LOGINSuara bel terdengar nyaring. Uwa Parti yang sedang menyapu ruangan bergegas menuju pintu. Argan menduga guru Sakha yang datang karena jarum jam menunjuk pukul sepuluh lebih lima menit. Guru Sakha sudah memberi tahu sebelumnya bahwa ia akan datang ke rumah sekitar jam sepuluh pagi.
"Pak, gurunipun Sakha rawuh." Uwa Parti menganggukan kepala. (Pak, gurunya Sakha datang). "Oh nggih, maturnuwun," balas Argan. (Oh, iya terima kasih). Argan melirik Nara yang tengah membaca novel. Sakha tengah membaca buku cerita bergambar di ruang yang sama. "Na, kita temui gurunya Sakha ya." Argan menatap Nara yang masih asik membaca. Nara menolehnya. "Iya, Pak." Argan meminta Sakha untuk menghentikan aktivitasnya dan menemui gurunya. Mereka bertiga melangkah menuju ruang depan untuk menemui wali kelas Sakha. Argan menyambut ramah kedatangan sang guru. Ia menangkupkan kedua tangan di depan dada dan mengulas senyum. Nara menjabat guru berjilbab itu. Begitu juga Sakha. Ia menjabat tangan gurunya dan menciumnya. Sakha kembali ke dalam untuk meneruskan aktivitas membacanya. Argan mempersilakan guru itu untuk duduk. Ini pertama kali bagi Riana, gadis berusia 24 tahun itu mengunjungi rumah murid terpintarnya. Sebenarnya sudah sejak lama, gadis yang sudah mengajar sejak empat tahun yang lalu itu ingin home visit ke rumah Sakha, hanya saja status duda Argan menjadi penghalang. Riana tak enak hati berkunjung ke rumah seorang duda. Ia menghindari omongan negatif yang mungkin datang. Setelah Argan menikah, barulah ia berani untuk datang karena sudah ada istri Argan yang akan turut menemuinya. Ia cukup tersentak mengetahui istri dari Argan tenyata masih sangat muda dengan gaya kasualnya. Nara mengenakan kaos oblong dan celana jeans. Ia bersikap sesantai mungkin. "Maaf sebelumnya Pak, Bu, kalau kedatangan saya mengganggu waktu Bapak dan Ibu. Kedatangan saya ke sini ingin sharing seputar perkembangan Sakha di sekolah." Riana mengulas senyum ramah. "Sama sekali tidak mengganggu, Bu. Kami malah berterima kasih atas waktu yang Ibu sempatkan untuk datang ke tempat kami," balas Argan dengan segaris senyum. Perbincangan mereka terjeda sesaat ketika Uwa Parti keluar membawa sebuah nampan. Ia menyajikan teh hangat dan sejumlah cemilan di meja. "Silakan dimakan dan diminum, Bu." "Terima kasih, Pak. Saya jadi merepotkan. Begini Pak, saya ingin tahu lebih banyak tentang latar belakang Sakha. Sakha ini istimewa, Pak. Dia murid terpintar di kelas, bahkan secara paralel dia juga yang paling unggul. Dia bisa mengikuti pelajaran dengan sangat baik, fokusnya bagus, dan anaknya kritis." Riana melanjutkan kata-katanya, "Jadi dia suka bertanya dan menjawab paling cepat setiap kali saya mengajukan pertanyaan. Kemampuan berbahasa dia sangat mengagumkan. Dia bisa berbahasa Krama Inggil dengan baik. Selain itu, bahasa Inggrisnya juga sangat bagus. Bahasa Arabnya juga bagus. Dia lancar berkomunikasi dengan bahasa Krama Inggil dan Inggris, di mana rata-rata anak kelas tiga belum banyak yang menguasainya, terutama bahasa Krama Inggil." Argan dan Nara mendengar penuturan guru lajang itu dengan seksama. "Hanya satu yang rasanya sangat disayangkan. Dia tak mau bermain dengan teman-temannya. Jadi di luar kegiatan