POV Author"Sudah sejak kapan?" tanya Devano dengan suara dingin. Tangannya dilipat di dada, dengan tatapan lurus pada Andini yang masih diam mematung di depannya."Sejak kapan, Sayang?" lelaki itu berusaha menekan suaranya. Emosi dan harga diri sebagai suami sedang ia kesampingkan. Andini tidak seperti gadis lain yang bisa dikasari, atau dicecar dengan emosi. Masalah dengan pemahaman dan telinganya juga salah satu sebab, Devano harus bersabar pada istrinya dan meminta penjelasan tanpa urat leher."Apanya?" tanya Andini masih dengan kepala menunduk."Rajin WA dan antar jemput dengan Abu. Sudah sejak kapan? Apa sebelum kamu pergi, sudah dekat seperti itu?" tanya Devano dengan suara begitu lembut dan hati-hati. Jika tadi tangannya ada di dada, kali ini Devano meletakkan kedua tangannya di atas meja makan. "Belum lama. Setelah jadi istri Pak Dev," jawab Andini lesu. Gadis itu masih sibuk memainkan ujung baju tidurnya, sambil sesekali menguap. Ini sudah pukul dua dini hari dan dia masih
“Bagaimana kalau kamu membuatkan saya teh terlebih dahulu?” bisik Devano sembari menarik ujung rambut ikal istrinya, lalu menciuminya dengan begitu lembut.“Makan di restorannya kapan?” tanya Andini lagi dengan wajah sedikit kesal. “Setelah saya menghabiskan segelas teh buatan istri tercinta,” balas Devano lembut. Dengan malas, Andini turun dari ranjang secara perlahan dan langsung menuju kamar mandi. Pinggang yang berlenggak-lenggok tanpa busana menuju arah kamar mandi, membuat Devano menggelengkan kepala sambil mengulum senyum. Jauh di dalam hatinya, apapun akan dia perbuat untuk mempertahankan pernikahannya, dengan caranya.Setelah menghabiskan teh buatan Andini, Devano pun menepati janjinya untuk membawa sang istri makan malam di restoran. Walau sudah pukul delapan malam, tetapi tidak menghalangi semangat Andini untuk menikmati malam sabtu bersama suaminya.Bukan restoran mewah yang bertabur lilin aroma terapi yang begitu romantic, tetapi Devano memilih warung pecal lele pinggir
"Mau ke mana, Pak?" tanya Andini heran, saat Devano menarik tangannya. "Kita ke dokter kandungan. Kamu telat datang bulan udah sepekan, Benarkan? Bukan telat yang lain?" tanya Devano sembari mengurus pendaftaran untuk ke poli kandungan. Andini tersenyum di balik punggung suaminya. Dia tidak mau menjawab, takut salah. Lebih baik, biarkan dokter yang memeriksa keadaannya yang sebenarnya. "Masih nomor lima belas. Tandanya kamu masih sempat makan dulu. Yuk, kita ke kantin," ajak Devano, sambil menarik tangan Andini kembali untuk berjalan ke arah kantin.Andini memperhatikan gerakan suaminya yang cukup canggung. Pria dewasa itu memesan aneka makanan dan minuman untuknya. Duduknya saja tidak tenang dan berkali-kali meremas jari. "Kenapa pesan makanan banyak sekali?" tanya Andini seraya menikmati jus jambu biji yang baru saja diletakkan pelayan kantin di mejanya. Matanya melebar dengan memperhatikan satu per satu makanan yang ada di meja. Ada juga soto Betawi, ayam bakar, sayur karedok,
Hari Minggu pagi, Devano memilih untuk berolah raga lari di sekitaran kampus. Sedangkan Andini, memilih duduk di teras sambil memainkan ponselnya. Gadis itu tidak diijinkan ikut, karena bisa membahayakan kondisi kehamilan mudanya. Devano benar-benar menjaga kehamilan Andini. Untuk memasak saja, dia tidak ijinkan. Untuk sepekan ke depan sampai hasil tes akurat, Devano memilih memesan catering untuk makan sore mereka.Apakah orang tua Andini sudah mengetahui kondisi putri mereka saat ini? Tentu saja belum. Devano juga tidak mengijinkan Andini memberitahu Anton, karena hasil tes itu belum akurat. Segera setelah semuanya jelas, maka Devano akan memberitahu semua orang. Pria dewasa itu bahkan sudah mulai menyiapkan pesta pernikahan yang akan digelar, tepat usia kehamilan Andini tujuh bulan nanti."Istriku sedang apa?" tegur Devano yang baru saja sampai di rumah dengan wajah berpeluh. Aroma keringat yang sebenarnya tidak menjadi masalah saat dulu, sekarang membuat Andini tidak tahan. Rasan
Andini merangkul erat lengan Devano dengan gemetar. Gadis itu sama sekali tidak mau mengangkat wajahnya, karena ada Adam yang kini duduk persis di depannya dengan wajah marah dan nampak tidak terima. Dia menyembunyikan sebagian wajah di balik punggung Devano. Keadaan yang seharusnya hangat, menjadi kaku dan menegangkan. Aminarsih tidak paham dengan yang terjadi, wanita setengah baya itu dan suaminya memandangi tamu dan juga anak angkat mereka secara bergantian.“Pak, pulang yuk!” bisik Andini takut-takut. Devano menoleh ke samping, lalu mengusap lembut tangan istrinya. “Kenapa? Baru juga sampai. Gak usah takut sama Adam. Kamu dan Adam sudah tidak punya hubungan lagi’kan?” ujar Devano dengan suara cukup jelas untuk di dengar oleh semua orang yang ada dalam ruang tamu.“Adam, sekarang Andini sudah menjadi istri saya dan insyAllah sedang mengandung. Jadi ….” “Apa?” semua orang di sana, termasuk Aminarsih membelalakkan mata tidak percaya dengan pengakuan Devano.“Wah, hebat sekali.
