LOGINJam di layar HP baru menunjukkan pukul sepuluh lewat sedikit waktu Aluna sampai di kampus. Ia baru saja mendapat pesan dari bagian administrasi untuk ngambil SK dosen pembimbing skripsi.
Rambutnya masih agak lembap habis cuci muka di toilet dekat gerbang. Kali ini make up Aluna begitu natural. Sekilas, ia kelihatan seperti mahasiswi biasa. Padahal barusan, beberapa jam lalu, tangannya masih memegang lap basah di ruangan VIP Eden. “Pagi, Mbak” sapanya waktu masuk ke ruang fakultas. "Pagi, ada yang bisa saya bantu?" "Begini Bu, saya mau mengambil SK Dosen Pembimbing Skripsi. "Atas nama siapa?" tanya balik sekretaris prodi. “Aluna Prameswari, Bu.” Seraya menunggu Aluna mengamati sekitar, sekretaris prodi itu terlihat mengetik sesuatu di komputer nya, lalu tak lama bunyi mesin fotokopi terdengar. “Ini SK-nya. Dosen pembimbing utama kamu sudah ditetapkan.” "Baik, Bu Terimakasih." “Selamat, ya. semoga lancar skripsinya.” “Terima kasih, Bu.” Aluna tersenyum. Senyum yang sopan, tapi kaku. Begitu keluar, ia berdiri di dekat taman fakultas, membuka kertas itu dengan jari yang sedikit bergetar. Nama di baris bawah langsung menarik matanya. Dosen Pembimbing Utama: Dr. Sagaras Mahendra Adiguna, M.M. Aluna diam. Angin lewat pelan, tapi dadanya mendadak sesak. Nama itu… mustahil kan? Tangannya buru-buru melipat kertas itu, seolah kalau ia nggak lihat, tulisan itu bakal berubah sendiri. “Banyak kali orang namanya Sagara,” gumamnya lirih, setengah meyakinkan diri sendiri. “Iya, pasti bukan dia.” Suaranya pelan, nyaris seperti doa. Tapi kenangan samar dari semalam menampar: suara berat itu, caranya memanggil namanya, tatapan yang tajam tapi santai. Ia menggigit bibir bawahnya, menepis pikiran yang mulai liar. Bukan. Nggak mungkin. Dosen muda? Di kampusnya? Yang katanya lulusan luar negeri? Masa iya? “Lo serius?” suara Naura bikin Aluna kaget. Dari arah kantin, Naura melambai sambil bawa dua gelas es teh, diikuti Zora yang sibuk bungkus nasi goreng. “Lo bengong ngapain? Ayo sini. Zora udah marah-marah kelaparan,” seru Naura. Aluna buru-buru melipat kertas itu dan menyimpannya ke tas. “Oh, iya. Abis ambil SK,” jawabnya santai, meski nadanya agak serak. Mereka duduk di meja pojok kantin. Naura langsung nembak, “Terus lo dapet siapa? Jangan bilang yang killer itu, ya?” Zora nyeletuk sambil nyendok nasi, “Atau jangan-jangan yang baru tuh? Katanya dosen muda, cakep tapi galak banget. Mahasiswa bisnis udah heboh dari kemarin.” Aluna cuma mengangkat bahu. “Baru sih kayaknya.” “Namanya siapa?” “Sagara,” jawabnya pelan, lalu buru-buru nyeruput es tehnya. “Sagara siapa?” “Mahendra. Kayaknya dia yang baru pindah itu.” Naura berdecak, “Lo beruntung! Katanya doi ganteng parah, masih muda, tapi super disiplin. Ya ampun, skripsi lo bakal lulus duluan, Lun.” Aluna cuma nyengir kecil. Dalam hati, dadanya terasa berat. Ia nggak berani mikir terlalu jauh, tapi satu hal pasti: dunia malam dan dunia siangnya mulai beririsan. Dan entah kenapa, itu nggak terasa seperti kebetulan. Naura menyender santai di kursi, memainkan sedotannya. “Jadi, kapan lu mau ngasih suratnya ke Pak Sagara?” tanyanya santai. “Gue denger beliau sibuk banget, jarang nongol di kampus. Kalo bisa cepet ketemu, biar skripsi lu cepet kelar juga, Lun.” Zora nimpalin sambil cengengesan, “Iya, katanya sih kalau udah keburu penuh jadwalnya, susah banget ngejar bimbingan. Nanti malah numpuk.” Aluna hanya tersenyum tipis. “Ya… liat aja nanti. Gue belum sempet