belajar-mengajar, dia begitu pendiam, menarik diri dari pergaulan. Bahkan kalau ada teman yang mengusiknya, dia begitu temperamen. Dia bisa meledak sewaktu-waktu, pernah dia berteriak tanpa tahu penyebabnya, di sisi lain bisa begitu rapuh, kadang menangis sesenggukan. Di jam istirahat, dia lebih sering sendiri dan murung di kelas. Jadi, saya ingin tahu latar belakang apa yang menyebabkan dia bersikap seperti itu." Argan menghela napas. Dia sudah menduga, gurunya pasti akan membicarakan kepribadian Sakha yang bermasalah. "Dulu saya pernah mengatakan bahwa ibunya meninggal saat dia berumur lima tahun. Meninggalnya ibunya ini membuat dia trauma. Saya pernah beberapa kali membawanya ke psikolog untuk berkonsultasi, tapi sikapnya tidak juga berubah." Argan menghela napas, napas yang berat. "Setelah pulang kerja, saya pasti meluangkan lebih banyak waktu bersamanya. Dan saya selalu berusaha untuk bicara dengannya dari hati ke hati. Saya melakukan serangkaian pendekatan yang disarankan psikolog. Namun, sampai sekarang usaha saya belum berhasil," lanjut Argan. Riana trenyuh mendengarnya. Ia tahu tak mudah menghadapi anak dengan kondisi psikis yang bermasalah. Kerena ia pun kesulitan untuk mengubah pembawaan Sakha yang selalu murung menjadi anak yang periang seperti anak-anak pada umumnya. "Saya yakin Bapak pasti sudah berusaha yang terbaik. Sebagai gurunya, saya juga akan mencoba untuk terus memberi dia semangat. Guru dan orang tua bersama-sama berusaha melakukan yang terbaik. Dan sebenarnya di sekolah, bukan hanya Sakha yang mengalami gangguan psikologis. Ada beberapa anak yang juga bermasalah. Karena sekolah kami sekolah inklusi, kami bekerja sama dengan psikolog untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus." Riana berhenti sejenak. "Kemarin para guru mengusulkan untuk mendatangkan psikolog bukan hanya untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus saja tapi juga anak-anak yang mengalami gangguan psikis, seperti Sakha, misal temperamen, pemurung, antisosial. Alhamdulillah Kepala Sekolah menyambut baik usulan kami." Segaris senyum melengkung di kedua sudut bibir guru muda itu. "Dua hari yang lalu kami mengundang psikolog untuk berbicara dan mengamati perilaku anak-anak yang menurut kami perlu pendampingan khusus. Karena itu, kedatangan saya ke sini juga ingin menyampaikan surat undangan dari sekolah untuk Bapak dan Ibu, untuk berdiskusi dan sharing dengan Kepala Sekolah dan psikolog." Riana meneruskan kata-katanya, "Agendanya itu meminta persetujuan orang tua murid untuk mengizinkan anaknya didampingi psikolog dan juga akan ada tambahan biaya untuk jasa psikolog ini. Karena itu harus dibicarakan langsung dengan Kepala Sekolah." Argan mengangguk. "Itu program yang sangat bagus, Bu. Saya setuju sekali. Berapa pun tambahan biayanya, bukan masalah besar, yang terpenting anak mendapat perhatian lebih. Dan saya sangat mendukung kebijakan dari sekolah. Karena untuk membujuk dia diajak ke psikolog juga tak selalu lancar. Kadang dia menolak." Riana tersenyum. "Alhamdulillah kalau Bapak setuju. Nggak semua orang tua itu mau terbuka, Pak. Kadang mereka beranggapan anak mereka baik-baik saja. Mereka tersinggung jika anaknya dikatakan bermasalah secara psikis." "Kondisi psikis Sakha memang sudah bermasalah sejak ibunya meninggal. Saya sadari benar ada banyak perubahan dari karakternya. Sebelumnya Sakha ini periang, supel, dan senang bercerita. Setelah ibunya meninggal, karakternya berubah drastis menjadi suka menyendiri, antisosial. Apalagi jika bertemu orang asing, dia sering kali tak nyaman." Argan mencoba menjelaskan kondisi Sakha. Hanya satu yang ia sembunyikan, penyebab kematian Mareta. "Kehilangan orang tua memang bisa menjadi trauma yang berat bagi anak. Setiap kali saya melihat Sakha, saya seperti melihat diri sendiri di masa kecil. Dulu saya pernah trauma karena kehilangan kakek. Saya dekat sekali dengan kakek. Dia seolah menjadi pengganti ayah saya ketika ayah sibuk bekerja." Sorot mata Riana tampak berkaca-kaca. "Kakek saya meninggal kecelakaan. Waktu itu saya seumuran Sakha. Meninggalnya kakek saya membuat saya bersedih berlarut-larut, menyendiri, hingga akhirnya ada seorang guru pindahan dari Surabaya. Dialah yang tak kenal lelah memotivasi saya dan menyadarkan saya bahwa saya punya potensi yang harus saya gali. Akhirnya saya bisa meminimalisir rasa trauma karena guru tersebut aktif memberi saya semangat dan melibatkan saya ke berbagai kegiatan positif." Riana tersenyum tipis mengingat kebaikan gurunya. "Hal itulah yang ingin saya contoh dari guru saya. Namun, semua tak semudah Membalikkan telapak tangan. Seperti yang Bapak bilang, Sakha merasa tak nyaman dengan orang asing, mungkin itu jadi penyebab dia belum merasa nyaman dengan saya karena saya juga belum lama mengajar dia." Nada bicara Riana terdengar begitu tenang. "Insya Allah, saya akan terus berusaha mengembalikan sifat periangnya. Dalam hal ini tentunya saya dan Bapak-Ibu harus bekerja sama." Riana menatap Argan dan Nara bergantian. Nara lebih banyak mendengar karena ia tak mengerti harus bagaimana menanggapi perbincangan mereka. Ia sendiri merasa asing dengan anak tirinya. "Sekali lagi terima kasih banyak. Ibu sudah membimbing dan berusaha mengembalikan keceriaan anak saya. Saya hanya bisa berterima kasih dan semoga Allah membalas dengan kebaikan yang lebih banyak." "Aamiin. Sudah menjadi tugas seorang guru, Pak." Argan kembali mempersilakan Riana untuk mencicipi hidangan yang disajikan. Nara mengamati wali kelas Sakha tersebut. Masih terlihat muda, cantik, dan berjilbab. Ia melirik Argan dan Riana terlihat akrab dan serasi. Ia pikir, Riana lebih memahami Sakha dibanding dirinya. Terlihat benar bahwa Sang Guru begitu peduli dan menyayangi Sakha. Ada sebuah rasa yang tak mampu ia jabarkan kala melihat keduanya berbincang dan sesekali tertawa. Semacam perasaan tersisih? Cemburu? Nara terkekeh dalam hati, mengejek dirinya sendiri. Ia yakin dirinya tak cemburu, hanya rasa heran saja melihat kekraban seorang suami dan guru anaknya sedang sang istri ada di sana. Nara kembali merutuki dirinya, istrinya? Ah, bukankah ia meminta Argan untuk tidak menganggapnya istri. Jadi jika saat ini Argan terlihat akrab dengan Riana, itu bukan kesalahannya. Riana tak hanya bercerita tentang perkembangan Sakha di sekolah, ia juga mengamati aktivitas Sakha yang tengah membaca. Riana menyempatkan diri berbincang dengan Sakha. Surprise untuknya maupun Argan, Sakha mau bercerita tentang buku-buku koleksinya yang ada di perpustakaan rumah, satu ruang yang khusus diisi rak-rak untuk menyimpan buku. Dengan antusias, Sakha menggandeng tangan gurunya untuk melihat perpustakaan mini di rumah. Argan bersyukur dengan perkembangan yang ditunjukkan anaknya. Setelah Riana merasa cukup dengan kunjungannya, ia pamit undur diri. Argan melirik sang istri yang duduk di ruang tengah dan tak ikut mengantar Riana sampai ke teras.Waktu berlalu begitu cepat. Cherry bersyukur antar dua keluarga sudah sepakat menentukan tanggal pernikahan. Awalnya Cherry hampir putus asa karena ibu dari Guntur belum sepenuhnya setuju. Beliau lebih menyukai Layla. Namun karena usaha pantang menyerah dari Guntur untuk meyakinkan sang ibu, juga usaha Cherry untuk mendekati calon ibu mertuanya, perlahan Bu Sekdes mau memberikan restu. Hubungan Cherry dan Layla juga semakin baik. Layla ikhlas melihat laki-laki yang disukainya menikah dengan temannya sendiri. Ia yakin akan ada jodoh terbaik yang sudah dipersiapkan Allah untuknya.Pernikahan Cherry dan Guntur diadakan di Cilacap, di kediaman Pak Sekdes dan Bu Sekdes. Hal ini sudah menjadi kesepakatan dua keluarga. Teman-teman KKN Cherry semuanya diundang. Suasana bahagia terasa mengharu biru kala Guntur menjabat tangan ayah Cherry dan mengucap akad."Saya terima nikah dan kawinnya Cherry Liana Arin binti Nugraha Wildan dengan mas kawin tersebut tunai.""Sah saudara-saudara?""Sah.""A
Cherry mengembuskan napas berkali-kali, menetralkan deru napas yang seolah berkejaran. Irama jantungnya terdengar tak beraturan tapi pacuannya lebih cepat dari biasanya. Ia sedikit nervous, gugup, berdebar, dan deg-degan. Bukan perasaan jatuh cinta seperti pertama kali jatuh cinta pada Guntur, tapi lebih kepada perasaan takut mengecewakan teman. Ia takut Layla marah dan tak mau lagi bertemu dengannya setelah membicarakan soal ini.Cherry mengirim pesan whatsapp untuk Layla.La, aku ada di teras kost. Aku pingin ketemu.Tak lama kemudian, suara pintu bergeser. Cherry menatap Layla keluar dari balik pintu. Cherry melengkungkan segaris senyum di bibirnya. Layla membalas senyumnya dengan senyum yang sangat tipis."Masuk Cher..." Cherry mengikuti langkah Layla ke kamarnya. Sejak terlibat cinta segitiga, interaksi dua sahabat itu tak lagi lepas dan selalu ada atmosfer canggung di antara keduanya."Ada apa, Cher?" Layla duduk di karpet sembari memeluk boneka panda kesayangannya.Cherry yang
Nara berdzikir dan memusatkan fokus pada proses persalinan bayinya yang insya Allah akan lahir sebentar lagi. Segala rekam jejak moment berharga dalam perjalanannya seolah berseliweran di kepala. Ia teringat saat bersanding di pelaminan bersama Argan. Awal menikah, ia belum bisa menerima status pernikahannya. Dengan kesabaran dan ketulusan, Argan berhasil membimbingnya, memberikan cinta yang luar biasa indah. Sebulan yang lalu ia wisuda. Dengan perut yang sudah besar, ia menjadi satu-satunya mahasiswi yang wisuda dalam keadaan hamil. Kebahagian membuncah. Perjuangannya selama skripsi yang ia lalui tidak mudah dengan kondisi berbadan dua telah berbuah manis. Kini ia dihadapkan pada perjuangan yang lebih mendebarkan. Ia terbaring, setelah sebelumnya mondar-mandir karena merasa tak nyaman dengan posisi berbaring. Kontraksi masih setia menerjang. Yang awalnya frekuensinya tidak begitu sering, kini terasa semakin sering dan teratur. Nara berkali-kali mengusap perutnya. Bibirnya meringis
“Kalau Nara mau main sama teman, Mas ngizinin asal tahu waktu. Kalau Nara mau bebas tugas dari kerjaan rumah tangga, silakan. Mas nggak pernah nuntut Nara untuk ngerjain pekerjaan rumah tangga. Mas nggak ingin Nara merasa terbebani. Tapi coba pikirkan, setelah menikah, kehidupan Nara jauh lebih baik atau malah semakin buruk?” Nara mencerna dalam-dalam pertanyaan Argan.“Jauh lebih baik, Mas. Dulu hidup Nara kacau, berantakan. Nara nggak bisa masak dan sepertinya potensi Nara banyak yang masih terpendam. Setelah menikah, potensi itu tergali setelah Nara belajar banyak hal. Nara belajar masak, membuat mainan untuk Sakha. Nara belajar menjadi istri dan ibu yang baik meski masih jauh dari sempurna. Hidup Nara terasa jauh lebih berarti.”“Meski Nara nggak seenergik dulu karena sekarang sedang hamil, nggak bisa bebas naik turun tangga, nggak bisa main sampai malam, apa Nara ikhlas? Apa semua yang didapat Nara sekarang tidak ada manfaatnya untuk Nara dan orang-orang di sekitar Nara? Bayangk
Nara berjalan memasuki perpustakaan bersama Tasya. Sesekali ia berhenti dan memegang pinggangnya. Rasanya sedikit pegal. Usia kandungannya sudah 21 minggu. Perkembangan skripsinya sudah hampir tiba di seminar hasil. Ia tengah rajin-rajinnya belajar dari banyak referensi. Ia berniat meminjam buku ke perpustakaan untuk tambahan referensi.Tasya mengamati wajah Nara yang terlihat pias.“Na, kamu capek ya? Istirahat aja. Biar aku yang nyari bukunya,” ucap Tasya.“Nggak, kok, Tas. Aku masih kuat.” Nara mengulas senyum. Nara berjalan menaiki tangga dengan dituntun Tasya. Ia melangkah hati-hati. Setiba di lantai kedua perpustakaan, Nara mencari buku di salah satu lorong. Ia mengambil dua buku lalu duduk lesehan, membaca buku-buku sambil selonjoran untuk meluruskan kaki dan mengurangi rasa pegal yang mendera. Punggungnya bersandar di dinding ujung lorong.Tasya masih sibuk memilih buku. Nara melihat tiga orang mahasisiwi melangkah memasuki lorong yang terbentuk antara dua rak buku yang cuku
Setelah Ranti dan Yeti pamit, Nara melangkah ke dapur untuk memasak menu makan malam. Sakha belum pulang dari TPQ. "Na, kamu duduk saja, biar Mas yang masak." Argan memeluk Nara dari belakang dan mengusap perut istrinya. Ia mendaratkan kecupan di pipi Nara. "Emang Mas Argan nggak capek?" Argan menggeleng. Ia mengganti posisinya menghadap Nara. Argan menundukkan badan dan mengecup perut sang istri. "Dede lagi ngapain di dalam? Baik-baik selalu ya, De. Ayah kangen banget sama Dede. Kalau lagi kerja di luar, rasanya pingin cepet-cepet pulang biar bisa cepet ngobrol sama Dede dan Mama." Nara tersenyum setiap kali mendengar Argan menyapa Dede bayi di dalam perut. Suara lembutnya seolah menjadi caranya bercerita bahwa ia begitu menyayangi bayi mereka. Usapan jari-jari Argan yang lembut di perut membuat Nara merasa tenang dan nyaman. Jari-jari ini yang selalu menggenggamnya erat seolah dengan sekali genggaman ia meyakinkan bahwa dirinya akan selalu mendampingi dan menguatkan.Argan kemb







