LOGINSetelah satu jam di perpustakaan, Aluna akhirnya menyerah. Ia tahu pikirannya nggak akan tenang sebelum memastikan satu hal apakah “Sagaras Mahendra Adiguna” itu benar dia.
Dengan napas berat, Aluna membuka chat W******p. Nomor dosen pembimbing yang tertulis di SK sudah ia simpan tadi pagi. Tanpa banyak mikir, ia ketik pesan singkat. Selamat siang, Pak. Saya Aluna Prameswari mahasiswi bimbingan skripsi Bapak. Saya ingin mengonfirmasi jadwal pertemuan untuk membahas skripsi saya. Apakah Bapak ada waktu minggu ini? Pesan terkirim. Tanda centang dua abu-abu. Lalu biru. Lalu tak lama kemudian balasan masuk. "Ke ruangan saya sekarang." Satu kalimat. Dingin. Tegas. Tanpa titik dua, tanpa salam. Sama persis seperti nada bicaranya semalam. Aluna menatap layar lama. Rasanya seperti darahnya berhenti mengalir sesaat. Ia membaca ulang kalimat itu berkali-kali, berharap ada kesalahan. Tapi tidak. Nomor itu benar. Nama itu juga sama. Jantungnya berdetak cepat. Ia sempat menggigit ujung pulpen, mencoba menenangkan diri. “Ya udah, paling cuma mirip. Lagian, mana mungkin,” bisiknya, tapi nada suaranya sendiri terdengar goyah. Tangannya gemetar kecil waktu menutup laptop dan memasukkan semuanya ke tas. Langkahnya menuju gedung dosen terasa berat. Setiap langkah seperti memantulkan suara jantungnya sendiri. Di lantai dua, papan nama kecil itu menunggu di depan pintu berwarna krem. Dr. Sagaras Mahendra Adiguna, M.M. Ia berhenti tepat di depannya. Napasnya berat. Tangannya sempat menggantung di udara sebelum akhirnya mengetuk pelan. Tok. Tok. “Masuk.” Suara itu persis seperti yang ia ingat. Tenang, dalam, dan membuat udara di paru-parunya seolah menipis. Pintu terbuka perlahan, mengeluarkan suara engsel yang nyaris tenggelam oleh detak jantung Aluna sendiri. Ruangan itu rapi, wangi kopi hitam, dan berisi aroma kertas baru. Di balik meja besar kayu cokelat muda, seseorang tengah menatap layar laptop dan ketika ia mendongak, dunia Aluna seolah berhenti sebentar. Sagara. Masih dengan ekspresi tenang, kemeja putih dilipat di lengan, dan jam tangan yang sama seperti malam itu. Ia mengerutkan kening sejenak, seperti sedang memastikan sesuatu. Lalu… sudut bibirnya terangkat tipis. Bukan senyum ramah dosen, tapi lebih seperti seseorang yang baru saja menemukan rahasia kecil yang menyenangkan. “Silakan duduk,” katanya tenang. Nada suaranya tidak berubah, tapi ada sesuatu di balik ketenangannya yang membuat udara di ruangan itu lebih berat. Aluna berdiri kaku di depan kursi, matanya menatap meja, bukan wajahnya. Ia ingin bicara, tapi lidahnya seperti membatu. Bahkan untuk mengatur napas pun terasa susah. “Mahasiswa baru bimbingan saya, kan?” Sagara menutup laptopnya perlahan. “Iya, Pak.” suaranya hampir hilang, terlalu pelan. Sagara menyandarkan tubuh ke kursi, tangan kirinya memutar pena di antara jari. Tatapannya jatuh tepat ke arah Aluna, tenang tapi tajam, seperti sedang mengukur jarak yang pernah ada di antara mereka. “Nama kamu?” “Aluna Prameswari.” “Hmm.” Ia mengangguk kecil, matanya tak lepas dari wajahnya. “Kita… pernah ketemu sebelumnya, ya?” Pertanyaan itu keluar datar, tapi cukup untuk membuat seluruh tubuh Aluna menegang. Ia cepat-cepat menunduk. “Sepertinya tidak, Pak.” Sagara hanya tersenyum tipis lagi—senyum itu, yang samar tapi jelas punya arti lain. “Baiklah.” Ia membuka map di mejanya, seolah percakapan tadi tidak