Minggu yang cerah semakin merekah kala mentari tersenyum hangat menyambut. Argan mengerjakan rutinitasnya memasak di dapur. Uwa Parti datang ke rumah untuk mengerjakan tugas rutinnya yang ia lakukan setiap tiga kali seminggu, beberes di rumah Pak Dosen.
Uwa Parti tengah sibuk menjemur baju dan bersiap menyetrika pakaian yang sebelumnya sudah dicuci dan kering. Argan sengaja memilih asisten yang umurnya jauh lebih tua, 50an tahun tapi masih sehat dan energik. Ia tak ingin ada fitnah jika menggunakan jasa asisten perempuan muda. Sakha terlihat asyik menggambar di ruang tengah. Nara menghampiri Argan dan merasa tak enak hati karena setiap hari Argan memasak untuknya. "Pak, maaf sebelumnya. Bapak nggak perlu repot-repot memasak untuk saya. Saya akan mencari masakan sendiri. Dari awal kita sepakat, kalau Bapak nggak akan menganggap saya istri dan saya nggak akan menganggap Bapak sebagai suami. Jadi kita tak perlu terpaku pada tugas sebagai istri dan suami." Argan terdiam sejenak. Ia mematikan kompor lalu menatap Nara yang menatapnya datar. "Masakan di luar nggak selalu sehat. Saya sudah berjanji pada orang tuamu untuk jagain kamu. Kalau kamu sakit gara-gara keseringan makan masakan luar yang nggak selalu sehat, mereka akan kecewa sama saya karena saya dinilai gagal jagain kamu." Argan bersedekap. Nara tak bereaksi. "Lagipula saya sudah bilang ke papa kamu, yang sekarang jadi papa saya juga untuk nggak transfer uang lagi ke rekeningmu. Sejak kita menikah, tanggung jawab papa kamu beralih ke saya. Saya yang akan menafkahi kamu. Saya nggak akan membuat anggaran untuk kamu membeli masakan di luar." Arga berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. "Kalau kamu masih ngotot membeli masakan di luar, saya nggak akan memberi kamu jatah uang saku lagi. Silakan isi bensin sendiri, isi kuota sendiri. Tapi kalau kamu mau nurut sama saya, saya nggak akan memotong uang saku kamu." Nara mendelik. Ia tak menyangka sosok Argan yang ia pikir akan bersikap lunak padanya kali ini begitu tegas mengaturnya. "Pak, kenapa menyuruh Papa untuk berhenti transfer uang ke rekening saya? Bapak tega. Bukankah jika Papa masih rutin transfer, Bapak tak perlu menafkahi saya? Bapak lupa sama poin yang pernah saya ajukan? Jangan pernah menganggap pernikahan ini nyata, Pak." Nara menegaskan kata-katanya. Argan masih bersedekap. Badannya sedikit bertumpu pada meja dapur. "Ya, tapi tak ada poin yang mengatur tentang nafkah dan membeli masakan di luar." Argan bicara setenang mungkin. "Pak, saya tuh cuma nggak ingin Bapak repot-repot masak buat saya. Simpel lho sebenarnya. Saya nggak enak hati memakan masakan Bapak." Nara sedikit menaikkan volume suaranya dan ia masih menjaga suaranya agar tak meninggi lagi. Ia tak ingin Uwa Parti mendengar perdebatan mereka. "Kalau gitu dibikin enak saja," balas Argan santai. Nara melongo. Ia kesal dengan ulah Argan yang meminta ayahnya berhenti transfer uang saku padanya. "Ada kok cara yang bisa bikin kamu enak saat makan masakan saya. Kita gantian masak. Selang-seling. Hari ini saya masak, besok kamu yang masak. Lusa saya lagi yang masak. Begitu seterusnya." Argan mengerlingkan senyum tipis. Senyum yang dirasakan Nara seperti senyum kemenangan dan menertawakan kekalahannya. "Saya nggak bisa memasak," ketus Nara. "Kalau nggak bisa ya belajar. Saya yakin semua orang bisa memasak asal ada kemauan dan usaha nyata. Nggak susah kok dipelajari." Argan menatap Nara begitu menelisik seolah tengah menelusuri setiap jengkalnya. Sebagai laki-laki dewasa yang normal, bohong rasanya jika tak ada ketertarikan pada sosok gadis tomboy nan cantik itu, meski hanya sedikit. Akan tetapi, di matanya Nara masihlah gadis kecil yang labil dan polos dan ia menahan diri untuk tak menyentuhnya, sesuai