LOGINSuara gemericik air keran di dapur terdengar syahdu dari kamar. Rumah Argan mungkin tidak seluas rumah orang tua Nara, tapi gadis itu cukup nyaman tinggal di rumah yang berdesain minimalis tapi terlihat cukup luas dan tidak sesak.
Nara akui, penataan ruang rumah ini cukup bagus dan tepat meletakkan segala sesuatu. Tak banyak barang dan hanya memprioritaskan membeli peralatan rumah tangga yang memang benar-benar penting dan dibutuhkan. Nara mematut diri di cermin. Ia sudah mengikat rambutnya dan terlihat rapi. Ia memilih kemeja warna biru muda dengan celana jeans dan satu tas ransel diselempangkan di bahunya. Gaya berpakaiannya memang tomboy dan kasual, tapi dia nyaman tampil apa adanya tanpa make up berlebih. Cukup sun screen dan bedak tabur tipis jadi pilihan sehari-hari. Wajahnya memang sudah cantik, halus, cerah, dan bersih. Ia tak perlu banyak polesan untuk membuatnya menarik. Nara keluar kamar. Ia melirik Argan tengah mencuci piring, sedang Sakha duduk melahap menu sarapan. Selesai mencuci piring, Argan yang sudah rapi dengan kemejanya melirik Nara yang mematung. "Duduklah, sarapan dulu," ucap laki-laki itu datar. Nara yang memang merasa lapar menuruti permintaan sang suami. Sebenarnya ia tak biasa sarapan, tapi kali ini perutnya keroncongan. Nara duduk di sebelah Sakha. Ia menatap hidangan yang tersaji. Nasi, ayam goreng, dan capcay. "Hai, Sakha." Nara mencoba menetralkan kecanggungan yang ia rasakan dengan menyapa anak tirinya. Sakha terdiam dan melirik ibu tiri mudanya sekilas. Ia hanya tersenyum sedikit, senyum yang dipaksakan. Argan meletakkan piring di hadapan Nara. Bahkan ia juga mengambilkan segelas air. Setelah itu, ia duduk di depan Sakha dan Nara dengan satu bentang meja yang menjadi jarak. "Bapak yang masak semua ini?" tanya Nara yang mengambil nasi setelah Argan selesai mengambil nasi untuk dirinya sendiri. "Iya saya yang masak. Kalau bukan saya siapa lagi. Sudah tiga tahun sejak kepergian ibunya Sakha, saya selalu menyiapkan segalanya sendiri." Nara tahu seorang istri biasanya mengerjakan pekerjaan dapur seperti ini, tapi dia belum berminat untuk belajar memasak. Toh, Argan setuju-setuju saja ketika dia mengajukan persyaratan untuk tak mengerjakan pekerjaan rumah tangga. "Bapak nggak mempekerjakan asisten rumah tangga?" tanya Nara dengan polosnya. Argan tersenyum tipis. Rasa-rasanya baru kali ini Nara melihat Argan tersenyum. "Ada seorang asisten yang datang setiap tiga kali seminggu. Pekerjaannya menyetrika, bersih-bersih rumah, mencuci baju, menyapu ruang dalam rumah dan halaman. Dia mengerjakan apa yang tidak sempat saya kerjakan. Tapi tanpa dia sekalipun, saya bisa mengerjakan apa saja asal sedang ada cukup free time." "Baguslah. Saya belum berminat mengerjakan pekerjaan rumah tangga," balas Nara lalu menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. "Saya masih ingat poin ketiga yang kamu ajukan. Saya simpan kertas bertuliskan poin-poin itu di laci nakas biar saya nggak lupa. Saya nggak akan meminta kamu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kamu istri saya, bukan asisten rumah tangga," sahut Pak Dosen tanpa menatap Nara yang tergugu mendengar penuturan Argan. Jleb ... kamu istri saya, bukan asisten rumah tangga. Dan sesuai kesepakatan, Nara meminta Argan untuk tidak menganggapnya istri. Sakha menyudahi makanannya. Ia tak menghabiskan menu sarapannya. "Kok, sudah selesai? Dihabiskan Sakha, jangan terbiasa menyisakan makanan!" Tatapan