"Kenapa kamu nggak ikut nganter gurunya Sakha sampai ke teras?"
Nara melirik suaminya. "Kenapa saya harus mengantar? Toh Bu guru yang masih muda itu nggak nanya apa-apa ke saya. Saya berasa nggak dianggap aja. Tapi saya maklum. Dia pasti meragukan saya yang lebih muda." "Saya rasa dia nggak ragu sama kamu. Dari awal kedatangannya, dia selalu menyapa kita, bapak dan ibu katanya. Kamu denger sendiri saat dia bicara. Kamu yang terlalu pasif. Kamu diam saja selama kami berbincang." "Ya, gimana nggak diem, Pak. Kalian membicarakan sesuatu yang saya kurang paham. Saya bukan guru, bukan psikolog, dan tak tahu banyak akan perkembangan anak baik secara fisik maupun psikis." Nara bersedekap. Bibirnya mengerucut. Entah kenapa, Nara terlihat begitu menggemaskan di mata Argan. Meski ia tahu, Nara belum mencintainya, tapi dia sudah mulai merasa tersisih dan mengarah ke arah cemburu ketika ada orang lain yang ia rasa akrab dengannya dan Sakha. "Makanya belajar dong untuk lebih tahu perkembangan anak secara fisik dan psikis." Argan duduk di sebelah Nara di ujung sofa, dalam rentang jarak yang agak jauh. Nara tak membalas apa pun. Sebaliknya, ia menatap Argan dan mengernyit. "Caranya nggak susah, kok. Cukup temani Sakha bermain, luangkan lebih banyak waktu dengannya saat jadwal kamu agak longgar. Berusaha untuk menerima dan menyayangi dia," tegas Argan dalam balutan kata-kata yang terdengar lembut tapi menyiratkan ketegasan. Nara menoleh ke arah Sakha yang tengah bermain mobil-mobilan. Nara beranjak dan mendekat ke arah Sakha. "Hai, Sakha. Main bareng Mama, yuk." Sakha melirik Nara sekian detik lalu kembali fokus dengan mainannya. "Leave me alone, please. Sakha nggak mau main bareng kamu," celetuk Sakha. Nara melompong. Dia melirik Argan yang beranjak mendekat ke arah Sakha. "See, your son doesn't like me. Dia nggak tertarik main sama saya. Dia nggak menyukai orang lain di luar keluarganya," balas Nara sedikit ketus. Argan menggenggam tangan Nara, membuat gadis itu terhenyak. "Kita perlu bicara." Argan menuntun gadis itu untuk beranjak dan mengikuti langkahnya. Argan menggandeng tangan Nara dan melangkah menuju kamar. Setiba di kamar, Argan menutup pintu dan ia mendorong tubuh Nara pelan hingga menghimpit dinding. Argan mengurungnya dalam kedua tangan yang ia sandarkan di dinding, di sebelah kanan dan kiri kepala Nara. Nara berdebar tak karuan menatap wajah suaminya dari jarak yang begitu dekat. Mata tajam Argan seakan menghunjam sampai ujung retina. Gadis itu semakin gugup. Ditatap sedemikian lekat oleh Argan, membuatnya membeku seketika. "Tolong, jangan pernah lagi menyebutmu sebagai orang di luar keluarga. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini." Kata-kata meluncur dengan tegasnya dari bibir Argan. Ia melanjutkan perkataannya. "Kamu bilang, dia tak menyukai orang di luar keluarganya. Kamu lihat sendiri, 'kan? Dia sudah menyukai Bu Riana yang jelas-jelas bukan bagian dari keluarga ini. Apalagi kamu yang sudah menjadi bagian dari keluarga dan bahkan menjadi mamanya." Nara tersenyum sinis. "Jadi Bapak mau bandingin saya sama Bu Riana? Bapak ingin saya mencontoh apa yang dilakukan Bu Riana saat mendekati Sakha?" Argan memperpendek jarak wajahnya pada wajah Nara. Nara semakin berdebar. Hembusan napas Argan yang menyapu wajahnya, membuat gadis itu semakin deg-degan. "Kamu cemburu?" tanya Argan seraya memerhatikan wajah istrinya begitu menelisik. Nara mengerjap. Ia tersenyum miring dan menaikkan sebelah bibirnya. "Cemburu? Yang benar saja. Bapak nggak usah ke-GR-an deh. Ngapain saya cemburu? Masa cuma kayak gitu aja, saya cemburu." Nara tersenyum sinis. "Sepertinya kamu cemburu," balas Argan santai. "Saya hanya nggak suka dibandingin sama orang lain. Meski kenyataannya memang