Share

Bab 4

Author: Arievelle
last update Last Updated: 2025-11-07 07:21:02

Udara di waktu dini hari ini masih menyisakan sisa aroma alkohol ketika Aluna keluar dari Eden. Di belakangnya ampu ungu klub itu berkedip pelan seolah mengingatkan bahwa di dalam sana, ibunya masih ada. Masih bekerja dan juga masih bertahan.

Kosan Aluna tak jauh dari situ. Hanya lima menit berjalan kaki melewati deretan warung kopi dan toko yang sudah tutup.

Bangunannya tua, cat dinding mulai pudar, tapi cukup aman. Arman yang bantu mencarikannya tiga tahun lalu, waktu ibunya mulai sakit-sakitan dan tak bisa lagi mengawasi.

“Kerja aja di bagian pelayan, Aluna. Nyokap lo udah nitip sama gue,” kata Arman dulu, dengan suara berat dan tatapan yang entah iba, entah sekadar bisnis.

Kini, kalimat itu terus terngiang di kepalanya setiap kali ia pulang malam seperti ini.

Begitu sampai di kamar, Aluna menyalakan lampu kuning redup. Kamar kosnya kecil tapi rapi. Ada rak buku dengan tumpukan kertas, piala, dan sertifikat—bukti masa lalu yang berbeda:

Juara 1 Lomba Essay Nasional, Finalis Public Speaking Competition, Duta Literasi SMA.

Semuanya tampak seperti milik orang lain. Bukan milik seorang pelayan bar. Ia menatap lembaran-lembaran itu lama, sebelum akhirnya meletakkan tas dan menatap cermin di meja kecil dekat jendela.

Wajahnya masih ber-make up, seragam hitamnya masih melekat rapat di tubuh, dan bibirnya masih tersisa lipstik merah pucat. Cermin itu retak di sudutnya sama seperti retak yang ada di hidupnya.

Ibunya dulu sering berdiri di depan cermin yang sama, merapikan rambut sambil berkata, "Ibu cuma kerja, Lun. Cuma kerja."

Tapi Aluna kecil tahu jika kadang “kerja” artinya lain setelah tengah malam.

Sekarang, dua puluh satu tahun kemudian, ia berdiri di tempat yang sama. Di klub yang sama. Bedanya, ia hanya melayani minuman, bukan tubuhnya. Tapi ketakutannya sama bahwa batas itu suatu hari bisa kabur.

Ia menatap pantulan dirinya dalam-dalam. Bayangan ibunya seperti muncul samar di belakangnya—wanita cantik dengan mata lelah dan senyum yang nyaris menyerah.

“Bu,” bisiknya pelan, suaranya bergetar. “Aku nggak mau jadi kayak Ibu. Aku janji.”

Namun, janji itu terdengar lemah di antara suara kendaraan di luar sana.

Karena di sudut pikirannya, suara lain berbisik. "Tapi kamu udah mulai mirip, Lun."

Air matanya jatuh pelan. Ia segera menghapusnya, menghela napas panjang, lalu menatap cermin sekali lagi.

Di balik kelelahan itu, ada tekad kecil, tipis tapi nyata. Ia menggenggam sertifikat yang paling atas, menatap tulisan namanya yang tercetak rapi:

Aluna Prameswari – The Best Speaker 2018.

“Masih ada aku yang dulu,” gumamnya.

“Mungkin belum mati sepenuhnya.”

Lalu ia memejamkan mata.

Besok, pagi-pagi ia harus kembali ke Eden.

Membersihkan ruang pribadi pria bernama Sagaras Mahendra Adiguna—dan entah kenapa, pikirannya masih tersisa di tatapan pria itu malam ini.

***

Pagi di Eden bukan pagi yang biasa. Tak ada kicau burung, tak ada sinar matahari yang masuk leluasa. Hanya ada bau alkohol basi yang masih tertinggal di udara, bercampur wangi karpet yang baru dipel dan samar aroma rokok yang menempel di langit-langit.

Aluna datang lebih awal dari siapa pun. Kunci ruang VIP masih dingin ketika ia putar, menimbulkan bunyi klik kecil yang memantul di dinding. Ruang itu masih seperti tadi malam berisi gelas-gelas kosong di meja, puntung rokok di asbak, dan sisa dokumen yang tertinggal rapi di satu sisi.

