih muda dari Bapak tentunya. Poin kelima, Bapak jangan melarang saya bergaul dengan teman-teman dan beraktivitas di luar rumah, saya juga nggak akan melarang Bapak. Poin keenam, izinkan saya untuk menjadi diri saya sendiri. Poin ketujuh, kita akan tidur seranjang, tapi tolong jangan macam-macam sama saya." Nara menghela napas. Ada rasa lega yang seolah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Argan membisu, tak merespons apapun. Bisa saja ia mentahkan semua yang disebutkan Nara. Saat ini Nara sudah sah menjadi istrinya. Ada serangkaian kewajiban dan hak sebagai istri yang harus ia jalankan. Namun, Argan cukup memahami. Nara hanyalah gadis 19 tahun yang masih labil. Ia bisa membaca kondisi psikis Nara tengah berantakan, hancur lebur tak berbentuk. Siapa pun akan tertekan dengan pernikahan yang tak diinginkan. Dia bisa melihat gadis itu begitu tertekan di balik pembawaannya yang terkesan sangar dan kuat. Ia putuskan untuk membiarkan Nara berbuat seenaknya mengaturnya. Paling tidak sampai kondisi psikisnya membaik. "Boleh aku meminta sesuatu juga darimu?" Argan menatap wajah polos dan cute Nara begitu menelisik. Nara sedikit salah tingkah. Ia berharap Argan tak meminta sesuatu yang aneh darinya, apalagi meminta haknya. Nara sama sekali belum siap dan mungkin tak akan siap sampai beberapa tahun ke depan. "Boleh, asal jangan macam-macam," tukas Nara. "Aku nggak minta banyak. Cukup sayangi anakku. Minimal bacakan cerita sebelum dia tidur dan kecup keningnya. Itu saja." Argan menatapnya datar. Ia beranjak dan melangkah menuju kamar. Nara tercenung. Ia tidak begitu menyukai anak kecil. Dan sekarang ia harus terbiasa dengan kehadiran Sakha dalam kehidupannya. Nara beranjak dan berjalan menuju kamar Sakha. Nara membuka sedikit pintu kamar dan melirik sang anak yang sudah terpejam. Nara memasuki kamar Sakha yang bernuansa serba biru. Ia menutupkan selimut ke tubuh Sakha dan mengecup kening anak itu. Sakha di matanya adalah sosok anak pendiam dan tertutup. Saat pernikahan kemarin, ia terlihat datar dan lebih banyak menghampiri neneknya. Nara menduga, jauh di lubuk hati Sakha, ia tak pernah menyetujui pernikahan ayahnya dan dirinya. Nara melirik selembar kertas yang tergeletak di meja belajar Sakha. Nara memerhatikan baik-baik gambar yang tercetak di kertas itu. Ada laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan seorang anak laki-laki di tengah-tengah. Di bawah gambar masing-masing karakter ada tulisan yang menunjukkan siapa saja orang yang ada dalam gambar. Ayah-Sakha- Ibu. Nara juga membaca satu kalimat berbunyi 'I miss you Ibu...' Mendadak Nara tercekat. Seorang ibu tak akan pernah tergantikan di hati sang anak. Dengan hanya membaca sebaris kalimat itu, Nara bisa merasakan kerinduan Sakha yang menggila akan sosok ibunya. Hatinya bergerimis. Belum reda kesedihannya karena pernikahan yang tak diharapkan ini, muncul kesedihan lain karena sang anak yang begitu merindukan sosok ibunya dan belum bisa menerimanya sebagai bagian dari keluarganya.Sakha memutar matanya. "Zat besi untuk membentuk sel darah merah, 'kan? Sakha pernah membaca di buku ensiklopedia."Nara tersenyum sekali lagi. "Betul. Selain itu zat besi juga membentuk hemoglobin. Hemoglobin ini yang ngasih warna merah pada sel darah merah dan membawa oksigen ke seluruh tubuh. Sakha tahu nggak kalau otak itu juga perlu oksigen?"Sakha menatap Nara serius dan menggeleng."Otak itu bisa mikir karena menggunakan oksigen darah sebanyak 20 persen, ini dari yang Mama baca. Jadi udah paham 'kan pentingnya zat besi? Kalau kebutuhan zat besi tercukupi, otak bisa lebih berkonsentrasi."Sakha mengangguk. Ia tak menyangka ibu tirinya ini tahu banyak hal."Kalau protein manfaatnya apa?" tanya Sakha.Nara tersenyum melihat Sakha inisiatif bertanya padanya."Protein itu untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan menggantinya dengan sel yang baru, untuk pertumbuhan, otot, metabolisme, juga untuk kekebalan tubuh. Banyak banget 'kan manfaatnya? Rugi kalau Sakha nggak mau makan tempe da
Entah angin apa yang berbisik mesra di telinga Nara, setelah Subuh ia berinisiatif mencuci piring. Semalam ia tak bisa tidur. Gelisah tak tentu arah dan berkali-kali melirik Argan yang terlelap di sebelahnya. Ia tersenyum mengejek dirinya sendiri. Si Bapak mana tahu perasaannya. Nara bahkan berpikir, barang kali amarhumah istrinya bunuh diri juga karena sikapnya yang telah menyakiti perasaan sang istri, sama seperti yang Argan lakukan semalam.Argan dan Sakha mengucap salam dari ruang depan. Mereka baru saja kembali dari Masjid. Nara menjawab tanpa menoleh ke arah sumber suara.Sakha bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Ia belum mandi sebelum Subuhan karena dingin, tak seperti ayahnya yang selalu membiasakan mandi pagi sebelum sholat Subuh. Argan memakluminya. Baginya yang terpenting anak itu semangat diajak ke Masjid.Argan duduk di ruang makan yang menjadi satu ruang dengan dapur, tanpa sekat. Ia cukup terkejut melihat istrinya mencuci piring meski hari ini bukan jadwalnya memasak.