Argan menyasar pada piring di depan Sakha. "Sakha udah kenyang Ayah," bibir anak kelas tiga SD itu mengerucut. "Apa Sakha diantar Bapak ke sekolahnya?" Nara melirik suaminya. Argan menggeleng. "Ada mobil jemputan dari sekolah yang akan menjemput dan mengantarnya pulang. Oya kamu pulang dari kampus jam berapa?" "Saya selesai kuliah jam satu siang. Tapi setelah itu, saya mau jalan-jalan ke mall sama teman," jawab Nara tanpa sungkan. "Ya, sudah kalau gitu. Saya akan meminta supir mobil jemputan untuk mengantar Sakha ke rumah neneknya saat pulang nanti. Sepulang dari kampus saya akan menjemputnya di rumah neneknya." Argan beranjak, lalu mengambil satu kotak bekal dan botol minum. Ia masukkan ke dalam tas jinjing kecil dan meletakkannya di atas meja. "Bekalnya nanti dihabiskan, ya." Argan melirik putranya. Sakha mengangguk. Nara terkesima melihat betapa cekatannya Argan mengurus segala sesuatu. Ia bahkan menyiapkan bekal untuk anaknya juga. "Sakha nggak bilang terima kasih sama Ayah karena sudah disiapkan bekal?" Nara mencoba mengakrabkan diri. Sakha tak menjawab. Ia melempar tatapan tajam pada ayahnya. "I don't like her," celetuknya lirih. Nara terperanjat, begitu juga dengan Argan. "Yang sopan Sakha. Don't say those words anymore." Argan menatapnya tegas dengan kilatan tajam dari bola matanya. "It's okay. If you thought I didn't understand what you said, you were wrong, little boy." Nara menajamkan matanya membuat anak itu beringsut. "Saya mohon maafkan dia. Dia masih terlalu polos." Argan merasa tak enak hati pada Nara. "Nggak apa-apa," ujar Nara singkat. Tak lama kemudian suara deru mobil terdengar dari dalam. "Mobilnya sudah datang." Argan membawa satu tas kecil berisi kotak bekal dan botol minum. "Ayo pamitan sama Mama, Sakha." Argan menepuk bahu anaknya. Sakha melirik Nara dengan tatapan tak suka. "Nara sanes ibu Sakha, Yah." (Nara bukan ibu Sakha, Yah). Kali ini Sakha menggunakan bahasa Krama inggil atau bahasa Jawa halus. Iya yakin Nara tak akan mengerti apa yang diucapkannya. "Mboten pareng matur kados punika Sakha." Argan menegaskan kata-katanya. (Tidak boleh bicara seperti itu Sakha, punika dibaca meniko). Sakha terdiam. Nara tak mengerti apa yang tengah mereka bicarakan. Dia hanya memahami bahasa Jawa Ngoko (sehari-hari, bukan bahasa Jawa halus). Sakha menjulurkan tangan pada Nara dengan terpaksa. Nara menyambutnya. "Saya akan mengantar Sakha dulu ke depan." Argan menggandeng Sakha menuju pintu luar. Argan menyerahkan satu buah tas bekal pada putranya sebelum masuk ke dalam mobil. "Pak, nanti anak saya diantar pulang ke rumah neneknya, ya." Argan tersenyum menoleh pada Pak supir. "Nggih, Pak," jawab sang supir dengan senyum ramahnya. Argan mematung hingga mobil itu berlalu dari pandangan. Selanjutnya ia masuk lagi ke dalam. Nara masih melahap menu sarapannya. Argan berjalan ke arahnya. "Nanti saya antar atau kamu berangkat sendiri?" pertanyaan Argan membuat Nara terkesiap. "Saya naik motor sendiri saja." "Kamu mau jalan-jalan ke mall mau beli apa?" tanya Argan kembali. Nara terhenyak. Ia tak tahu kenapa Argan ingin tahu apa saja yang hendak ia beli. "Nggak tahu sih. Paling nanti lihat-lihat novel." Argan mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan dua lembar seratus ribuan. Ia menyodorkan dua lembar uang merah itu pada Nara. Nara terbelalak. Uang saku? Pikirnya. Saat dia masih menjadi anak kost, berapapun lembar uang yang ada di dompet selalu menjadi harta karun