Home / Romansa / Dosen Dudaku / 7. Dosen Jelata

Share

7. Dosen Jelata

last update Last Updated: 2022-10-30 13:58:03

POV Devano

Hari yang sungguh melelahkan. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan aku baru bisa berbaring di ranjang kuno empuk, tempat biasa aku melepaskan lelah. Arjun sudah terlelap setelah menyusu satu botol dan bermain sebentar denganku.

Jika kupikirkan lagi, betapa hari ini aku berlakon bukan seperti diriku. Ke sana-kemari hanya untuk mahasiswi yang membuatku kesal setiap masuk ke dalam kelasnya. Sepanjang usia, baru malam inilah aku pergi ke warung untuk membeli pembalut untuk seorang wanita yang bukan siapa-siapa. Seandainya aku adalah pemilik kampus, pasti mahasiswi seperti Andini tidak akan aku loloskan masuk kampus, karena pasti akan mengakibatkan gagal jantung para dosen dan teman-temannya.

Kembali kuteringat akan parasnya. Gadis itu benar-benar seperti pernah kulihat, tapi di mana? Tak mungkin dia anak mantanku, atau anak saudara. Berkali-kali aku coba mengingat di mana pernah melihatnya, tetapi tak juga ketemu. Mungkin aku memang benar-benar tak pernah bertemu dengannya.

"Ah, payah sekali umur sudah tua begini. Kalau tidak leher yang sakit, ya pinggang. Kalau tidak pinggang, ya sariawan. Kurang vitamin C, udah pasti. Bibir ini kelu, tandus, gersang, kumuh, bagaikan kerupuk kulit di Padang pasir di musim kering," gumamku sambil merasai leher yang sangat kaku.

Segera kuturun dari ranjang untuk mengambil obat yang kusimpan di dalam kotak obat. Kupilih kapsul yang mampu meredakan nyeri leher, lalu langsung kumasukkan ke dalam tenggorokanku. Semoga esok sembuh, karena aku ada jam dari pagi hingga sore. Yah, sore di kelas Andini. Semoga anak itu sakit dan tidak masuk besok, sehingga aku dapat mengajar dengan tenang.

Suara azan Subuh membangunkanku dari mimpi buruk. Gara-gara Andini, aku lupa membaca doa saat mau tidur semalam, jadilah aku mimpi dikejar lelaki bukan lelaki. Segera kumasuk ke dalam kamar mandi dan melakukan rutinitas seperti biasa.

Suara pintu pagar dibuka dan tak lama kemudian, kudengar suara bibik sedang menyapu halaman. Ada perasaan lega, saat tahu setiap hari ada yang bersedia membantuku menjaga rumah, mengurus dapur, dan merapikanpakaianku. Sesekali bibik juga mau kutitipkan Arjun bila di kampus jadwalku penuh.

Hari ini, sepertinya aku perlu menitipkannya. Karena jadwalku yang padat dari pagi hingga sore. Suara ocehan Arjun membuatku menoleh, lalu dengan hati senang mencium pipi gembulnya hingga kemerahan.

"Alhamdulillahillazi ahyana ba'dama amanatana wa ilaihinnusur. Selamat pagi anak Papa," sapaku pada Inspektur Arjun. Balita itu menyambut sapaanku dengan senyuman riangnya, dengan kedua tangan mengucek matanya.

"Kita ke depan yuk, olah raga!" anakku dengan menggendong tubuh bulatnya. Kami keluar dari kamar dan langsung menuju teras rumah.

"Ehh, bos kecil dan bos besar sudah bangun. Mau sarapan apa hari ini?" sapanya ramah dengan senyuman amat lebar. Walau usianya sudah lima puluh lima tahun, tetapi kuakui bibik termasuk nenek lincah. Semua pekerjaan rumah dapat ia selesaikan dengan cepat.

"Bik, jadwal saya padat hari ini. Titip Arjun boleh'kan?"

"Wah, saya mau pengajian, Tuan. Maaf, tidak bisa kalau hari ini," jawab Bibik membuatku sedikit kecewa. Namun mau bagaimana lagi, anak ini aku yang bertahan untuk tetap mengurusnya beberapa waktu. Sehingga sudah menjadi bagian konsekuensi, jika cukup merepotkan sebagian waktuku.

"Ya sudah, gak papa, Bik. Saya titip mandikan dan suapi saja ya. Saya biar siap-siap dulu," pintaku sambil memberika Arjun pada Bibik. Wanita itu mengangguk, lalu menerima Arjun dari tanganku.

POV Author

Sementara itu, Andini sudah berada di meja makan bersama keluarganya. Seperti biasa, dua saudara kembarnya sudah lebih dahulu berangkat dengan pacar-pacarnya, sedangkan ia masih setia menemani sang ibu dan papa untuk menikmati sarapan.

"Kamu dijemput sama bapak yang semalam?" tanya Parmi;ibu dari Andini.

"Bapak siapa, Bu? Gak ada yang jemput, Bu. Seperti biasa naik ojek online," jawab Andini sambil melahap nasi goreng sosis.