benar kalau Bu Riana sedikit-sedikit bisa mengambil hati Sakha. Dia lebih dulu mengenal Sakha. Kalau memang Bapak suka dengan cara Bu Riana mendekati Sakha, kenapa Bapak dulu nggak nikahi dia saja? Kenapa harus menerima perjodohan ini?" Nara terus saja nyerocos untuk menetralkan rasa gugupnya. Argan masih terdiam. Ia dengarkan semua celotehan Nara. Nara semakin bingung dibuatnya. "Bapak emang serasi sama dia. Kalian nyambung saat ngobrol. Bu Riana tahu banyak soal parenting dan memang dia punya kompetensi dalam mengajari anak. Wajar kalau Bapak menyukai dia dan sekarang menuntut saya untuk menjadi seperti dia. Kami ini beda karakter, latar belakang. Saya nggak suka dibandingin sama dia." Nara kembali mengeluarkan apa yang mengganjal di hatinya. Melihat Argan tak bereaksi apapun, Nara geram sendiri. "Pokoknya saya nggak suka sama dia. Saya keberatan kalau dia home visit lagi, karena Bapak jadi punya alasan untuk membandingkan saya...." Argan membisu dan masih menatapnya tajam. "Mungkin bukan cuma alasan untuk membandingkan, tapi juga alasan untuk Bapak bisa ketemu sama dia. Biar bisa lihatin wajah Bu Riana yang cantik, anggun, berjilbab. Dia hampir sempurna buat Bapak. Dia...." Cup.... Nara terbelalak saat tiba-tiba Argan mendaratkan kecupan di bibirnya untuk membungkamnya. Entah angin apa yang mendorong Argan untuk mengecup bibir istrinya. Argan menginginkan kecupan itu beralih menjadi sebuah ciuman. Ia membuka sedikit bibirnya, menyapu ujung bibir Nara dengan lidahnya. Melihat reaksi Nara yang terdiam, tak berkutik, dan tak membalas ciumannya, Argan menjauhkan kembali wajahnya. Dia menduga, Nara belum pernah berciuman sebelumnya, terlihat dari sikapnya yang kaku. Bahkan ia bisa merasakan irama degup jantung Nara yang seolah berpacu lebih cepat. Kedua mata itu beradu. Betapa deg-degan perasaan Nara. Ia berusaha menstabilkan deru napas yang berkejaran, entah karena shocked, kaget, atau dia baru menyadari bahwa Argan telah mencuri ciuman pertamanya. Ia kesal pada diri sendiri karena membiarkan Argan menciumnya. Namun, ia akui ciuman Argan telah menerbitkan sensasi yang begitu mendebarkan. Argan mengamati wajah Nara yang datar menatapnya. Ada sesuatu yang berdesir. Jika saja dia tak ingat akan kesepakatan untuk tak menyentuh Nara, ditambah usia Nara masih sembilan belas, tentu ia ingin meneruskan ciuman itu menjadi sesuatu yang lebih intim. "Kamu menggemaskan saat cemburu, Na." Argan bicara pelan. Dia berbalik, membuka pintu, lalu keluar. Nara mematung dengan debaran yang masih menyergap. Dia tak mengerti dengan deru perasaan yang berkecamuk saat ini. Kenapa rasanya seperti ini? Dia tak bisa mendeskripsikannya. ****** Malamnya, selepas salat Isya di Masjid, Argan memenuhi janjinya untuk mengajak Nara berkeliling kota. Sebelum berangkat, ia menelepon ibunya, bertanya apakah ibunya bersedia menjaga cucunya selama dia dan Nara jalan-jalan. Tentu saja sang ibu sangat bersedia. Terkadang Sakha memang rutin menginap di rumah kakek neneknya. Orang tuanya meminta Sakha untuk menginap dan sekaligus membawa seragam serta alat sekolah lain agar keesokan harinya bisa berangkat ke sekolah dari rumah mereka. Setelah mengantar Sakha ke rumah orang tua Argan, mereka berboncengan naik motor keliling Purwokerto. Nara meminta mengendarai motor. Selama berboncengan, Nara tak sedikit pun memeluk pinggang Argan. Ia sedikit menjaga jarak. Ia pikir, Argan tak akan mau diajak berkeliling. Ternyata dia salah, laki-laki itu tak keberatan keluar malam dan berkeliling mengendarai motor. Motor melaju di sekitar daerah kampus. Jalanan di sekitar jalan Kampus memang termasuk padat arus. Ukurannya tidak terlalu luas. Namun acap kali dilewati mahasiswa yang hilir mudik. Malam itu banyak penjual kaki lima yang