pernah terjadi. “Tulis topik penelitian kamu di sini,” katanya, mendorong selembar kertas ke arah Aluna. Aluna melangkah maju. Tangannya sedikit gemetar saat mengambil pulpen. Sagara memperhatikan gerakannya dengan tatapan tenang, nyaris tak berkedip. Dan saat jarak mereka hanya tinggal satu meter, aroma parfum pria itu menyeruak halus—aroma yang semalam menempel di pikirannya sampai sekarang. Untuk sepersekian detik, Aluna berhenti menulis. Tangannya beku di atas kertas. Sagara memperhatikannya sebentar, lalu menurunkan suaranya sedikit, nyaris seperti bisikan. “Tenang saja, Aluna. Di sini… saya dosen kamu.” Nada suaranya datar, tapi matanya berkata lain. Aluna menelan ludah, pelan, mencoba menegakkan tubuhnya lagi. “Iya, Pak.” Tapi bahkan setelah menulis topiknya dan keluar dari ruangan itu, ia masih bisa merasakan tatapan itu di punggungnya dingin, lembut, tapi berbahaya.Aluna terbangun dengan napas berat. Udara terasa lembap. Suasana juga begitu sunyi. Lampu redup di pojok ruangan menyorot samar, cukup untuk memperlihatkan siluet furnitur gelap dan kilau botol di meja bar kecil. Ia mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat. Tenggorokan juga kering. Ada jaket hitam di atas tubuhnya, berbau maskulin yang terlalu familiar. Di mana ini? Kenapa aku di sini? Matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Baru kemudian ia sadar jika ia tidak berada di kamarnya. Ini ruangan berbeda. Luas, berlapis aroma bourbon dan kayu tua. Lantai karpet tebal. Dinding kaca tertutup tirai gelap. Dan di meja di ujung ruangan, terdapat gelas kristal yang tadi. Masih ada sisa cairan di dalamnya. Aluna menegakkan tubuh dengan hati-hati. Jantungnya berdetak cepat. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan sosok yang familiar tapi tidak ada siapa pun di sana.
Lampu-lampu gantung berwarna keemasan memantul di meja marmer hitam. Musik jazz pelan mengisi udara dengan nada-nada yang terlalu halus untuk dianggap penghibur, tapi terlalu hidup untuk diabaikan. Sagara berjalan masuk, jas hitamnya rapi tanpa cela, langkahnya tegap dan terukur. Tidak ada lagi sisa kehangatan dari ruangan tempat Aluna tertidur yang tersisa hanyalah dingin dan ketegasan seorang pemimpin. Di salah satu bilik privat, dua pria sudah menunggunya. Salah satunya adalah Tuan Nakamura, pria paruh baya asal Jepang dengan tatapan setajam pisau. Di sebelahnya, penerjemah dan salah satu konsultan keuangan Eden Group, Ardi. “Sagara-san,” sapa Nakamura dengan senyum kecil. “Selalu tepat waktu.” “Ketepatan waktu adalah bentuk penghormatan, Nakamura-san,” balasnya singkat, duduk di hadapan mereka. Ardi membuka map berisi dokumen kerja sama. “Kita bahas kelanjutan joint project antara Eden Holdings dan Akiyama Corporat
Aluna terus merancau mengakibatkan sensasi aneh di leher Sagara. Pria itu menggertakkan rahang. Setiap desah yang meluncur dari bibir Aluna, setiap hembusan napas yang menghangatkan kulitnya perlahan menggerogoti kendali yang selama ini ia banggakan. "Kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan," bisiknya serak, jemarinya mengepal di punggung Aluna. Rasanya ingin mendorong, ingin memeluk erat, tapi malah terjebak di antara dua hasrat. Dengan susah payah, Sagara menarik diri beberapa inci. Matanya gelap. Bukan hanya karena alkohol atau ramuan itu tapi karena sesuatu yang jauh lebih berbahaya. "Jika kau terus seperti ini aku tidak akan bisa menjagamu lagi." Bisik Sagar pelan, suaranya nyaris patah. "Dan kau tahu hal terburuknya? Aku sudah tidak ingin menjaga diriku sendiri darimu," lanjutnya. Merasakan tubuh Sagara perlahan menjauh, Aluna kembali merengek. Bahkan kini ia terisak pelan. "Hiks. Nggak mau," bisiknya manja. Sagara merinding saat mendengar desah lembutnya. Ras