Nara melangkah menuju kamar. Ia melirik Argan yang sudah terbaring dengan baju piyamanya. Nara membuka lemari, mencari gaun tidur, lalu masuk kamar mandi untuk berganti pakaian. Ia masih sungkan berganti baju saat ada Argan bersamanya. Di dalam kamar mandi, ia tak hanya berganti baju, tapi juga mencuci muka dan menggosok gigi.Nara keluar dari kamar mandi. Ia ragu untuk merebahkan badan di ranjang. Namun akan sangat tidak etis jika dia memilih tidur di luar kamar.Nara merangkak naik ke ranjang dan duduk sebentar. Ia mengamati punggung suaminya yang begitu tegap. Kedua kaki Argan sedikit meringkuk. Udara malam ini terasa lebih dingin daripada malam-malam sebelumnya.Nara tahu, Argan belum terpejam. Ia tahu, laki-laki itu sengaja mendiamkannya untuk memberinya pelajaran."Pak... maksudku, Mas, Aku minta maaf karena sudah berbohong."Argan mendengarnya. Dia memutuskan untuk tetap bertahan dengan posisinya dan melihat reaksi Nara selanjutnya. Gadis itu masih labil, keras kepala, ngeyel,
Nara tersenyum merayakan kemenangannya. Ia melirik suaminya dan tersenyum puas. Argan akui, Nara tak selalu gagal menghadapi Sakha. Pagi ini ia berhasil menangani sikap Sakha yang keras kepala.Mobil jemputan datang. Sakha sudah menyelesaikan sarapannya. Kali ini bukan hanya Argan yang mengantar tapi Nara juga. Ia bahkan menyiapkan bekal untuk Sakha.Saat hendak memasuki mobil, Sakha menjabat tangan ayahnya dan menciumnya. Argan memintanya untuk menjabat tangan Nara juga. Dengan tampang ogah-ogahan, Sakha menjabat tangan ibu tirinya.Setelah mobil berlalu dari hadapan, Argan dan Nara masuk kembali ke dalam. Argan menyudahi sarapannya. Ia mengambil tas kerjanya."Kamu berangkat kuliah jam berapa?" tanya Argan seraya mengamati Nara membereskan meja makan."Jam sepuluh, Pak," jawab Nara dan melirik suaminya sepintas."Kamu nggak ingin menjabat tangan saya? Seorang istri yang mau melepas keberangkatan suaminya biasanya menjabat tangan, mencium kalau perlu, lalu diantar ke depan."Nara ter
Dua hari kemudian...Azan Subuh berkumandang, memecah kesunyian pagi. Argan yang sudah berpakaian rapi membangunkan Nara dengan mengusap selimut yang menutup tubuhnya."Na, bangun udah Subuh."Nara terlihat ogah-ogahan untuk bangun. Tampangnya tampak cemberut dengan mata yang masih terpejam."Na, bangun Subuhan. Nanti kesiangan." Argan mengeraskan suaranya.Nara mengerjap. Bayangan wajah tampan Argan mendominasi penglihatannya."Iya, Pak saya akan sholat," jawab Nara malas-malasan."Kok masih meringkuk dalam selimut? Ayo bangun!" Argan menarik selimut yang menutup tubuh istrinya. Seketika matanya terbelalak melihat Nara hanya mengenakan celana dalam. Nara malu bukan main dan terperanjat dengan gerak tangkas Argan yang tak mampu ia cegah.Nara segera merebut kembali selimutnya dan menutupkan kembali ke tubuhnya."Bapak apaan sih? Nggak sopan banget main tarik selimut saya."Argan melongo dan berdebar menatap pemandangan indah barusan."Saya pikir kamu pakai baju lengkap," sahut Argan sa
Atmosfer terasa canggung, terutama jika keduanya teringat akan ciuman singkat mereka di kamar siang tadi. Bagi Nara, berciuman dengan laki-laki adalah momen krusial yang tak akan terlupakan untuknya. Sembilan belas tahun selama bernapas, dia menjaga diri untuk tak pacaran dan bersentuhan fisik yang mengarah ke hal intim, entah ciuman atau pelukan.Hal itu tidak mudah. Tentu saja, mengingat hampir semua temannya sudah pernah berpacaran atau sedang berpacaran dan banyak diantaranya yang berpengalaman pernah berciuman, bahkan beberapa sudah melakukan lebih dari itu. Terlebih dia sering clubbing, bergaul dengan teman-temannya yang berprinsip, tak apa ciuman sebelum nikah bahkan tak mengapa seks sebelum nikah atau boleh grepe sana sini, cium sana sini, oral sex untuk saling memuaskan asal yang bawah nggak sampai jebol. Dan prinsip yang ia jaga berbeda dengan teman-temannya. Dalam beberapa hal ia tak sejalan dengan teman-temannya. Namun mereka menghargai satu sama lain."Nara...." ucap Arg
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen