Share

Chapter 4

Author: Archaeopteryx
last update Last Updated: 2025-08-20 21:57:52

Suara bel terdengar nyaring. Uwa Parti yang sedang menyapu ruangan bergegas menuju pintu. Argan menduga guru Sakha yang datang karena jarum jam menunjuk pukul sepuluh lebih lima menit. Guru Sakha sudah memberi tahu sebelumnya bahwa ia akan datang ke rumah sekitar jam sepuluh pagi.

"Pak, gurunipun Sakha rawuh." Uwa Parti menganggukan kepala. (Pak, gurunya Sakha datang).

"Oh nggih, maturnuwun," balas Argan. (Oh, iya terima kasih).

Argan melirik Nara yang tengah membaca novel. Sakha tengah membaca buku cerita bergambar di ruang yang sama.

"Na, kita temui gurunya Sakha ya." Argan menatap Nara yang masih asik membaca.

Nara menolehnya. "Iya, Pak."

Argan meminta Sakha untuk menghentikan aktivitasnya dan menemui gurunya. Mereka bertiga melangkah menuju ruang depan untuk menemui wali kelas Sakha.

Argan menyambut ramah kedatangan sang guru. Ia menangkupkan kedua tangan di depan dada dan mengulas senyum. Nara menjabat guru berjilbab itu. Begitu juga Sakha. Ia menjabat tangan gurunya dan menciumnya.

Sakha kembali ke dalam untuk meneruskan aktivitas membacanya. Argan mempersilakan guru itu untuk duduk.

Ini pertama kali bagi Riana, gadis berusia 24 tahun itu mengunjungi rumah murid terpintarnya. Sebenarnya sudah sejak lama, gadis yang sudah mengajar sejak empat tahun yang lalu itu ingin home visit ke rumah Sakha, hanya saja status duda Argan menjadi penghalang.

Riana tak enak hati berkunjung ke rumah seorang duda. Ia menghindari omongan negatif yang mungkin datang. Setelah Argan menikah, barulah ia berani untuk datang karena sudah ada istri Argan yang akan turut menemuinya.

Ia cukup tersentak mengetahui istri dari Argan tenyata masih sangat muda dengan gaya kasualnya. Nara mengenakan kaos oblong dan celana jeans. Ia bersikap sesantai mungkin.

"Maaf sebelumnya Pak, Bu, kalau kedatangan saya mengganggu waktu Bapak dan Ibu. Kedatangan saya ke sini ingin sharing seputar perkembangan Sakha di sekolah." Riana mengulas senyum ramah.

"Sama sekali tidak mengganggu, Bu. Kami malah berterima kasih atas waktu yang Ibu sempatkan untuk datang ke tempat kami," balas Argan dengan segaris senyum.

Perbincangan mereka terjeda sesaat ketika Uwa Parti keluar membawa sebuah nampan. Ia menyajikan teh hangat dan sejumlah cemilan di meja.

"Silakan dimakan dan diminum, Bu."

"Terima kasih, Pak. Saya jadi merepotkan. Begini Pak, saya ingin tahu lebih banyak tentang latar belakang Sakha. Sakha ini istimewa, Pak. Dia murid terpintar di kelas, bahkan secara paralel dia juga yang paling unggul. Dia bisa mengikuti pelajaran dengan sangat baik, fokusnya bagus, dan anaknya kritis."

Riana melanjutkan kata-katanya, "Jadi dia suka bertanya dan menjawab paling cepat setiap kali saya mengajukan pertanyaan. Kemampuan berbahasa dia sangat mengagumkan. Dia bisa berbahasa Krama Inggil dengan baik. Selain itu, bahasa Inggrisnya juga sangat bagus. Bahasa Arabnya juga bagus. Dia lancar berkomunikasi dengan bahasa Krama Inggil dan Inggris, di mana rata-rata anak kelas tiga belum banyak yang menguasainya, terutama bahasa Krama Inggil."

Argan dan Nara mendengar penuturan guru lajang itu dengan seksama.

"Hanya satu yang rasanya sangat disayangkan. Dia tak mau bermain dengan teman-temannya. Jadi di luar kegiatan belajar-mengajar, dia begitu pendiam, menarik diri dari pergaulan. Bahkan kalau ada teman yang mengusiknya, dia begitu temperamen. Dia bisa meledak sewaktu-waktu, pernah dia berteriak tanpa tahu penyebabnya, di sisi lain bisa begitu rapuh, kadang menangis sesenggukan. Di jam istirahat, dia lebih sering sendiri dan murung di kelas. Jadi, saya ingin tahu latar belakang apa yang menyebabkan dia bersikap seperti itu."

Argan menghela napas. Dia sudah menduga, gurunya pasti akan membicarakan kepribadian Sakha yang bermasalah.

"Dulu saya pernah mengatakan bahwa ibunya meninggal saat dia berumur lima tahun. Meninggalnya ibunya ini membuat dia trauma. Saya pernah beberapa kali membawanya ke psikolog untuk berkonsultasi, tapi sikapnya tidak juga berubah." Argan menghela napas, napas yang berat.

"Setelah pulang kerja, saya pasti meluangkan lebih banyak waktu bersamanya. Dan saya selalu berusaha untuk bicara dengannya dari hati ke hati. Saya melakukan serangkaian pendekatan yang disarankan psikolog. Namun, sampai sekarang usaha saya belum berhasil," lanjut Argan.

Riana trenyuh mendengarnya. Ia tahu tak mudah menghadapi anak dengan kondisi psikis yang bermasalah. Kerena ia pun kesulitan untuk mengubah pembawaan Sakha yang selalu murung menjadi anak yang periang seperti anak-anak pada umumnya.

"Saya yakin Bapak pasti sudah berusaha yang terbaik. Sebagai gurunya, saya juga akan mencoba untuk terus memberi dia semangat. Guru dan orang tua bersama-sama berusaha melakukan yang terbaik. Dan sebenarnya di sekolah, bukan hanya Sakha yang mengalami gangguan psikologis. Ada beberapa anak yang juga bermasalah. Karena sekolah kami sekolah inklusi, kami bekerja sama dengan psikolog untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus." Riana berhenti sejenak.

"Kemarin para guru mengusulkan untuk mendatangkan psikolog bukan hanya untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus saja tapi juga anak-anak yang mengalami gangguan psikis, seperti Sakha, misal temperamen, pemurung, antisosial. Alhamdulillah Kepala Sekolah menyambut baik usulan kami." Segaris senyum melengkung di kedua sudut bibir guru muda itu.

"Dua hari yang lalu kami mengundang psikolog untuk berbicara dan mengamati perilaku anak-anak yang menurut kami perlu pendampingan khusus. Karena itu, kedatangan saya ke sini juga ingin menyampaikan surat undangan dari sekolah untuk Bapak dan Ibu, untuk berdiskusi dan sharing dengan Kepala Sekolah dan psikolog."

Riana meneruskan kata-katanya, "Agendanya itu meminta persetujuan orang tua murid untuk mengizinkan anaknya didampingi psikolog dan juga akan ada tambahan biaya untuk jasa psikolog ini. Karena itu harus dibicarakan langsung dengan Kepala Sekolah."

Argan mengangguk. "Itu program yang sangat bagus, Bu. Saya setuju sekali. Berapa pun tambahan biayanya, bukan masalah besar, yang terpenting anak mendapat perhatian lebih. Dan saya sangat mendukung kebijakan dari sekolah. Karena untuk membujuk dia diajak ke psikolog juga tak selalu lancar. Kadang dia menolak."

Riana tersenyum. "Alhamdulillah kalau Bapak setuju. Nggak semua orang tua itu mau terbuka, Pak. Kadang mereka beranggapan anak mereka baik-baik saja. Mereka tersinggung jika anaknya dikatakan bermasalah secara psikis."

"Kondisi psikis Sakha memang sudah bermasalah sejak ibunya meninggal. Saya sadari benar ada banyak perubahan dari karakternya. Sebelumnya Sakha ini periang, supel, dan senang bercerita. Setelah ibunya meninggal, karakternya berubah drastis menjadi suka menyendiri, antisosial. Apalagi jika bertemu orang asing, dia sering kali tak nyaman." Argan mencoba menjelaskan kondisi Sakha. Hanya satu yang ia sembunyikan, penyebab kematian Mareta.

"Kehilangan orang tua memang bisa menjadi trauma yang berat bagi anak. Setiap kali saya melihat Sakha, saya seperti melihat diri sendiri di masa kecil. Dulu saya pernah trauma karena kehilangan kakek. Saya dekat sekali dengan kakek. Dia seolah menjadi pengganti ayah saya ketika ayah sibuk bekerja." Sorot mata Riana tampak berkaca-kaca.

"Kakek saya meninggal kecelakaan. Waktu itu saya seumuran Sakha. Meninggalnya kakek saya membuat saya bersedih berlarut-larut, menyendiri, hingga akhirnya ada seorang guru pindahan dari Surabaya. Dialah yang tak kenal lelah memotivasi saya dan menyadarkan saya bahwa saya punya potensi yang harus saya gali. Akhirnya saya bisa meminimalisir rasa trauma karena guru tersebut aktif memberi saya semangat dan melibatkan saya ke berbagai kegiatan positif." Riana tersenyum tipis mengingat kebaikan gurunya.

"Hal itulah yang ingin saya contoh dari guru saya. Namun, semua tak semudah Membalikkan telapak tangan. Seperti yang Bapak bilang, Sakha merasa tak nyaman dengan orang asing, mungkin itu jadi penyebab dia belum merasa nyaman dengan saya karena saya juga belum lama mengajar dia." Nada bicara Riana terdengar begitu tenang.

"Insya Allah, saya akan terus berusaha mengembalikan sifat periangnya. Dalam hal ini tentunya saya dan Bapak-Ibu harus bekerja sama." Riana menatap Argan dan Nara bergantian.

Nara lebih banyak mendengar karena ia tak mengerti harus bagaimana menanggapi perbincangan mereka. Ia sendiri merasa asing dengan anak tirinya.

"Sekali lagi terima kasih banyak. Ibu sudah membimbing dan berusaha mengembalikan keceriaan anak saya. Saya hanya bisa berterima kasih dan semoga Allah membalas dengan kebaikan yang lebih banyak."

"Aamiin. Sudah menjadi tugas seorang guru, Pak."

Argan kembali mempersilakan Riana untuk mencicipi hidangan yang disajikan. Nara mengamati wali kelas Sakha tersebut. Masih terlihat muda, cantik, dan berjilbab. Ia melirik Argan dan Riana terlihat akrab dan serasi. Ia pikir, Riana lebih memahami Sakha dibanding dirinya. Terlihat benar bahwa Sang Guru begitu peduli dan menyayangi Sakha.

Ada sebuah rasa yang tak mampu ia jabarkan kala melihat keduanya berbincang dan sesekali tertawa. Semacam perasaan tersisih? Cemburu? Nara terkekeh dalam hati, mengejek dirinya sendiri. Ia yakin dirinya tak cemburu, hanya rasa heran saja melihat kekraban seorang suami dan guru anaknya sedang sang istri ada di sana.

Nara kembali merutuki dirinya, istrinya? Ah, bukankah ia meminta Argan untuk tidak menganggapnya istri. Jadi jika saat ini Argan terlihat akrab dengan Riana, itu bukan kesalahannya.

Riana tak hanya bercerita tentang perkembangan Sakha di sekolah, ia juga mengamati aktivitas Sakha yang tengah membaca.

Riana menyempatkan diri berbincang dengan Sakha. Surprise untuknya maupun Argan, Sakha mau bercerita tentang buku-buku koleksinya yang ada di perpustakaan rumah, satu ruang yang khusus diisi rak-rak untuk menyimpan buku.

Dengan antusias, Sakha menggandeng tangan gurunya untuk melihat perpustakaan mini di rumah. Argan bersyukur dengan perkembangan yang ditunjukkan anaknya.

Setelah Riana merasa cukup dengan kunjungannya, ia pamit undur diri. Argan melirik sang istri yang duduk di ruang tengah dan tak ikut mengantar Riana sampai ke teras.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosen Duda Kesayanganku   Chapter 14

    Sakha melahap makanannya lebih lahap dari biasanya. Argan dan Nara saling berpandangan dan tersenyum."Dia suka masakanmu." Argan melirik Nara."Selama memasak, kayaknya baru kali ini aku masak enak, Mas." Nara melirik Sakha yang tengah meneguk segelas air."Sakha suka sarapannya? Hebat anak ayah, makanannya habis." Segaris senyum melengkung di bibir Argan."Iya, lelenya enak," jawab Sakha."Bilang makasih dong sama Mama," ucap Argan lagi."Ayah kan yang menggoreng? Bukan Nara." Sakha melirik Nara datar."Panggil 'Mama' sayang, bukan menyebut namanya, itu nggak sopan." Argan menekankan kata 'mama'.Nara mengelus lengan suaminya."Nggak apa-apa, Mas. Jangan paksa dia. Aku yakin suatu saat dia akan memanggilku 'Mama'. Saat ini dia belum siap."Sakha masih belum rela memanggil Nara dengan sebutan 'Mama'. Ia mengamati Nara yang menyila rambutnya ke belakang."Kenapa kamu nggak pakai jilbab? Semua guru Sakha yang perempuan pasti pakai jilbab. Mama juga dulu pakai jilbab. Nenek juga pakai ji

  • Dosen Duda Kesayanganku   Chapter 13

    Argan mencium bibir Nara tanpa Nara siap menerimanya. Entah suasana yang mendukung atau memang karena ia menginginkannya, Nara mampu mengimbangi serangan panas Argan yang membuat Nara tak kuasa untuk menolak. Matanya terpejam dan ia kalungkan tangannya pada leher Argan. Suara decapan menggema di segala sudut mengalahkan gemericik air yang sudah cukup berisik.Keduanya melepas ciuman panas itu dengan napas yang memburu."Mas, Nara belum siap. Kalau Nara hamil gimana? Nara belum siap hamil," tanya polos Nara dengan debaran yang bertalu begitu kuat, tak menentu.Argan tertawa kecil. "Ciuman nggak akan bikin hamil.""Maksudnya, kalau ciuman kita berujung ke hal lain. Sepertinya Mas menginginkannya... Nara... Nara belum pernah pacaran, dan Mas adalah laki-laki yang pertama kali mencium Nara. Tapi Nara juga nggak polos-polos banget. Nara tahu gimana ekspresi laki-laki saat menginginkan lebih. Nara sering melihatnya di club, saat cowok-cowok itu menginginkan sesuatu dari pacar atau kenalan m

  • Dosen Duda Kesayanganku   Chapter 12

    Argan mengerjap. Ia membuka mata perlahan. Diliriknya jam dinding yang tergantung. Pukul setengah empat pagi. Azan belum berkumandang. Ia punya cukup waktu untuk mandi dan bersiap ke Masjid. Diliriknya Nara yang masih tertidur lelap dengan selimut menutup hingga ke dada. Argan menelisik siluet tubuh istrinya yang tercetak di balik selimut. Argan teringat ucapan Nara yang mengatakan bahwa ia terbiasa tidur hanya mengenakan baju atasan dan celana dalam. Terbersit ide nakal di kepalanya. Secara perlahan ia turunkan selimut itu untuk tahu apakah Nara hanya mengenakan celana dalam atau tidak. Matanya terbelalak kala selimut itu tersingkap hingga ke lutut. Paha mulus Nara membuat Argan menelan ludah. Benar dugaannya, Sang Istri hanya mengenakan celana dalam. Merasa ada angin membelai paha dan lengannya, Nara pun mengerjap. Ia mengucek matanya. Mata indahnya perlahan terbuka. Nara yang awalnya tidur dengan posisi miring, beralih terlentang. Ia menoleh pada Argan yang sudah duduk di sebel

  • Dosen Duda Kesayanganku   Chapter 11

    Sakha memutar matanya. "Zat besi untuk membentuk sel darah merah, 'kan? Sakha pernah membaca di buku ensiklopedia."Nara tersenyum sekali lagi. "Betul. Selain itu zat besi juga membentuk hemoglobin. Hemoglobin ini yang ngasih warna merah pada sel darah merah dan membawa oksigen ke seluruh tubuh. Sakha tahu nggak kalau otak itu juga perlu oksigen?"Sakha menatap Nara serius dan menggeleng."Otak itu bisa mikir karena menggunakan oksigen darah sebanyak 20 persen, ini dari yang Mama baca. Jadi udah paham 'kan pentingnya zat besi? Kalau kebutuhan zat besi tercukupi, otak bisa lebih berkonsentrasi."Sakha mengangguk. Ia tak menyangka ibu tirinya ini tahu banyak hal."Kalau protein manfaatnya apa?" tanya Sakha.Nara tersenyum melihat Sakha inisiatif bertanya padanya."Protein itu untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan menggantinya dengan sel yang baru, untuk pertumbuhan, otot, metabolisme, juga untuk kekebalan tubuh. Banyak banget 'kan manfaatnya? Rugi kalau Sakha nggak mau makan tempe da

  • Dosen Duda Kesayanganku   Chapter 10

    Entah angin apa yang berbisik mesra di telinga Nara, setelah Subuh ia berinisiatif mencuci piring. Semalam ia tak bisa tidur. Gelisah tak tentu arah dan berkali-kali melirik Argan yang terlelap di sebelahnya. Ia tersenyum mengejek dirinya sendiri. Si Bapak mana tahu perasaannya. Nara bahkan berpikir, barang kali amarhumah istrinya bunuh diri juga karena sikapnya yang telah menyakiti perasaan sang istri, sama seperti yang Argan lakukan semalam.Argan dan Sakha mengucap salam dari ruang depan. Mereka baru saja kembali dari Masjid. Nara menjawab tanpa menoleh ke arah sumber suara.Sakha bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Ia belum mandi sebelum Subuhan karena dingin, tak seperti ayahnya yang selalu membiasakan mandi pagi sebelum sholat Subuh. Argan memakluminya. Baginya yang terpenting anak itu semangat diajak ke Masjid.Argan duduk di ruang makan yang menjadi satu ruang dengan dapur, tanpa sekat. Ia cukup terkejut melihat istrinya mencuci piring meski hari ini bukan jadwalnya memasak.

  • Dosen Duda Kesayanganku   Chapter 9

    Nara melangkah menuju kamar. Ia melirik Argan yang sudah terbaring dengan baju piyamanya. Nara membuka lemari, mencari gaun tidur, lalu masuk kamar mandi untuk berganti pakaian. Ia masih sungkan berganti baju saat ada Argan bersamanya. Di dalam kamar mandi, ia tak hanya berganti baju, tapi juga mencuci muka dan menggosok gigi.Nara keluar dari kamar mandi. Ia ragu untuk merebahkan badan di ranjang. Namun akan sangat tidak etis jika dia memilih tidur di luar kamar.Nara merangkak naik ke ranjang dan duduk sebentar. Ia mengamati punggung suaminya yang begitu tegap. Kedua kaki Argan sedikit meringkuk. Udara malam ini terasa lebih dingin daripada malam-malam sebelumnya.Nara tahu, Argan belum terpejam. Ia tahu, laki-laki itu sengaja mendiamkannya untuk memberinya pelajaran."Pak... maksudku, Mas, Aku minta maaf karena sudah berbohong."Argan mendengarnya. Dia memutuskan untuk tetap bertahan dengan posisinya dan melihat reaksi Nara selanjutnya. Gadis itu masih labil, keras kepala, ngeyel,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status