"Emang si Bapak semalam tukang ojek online? Bukannya dia kosen kamu?"

"Bukan kosen sayang, tapi dosen," ujar Anton membetulkan ucapan sang istri, sambil menahan tawa.

"Andin gak tahu, Bu. Gak tanya juga. Kayaknya orang miskin, Bu. Gak punya motor, apalagi mobil. Dia selalu naik sepeda," terang Andini dengan antusiasnya.

"Oh, rakyat jelata. Kasian ya. Duda miskin gitu?" timpal Parmi lagi dengan wajah penuh iba. Andini mengangguk pelan.

"Ya sudah, nih bawain buat sarapan bapak dosen jelata kamu." Dengan cekatan, Parmi berjalan ke dapur untuk mengambil kotak bekal, lalu kembali lagi ke ruang makan untuk memasukkan beberapa centong nasi goreng ke dalam kotak bekal tersebut.

"Ini juga." Parmi mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dompetnya, lalu diberikan pada Andin.

"Untuk apa ini, Bu?" tanya Andin dengan kening berkerut.

"Nanti ibu akan pilihkan baju-baju papa yang sudah tidak dipakai. Kamu bisa berikan pada Bapak semalam. Kasian ya, udah susah, punya bayi lagi. Jangan sampai anaknya dibawa-bawa untuk mengemis di lampu merah," ujar Parmi dengan dengan penuh rasa iba.

"Jika si bapak menolak, bilang aja ini sedekah ibu untuk kaum dhuafa." Andin hanya mengangguk patuh.

Lalu bagaimana dengan Anton yang berada di sana? Lelaki itu mati-matian menahan tawa melihat kelakuan anak dan istri yang bagai pinang tak bisa dibelah. Sama persis kelakuan, ucapan, prilaku, bahkan wajah mereka sangat mirip.

Semiskin-miskinnya dosen, tak mungkin masuk ke dalam kriteria rakyat jelata, karena masih ada penghasilan bulanan dari mengajar. Dia tahu betul itu, karena sudah melanglang buana dari kampus satu ke kampus lain untuk mengajar. Jangan lupa, sampai saat ini ia pun masih seorang dosen.

"Siapa nama dosen kamu itu, Din?" tanya Anton pada putrinya.

"Pak Dev, Pa," jawab Andin.

"Devano bukan?"

"Papa kok tahu? Papa kenal?"

"Mm ... itu ...."

Bersambung

Hayo, apakah Anton benar-benar mengenal Devano? Masih ada kaitannya dengan judul "Babu jadi Menantu"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Selvi Rakhma
keluarga ga jelas, selain tulalit jg mulutnyagak bener, asal jeplak hahaha
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dosen Dudaku   48. Pesta Pernikahan (Ending)

    Seorang Devano ternyata menunaikan janjinya untuk memberikan pesta pernikahan terbaik untuk Andini. Berlangsung di sebuah ballroom hotel mewah, pesta meriah itu diadakan. Semua setting tempat dan acara, diserahkan Devano pada salah satu teman yang dia percaya, yaitu Emir dan Aminarsih. Dua orang itulah yang membantunya mewujudkan mimpi Andini yang menginginkan pesta pernikahan seperti Tuan Putri di Negeri Dongeng.Pakaian pengantin super mewah dengan pernah pernik mengkilap menempel pada kain tile renda premium yang dibuat oleh perancang kenamaan. Semua disesuaikan dengan perut Andini yang semakin membesar di usia kehamilan menginjak delapan bulan. Tidak ada akad sebelumnya, karena memang mereka sudah menikah secara agama. Pesta langsung semarak dengan mengundang para tamu yang juga berkelas. Jangan lupakan Devano dahulu siapa? Semua relasi bisnis dia hubungi. Bukan karena ingin mengambil keuntungan dari pestanya, tetapi lebih karena semua relasi yang ia undang mengetahui bahwa dia s

  • Dosen Dudaku   47. Kekonyolan Andini

    Andini duduk di samping Devano. Kondisi suaminya sudah jauh lebih baik. Walau masih belum membuka mata, tetapi sudah ada pergerakan dari anggota jari tangan. Sesekali pria itu juga bergumam dan mengigau tidak jelas. Andini meminta ijin pada dokter untuk mendampingi suaminya. Anton dan Parmi juga membantu meyakinkan dokter, bahwa Devano pasti bisa sadar, dengan kehadiran sang istri di sampingnya.Andini menggenggam jemari suaminya yang sedari tadi bergerak, tetapi hanya sebatas itu saja. Air matanya sudah beranak sungai, berharap ada keajaiban untuk suaminya membuka mata. Pelan tangannya mengusap lengan palsu Devano. Dipijatnya lembut dari atas ke bawah. Lalu bergantian dengan tangan kanannya. Andini dengan sabar mendampingi suaminya, sambil membisikkan kalimat penyemangat."Pa, mau pegang anaknya tidak? Ini, Dedek di perut main akrobat terus. Keren loh, tendangannya. Seperti Bang Bokir. Tahu Bang Bokir'kan? Artis China yang jago silat itu loh." Andini terus saja mengajak Devano berbi