kesepakatan. Melihat Nara yang terlihat ragu dan seperti sedang memikirkan sesuatu, Argan melanjutkan kata-katanya. "Semua terserah kamu. Makan di luar dan uang saku kamu saya potong. Atau gantian masak dengan saya, makan di rumah, dan uang saku kamu tetap utuh." Nara tak punya pilihan lagi. Ia tak mau kehilangan uang sakunya. "Baiklah, saya kalah. Saya turuti kemauan Bapak." Nara mengerucutkan bibirnya. Ia memasang tampang cemberut. Argan menuang sop ke dalam mangkok besar dan meletakkannya di meja. Ia kembali melirik Nara. "Silakan duduk dulu, Na. Masih ada yang ingin saya bicarakan." Argan menarik mundur kursi lalu duduk. Dengan ogah-ogahan, Nara duduk di hadapan Argan. "Na, uang nafkah itu ada uang untuk keperluan rumah tangga dan kebutuhan kamu pribadi. Biaya kamu kuliah dan biaya Sakha sekolah, saya yang pegang. Karena keperluan rumah tangga bukan kamu yang mengurus, jadi uang itu tidak akan saya berikan pada kamu." Tatapan Argan masih tajam menyasar ke wajah Nara. "Saya yang akan membayar biaya listrik, air, upah asisten rumah tangga, kebutuhan dapur, dan lain-lain. Untuk keperluan pribadi kamu, mungkin saya nggak bisa memberi sebanyak yang papa kamu kasih. Saya pernah iseng bertanya pada papa berapa uang saku kamu sebulan saat dulu kamu kost, jumlahnya bikin saya tercengang." Argan menatap Nara begitu menghunjam. Nara masih terdiam. "Belajar dari pengalaman papa, maka saya nggak akan ngasih uang sebanyak yang papa kamu kasih. Karena dengan uang sebanyak itu, kamu menghamburkannya dengan berhura-hura di night club, makan-makan sama teman-teman kamu di resto mewah, beli barang-barang branded yang sebenarnya nggak begitu penting. Saya nggak mau kamu kembali digiring ke kantor polisi gara-gara terciduk di pesta narkoba." Nara tercengang mendengar kata-kata tajam Argan. "Bapak jangan menuduh saya seenaknya menghamburkan uang dari papa." Nara menatap Argan dengan tampang judesnya. "Postingan kamu di I*******m menceritakan segalanya, Na," ucap Argan segera. Nara menelan ludah. Dia tak pernah menyangka Argan diam-diam stalking akun instagramnya. Rasanya sudah lemas duluan membayangkan uang sakunya hanya akan diberi sedikit oleh Argan. "Saya hanya akan memberi uang untuk kebutuhan yang penting. Uang bensin, kuota, jajan kamu, dan kalau kamu ingin beli baju, buku, novel, atau keperluan, kamu tinggal bilang sama saya. Saya nggak keberatan nemeni kamu belanja." Nara menghentakkan tangannya mengenai meja dan mengeluarkan bunyi yang cukup keras hingga Argan terhenyak. "Kamu nggak suka?" Argan menyipitkan matanya. "Dengar, Na! Saya tidak sekaya papa kamu yang seorang konglomerat. Memang selain mengajar, saya punya rumah kost di daerah sekitar kampus. Tapi dibanding papa, penghasilan saya masih jauh. Karena itu saya ingin kamu menyesuaikan diri dengan kondisi finansial saya. Tapi saya jamin, kamu nggak akan kelaparan dan saya akan berusaha memenuhi semua kebutuhan kamu. Kebutuhan penting, bukan kebutuhan untuk hura-hura." "Bapak udah mulai mengatur saya. Padahal bagi saya pernikahan ini bukan sungguhan." Nara begitu kecewa dan kesal dengan sikap Argan yang menurutnya semena-mena. "Tidak ada poin tentang nafkah, ingat itu. Jadi kamu harus ikuti kesepakatan saya. Ada satu lagi yang ingin saya sampaikan." Nara menerka-nerka apa lagi yang akan disampaikan suaminya ini. Dia sudah tak mood duluan. "Hari ini wali kelas Sakha akan home visit sekitar jam sepuluh pagi. Saya ingin kamu bersikap sewajarnya seorang istri. Saya ingin kita bersikap normal seperti pasangan suami istri pada umumnya di depan orang lain atau di depan keluarga dan di depan umum." Kata-kata yang meluncur dari bibir Argan terdengar penuh wibawa. Auranya sebagai dosen yang dikenal disiplin dan tegas seketika keluar. Nara