Ia menatap sekeliling sebentar. Entah kenapa, ada sensasi aneh di dada. Ruangan itu berbau Sagara. Tidak benar-benar wangi cologne, tapi semacam jejak yang samar. Seolah seseorang dengan kendali besar pernah duduk di sini dan meninggalkan sisa energinya.

Aluna menunduk, mulai bekerja. Tangannya memungut gelas satu per satu, menyapu debu yang nyaris tak ada. Langkahnya berhati-hati, nyaris tanpa suara. Tapi di kepalanya, suara justru terlalu ramai.

Kalau dia tahu aku anak siapa? Kalau dia tahu Ibu masih kerja di sini? Kalau semua ini cuma awal dari sesuatu yang lebih buruk?

Setiap kali pikiran itu muncul, ia berhenti sejenak.

Menatap refleksi dirinya di permukaan meja kaca.

Samar, tapi cukup untuk membuatnya merasa seperti orang lain.

“Bersihkan ruang pribadiku,” begitu kata pria itu semalam. Nada suara itu masih menempel. Dingin tapi pasti. Dan sekarang, Aluna berada disini sendirian, melakukan perintah itu.

Ia menarik napas pelan, mengelap sisa noda di meja. Lalu matanya tertumbuk pada sesuatu di ujung sofa, begitu diamati ternyata selembar kertas putih terlipat. Bukan dokumen. Bukan milik tamu lain. Tulisan di pojoknya hanya satu kata: “Eden.”

Ia menatapnya sebentar, lalu memutuskan untuk tidak membukanya. Entah kenapa, instingnya bilang: jangan.

Aluna melanjutkan membersihkan. Setiap gerakan kecil terasa seperti ritua menebus sesuatu yang belum ia lakukan tapi sudah ia sesali.

Ia berhenti di tengah ruangan, memandangi hasil kerjanya. Sempurna. Rapi. Hening. Tapi justru hening itu membuat napasnya sesak.

Kalau aku terus di sini, apa aku juga akan jadi seperti Ibu? Apa semua ini ujungnya cuma pengulangan nasib?

Ia memejamkan mata. Bukan karena lelah, tapi karena takut menatap masa depan yang mulai terasa terlalu mirip masa lalu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 14

    Aluna terbangun dengan napas berat. Udara terasa lembap. Suasana juga begitu sunyi. Lampu redup di pojok ruangan menyorot samar, cukup untuk memperlihatkan siluet furnitur gelap dan kilau botol di meja bar kecil. Ia mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat. Tenggorokan juga kering. Ada jaket hitam di atas tubuhnya, berbau maskulin yang terlalu familiar. Di mana ini? Kenapa aku di sini? Matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Baru kemudian ia sadar jika ia tidak berada di kamarnya. Ini ruangan berbeda. Luas, berlapis aroma bourbon dan kayu tua. Lantai karpet tebal. Dinding kaca tertutup tirai gelap. Dan di meja di ujung ruangan, terdapat gelas kristal yang tadi. Masih ada sisa cairan di dalamnya. Aluna menegakkan tubuh dengan hati-hati. Jantungnya berdetak cepat. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan sosok yang familiar tapi tidak ada siapa pun di sana.

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 13

    Lampu-lampu gantung berwarna keemasan memantul di meja marmer hitam. Musik jazz pelan mengisi udara dengan nada-nada yang terlalu halus untuk dianggap penghibur, tapi terlalu hidup untuk diabaikan. Sagara berjalan masuk, jas hitamnya rapi tanpa cela, langkahnya tegap dan terukur. Tidak ada lagi sisa kehangatan dari ruangan tempat Aluna tertidur yang tersisa hanyalah dingin dan ketegasan seorang pemimpin. Di salah satu bilik privat, dua pria sudah menunggunya. Salah satunya adalah Tuan Nakamura, pria paruh baya asal Jepang dengan tatapan setajam pisau. Di sebelahnya, penerjemah dan salah satu konsultan keuangan Eden Group, Ardi. “Sagara-san,” sapa Nakamura dengan senyum kecil. “Selalu tepat waktu.” “Ketepatan waktu adalah bentuk penghormatan, Nakamura-san,” balasnya singkat, duduk di hadapan mereka. Ardi membuka map berisi dokumen kerja sama. “Kita bahas kelanjutan joint project antara Eden Holdings dan Akiyama Corporat