yang menjadi penyemangat tersendiri. Namun kali ini, ia sungkan menerimanya. "Apa ini cukup? Saya minta maaf kalau apa yang saya berikan tidak sebanyak apa yang orang tuamu berikan." Argan mengamati raut wajah istrinya yang terlihat datar. "Saya masih punya uang," balas Nara. Argan tersenyum tipis. "Saya tahu kamu menginginkannya, ambil saja." Dengan ragu, Nara menerimanya. "Terima kasih," ucap Nara pelan. Argan beranjak dan mengambil satu tas kecil, sama persis dengan tas bekal milik Sakha. Tas kecil bergambar Mickey Mouse itu membuat Nara memicingkan matanya. "Ini saya siapkan kotak bekal dan botol minum. Kamu kuliah sampai siang, 'kan? Daripada beli makanan di luar, belum tentu sehat, lebih baik bawa bekal sendiri." Argan meletakkan tas bekal itu di atas meja. Argan merasa seperti memiliki dua anak saja. Setidaknya ia biarkan saja interaksinya dan Nara berjalan alami. Dia tak mau memaksakan Nara untuk mengikuti ritme sebagai seorang istri. Ia tahu, Nara belum siap. "Bapak menyiapkan bekal ini untuk saya?" Nara menyipitkan matanya. Argan mengangguk. "Kayak anak kecil, Pak. Bawa bekal segala. Saya malu sama teman-teman." Nara tak enak hati menolak, tapi dia juga malu membawa bekal itu ke kampus, seakan dia seperti murid TK atau SD saja. "Ya, nggak apa-apa. Kadang saya juga bawa bekal ke kampus. Kalau kamu nggak mau, ya sudah, saya nggak akan memaksa." Argan bicara setenang mungkin. "Baiklah saya akan membawanya." Tukas Nara akhirnya. Ia tak tega juga jika tak menghargai apa yang sudah Argan lakukan untuknya. "Pak, bolehkah saya tahu, apa yang menyebabkan ibu Sakha meninggal?" Argan terhenyak. Selalu ada luka menyayat yang seolah melumpuhkan pertahanannya setiap kali ada pertanyaan yang menanyakan seputar kematian almarhumah istrinya. Sesuatu yang tak ingin ia korek dan bagi pada semua orang. Begitu juga orang tua dari almarhumah Mareta yang hingga detik ini masih shock, bersedih, dan berusaha mengubur dalam-dalam rasa sakit karena kehilangan. Sebuah peristiwa yang mengukir trauma mendalam di hati sang anak. Ia yang melihat pertama kali sang ibu meregang nyawa di bathub. Tubuhnya terbenam air merah bersimbah darah yang bersumber dari pergelangan tangannya. Bau anyir darah menyeruak dan ditemukan sebilah cutter dengan sidik jari Mareta tertinggal di sana. Mareta bunuh diri dengan meninggalkan sejuta misteri bagi orang-orang terdekat yang hancur kehilangannya. Sesuatu yang menorehkan bongkahan luka bernanah yang masih terasa perih di hati Argan, hingga detik ini. Ia merasa gagal menjadi seorang suami dan ia tak tahu pasti motif apa yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri sang istri. Tak ada satupun catatan, diary atau jejak apapun yang ditinggalkan istri. Semalam sebelum peristiwa naas itu terjadi, ia dan Mareta sempat memadu kasih dan ia bisa melihat Mareta tersenyum bahagia. Lagi-lagi Argan tercekat. Kredibilitasnya sebagai suami seolah tiada arti. Ia meminta maaf pada orang tua Mareta berkali-kali dengan air mata menganaksungai. Ia meminta maaf atas kelalaiannya menjaga sang istri hingga ia tak tahu selama ini Mareta mengidap depresi berat. Semua orang bertanya-tanya, apa yang menyebabkan Mareta begitu tertekan, sedang ia memiliki suami super baik dan penyabar beserta satu anak laki-laki yang sehat, sholeh, dan cerdas. Ketika waktu membunuh pelan-pelan segala tanya yang pernah berkecamuk, hati pria itu belumlah lepas dari rasa ingin tahunya. Ia masih mencari jawaban. Jawaban