cari jadwalnya,” jawabnya datar, pura-pura sibuk motongin ayam di piringnya. Naura mencondongkan badan. “Loh, tumben lo nggak buru-buru. Biasanya yang rajin tuh, tiap ada pengumuman langsung beresin.” “Iya nih,” tambah Zora, “jangan-jangan lo takut duluan gara-gara katanya killer?” Aluna terkekeh pendek, lebih ke menutupi gugup. “Takut apaan sih. Cuma… ya, baru aja dapet. Gue mau pelan-pelan dulu.” Padahal, di dalam dadanya, pelan-pelan bukan karena santai. Tapi karena ketakutan. Nama itu masih berputar di kepalanya seperti gema yang nggak mau hilang. Sagara. Dr. Sagaras Mahendra Adiguna. Tangannya refleks menyentuh tas tempat SK itu disimpan. Masih di sana, masih nyata. Dan tiap kali Zora atau Naura nyebut “Pak Sagara”, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. “Pokoknya jangan nunda, Lun,” kata Naura, “ntar keburu disemprot dosen lain. Gue aja udah WA asistennya dua kali buat janjian.” Aluna angguk kecil. “Iya, nanti gue coba hubungi,” katanya pelan. Tapi di kepalanya, cuma ada satu kalimat: Gimana kalau benar dia orangnya?Aluna terbangun dengan napas berat. Udara terasa lembap. Suasana juga begitu sunyi. Lampu redup di pojok ruangan menyorot samar, cukup untuk memperlihatkan siluet furnitur gelap dan kilau botol di meja bar kecil. Ia mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat. Tenggorokan juga kering. Ada jaket hitam di atas tubuhnya, berbau maskulin yang terlalu familiar. Di mana ini? Kenapa aku di sini? Matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Baru kemudian ia sadar jika ia tidak berada di kamarnya. Ini ruangan berbeda. Luas, berlapis aroma bourbon dan kayu tua. Lantai karpet tebal. Dinding kaca tertutup tirai gelap. Dan di meja di ujung ruangan, terdapat gelas kristal yang tadi. Masih ada sisa cairan di dalamnya. Aluna menegakkan tubuh dengan hati-hati. Jantungnya berdetak cepat. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan sosok yang familiar tapi tidak ada siapa pun di sana.
Lampu-lampu gantung berwarna keemasan memantul di meja marmer hitam. Musik jazz pelan mengisi udara dengan nada-nada yang terlalu halus untuk dianggap penghibur, tapi terlalu hidup untuk diabaikan. Sagara berjalan masuk, jas hitamnya rapi tanpa cela, langkahnya tegap dan terukur. Tidak ada lagi sisa kehangatan dari ruangan tempat Aluna tertidur yang tersisa hanyalah dingin dan ketegasan seorang pemimpin. Di salah satu bilik privat, dua pria sudah menunggunya. Salah satunya adalah Tuan Nakamura, pria paruh baya asal Jepang dengan tatapan setajam pisau. Di sebelahnya, penerjemah dan salah satu konsultan keuangan Eden Group, Ardi. “Sagara-san,” sapa Nakamura dengan senyum kecil. “Selalu tepat waktu.” “Ketepatan waktu adalah bentuk penghormatan, Nakamura-san,” balasnya singkat, duduk di hadapan mereka. Ardi membuka map berisi dokumen kerja sama. “Kita bahas kelanjutan joint project antara Eden Holdings dan Akiyama Corporat
Aluna terus merancau mengakibatkan sensasi aneh di leher Sagara. Pria itu menggertakkan rahang. Setiap desah yang meluncur dari bibir Aluna, setiap hembusan napas yang menghangatkan kulitnya perlahan menggerogoti kendali yang selama ini ia banggakan. "Kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan," bisiknya serak, jemarinya mengepal di punggung Aluna. Rasanya ingin mendorong, ingin memeluk erat, tapi malah terjebak di antara dua hasrat. Dengan susah payah, Sagara menarik diri beberapa inci. Matanya gelap. Bukan hanya karena alkohol atau ramuan itu tapi karena sesuatu yang jauh lebih berbahaya. "Jika kau terus seperti ini aku tidak akan bisa menjagamu lagi." Bisik Sagar pelan, suaranya nyaris patah. "Dan kau tahu hal terburuknya? Aku sudah tidak ingin menjaga diriku sendiri darimu," lanjutnya. Merasakan tubuh Sagara perlahan menjauh, Aluna kembali merengek. Bahkan kini ia terisak pelan. "Hiks. Nggak mau," bisiknya manja. Sagara merinding saat mendengar desah lembutnya. Ras