mangkal di pinggir jalan. Jika siangnya dipenuhi bakul aneka makanan ringan, seperti makaroni, mie lidi, aneka minuman, molen, gorengan, maka malam hari banyak aneka makanan berat ditawarkan. Ada nasi goreng, tempe penyet, ayam goreng, dan lain-lain. Pandangan Nara menyapu pada para anak kost yang berlalu-lalang. Nara tahu, di jam-jam ini mereka hunting menu makan malam. Nara merindukan kehidupannya waktu menjadi anak kost. Ia dan teman-temannya kerap kali keluar bersama untuk mencari makan malam. Kadang ia bingung hendak membeli menu apa karena seolah semua menu sudah pernah dicobanya. Argan melajukan motor melewati jalan Dr. Angka. Di kawasan ini banyak ditemui rumah makan yang menawarkan menu-menu menggiurkan seperti ayam penyet, iga penyet, bahkan gudeg Jogja pun ada. Argan menawari Nara untuk mampir makan malam di tempat sesuai keinginan Nara, tapi Nara menginginkan minum wedang ronde di kawasan alun-alun. Argan menurutinya. Ia melajukan motornya menuju jalan Ahmad Yani. Dari jalan Ahmad Yani, motor melaju lurus ke jalan Masjid. Tibalah mereka di alun-alun yang berlokasi di seberang Masjid Agung dan seberang Rita Super Mall. Nara sudah hafal lokasi penjual wedang ronde favoritnya. Mereka duduk bersebelahan. Di hadapan mereka tersaji dua mangkok wedang ronde. Keduanya mengaduk minuman tradisional itu sambil menunggu wedang ronde itu dingin. "Kamu sering ya ke sini sampai hafal tempatnya di pojok yang mana." Argan melirik Nara yang sedari tadi lebih banyak diam.Sakha melahap makanannya lebih lahap dari biasanya. Argan dan Nara saling berpandangan dan tersenyum."Dia suka masakanmu." Argan melirik Nara."Selama memasak, kayaknya baru kali ini aku masak enak, Mas." Nara melirik Sakha yang tengah meneguk segelas air."Sakha suka sarapannya? Hebat anak ayah, makanannya habis." Segaris senyum melengkung di bibir Argan."Iya, lelenya enak," jawab Sakha."Bilang makasih dong sama Mama," ucap Argan lagi."Ayah kan yang menggoreng? Bukan Nara." Sakha melirik Nara datar."Panggil 'Mama' sayang, bukan menyebut namanya, itu nggak sopan." Argan menekankan kata 'mama'.Nara mengelus lengan suaminya."Nggak apa-apa, Mas. Jangan paksa dia. Aku yakin suatu saat dia akan memanggilku 'Mama'. Saat ini dia belum siap."Sakha masih belum rela memanggil Nara dengan sebutan 'Mama'. Ia mengamati Nara yang menyila rambutnya ke belakang."Kenapa kamu nggak pakai jilbab? Semua guru Sakha yang perempuan pasti pakai jilbab. Mama juga dulu pakai jilbab. Nenek juga pakai ji
Argan mencium bibir Nara tanpa Nara siap menerimanya. Entah suasana yang mendukung atau memang karena ia menginginkannya, Nara mampu mengimbangi serangan panas Argan yang membuat Nara tak kuasa untuk menolak. Matanya terpejam dan ia kalungkan tangannya pada leher Argan. Suara decapan menggema di segala sudut mengalahkan gemericik air yang sudah cukup berisik.Keduanya melepas ciuman panas itu dengan napas yang memburu."Mas, Nara belum siap. Kalau Nara hamil gimana? Nara belum siap hamil," tanya polos Nara dengan debaran yang bertalu begitu kuat, tak menentu.Argan tertawa kecil. "Ciuman nggak akan bikin hamil.""Maksudnya, kalau ciuman kita berujung ke hal lain. Sepertinya Mas menginginkannya... Nara... Nara belum pernah pacaran, dan Mas adalah laki-laki yang pertama kali mencium Nara. Tapi Nara juga nggak polos-polos banget. Nara tahu gimana ekspresi laki-laki saat menginginkan lebih. Nara sering melihatnya di club, saat cowok-cowok itu menginginkan sesuatu dari pacar atau kenalan m