atas alasan Mareta melakukan bunuh diri. Dia tak akan menyerah untuk mendapatkan jawaban itu. Setidaknya ia mencoba mencari tahu pada sahabat-sahabat terdekat almarhumah barangkali Mareta sempat berkeluh kesah tentang kehidupannya. Hanya ada satu keterangan dari Lusi, sahabat dekat Mareta sejak SMA. Terakhir, Mareta mengeluhkan kepalanya yang sering pusing dan selera makannya yang menurun drastis. Tak ada informasi lain. Rekam jejak dramatis dan tragis itu menjadi faktor terbesar yang mengubah drastis karakter Sakha yang sebelumnya periang, terbuka menjadi sedemikian tertutup, terlebih pada orang asing, pemurung, dan sering menarik diri dari sosial. Konsultasi pada psikolog tak banyak membantunya. Kadang guru Sakha memanggil Argan ke sekolah untuk membicarakan kondisi psikis Sakha yang bermasalah. Anak sekecil itu harus menanggung traumatis masa lalu yang begitu menyakitkan. Kini ia terpaku di depan seorang gadis yang telah menggantikan peran Mareta sebagai istri. Setidaknya itu yang tersurat di buku nikah. Karena realita yang ada, dua orang itu tetaplah asing satu sama lain. Melihat Argan yang hanya membisu tanpa sepatah kata terlontar dari bibirnya, Nara cukup tahu diri untuk tidak menanyakannya lagi. Ada luka dan kesedihan yang menyesakkan yang tergambar jelas dari wajah dan kedua matanya. Sorot mata laki-laki itu berkaca. "Saya berangkat dulu," ucap Nara seraya beranjak dan mengambil tas bekal di hadapannya. "Ya, saya juga mau berangkat." Argan beranjak. Mereka melangkah keluar beriringan. Argan mengunci pintu dan memberikan satu kunci duplikat pada Nara. "Yakin ingin berangkat sendiri? Tidak ingin saya antar?" tanya Argan memastikan. Nara mengangguk. "Yakin, Pak." "Baiklah, silakan kamu berangkat dulu." Argan menunggu sampai Nara mengendarai motornya. Nara mendekat ke arah motor yang terparkir di halaman. "Saya berangkat dulu, Pak. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Motor itu melaju meninggalkan Argan yang masih termenung. Waktu seakan begitu cepat berjalan. Masih jelas dalam bayangannya, senyum Mareta yang selalu merekah kala mengantarnya berangkat ke kampus. Kini ia beristrikan seseorang yang tak ubahnya seperti seorang anak baginya. Dia yang harus menyiapkan segala sesuatu untuk Nara. Betapa pun bengalnya sang gadis, di depannya gadis itu tetaplah polos dan kadang kekanakan. Ia sudah berjanji pada ayah dan ibu mertuanya untuk menjaga dan membimbing gadis itu dengan baik. ****** Nara membuka catatan-catatan Ekonomi Makro yang belum selesai ia tulis. Ia melirik Tasya, teman dekatnya. "Tas, ntar aku pinjem catatanmu ya, aku fotokopi aja deh. Males nyatet." Tasya mengangguk. "Beres Na." Tasya melirik tas bekal Nara yang ia letakkan di meja gazebo. "Tumben kamu bawa bekal, Na? Unyu-unyu pula gambar Mickey Mouse." Tasya menyeringai dan tertawa lepas. "Si Bapak yang nyiapin. Udah persis kayak anaknya aku Tas." Tasya tertawa sekali lagi. "Perhatian banget ya si Bapak. Dia ngajar di fakultas mana ya?" "Fakultas pertanian, Tas." "Aku perhatiin si Bapak mukanya masih terlihat muda. Badannya juga tegap, tinggi, masih oke banget lah. Nggak tua-tua amat. Tiga dua masih terhitung muda untuk ukuran dosen." Tasya mengelus dagunya dan membayangkan sosok Argan yang ia lihat dari fotonya. "Ya dia memang masih oke fisiknya. Tapi aku nggak cinta. Seleraku bukan seseorang yang lebih tua. Selisih kami tiga belas tahun." Nara menerawang pada sesuatu di depannya, tapi entah