  • Dosen Dudaku   46. Koma

    POV AndiniAku tidak tahu harus berkata apa, ketika tahu kabar bahwa suamiku mengalami kecelakaan bersama dengan wanita yang bernama Ayu. Ketika kutanya Tuti dan teman-teman di kampus, mereka mengatakan suamiku marah pada wanita itu dan memaksanya masuk ke dalam mobil dengan kasar. Jelas sekali suamiku marah dengan kelakuannya. Apakah sebenarnya memang suamiku tidak bersalah? Aku terlalu egois yang tidak mau mendengar penjelasannya. Sekian lama aku mendiamkan dan mengabaikannya. Tidak mengurus pakaian juga makannya. Dia terbaring begitu lemah dengan berbagai alat menempel di tubuhnya. Wajahnya brewokan dan lusuh. Aku pingsan sebanyak dua kali begitu mendengar suamiku kecelakaan dan koma di rumah sakit. Keadaanku yang juga tidak sehat, membuat tubuhku semakin lemah, tetapi aku tidak mau kalah, aku harus menemani suamiku, ayah anakku. Dia di sana karena aku."Hiks ...." mau menghabiskan tisu berapa banyak lagi, aku pun tidak tahu. Air mata ini masih terus mengalir dengan derasnya."Su

  • Dosen Dudaku   45. Kecelakaan

    POV AuthorSuasana hati Andini sejak pagi, sudah tidak nyaman. Bayi di dalam perutnya pun sepertinya ikut merasakan hal yang sama. Entah ada apa? Yang jelas seharian ini Andini uring-uringan di kamar. Nasi pun tidak mampu dia telan seperti biasanya. Mual muntah yang seharusnya terjadi di trisemester kehamilan, malah didapatinya menjelang kehamilan lima bulan. Tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. Susu hamil dengan rasa vanila pun ia muntahkan. Tidak ada yang masuk dengan benar ke dalam perutnya sejak tiga hari ini.Parmi menghela napas panjang, saat mengoleskan minyak kayu putih di perut, tengkuk, leher, dan juga punggung Andini. Dengan pijatan amat lembut, dia mencoba membuat Andini nyaman, serta tidak mual muntah lagi."Masih mual?" tanya Parmi pada putrinya."Masih, Bu. Gak enak banget rasanya," keluh Andini dengan mata berkaca-kaca. Parmi terus saja memijat lembut tengkuk Andini, hingga pundak. "Mungkin bayi kamu rindu dengan ayahnya," bisik Parmi dengan senyuman hangat. Andini men

  • Dosen Dudaku   44. Kekecewaan Andini

    POV DevanoAndini masih marah padaku. Dia menutup mulut sepanjang hari, tidak menanyakan apapun, bahkan ketika aku dan papa pulang dari menguburkan salah satu bayi kembar kami. Ya, usia janin itu ternyata lebih dari empat bulan dan sudah nampak berwujud juga sudah ditiupkan ruh oleh Sang Pencipta. Aku dan papa memakamkannya layaknya manusia yang wafat pada umumnya.Untunglah ada papa mendampingiku, sehingga aku yang tidak terlalu paham urusan seperti ini, menjadi paham dan mengikuti sesuai dengan arahannya. Jangan bilang hati ini tidak patah. Jangan bilang hati ini tidak terluka. Kehilangan salah satu dari bayi kembar yang dikandung Andini tentu saja membuatku sangat syok. Apalagi aku yang sama sekali tidak pernah mengalami mendampingi istri saat hamil sampai melahirkan.Apakah ini bagian dari penebus dosaku di masa lalu? Tak banyak yang bisa kulakukan saat ini. Bersujud memohon pada Sang Pencipta agar mengampuni dosa-dosaku terdahulu. Saat Amira ada di dalam kandungan ibunya, aku mal

  • Dosen Dudaku   43. Hadirnya Ayu

    Selama empat bulan hamil, sama sekali tidak pernah kurasakan mual, muntah, atau ngidam yang terlalu berlebihan. Hanya saja, setiap harinya wajib ada jambu air di atas meja makan. Demi menuruti keinginan bayi kami, suamiku rela membeli pohon jambu air cangkokan. Menanamnya di pekarangan rumah dan merawatnya setiap hari. Ada dua jenis pohon jambu air yang dia beli. Pertama yang berbuah hijau pucat dan satu lagi berbuah merah dan berukuran besar. Sengaja suamiku membeli yang sudah berbuah, agar kami tidak susah minta ke tetangga saat ingin mencicipinya. Pagi ini, Pak Dev sudah berangkat lebih dahulu ke kampus, sedangkan aku berangkat siang, karena jam kuliah pertama dimulai pukul sepuluh. Bibik memasak di dapur, sesuai dengan menu yang aku pesan. Sayur asem, ikan asin balado, dan goreng bakwan. Aku berencana makan terlebih dahulu, baru berangkat ke kampus."Non, sayurnya udah mateng," seru Bibik dari balik pintu. Aku meletakkan ponsel di atas nakas, lalu segera turun dari ranjang untu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status