POV AndiniAku sudah bersiap sejak sore hari. Kebetulan sekali, pukul satu siang jam perkuliahanku selesai, sehingga aku bisa lebih awal pulang ke rumah. Sempat berpapasan dengan Pak Dev saat di gerbang kampus, tetapi sepertinya beliau tidak menyadari senyum yang aku lemparkan padanya. Menunggu jemputan dari Dimas sungguh membuatku berdebar. Lelaki itu adalah kakak kelasku saat SMA. Sering mengirimkan pesan dan juga salam, tetapi kami tidak juga jadian. Karena saat itu Kak Dimas sudah memiliki pacar yang satu kelas dengannya. Pertemuan kembali seminggu yang lalu, saat acara sekolah, membuat Kak Dimas kembali mengirimiku pesan. Dari yang aku tahu, dia sedang skripsi dan malah sudah bekerja. Paling tidak, jika nanti kami jadian, aku pasti merasa bangga padanya, karena pacarku mempunyai pekerjaan yang layak, walau usianya masih muda dan pastinya berbeda dengan Aleta dan Andrea yang memiliki pacar tajir karena harta orang tuanya. Aku terus saja tersenyum sambil memandang keluar rumah da
POV Devano"Jadi, itu pacar kamu?" tanyaku pada Andini yang masih saja meringis meraba kepalanya."Bukan, Pak. Baru diajak makan doang. Saya berharap dia menyatakan perasaannya, tapi malah sudah punya pacar," omelnya dengan wajah sebal. Aku tak ingin menanggapi terlalu berlebihan, tetapi jujur anak jaman sekarang pada nekat dan berani, bahkan di tempat umum. "Untung Bapak jadi Spiderman saya hari ini, kalau tidak, bisa botak saya dijambak wanita itu," tambahnya lagi sambil melirik keluar restoran. Jelas sekali wajahnya kecewa dan sedih, tetapi ia menutupinya. Ada satu yang cukup membuatku heran, kenapa malam Minggu seperti ini, dia dapat berkomunikasi dengan baik? Biasanya, kepalaku pasti berasap saat berbincang dengannya."Sini, saya pangku Arjun!" pintanya sembari memberikan kedua tangannya. Aku pun berdiri untuk memberikan bayi gemas ini untuk dipangku oleh Andini."Eh ... Saya bukan mau pangku Bapak. Itu loh, Inspektur," ujarnya lagi dengan gugup. Seketika perasaanku mulai tidak
POV Devano["Ish, cuma mahasiswa biasa, Sayang."]["Ayah kok gitu? Siapa tahu dari mahasiswa biasa jadi luar biasa. Ayolah, Ayah pokoknya harus punya istri!"]Perbincangan kami selalu seru dan memakan waktu yang panjang. Aku bahkan tak menyadari Arjun tertidur di pundakku dan Andini sudah kembali dari toilet dan bersabar menungguku di meja. Setelah mengucapkan salam, Amira pun menutup teleponnya. Aku kembali berjalan mendekati meja yang sudah tersedia aneka makanan di atasnya. "Kamu gak pesan makanan? Pesan saja, nanti saya yang bayar," kataku pada Andini. Wanita itu mengangkat wajah, lalu kulihat ada air mata yang menganak sungai membasahi kedua pipinya."Loh, kamu kenapa?" tanyaku sedikit panik. Aki menarik kursi untuk duduk di sebelahnya. "Lihatlah, Pak. Ini foto yang dibagikan dua saudara kembar saya. Ada yang dikasih hadiah boneka besar sama pacarnya. Ada yang diajak dinner romantis di sebuah restoran mewah. Ya Allah, saya malah malam minggunya dijambak Mak Lampir. Sungguh beru
Aku sangat terkejut dengan info orang hilang yang dibagikan salah satu saudara Andini. Ada rasa khawatir menggelayut, saat tahu bahwa gadis itu tidak pulang ke rumah sejak semalam. Apalagi aku orang yang terakhir bertemu dengannya. Apa ini ada kaitannya dengan lelaki semalam yang kami temui di restoran? Karena setelah dengannya, wajah Andini muram dan buru-buru mengajakku untuk keluar dari restoran. Sekarang apa yang harus aku lakukan, aku tidak tahu. Dengan jari gemetar, aku mengetik pesan inbox untuk saudara Andini lewat pesan f******k. Tidak, sepertinya aku harus segera ke rumah mahasiswiku itu untuk memberi penjelasan pada keluarganya. Bubur ayam yang tadinya sudah ada dalam tenggorokanku mendadak tidak bisa kutelan. Rasa khawatir pada gadis itu lebih besar mengalahkan rasa laparku saat ini. Semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpanya saat ini. “Mang, berapa?” tanyaku pada penjual bubur. Lelaki itu memandangku aneh, lalu menoleh pada mangkukku yang masih penuh. “Buburnya t