bermuara kemana. "Umur nggak jadi soal. Yang penting di ranjang, dia hebat." Tasya mengedipkan matanya dan memelankan suaranya. "Ih, kamu mah pikirannya ke sana mulu." Nara menggeleng. "Gimana malam pertamanya Na? Eh, kamu kok nggak honeymoon? Biasanya pengantin baru pergi bulan madu. Ini kalian lempeng aja." "Emang sengaja nggak bulan madu. Kami udah sepakat, aku minta si Bapak jangan dulu nyentuh aku sebelum aku wisuda." Tasya menganga sekian detik. "Sumpah lo? Ya ampun kasihan banget Pak Argan. Tega bener kamu, Na." "Biarin aja. Aku juga masih sembilan belas. Aku nggak mau hamil dulu sebelum lulus." "Kan bisa pakai pengaman, Na. Sayang banget orang seganteng dan segagah Pak Argan dianggurin." Nara tak ambil pusing perkataan sahabatnya. Baginya pernikahannya dan Argan hanya sebatas pada apa yang tertulis di atas kertas. Toh, dia sudah sepakat dengan Argan untuk tak menganggap pernikahan ini seperti sungguhan.Waktu berlalu begitu cepat. Cherry bersyukur antar dua keluarga sudah sepakat menentukan tanggal pernikahan. Awalnya Cherry hampir putus asa karena ibu dari Guntur belum sepenuhnya setuju. Beliau lebih menyukai Layla. Namun karena usaha pantang menyerah dari Guntur untuk meyakinkan sang ibu, juga usaha Cherry untuk mendekati calon ibu mertuanya, perlahan Bu Sekdes mau memberikan restu. Hubungan Cherry dan Layla juga semakin baik. Layla ikhlas melihat laki-laki yang disukainya menikah dengan temannya sendiri. Ia yakin akan ada jodoh terbaik yang sudah dipersiapkan Allah untuknya.Pernikahan Cherry dan Guntur diadakan di Cilacap, di kediaman Pak Sekdes dan Bu Sekdes. Hal ini sudah menjadi kesepakatan dua keluarga. Teman-teman KKN Cherry semuanya diundang. Suasana bahagia terasa mengharu biru kala Guntur menjabat tangan ayah Cherry dan mengucap akad."Saya terima nikah dan kawinnya Cherry Liana Arin binti Nugraha Wildan dengan mas kawin tersebut tunai.""Sah saudara-saudara?""Sah.""A
Cherry mengembuskan napas berkali-kali, menetralkan deru napas yang seolah berkejaran. Irama jantungnya terdengar tak beraturan tapi pacuannya lebih cepat dari biasanya. Ia sedikit nervous, gugup, berdebar, dan deg-degan. Bukan perasaan jatuh cinta seperti pertama kali jatuh cinta pada Guntur, tapi lebih kepada perasaan takut mengecewakan teman. Ia takut Layla marah dan tak mau lagi bertemu dengannya setelah membicarakan soal ini.Cherry mengirim pesan whatsapp untuk Layla.La, aku ada di teras kost. Aku pingin ketemu.Tak lama kemudian, suara pintu bergeser. Cherry menatap Layla keluar dari balik pintu. Cherry melengkungkan segaris senyum di bibirnya. Layla membalas senyumnya dengan senyum yang sangat tipis."Masuk Cher..." Cherry mengikuti langkah Layla ke kamarnya. Sejak terlibat cinta segitiga, interaksi dua sahabat itu tak lagi lepas dan selalu ada atmosfer canggung di antara keduanya."Ada apa, Cher?" Layla duduk di karpet sembari memeluk boneka panda kesayangannya.Cherry yang
Nara berdzikir dan memusatkan fokus pada proses persalinan bayinya yang insya Allah akan lahir sebentar lagi. Segala rekam jejak moment berharga dalam perjalanannya seolah berseliweran di kepala. Ia teringat saat bersanding di pelaminan bersama Argan. Awal menikah, ia belum bisa menerima status pernikahannya. Dengan kesabaran dan ketulusan, Argan berhasil membimbingnya, memberikan cinta yang luar biasa indah. Sebulan yang lalu ia wisuda. Dengan perut yang sudah besar, ia menjadi satu-satunya mahasiswi yang wisuda dalam keadaan hamil. Kebahagian membuncah. Perjuangannya selama skripsi yang ia lalui tidak mudah dengan kondisi berbadan dua telah berbuah manis. Kini ia dihadapkan pada perjuangan yang lebih mendebarkan. Ia terbaring, setelah sebelumnya mondar-mandir karena merasa tak nyaman dengan posisi berbaring. Kontraksi masih setia menerjang. Yang awalnya frekuensinya tidak begitu sering, kini terasa semakin sering dan teratur. Nara berkali-kali mengusap perutnya. Bibirnya meringis