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 12

    Aluna terus merancau mengakibatkan sensasi aneh di leher Sagara. Pria itu menggertakkan rahang. Setiap desah yang meluncur dari bibir Aluna, setiap hembusan napas yang menghangatkan kulitnya perlahan menggerogoti kendali yang selama ini ia banggakan. "Kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan," bisiknya serak, jemarinya mengepal di punggung Aluna. Rasanya ingin mendorong, ingin memeluk erat, tapi malah terjebak di antara dua hasrat. Dengan susah payah, Sagara menarik diri beberapa inci. Matanya gelap. Bukan hanya karena alkohol atau ramuan itu tapi karena sesuatu yang jauh lebih berbahaya. "Jika kau terus seperti ini aku tidak akan bisa menjagamu lagi." Bisik Sagar pelan, suaranya nyaris patah. "Dan kau tahu hal terburuknya? Aku sudah tidak ingin menjaga diriku sendiri darimu," lanjutnya. Merasakan tubuh Sagara perlahan menjauh, Aluna kembali merengek. Bahkan kini ia terisak pelan. "Hiks. Nggak mau," bisiknya manja. Sagara merinding saat mendengar desah lembutnya. Ras

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 11

    mobil berhenti di depan club. Aluna keluar lebih dulu, berdiri dengan canggung di samping mobil. Kemudian Sagara turun setelahnya, memasangkan kancing lengan kemeja sebelum memasukan tangan ke dalam saku celana. Tatapanannya lurus ke depan, tapi pandangan ia arahkan ke Aluna dengan jelas. "Berhati-hatilah pada apa yang akan kau lihat dalam situasi seperti ini," katanya sembari memulai langkah panjang ke arah pintu masuk. "Saya sudah terbiasa dengan suasana ini, Pak." Sagara menarik satu alis dengan penasaran. "Sudah biasa?" tanyanya menyeringai. Kali ini, suaranya lebih serius dari sebelumnya. "Mungkin, tapi malam ini akan berbeda. Karena aku akan berada bersamamu." Alea merasa bingung, apa yang berbeda? Meskipun hatinya berdegup takut ia tetap mengikuti Sagara masuk ke dalam ruangannya. "Apa yang bisa saya bantu pak?" Sagara menatapnya untuk beberapa kali, pandangan tegas. Ia berjalan ke arah bar, menyandar di atas meja dengan santai. "Kau tidak perlu melakukan b

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 10

    Jika biasanya ke kampus adalah hal favorit Aluna maka sekarang terasa berbeda. Kali ini dengan langkah berat ia kembali menuju ruangan Sagara. Di tangannya ada map biru berisi draft judul dan latar belakang masalah skripsinya. Telapak tangannya berkeringat. “Santai, Lun,” gumamnya pelan. “Ini cuma konsultasi. Biasa aja.” Tapi bagaimana bisa biasa, kalau orang yang harus ia temui adalah orang yang semalam menatapnya seolah tahu setiap rahasia di tubuh dan pikirannya? Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. “Masuk.” Suara itu rendah, tenang, dan langsung membuat jantungnya berdebar dua kali lipat. Sagara duduk di belakang meja kerja, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tak ada aroma alkohol atau lampu neon seperti di Eden, tapi wibawa yang sama masih ada. “Silakan duduk.” Aluna duduk perlahan, menunduk sopan sambil menyerahkan map. “Ini, Pak… draft sementara judul dan latar belakang masalah saya.” Sagara membuka map itu dengan tenang, membaca sekilas, lalu

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 9

    “Apa saya boleh pergi, Pak?” tanya Aluna pelan, setelah merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. “Tunggu. Kali ini belum.” Sagara menurunkan pandangannya, lalu duduk di samping Aluna. Gerakannya tenang, tapi cukup untuk membuat napas Aluna tercekat. Ia diam, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Hatinya berdebar entah karena takut, gugup, atau keduanya. Di sebelahnya, Sagara masih menatap tanpa suara. Tatapan itu menusuk, seperti bisa menembus lapisan pikirannya. “Aku ingin bertanya sesuatu,” katanya akhirnya, lembut tapi tegas. “Jawab dengan jujur. Apakah kau takut padaku, Aluna?” “Sedikit, Pak.” Senyum tipis terbit di sudut bibir Sagara. Nyaris tak terlihat. “Kenapa? Ada alasan tertentu untuk takut?” Aluna menunduk, tak sanggup menatap. Jarak mereka terlalu dekat. Parfum Sagara dengan aroma kayu dan mint yang khas membuyarkan pikirannya. Lalu, jemari Sagara menyentuh lembut rambut Aluna. Ia condong sedikit, suaranya menurun, hampir seperti desau angin. “Kau bisa mendengar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status