menyeringai. "Tidak ada yang gratis, Pak. Tadi saya sudah cukup banyak mengalah. Sekarang saya minta Bapak menuruti permintaan saya." Argan mengernyitkan dahi. "Apa itu?" "Saya ingin Bapak menyenangkan saya." Nara menatap lekat Argan yang terpaku di hadapannya. Baru kali ini Nara berani menatap tajam suaminya. Argan beranjak dan mendekat pada Nara. Ia sedikit menundukkan badannya dan memperpendek jaraknya dengan gadis tomboy itu. Satu tangannya bertumpu pada meja, satu tangan yang lain bersandar di atas punggung kursi yang diduduki Nara. "Bagaimana caranya untuk menyenangkan kamu?" Sorot mata Arga menancap tepat di kedua mata Nara. Ditatap sedemikian lekat oleh Argan, membuat Nara salah tingkah. Dadanya berdebar. Ia belum pernah merasakan bagaimana menjalin kedekatan spesial dengan laki-laki. Ada desiran di hatinya, tapi ia tak mau mengartikan lebih. "Saya ingin diajak keliling Purwokerto malam-malam." Nara yakin, Argan bukan tipikal orang yang senang berkeliling kota, apalagi malam ditambah sedang musim hujan. Argan terkekeh. "Cuma itu? Okay, kita keliling kota nanti malam." Argan tersenyum penuh arti. Dia berjalan menjauh, mendekati putranya yang masih aktif menggambar. Nara meraba dadanya. Ia bisa merasakan debaran itu masih menguasai . Ia merutuki kebodohannya, bagaimana mungkin dengan hanya ditatap sedemikian intens dari jarak yang begitu dekat oleh Argan bisa membuatnya deg-degan. Namun, dia tak menyukai laki-laki itu karena sudah berani mengatur hidupnya.Sakha melahap makanannya lebih lahap dari biasanya. Argan dan Nara saling berpandangan dan tersenyum."Dia suka masakanmu." Argan melirik Nara."Selama memasak, kayaknya baru kali ini aku masak enak, Mas." Nara melirik Sakha yang tengah meneguk segelas air."Sakha suka sarapannya? Hebat anak ayah, makanannya habis." Segaris senyum melengkung di bibir Argan."Iya, lelenya enak," jawab Sakha."Bilang makasih dong sama Mama," ucap Argan lagi."Ayah kan yang menggoreng? Bukan Nara." Sakha melirik Nara datar."Panggil 'Mama' sayang, bukan menyebut namanya, itu nggak sopan." Argan menekankan kata 'mama'.Nara mengelus lengan suaminya."Nggak apa-apa, Mas. Jangan paksa dia. Aku yakin suatu saat dia akan memanggilku 'Mama'. Saat ini dia belum siap."Sakha masih belum rela memanggil Nara dengan sebutan 'Mama'. Ia mengamati Nara yang menyila rambutnya ke belakang."Kenapa kamu nggak pakai jilbab? Semua guru Sakha yang perempuan pasti pakai jilbab. Mama juga dulu pakai jilbab. Nenek juga pakai ji
Argan mencium bibir Nara tanpa Nara siap menerimanya. Entah suasana yang mendukung atau memang karena ia menginginkannya, Nara mampu mengimbangi serangan panas Argan yang membuat Nara tak kuasa untuk menolak. Matanya terpejam dan ia kalungkan tangannya pada leher Argan. Suara decapan menggema di segala sudut mengalahkan gemericik air yang sudah cukup berisik.Keduanya melepas ciuman panas itu dengan napas yang memburu."Mas, Nara belum siap. Kalau Nara hamil gimana? Nara belum siap hamil," tanya polos Nara dengan debaran yang bertalu begitu kuat, tak menentu.Argan tertawa kecil. "Ciuman nggak akan bikin hamil.""Maksudnya, kalau ciuman kita berujung ke hal lain. Sepertinya Mas menginginkannya... Nara... Nara belum pernah pacaran, dan Mas adalah laki-laki yang pertama kali mencium Nara. Tapi Nara juga nggak polos-polos banget. Nara tahu gimana ekspresi laki-laki saat menginginkan lebih. Nara sering melihatnya di club, saat cowok-cowok itu menginginkan sesuatu dari pacar atau kenalan m