“Kalau Nara mau main sama teman, Mas ngizinin asal tahu waktu. Kalau Nara mau bebas tugas dari kerjaan rumah tangga, silakan. Mas nggak pernah nuntut Nara untuk ngerjain pekerjaan rumah tangga. Mas nggak ingin Nara merasa terbebani. Tapi coba pikirkan, setelah menikah, kehidupan Nara jauh lebih baik atau malah semakin buruk?” Nara mencerna dalam-dalam pertanyaan Argan.“Jauh lebih baik, Mas. Dulu hidup Nara kacau, berantakan. Nara nggak bisa masak dan sepertinya potensi Nara banyak yang masih terpendam. Setelah menikah, potensi itu tergali setelah Nara belajar banyak hal. Nara belajar masak, membuat mainan untuk Sakha. Nara belajar menjadi istri dan ibu yang baik meski masih jauh dari sempurna. Hidup Nara terasa jauh lebih berarti.”“Meski Nara nggak seenergik dulu karena sekarang sedang hamil, nggak bisa bebas naik turun tangga, nggak bisa main sampai malam, apa Nara ikhlas? Apa semua yang didapat Nara sekarang tidak ada manfaatnya untuk Nara dan orang-orang di sekitar Nara? Bayangk
Nara berjalan memasuki perpustakaan bersama Tasya. Sesekali ia berhenti dan memegang pinggangnya. Rasanya sedikit pegal. Usia kandungannya sudah 21 minggu. Perkembangan skripsinya sudah hampir tiba di seminar hasil. Ia tengah rajin-rajinnya belajar dari banyak referensi. Ia berniat meminjam buku ke perpustakaan untuk tambahan referensi.Tasya mengamati wajah Nara yang terlihat pias.“Na, kamu capek ya? Istirahat aja. Biar aku yang nyari bukunya,” ucap Tasya.“Nggak, kok, Tas. Aku masih kuat.” Nara mengulas senyum. Nara berjalan menaiki tangga dengan dituntun Tasya. Ia melangkah hati-hati. Setiba di lantai kedua perpustakaan, Nara mencari buku di salah satu lorong. Ia mengambil dua buku lalu duduk lesehan, membaca buku-buku sambil selonjoran untuk meluruskan kaki dan mengurangi rasa pegal yang mendera. Punggungnya bersandar di dinding ujung lorong.Tasya masih sibuk memilih buku. Nara melihat tiga orang mahasisiwi melangkah memasuki lorong yang terbentuk antara dua rak buku yang cuku
Setelah Ranti dan Yeti pamit, Nara melangkah ke dapur untuk memasak menu makan malam. Sakha belum pulang dari TPQ. "Na, kamu duduk saja, biar Mas yang masak." Argan memeluk Nara dari belakang dan mengusap perut istrinya. Ia mendaratkan kecupan di pipi Nara. "Emang Mas Argan nggak capek?" Argan menggeleng. Ia mengganti posisinya menghadap Nara. Argan menundukkan badan dan mengecup perut sang istri. "Dede lagi ngapain di dalam? Baik-baik selalu ya, De. Ayah kangen banget sama Dede. Kalau lagi kerja di luar, rasanya pingin cepet-cepet pulang biar bisa cepet ngobrol sama Dede dan Mama." Nara tersenyum setiap kali mendengar Argan menyapa Dede bayi di dalam perut. Suara lembutnya seolah menjadi caranya bercerita bahwa ia begitu menyayangi bayi mereka. Usapan jari-jari Argan yang lembut di perut membuat Nara merasa tenang dan nyaman. Jari-jari ini yang selalu menggenggamnya erat seolah dengan sekali genggaman ia meyakinkan bahwa dirinya akan selalu mendampingi dan menguatkan.Argan kemb