mobil berhenti di depan club. Aluna keluar lebih dulu, berdiri dengan canggung di samping mobil. Kemudian Sagara turun setelahnya, memasangkan kancing lengan kemeja sebelum memasukan tangan ke dalam saku celana. Tatapanannya lurus ke depan, tapi pandangan ia arahkan ke Aluna dengan jelas. "Berhati-hatilah pada apa yang akan kau lihat dalam situasi seperti ini," katanya sembari memulai langkah panjang ke arah pintu masuk. "Saya sudah terbiasa dengan suasana ini, Pak." Sagara menarik satu alis dengan penasaran. "Sudah biasa?" tanyanya menyeringai. Kali ini, suaranya lebih serius dari sebelumnya. "Mungkin, tapi malam ini akan berbeda. Karena aku akan berada bersamamu." Alea merasa bingung, apa yang berbeda? Meskipun hatinya berdegup takut ia tetap mengikuti Sagara masuk ke dalam ruangannya. "Apa yang bisa saya bantu pak?" Sagara menatapnya untuk beberapa kali, pandangan tegas. Ia berjalan ke arah bar, menyandar di atas meja dengan santai. "Kau tidak perlu melakukan b
Jika biasanya ke kampus adalah hal favorit Aluna maka sekarang terasa berbeda. Kali ini dengan langkah berat ia kembali menuju ruangan Sagara. Di tangannya ada map biru berisi draft judul dan latar belakang masalah skripsinya. Telapak tangannya berkeringat. “Santai, Lun,” gumamnya pelan. “Ini cuma konsultasi. Biasa aja.” Tapi bagaimana bisa biasa, kalau orang yang harus ia temui adalah orang yang semalam menatapnya seolah tahu setiap rahasia di tubuh dan pikirannya? Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. “Masuk.” Suara itu rendah, tenang, dan langsung membuat jantungnya berdebar dua kali lipat. Sagara duduk di belakang meja kerja, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tak ada aroma alkohol atau lampu neon seperti di Eden, tapi wibawa yang sama masih ada. “Silakan duduk.” Aluna duduk perlahan, menunduk sopan sambil menyerahkan map. “Ini, Pak… draft sementara judul dan latar belakang masalah saya.” Sagara membuka map itu dengan tenang, membaca sekilas, lalu
“Apa saya boleh pergi, Pak?” tanya Aluna pelan, setelah merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. “Tunggu. Kali ini belum.” Sagara menurunkan pandangannya, lalu duduk di samping Aluna. Gerakannya tenang, tapi cukup untuk membuat napas Aluna tercekat. Ia diam, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Hatinya berdebar entah karena takut, gugup, atau keduanya. Di sebelahnya, Sagara masih menatap tanpa suara. Tatapan itu menusuk, seperti bisa menembus lapisan pikirannya. “Aku ingin bertanya sesuatu,” katanya akhirnya, lembut tapi tegas. “Jawab dengan jujur. Apakah kau takut padaku, Aluna?” “Sedikit, Pak.” Senyum tipis terbit di sudut bibir Sagara. Nyaris tak terlihat. “Kenapa? Ada alasan tertentu untuk takut?” Aluna menunduk, tak sanggup menatap. Jarak mereka terlalu dekat. Parfum Sagara dengan aroma kayu dan mint yang khas membuyarkan pikirannya. Lalu, jemari Sagara menyentuh lembut rambut Aluna. Ia condong sedikit, suaranya menurun, hampir seperti desau angin. “Kau bisa mendengar