POV DevanoMata ini masih basah menatap layar monitor USG. Mereka benar-benar ada di dalam perut istriku. Dua janin yang insyaAllah akan tumbuh sehat dalam rahim ibunya. Aku tak sanggup mengatakan apapun, semua ini terlalu luar biasa untuk lelaki penuh dosa sepertiku. Tidak, sebaik-baik rejeki adalah yang saat ini Tuhan berikan untuk ummatnya. Jadi, aku pasti seorang lelaki pilihan, yang tepat untuk diberi tanggung jawab seorang istri istimewa dan juga anak-anak yang luar biasa. Tuhan benar-benar Maha Baik dan Sempurna. Tidak ada nikmat terindah dalam hidupku, selain memiliki anak dari wanita yang aku cintai dengan sepenuh hati.Andini mengusap tangan palsuku. Dia pun sama terisaknya denganku. Kebahagiaan yang tidak terduga begitu cepat Tuhan berikan pada kami."Papa jangan nangis terus, nanti saya sedih. Nanti kalau bayi kita ikut sedih, terus mukanya memble bagaimana?" kelakar itu membuatku tertawa di sela isakan."Amit-amit. Saya hanya terlalu bahagia akan menjadi seorang ayah da
POV AndiniJika kamu berulang kali gagal dalam sebuah usaha atau kesempatan, yakinlah ada kesempatan dan peluang lain yang tengah menunggumu. Banyak orang bilang, kegagalan hanya sebuah keberhasilan yang tertunda. Jika gagal hari ini, bisa saja besok kamu berhasil.Jika besok masih gagal, maka akan ada lusa yang memiliki banyak kesempatan. Baik untuk urusan rejeki ataupun jodoh. Bisa saja gagal dengan Hendri, James, Adam, Noah, Haikal, Jono, Pardi, Tama, Juna, Faikar, dan aku tak sanggup mengingat lagi, nama lelaki yang sekian banyak sudah menjalin hubungan denganku.Mereka tidak cukup baik untukku, sejak dahulu. Mereka hanya memanfaatkan kepolosan otak dan juga kebaikan hati ini, untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Berbeda dengan lelaki yang tengah memanjat pohon jambu air tetangga pagi ini. Siapa lagi kalau bukan Devano Wijaya. Lelaki tua renta, (dosaa wooy ... he he ...) yang telah menjadi suamiku karena keterpaksaan.Hanya menggunakan sarung dan kaus dalam saja, dia rela m
Selama empat bulan hamil, sama sekali tidak pernah kurasakan mual, muntah, atau ngidam yang terlalu berlebihan. Hanya saja, setiap harinya wajib ada jambu air di atas meja makan. Demi menuruti keinginan bayi kami, suamiku rela membeli pohon jambu air cangkokan. Menanamnya di pekarangan rumah dan merawatnya setiap hari. Ada dua jenis pohon jambu air yang dia beli. Pertama yang berbuah hijau pucat dan satu lagi berbuah merah dan berukuran besar. Sengaja suamiku membeli yang sudah berbuah, agar kami tidak susah minta ke tetangga saat ingin mencicipinya. Pagi ini, Pak Dev sudah berangkat lebih dahulu ke kampus, sedangkan aku berangkat siang, karena jam kuliah pertama dimulai pukul sepuluh. Bibik memasak di dapur, sesuai dengan menu yang aku pesan. Sayur asem, ikan asin balado, dan goreng bakwan. Aku berencana makan terlebih dahulu, baru berangkat ke kampus."Non, sayurnya udah mateng," seru Bibik dari balik pintu. Aku meletakkan ponsel di atas nakas, lalu segera turun dari ranjang untu