Argan mengerjap. Ia membuka mata perlahan. Diliriknya jam dinding yang tergantung. Pukul setengah empat pagi. Azan belum berkumandang. Ia punya cukup waktu untuk mandi dan bersiap ke Masjid. Diliriknya Nara yang masih tertidur lelap dengan selimut menutup hingga ke dada. Argan menelisik siluet tubuh istrinya yang tercetak di balik selimut. Argan teringat ucapan Nara yang mengatakan bahwa ia terbiasa tidur hanya mengenakan baju atasan dan celana dalam. Terbersit ide nakal di kepalanya. Secara perlahan ia turunkan selimut itu untuk tahu apakah Nara hanya mengenakan celana dalam atau tidak. Matanya terbelalak kala selimut itu tersingkap hingga ke lutut. Paha mulus Nara membuat Argan menelan ludah. Benar dugaannya, Sang Istri hanya mengenakan celana dalam. Merasa ada angin membelai paha dan lengannya, Nara pun mengerjap. Ia mengucek matanya. Mata indahnya perlahan terbuka. Nara yang awalnya tidur dengan posisi miring, beralih terlentang. Ia menoleh pada Argan yang sudah duduk di sebel
Sakha memutar matanya. "Zat besi untuk membentuk sel darah merah, 'kan? Sakha pernah membaca di buku ensiklopedia."Nara tersenyum sekali lagi. "Betul. Selain itu zat besi juga membentuk hemoglobin. Hemoglobin ini yang ngasih warna merah pada sel darah merah dan membawa oksigen ke seluruh tubuh. Sakha tahu nggak kalau otak itu juga perlu oksigen?"Sakha menatap Nara serius dan menggeleng."Otak itu bisa mikir karena menggunakan oksigen darah sebanyak 20 persen, ini dari yang Mama baca. Jadi udah paham 'kan pentingnya zat besi? Kalau kebutuhan zat besi tercukupi, otak bisa lebih berkonsentrasi."Sakha mengangguk. Ia tak menyangka ibu tirinya ini tahu banyak hal."Kalau protein manfaatnya apa?" tanya Sakha.Nara tersenyum melihat Sakha inisiatif bertanya padanya."Protein itu untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan menggantinya dengan sel yang baru, untuk pertumbuhan, otot, metabolisme, juga untuk kekebalan tubuh. Banyak banget 'kan manfaatnya? Rugi kalau Sakha nggak mau makan tempe da
Entah angin apa yang berbisik mesra di telinga Nara, setelah Subuh ia berinisiatif mencuci piring. Semalam ia tak bisa tidur. Gelisah tak tentu arah dan berkali-kali melirik Argan yang terlelap di sebelahnya. Ia tersenyum mengejek dirinya sendiri. Si Bapak mana tahu perasaannya. Nara bahkan berpikir, barang kali amarhumah istrinya bunuh diri juga karena sikapnya yang telah menyakiti perasaan sang istri, sama seperti yang Argan lakukan semalam.Argan dan Sakha mengucap salam dari ruang depan. Mereka baru saja kembali dari Masjid. Nara menjawab tanpa menoleh ke arah sumber suara.Sakha bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Ia belum mandi sebelum Subuhan karena dingin, tak seperti ayahnya yang selalu membiasakan mandi pagi sebelum sholat Subuh. Argan memakluminya. Baginya yang terpenting anak itu semangat diajak ke Masjid.Argan duduk di ruang makan yang menjadi satu ruang dengan dapur, tanpa sekat. Ia cukup terkejut melihat istrinya mencuci piring meski hari ini bukan jadwalnya memasak.
Nara melangkah menuju kamar. Ia melirik Argan yang sudah terbaring dengan baju piyamanya. Nara membuka lemari, mencari gaun tidur, lalu masuk kamar mandi untuk berganti pakaian. Ia masih sungkan berganti baju saat ada Argan bersamanya. Di dalam kamar mandi, ia tak hanya berganti baju, tapi juga mencuci muka dan menggosok gigi.Nara keluar dari kamar mandi. Ia ragu untuk merebahkan badan di ranjang. Namun akan sangat tidak etis jika dia memilih tidur di luar kamar.Nara merangkak naik ke ranjang dan duduk sebentar. Ia mengamati punggung suaminya yang begitu tegap. Kedua kaki Argan sedikit meringkuk. Udara malam ini terasa lebih dingin daripada malam-malam sebelumnya.Nara tahu, Argan belum terpejam. Ia tahu, laki-laki itu sengaja mendiamkannya untuk memberinya pelajaran."Pak... maksudku, Mas, Aku minta maaf karena sudah berbohong."Argan mendengarnya. Dia memutuskan untuk tetap bertahan dengan posisinya dan melihat reaksi Nara selanjutnya. Gadis itu masih labil, keras kepala, ngeyel,