mobil berhenti di depan club. Aluna keluar lebih dulu, berdiri dengan canggung di samping mobil. Kemudian Sagara turun setelahnya, memasangkan kancing lengan kemeja sebelum memasukan tangan ke dalam saku celana. Tatapanannya lurus ke depan, tapi pandangan ia arahkan ke Aluna dengan jelas. "Berhati-hatilah pada apa yang akan kau lihat dalam situasi seperti ini," katanya sembari memulai langkah panjang ke arah pintu masuk. "Saya sudah terbiasa dengan suasana ini, Pak." Sagara menarik satu alis dengan penasaran. "Sudah biasa?" tanyanya menyeringai. Kali ini, suaranya lebih serius dari sebelumnya. "Mungkin, tapi malam ini akan berbeda. Karena aku akan berada bersamamu." Alea merasa bingung, apa yang berbeda? Meskipun hatinya berdegup takut ia tetap mengikuti Sagara masuk ke dalam ruangannya. "Apa yang bisa saya bantu pak?" Sagara menatapnya untuk beberapa kali, pandangan tegas. Ia berjalan ke arah bar, menyandar di atas meja dengan santai. "Kau tidak perlu melakukan b
Jika biasanya ke kampus adalah hal favorit Aluna maka sekarang terasa berbeda. Kali ini dengan langkah berat ia kembali menuju ruangan Sagara. Di tangannya ada map biru berisi draft judul dan latar belakang masalah skripsinya. Telapak tangannya berkeringat. “Santai, Lun,” gumamnya pelan. “Ini cuma konsultasi. Biasa aja.” Tapi bagaimana bisa biasa, kalau orang yang harus ia temui adalah orang yang semalam menatapnya seolah tahu setiap rahasia di tubuh dan pikirannya? Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. “Masuk.” Suara itu rendah, tenang, dan langsung membuat jantungnya berdebar dua kali lipat. Sagara duduk di belakang meja kerja, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tak ada aroma alkohol atau lampu neon seperti di Eden, tapi wibawa yang sama masih ada. “Silakan duduk.” Aluna duduk perlahan, menunduk sopan sambil menyerahkan map. “Ini, Pak… draft sementara judul dan latar belakang masalah saya.” Sagara membuka map itu dengan tenang, membaca sekilas, lalu
“Apa saya boleh pergi, Pak?” tanya Aluna pelan, setelah merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. “Tunggu. Kali ini belum.” Sagara menurunkan pandangannya, lalu duduk di samping Aluna. Gerakannya tenang, tapi cukup untuk membuat napas Aluna tercekat. Ia diam, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Hatinya berdebar entah karena takut, gugup, atau keduanya. Di sebelahnya, Sagara masih menatap tanpa suara. Tatapan itu menusuk, seperti bisa menembus lapisan pikirannya. “Aku ingin bertanya sesuatu,” katanya akhirnya, lembut tapi tegas. “Jawab dengan jujur. Apakah kau takut padaku, Aluna?” “Sedikit, Pak.” Senyum tipis terbit di sudut bibir Sagara. Nyaris tak terlihat. “Kenapa? Ada alasan tertentu untuk takut?” Aluna menunduk, tak sanggup menatap. Jarak mereka terlalu dekat. Parfum Sagara dengan aroma kayu dan mint yang khas membuyarkan pikirannya. Lalu, jemari Sagara menyentuh lembut rambut Aluna. Ia condong sedikit, suaranya menurun, hampir seperti desau angin. “Kau bisa mendengar







