Kalau ada anak kuliahan yang berpikir dosen ganteng kebanyakan killer bin belagu, itu benar! Semester enam ini Raina mendapatkan mata kuliah dengan dosen paling viral sejagad kampusnya. Mata kuliah statistika dengan dosen tampan rupawan yaitu Pak Irham Nusahakam.
"Gue suka ngitung, tapi enggak sedalam ini juga kali ngitungnya!" keluh Raina kepada Anes. "Tapi menurut lo gimana? Dosen Statistikanya viral banget, lho, di kampus kita. Ganteng. Pokoknya lo bakalan semangat kuliah, deh." Anes menjawab sambil touch up bedak pada tipis-tipis di wajahnya. Wanita berambut panjang itu mengeluarkan binder. Kadang Raina berpikir, temannya, Anes, terlalu berlebihan saat menganggap Pak Irham sebagai pria paling ganteng di kampus ini. Mau dikemanakan wajah karismatik Adli, gebetannya sejak awal masuk dunia perkuliahan? "Lo dari kemaren muji-muji Pak Irham mulu, kayak sales marketing cowok ganteng aja!" Raina mengeluarkan buku tulis dalam tasnya. Pemandangan wajah ditekuk Raina adalah hal yang paling tidak enak dilihat. "Ya kan beneran ganteng, Rai! Coba lu lebih pilih mana? Belajar statistika dosennya ganteng muda, apa belajar kalkulus dosennya tua udah punya anak, punya istri?" "Dih, ngapain juga gue pilih suami orang!" "Nah, kan, jadi lo pilih yang jomlo ganteng pinter kayak Pak Irham, kan?" Raina melengos. Dia malas kalau Anes sudah menjabarkan ketampanan dosennya itu. Mata kuliah Statistika yang katanya penting untuk mengolah data saat skripsi bisa saja membuatnya pingsan. Mean, median, dan modus yang terus-menerus dihitung kadang juga membuat kepalanya mendadak migrain. Raina setengah mati ingin cepat-cepat menyelesaikan mata kuliah ini. Masa bodo dengan dosen tampan. Emang gue pikirin. Batinnya. Pagi ini, para mahasiswa sudah menantikan kedatangan dosen yang selalu asyik diperbincangkan. Bayangkan, cowok yang katanya tampan itu masih jomlo alias belum sold out. Mana tahu, 'kan, salah satu dari mereka bisa membuat Si Bapak Ganteng itu jadi sold out. Hahaha Khusus mahasiswa laki-laki, tentu saja menjadi makin ogah-ogahan karena harus bersaing dengan dosen. Mereka susah payah cari perhatian sama gebetannya di kelas, tapi kenapa wanita-wanita itu sibuk fokus pada satu makhluk di muka kelas. "Raina Atqiyya!" Suara yang menurut Anes setengah berat, setengah ringan, alias pas itu memanggil nama lengkap sahabatnya. Anes menoleh ke samping dan melihat Raina sedang asyik menggambar. Dia mengerjapkan mata dan memastikan gambar siapa yang sedang diarsir oleh Raina. "Rai," panggilnya pelan agar tidak ada yang mendengar. "Apa?" Raina ogah-ogahan. Dia sibuk mengarsir. Gambar cowok yang mungkin ... tampan memakai jas yang sering kita jumpai di komik-komik terpampang di atas lembaran buku catatannya. "Gantengan mana Pak Irham sama tokoh komik gue?" Raina ngedumel sendiri. Anes di sebelahnya sudah tidak mengeluarkan suara apa pun. Ini mencurigakan bagi Raina. Temannya itu tidak akan berhenti mengoceh kecuali tidur. Ya, 11-12 dengan dirinya. Raina dan Anes memang duduk di kursi paling depan dekat dengan pintu kelas. Sudut mata Raina menangkap sepatu pantofel lelaki di dekat kaki mejanya. Dia menaikkan tatapannya sedikit ke atas. Ups, celana formal berwarna navy pada kaki yang jenjang sedang berdiri di hadapan mejanya. Wanita itu berusaha menghibur hatinya. Baru hari pertama nggak mungkin langsung diusir dari kelas, 'kan? Tapi kalau karena ketahuan sedang menggambar komik saat belajar? Apa masih bisa ditoleransi oleh dosen yang katanya galak itu? Keringat mulai keluar di balik pasmina instan yang menutupi separuh dahinya. "Ada apa, Pak?" Raina pura-pura bodoh saja. Seorang lelaki dengan tatapan tajam sedang melihat gambarnya. Lelaki itu bahkan menarik buku