POV DevanoAku merasa sedikit aneh dengan ide yang diberikan oleh Andrea. Jujur, untuk urusan cinta aku tak pernah mau mencoba-coba, apalagi usiaku yang sudah tidak muda. Namun, untuk membantu Andini sedikit terhibur dan lebih baik kondisi kejiwaannya, maka sepertinya aku harus mencobanya. Hitung-hitung aku jadi bisa dekat juga dengan Andrea. Kulirik jam di dinding sudah pukul tiga sore. Aku baru sampai dari mencari Andini yang belum juga pulang. Arjun sedang bermain bersama bibik di depan, sehingga aku bisa beristirahat sebentar, sebelum kembali bertugas menjaga Arjun.DrtDrtPonselku bergetar. Ada nama Andrea di sana. Tentu saja aku berharap kabar baik yang ia sampaikan kali ini. "Halo, assalamualaikum. Ya, Andrea.""Andini sudah pulang, Pak. Ternyata dia pergi ke rumah nenek dan kami tidak diperbolehkan untuk tahu. Terima kasih, Pak. Oh iya, semoga ide yang saya sampaikan tadi pagi, bisa Bapak pikirkan kembali. Semoga Bapak setuju.""Baiklah, akan saya pikirkan. Kalau saya setuj
"Beneran Bapak suka saya?" tanyaku pada Pak Dev lagi. Mimpi apa aku semalam sampai ditembak oleh dosen uzurku sendiri. Walau hati ini senang, tetapi masih ada keraguan. Dia hanya ingin bercanda menghiburku, atau memang benar-benar menyukaiku? Namun, saat lelaki itu mengangguk pasti sambil tersenyum, di situ kuyakin, Pak Dev tidak mungkin membohongiku. Apalagi usianya tidak muda lagi, pastilah serius untuk sebuah hubungan.Tak apa tak ada cinta di awalnya, nanti juga aku bisa cinta. Semoga Pak Dev benar-benar suka padaku."Bagaimana? Kamu mau menjadi pacar saya?" tanyanya lagi dengan wajah cukup serius."Mm ... Berikan saya waktu berpikir, Pak. Dua hari lagi saya kasih jawaban, tapi kalau saya jawab iya. Tugas kampus saya ada diskon gak?" Dia malah tertawa mendengar pertanyaanku yang menurutnya sangat konyol."Kenapa ketawa?" tanyaku heran. "Pacar ya pacar. Dosen tetap dosen. Tidak ada diskon tugas, apalagi acara diskon kuis. Aturan kelas harus tetap dipatuhi," ujarnya tegas membuatku
POV DevanoAku tidak tahu, apakah keputusan untuk berpura-pura menyukai Andini, mampu menyembuhkan luka hati gadis itu dengan benar. Pagi ini dia datang ke rumah sambil membawa sarapan yang sangat enak dan menurut pengakuannya, semua hidangan adalah masakannya.Oke, nilai satu plus untuk Andini sebagai seorang wanita. Lalu, dia juga membantu memandikan Arjun, saat aku juga tengah mandi. Bayi enam bulan itu juga nampak akrab dan dekat dengan Andini. Tambah lagi nilai keahlian Andini di mataku, di samping ketidakwarasan kuping dan juga kepalanya. Itulah manusia, pasti ada kekurangan dan juga kelebihan.Kuperhatikan dirinya yang tengah mati-matian menahan kantuk dari kursinya yang memang letaknya paling belakang. Sudah menjadi kesepakatan, bahwa jika lagi-lagi dia tidur saat jam kuliah berlangsung, maka kami akan putus. Suatu ancaman yang menurutku ada baiknya untuk gadis itu.Tiba-tiba saja dia bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekatiku."Pak, saya ijin ke kamar mandi ya, mules!""
POV DevanoKenapa aku tidak tahu jika Andini datang ke rumah? Hatiku tiba-tiba saja tidak enak. Kupandangi bungkusan makanan yang dibawakan oleh gadis itu. Ada secarik kertas terselip di bawah box makanan. Kuambil dan kukenali itu sebagai tulisannya. Sedang pergi ya, Pak? Selamat mencicipi sarapan buatan saya.Aku semakin tidak enak setelah membaca tulisannya. Apakah tadi dia lama menunggu di depan sana? Sungguh perasaan ini tidak enak jadinya. Kuputuskan mengambil ponsel yang ada di dalam kamar, lalu kuhubungi nomor Andini. Masih pukul tujuh, harusnya belum mulai jam kuliah, karena jam pertama biasanya pukul tujuh tiga puluh. Namun, belum diangkat. Ke mana dia? Kuputuskan untuk langsung mengirimkan pesan saja. Khawatir dia merasa diabaikan.Terima kasih sarapannya. Kamu di mana sekarang? Nanti siang saya traktir ya.Setelah mengirimkan pesan pada Andini, aku langsung bersiap untuk ke kampus. Jika gadis itu belum juga membalas pesan, maka akan aku datangi saja ke kelasnya. Sengaja