Share

7. Dosen Jelata

POV Devano

Hari yang sungguh melelahkan. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan aku baru bisa berbaring di ranjang kuno empuk, tempat biasa aku melepaskan lelah. Arjun sudah terlelap setelah menyusu satu botol dan bermain sebentar denganku.

Jika kupikirkan lagi, betapa hari ini aku berlakon bukan seperti diriku. Ke sana-kemari hanya untuk mahasiswi yang membuatku kesal setiap masuk ke dalam kelasnya. Sepanjang usia, baru malam inilah aku pergi ke warung untuk membeli pembalut untuk seorang wanita yang bukan siapa-siapa. Seandainya aku adalah pemilik kampus, pasti mahasiswi seperti Andini tidak akan aku loloskan masuk kampus, karena pasti akan mengakibatkan gagal jantung para dosen dan teman-temannya.

Kembali kuteringat akan parasnya. Gadis itu benar-benar seperti pernah kulihat, tapi di mana? Tak mungkin dia anak mantanku, atau anak saudara. Berkali-kali aku coba mengingat di mana pernah melihatnya, tetapi tak juga ketemu. Mungkin aku memang benar-benar tak pernah bertemu dengannya.

"Ah, payah sekali umur sudah tua begini. Kalau tidak leher yang sakit, ya pinggang. Kalau tidak pinggang, ya sariawan. Kurang vitamin C, udah pasti. Bibir ini kelu, tandus, gersang, kumuh, bagaikan kerupuk kulit di Padang pasir di musim kering," gumamku sambil merasai leher yang sangat kaku.

Segera kuturun dari ranjang untuk mengambil obat yang kusimpan di dalam kotak obat. Kupilih kapsul yang mampu meredakan nyeri leher, lalu langsung kumasukkan ke dalam tenggorokanku. Semoga esok sembuh, karena aku ada jam dari pagi hingga sore. Yah, sore di kelas Andini. Semoga anak itu sakit dan tidak masuk besok, sehingga aku dapat mengajar dengan tenang.

Suara azan Subuh membangunkanku dari mimpi buruk. Gara-gara Andini, aku lupa membaca doa saat mau tidur semalam, jadilah aku mimpi dikejar lelaki bukan lelaki. Segera kumasuk ke dalam kamar mandi dan melakukan rutinitas seperti biasa.

Suara pintu pagar dibuka dan tak lama kemudian, kudengar suara bibik sedang menyapu halaman. Ada perasaan lega, saat tahu setiap hari ada yang bersedia membantuku menjaga rumah, mengurus dapur, dan merapikanpakaianku. Sesekali bibik juga mau kutitipkan Arjun bila di kampus jadwalku penuh.

Hari ini, sepertinya aku perlu menitipkannya. Karena jadwalku yang padat dari pagi hingga sore. Suara ocehan Arjun membuatku menoleh, lalu dengan hati senang mencium pipi gembulnya hingga kemerahan.

"Alhamdulillahillazi ahyana ba'dama amanatana wa ilaihinnusur. Selamat pagi anak Papa," sapaku pada Inspektur Arjun. Balita itu menyambut sapaanku dengan senyuman riangnya, dengan kedua tangan mengucek matanya.

"Kita ke depan yuk, olah raga!" anakku dengan menggendong tubuh bulatnya. Kami keluar dari kamar dan langsung menuju teras rumah.

"Ehh, bos kecil dan bos besar sudah bangun. Mau sarapan apa hari ini?" sapanya ramah dengan senyuman amat lebar. Walau usianya sudah lima puluh lima tahun, tetapi kuakui bibik termasuk nenek lincah. Semua pekerjaan rumah dapat ia selesaikan dengan cepat.

"Bik, jadwal saya padat hari ini. Titip Arjun boleh'kan?"

"Wah, saya mau pengajian, Tuan. Maaf, tidak bisa kalau hari ini," jawab Bibik membuatku sedikit kecewa. Namun mau bagaimana lagi, anak ini aku yang bertahan untuk tetap mengurusnya beberapa waktu. Sehingga sudah menjadi bagian konsekuensi, jika cukup merepotkan sebagian waktuku.

"Ya sudah, gak papa, Bik. Saya titip mandikan dan suapi saja ya. Saya biar siap-siap dulu," pintaku sambil memberika Arjun pada Bibik. Wanita itu mengangguk, lalu menerima Arjun dari tanganku.

POV Author

Sementara itu, Andini sudah berada di meja makan bersama keluarganya. Seperti biasa, dua saudara kembarnya sudah lebih dahulu berangkat dengan pacar-pacarnya, sedangkan ia masih setia menemani sang ibu dan papa untuk menikmati sarapan.

"Kamu dijemput sama bapak yang semalam?" tanya Parmi;ibu dari Andini.

"Bapak siapa, Bu? Gak ada yang jemput, Bu. Seperti biasa naik ojek online," jawab Andini sambil melahap nasi goreng sosis.

"Emang si Bapak semalam tukang ojek online? Bukannya dia kosen kamu?"

"Bukan kosen sayang, tapi dosen," ujar Anton membetulkan ucapan sang istri, sambil menahan tawa.

"Andin gak tahu, Bu. Gak tanya juga. Kayaknya orang miskin, Bu. Gak punya motor, apalagi mobil. Dia selalu naik sepeda," terang Andini dengan antusiasnya.

"Oh, rakyat jelata. Kasian ya. Duda miskin gitu?" timpal Parmi lagi dengan wajah penuh iba. Andini mengangguk pelan.

"Ya sudah, nih bawain buat sarapan bapak dosen jelata kamu." Dengan cekatan, Parmi berjalan ke dapur untuk mengambil kotak bekal, lalu kembali lagi ke ruang makan untuk memasukkan beberapa centong nasi goreng ke dalam kotak bekal tersebut.

"Ini juga." Parmi mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dompetnya, lalu diberikan pada Andin.

"Untuk apa ini, Bu?" tanya Andin dengan kening berkerut.

"Nanti ibu akan pilihkan baju-baju papa yang sudah tidak dipakai. Kamu bisa berikan pada Bapak semalam. Kasian ya, udah susah, punya bayi lagi. Jangan sampai anaknya dibawa-bawa untuk mengemis di lampu merah," ujar Parmi dengan dengan penuh rasa iba.

"Jika si bapak menolak, bilang aja ini sedekah ibu untuk kaum dhuafa." Andin hanya mengangguk patuh.

Lalu bagaimana dengan Anton yang berada di sana? Lelaki itu mati-matian menahan tawa melihat kelakuan anak dan istri yang bagai pinang tak bisa dibelah. Sama persis kelakuan, ucapan, prilaku, bahkan wajah mereka sangat mirip.

Semiskin-miskinnya dosen, tak mungkin masuk ke dalam kriteria rakyat jelata, karena masih ada penghasilan bulanan dari mengajar. Dia tahu betul itu, karena sudah melanglang buana dari kampus satu ke kampus lain untuk mengajar. Jangan lupa, sampai saat ini ia pun masih seorang dosen.

"Siapa nama dosen kamu itu, Din?" tanya Anton pada putrinya.

"Pak Dev, Pa," jawab Andin.

"Devano bukan?"

"Papa kok tahu? Papa kenal?"

"Mm ... itu ...."

Bersambung

Hayo, apakah Anton benar-benar mengenal Devano? Masih ada kaitannya dengan judul "Babu jadi Menantu"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status