Raina. Dia mengangkat buku tersebut dan menyejajarkan gambar di buku Raina dengan wajahnya. "Kamu bandingin saya sama kertas?" tanya lelaki itu sambil tersenyum satu detik. Ah, nggak banget! Geli! Raina benci cowok narsis. "Bapaklah, Pak! Gambar dia kan nggak bisa dipeluk, kalo bapak ...," Anes tak jadi melanjutkan kata-katanya karena Pak Irham, lelaki itu sudah berjalan menuju pintu kelas. Raina menyaksikan sendiri Pak Irham membuang bukunya ke dalam tong sampah yang ada di depan kelas. Dia mencoba mengintip dari balik jendela dan buru-buru kembali duduk agar tidak memancing emosi Si Bapak Killer itu lagi. Saat Pak Irham menjelaskan, Raina menatapnya dengan tatapan penuh dendam. Buku yang baru saja dibuang Pak Irham adalah kumpulan sketsa kasar kesayangannya. Cukup satu aja dosen yang begini. Ingin rasanya Raina mencibir penampilan Irham yang terlalu rapi di matanya. Mengajar dengan jas navy sebagus itu? Dia dosen atau CEO? Oke, Pak Irham, selamat datang. Mungkin perlu menyusun rencana yang agak nakal untuk memberi pelajaran pada dosen itu. Begitu pikir Raina. Sembilan puluh menit terasa sangat lama bila dihabiskan untuk membenci. "Kapan udahannya, sih, nih matkul? Gue udah badmood banget." Raina ngedumel sendiri yang tentu saja didengar oleh Anes. "Sabar, dikit lagi juga lu bakalan terpesona sama Pak Irham." Raina membulatkan mata. "Apa, sih, Nes? Udah jelas-jelas gue sebel!" Nada suara Raina naik satu oktaf. Anes segera menyenggol lengan Raina karena dosen muda yang katanya tampan itu sudah berada di hadapan mereka lagi. Apa, sih, nih, dosen? Peduli banget sama gue. Ribet banget jadi dosen! Itu suara batin Raina yang tentu saja dia tidak ucapkan karena tidak mau mendapat nilai D. "Kalian sudah selesai mencatat?" tanya Pak Irham tegas. Jadi, menurut pengamatan Raina, metode pembelajaran Pak Irham Nusahakam yang tampak terhormat ini adalah dengan cara menebarkan pesonanya ke seluruh penjuru kelas. Memangnya pelajaran akan cepat sampai ke otak murid-muridnya yang kurang cuci mata itu? Belum lagi, jiwa-jiwa dengki mahasiswa-mahasiswa lelaki yang duduk di barisan belakang. Sudah jelas, mereka ingin menelan Irham Nusahakam hidup-hidup, kalau bisa. "Raina Atqiyya, kamu masih niat ikut matkul saya?" tanya Pak Irham. "Niat, Pak! Kalau engagk niat, ngapain saya ada di sini?" jawab Raina dengan senyum yang dibuat-buat. "Kamu ke kantor saya setelah ini!" seru Pak Irham tiba-tiba sebelum melangkahkan kaki keluar kelas. Raina yang sejak tadi cemberut karena kadung merasa kesal pun hanya bisa melongo. "Rai, gue ikut!" seru Anes diiringi dengan senyum mengembang. Raina memutar mata malas. "Kalau perlu, lo gantiin aja gue ke sana." Dia bergegas ke luar saat ingat bukunya masih di tong sampah. "Kok nggak ada?" Raina mengintip tong sampah dan tidak melihat bukunya ada di sana. "Buku gue ke mana?" "Cari apa, Raina?" Pucuk dicinta ulam pun tiba dan Adli pun datang menghampiri Raina. Raina merapikan ujung pasminanya sebentar dan tersenyum. "Buku gue, tadi dibuang Si Bapak Nusakambangan ke sini." Adli menyugar rambutnya dan tertawa. "Siapa Bapak Nusakambangan?" "Pak Irham Nusahakam," jelas Anes. Wanita berambut panjang itu cekikikan dengan julukan yang baru saja keluar dari mulut Raina. "Sembarangan banget lo jadi orang!" "Bodo amat! Sekarang buku gue ke mana?" Raina menghela napas. "Mungkin, dikantongin sama Si Bapak!" Perkataan Adli membuat Raina menatap lelaki jangkung itu heran. Mana mungkin Irham Nusakambangan itu menyembunyikan gambarnya yang menurut Anes nggak bisa dipeluk itu? "Ah, iya, gue ke kantornya dulu, ya!" Raina meninggalkan Anes dan Adli begitu saja. Dia perlu menyelamatkan buku kesayangannya. Setelah tiba di dalam kantor dosen, Raina perlu