Argan mengerjap. Ia membuka mata perlahan. Diliriknya jam dinding yang tergantung. Pukul setengah empat pagi. Azan belum berkumandang. Ia punya cukup waktu untuk mandi dan bersiap ke Masjid. Diliriknya Nara yang masih tertidur lelap dengan selimut menutup hingga ke dada. Argan menelisik siluet tubuh istrinya yang tercetak di balik selimut. Argan teringat ucapan Nara yang mengatakan bahwa ia terbiasa tidur hanya mengenakan baju atasan dan celana dalam. Terbersit ide nakal di kepalanya. Secara perlahan ia turunkan selimut itu untuk tahu apakah Nara hanya mengenakan celana dalam atau tidak. Matanya terbelalak kala selimut itu tersingkap hingga ke lutut. Paha mulus Nara membuat Argan menelan ludah. Benar dugaannya, Sang Istri hanya mengenakan celana dalam. Merasa ada angin membelai paha dan lengannya, Nara pun mengerjap. Ia mengucek matanya. Mata indahnya perlahan terbuka. Nara yang awalnya tidur dengan posisi miring, beralih terlentang. Ia menoleh pada Argan yang sudah duduk di sebel
Sakha memutar matanya. "Zat besi untuk membentuk sel darah merah, 'kan? Sakha pernah membaca di buku ensiklopedia."Nara tersenyum sekali lagi. "Betul. Selain itu zat besi juga membentuk hemoglobin. Hemoglobin ini yang ngasih warna merah pada sel darah merah dan membawa oksigen ke seluruh tubuh. Sakha tahu nggak kalau otak itu juga perlu oksigen?"Sakha menatap Nara serius dan menggeleng."Otak itu bisa mikir karena menggunakan oksigen darah sebanyak 20 persen, ini dari yang Mama baca. Jadi udah paham 'kan pentingnya zat besi? Kalau kebutuhan zat besi tercukupi, otak bisa lebih berkonsentrasi."Sakha mengangguk. Ia tak menyangka ibu tirinya ini tahu banyak hal."Kalau protein manfaatnya apa?" tanya Sakha.Nara tersenyum melihat Sakha inisiatif bertanya padanya."Protein itu untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan menggantinya dengan sel yang baru, untuk pertumbuhan, otot, metabolisme, juga untuk kekebalan tubuh. Banyak banget 'kan manfaatnya? Rugi kalau Sakha nggak mau makan tempe da
Entah angin apa yang berbisik mesra di telinga Nara, setelah Subuh ia berinisiatif mencuci piring. Semalam ia tak bisa tidur. Gelisah tak tentu arah dan berkali-kali melirik Argan yang terlelap di sebelahnya. Ia tersenyum mengejek dirinya sendiri. Si Bapak mana tahu perasaannya. Nara bahkan berpikir, barang kali amarhumah istrinya bunuh diri juga karena sikapnya yang telah menyakiti perasaan sang istri, sama seperti yang Argan lakukan semalam.Argan dan Sakha mengucap salam dari ruang depan. Mereka baru saja kembali dari Masjid. Nara menjawab tanpa menoleh ke arah sumber suara.Sakha bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Ia belum mandi sebelum Subuhan karena dingin, tak seperti ayahnya yang selalu membiasakan mandi pagi sebelum sholat Subuh. Argan memakluminya. Baginya yang terpenting anak itu semangat diajak ke Masjid.Argan duduk di ruang makan yang menjadi satu ruang dengan dapur, tanpa sekat. Ia cukup terkejut melihat istrinya mencuci piring meski hari ini bukan jadwalnya memasak.
Nara melangkah menuju kamar. Ia melirik Argan yang sudah terbaring dengan baju piyamanya. Nara membuka lemari, mencari gaun tidur, lalu masuk kamar mandi untuk berganti pakaian. Ia masih sungkan berganti baju saat ada Argan bersamanya. Di dalam kamar mandi, ia tak hanya berganti baju, tapi juga mencuci muka dan menggosok gigi.Nara keluar dari kamar mandi. Ia ragu untuk merebahkan badan di ranjang. Namun akan sangat tidak etis jika dia memilih tidur di luar kamar.Nara merangkak naik ke ranjang dan duduk sebentar. Ia mengamati punggung suaminya yang begitu tegap. Kedua kaki Argan sedikit meringkuk. Udara malam ini terasa lebih dingin daripada malam-malam sebelumnya.Nara tahu, Argan belum terpejam. Ia tahu, laki-laki itu sengaja mendiamkannya untuk memberinya pelajaran."Pak... maksudku, Mas, Aku minta maaf karena sudah berbohong."Argan mendengarnya. Dia memutuskan untuk tetap bertahan dengan posisinya dan melihat reaksi Nara selanjutnya. Gadis itu masih labil, keras kepala, ngeyel,