menunggu di depan ruang kaca. Sebenarnya apa jabatan Si Bapak Killer ini sampai ruangannya dipisah di dalam kaca. Raina membatin.Apa mungkin Pak Irham ini nggak bisa bergaul dengan dosen lain jadi diisolasi dalam ruangan khusus? Pikiran konyol wanita itu mulai memenuhi kepala. "Masuk," ucap Pak Irham setelah membuka pintu. Raina perlu menimbang untuk masuk atau nggak? Irham ini perpaduan orang sombong, narsis, dan kejam. Apa dia bisa keluar dengan utuh? Raina duduk pada kursi di depan meja kerja Pak Irham. Pintu kaca ditutup. Ruangan kerja lelaki itu tidak bisa diintip karena kacanya dilapisi. "Pak Nusahakam, tolong kembalikan buku sketsa saya!" Raina berusaha rileks saja. Irham yang baru saja duduk di hadapan Raina pun mengangkat sudut bibir. "To the point sekali, Kamu!" "Biar nggak kelamaan aja, Pak! Bapak udah nggak betah, 'kan, ngobrol bareng saya?" Kalau drama romantis, tentu saja Pak Irham akan menjawab, "siapa bilang?" Tapi, tidak! Pak Irham hanya mengangguk tidak jelas. "Raina Atqiyya." "Itu nama saya! Bapak terpesona sama nama saya? Atau namanya mirip nama mantan bapak?" Irham hanya menatap Raina tanpa kata. "Bapak ditinggal nikah sama pacar bapak? Beneran? Sini, pak, cerita sama saya!" Raina mendramatisir suasana karena Irham tidak marah sejak awal mulutnya mulai ngoceh. Irham Nusahakam terlihat hendak membuka mulut. "Kamu pasti mau menikah sama saya, 'kan?" Pria itu menghela napas sejenak. "Ayo ... menikah!"Menikah itu ibadah. Namun, jangan sampai Irham mendengar hal yang diyakini Raina ini. Dia bisa semakin ngebet untuk melaksanakan ibadah yang kelak akan menjadi kesukaannya.Raina bukan bergidik, tetapi pipinya malah bersemu merah.Malam semakin larut. Bahu dan punggung Raina rasanya rontok seperti baru selesai outbond atau bahkan mendaki gunung. Dia ingin segera membersihkan wajah dan tidur.Irham masuk kamar dengan wajah kelelahan, tetapi tetap terpancar kebahagiaan. Dia baru saja membantu Maira dan Collin membawakan hadiah-hadiah teman Raina ke mobil untuk disimpan di rumah Raina langsung.Kelopak mawar di atas kasur sudah berantakan di bawah. Irham menarik napas. Raina pasti sudah mengibasnya dengan membabi buta. Wanita itu sudah bilang tidak mau ada bed ala-ala pengantin baru.Irham membuka jas dan kemejanya dan duduk di pinggir kasur. Dia tahu Raina sedang mandi dan membersihkan wajah. Adegan membukakan baju pengantin yang Irham bayangkan ambyar sudah. Buktinya, Raina sudah buru-
"Saya terima nikah dan kawinnya Raina Atqiyya binti ..."Itu adalah kalimat paling romantis yang didengar seorang penulis. Dari ribuan kalimat dalam novel romansanya, dia tidak pernah menulis satu kalimat pun seindah itu.Raina tidak membayangkan akan menikah dengan Irham, si paling ngajak ribut setiap hari.Anes sibuk bersorak-sorai sejak orang-orang berkata sah, apalagi saat Irham memakaikan cincin di jari manis tangan kiri Raina. Dia tidak peduli dengan keanggunan gaun bridesmaid berwarna silver yang sedang dipakainya. Ada yang berbeda dari Anes. Wanita itu memakai hijab. Tentu saja setelah perdebatan panjang dengan Raina.Anes semakin gregetan dengan sikap malu-malu ala perawan Raina saat dokumentasi foto-foto buku nikah. Dia asyik tertawa dan menjepret dari berbagai sudut tanpa peduli sosok yang sejak tadi terpesona dengan penampilan barunya.Ya, itu adalah Vino, yang ikut tersenyum saat Anes tertawa.Irham terlihat sangat bahagia seolah matanya mengeluarkan binar cinta saat mena
Percuma pesona Irham Nusahakam kalau tidak bisa membuat Raina menginginkannya.~ Irham yang sedang memikirkan cara untuk melakukan hal halal setelah akad==="Sekarang kita pikir dulu, Sayang." Irham mengulurkan tangan, menarik Raina untuk duduk di sebelahnya.Mereka sedang berada dalam kantor Irham.Raina ingat setahun lalu Irham pernah tidak membukakan pintu untuknya. Kalau diingat-ingat, Raina jadi sebal pangkat seribu terhadap pria di sebelahnya. Sok bersikap dingin padahal akhirnya tetap mengejar Raina. Siapa lagi kalau bukan Irham Nusahakam?"Pikir apa?" tanya Raina. Dia membuka box rujak jambu kristal yang tadi dibelinya di jalan menuju kantor Irham. Meskipun sudah sore, tetapi tidak mengurangi keinginan Raina untuk memakan buah tersebut."Tentang kita. Tentang akad." Irham menatap Raina penuh perhatian. Namun, as always, yang ditatap sibuk mengalihkan pandangan.Wanita itu mencicipi jambu kristalnya dengan khusyuk. Matanya seolah mengeluarkan cahaya bintang karena terlalu exci
Berada di antara kalian membuatku sakit. Namun, aku juga bahagia karena melihat Raina bahagia.~ Adli Winata galau tak berkesudahan.===Jadi, siapa sebenarnya yang orang ketiga? Adli atau Irham? Irham lebih dulu menyukai Raina bahkan sejak gadis itu masih bau keringat. Namun, Adli lebih dulu menapaki masa-masa kuliah bersama Raina. Dia lebih dulu memperkenalkan diri. Yang pasti, mereka memiliki ruang berbeda dalam hati Raina.Adli curiga pemilik akun fanbase itu adalah orang di sekitar lokasi syuting, tetapi siapa? Pria itu mengambil handphone dari saku. Setidaknya rumor bisa ditutup dengan postingan ini. Dia menarik lengan Raina untuk mendekat. Begitu juga dengan Irham. Jadi, posisi Adli sekarang berada di antara pasangan itu.Irham mengerutkan kening. "Kamu mau ngapain?" tanyanya waspada.Adli hanya berdecak sebal dengan mata melirik Irham penuh kekesalan.Sementara, Raina hanya tersenyum melihat interaksi di antara dua pria tersebut."Foto dulu buat kenangan." Adli mengangkat tang
Apa ada yang lebih bahagia daripada menikah dengan orang yang kamu cintai dan mencintaimu? - Irham Nusahakam Apa ada yang lebih ikhlas daripada melihat orang yang kamu cintai menikah dengan pilihannya? - Adli Winata Apa ada yang lebih galau daripada mencintai orang yang telanjur mencintai orang lain? - Aldian =========== Setelah chating ingin bicara pada waktu itu, Raina tiba-tiba sibuk bolak-balik kantor webtun untuk beberapa kali rapat dan ACC komiknya yang akan diadaptasi menjadi sebuah drama web series. Dia pun seketika lupa kalau memiliki seorang tunangan yang kesabarannya setinggi gunung Everest. Ya, ketinggian 8800 meter di atas permukaan laut. Meskipun kesabarannya setinggi gunung, akan tetapi terkadang berubah menjadi setipis tisu. Seperti hari ini, Raina terkejut melihat Irham sudah duduk di lobi kantor. Dia baru saja bertemu Kriss untuk rapat dan baru mendapat bocoran bahwa Irham memiliki saham di perusahaan tersebut sejak beberapa tahun lalu. Apa itu juga dilakukann
"Pak Irham sengaja ya nempelin aku terus supaya enggak mau ditinggal?"Raina and her bucin fiancee.--------Ini sudah beberapa jam sejak Raina hanya membalas pertanyaan Irham dengan senyum. Sungguh, dia malu kalau harus berkata tidak sanggup berjauhan dari Irham. Lagipula, tingkat kebucinan Raina belum setinggi itu. Kalau diukur pakai penggaris, kebucinan Raina mungkin hanya 5 cm, jauh berbeda dibanding kebucinan Irham yang menjulang tinggi.Sekarang, mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Awalnya, mama meminta Raina untuk tinggal di Bogor saja. Namun, Raina tidak betah tinggal di rumah mamanya sendiri. Dia lebih nyaman tinggal di rumahnya, meskipun kesepian.Sejak kehadiran Irham, kesepian hanya sebuah keadaan, buktinya hati Raina terus saja dipenuhi keramaian tentang pria itu.Irham melirik Raina yang pagi ini memakai sebuah dress berbahan crinkle airflow premium dengan jilbab lebih cerah dan bermotif. Dia secara natural menarik senyuman. Bagaimana ini? Irham sama