LOGINUdara Eden malam itu terasa lebih tebal dari biasanya. Asap rokok, wangi parfum mahal, dan cahaya ungu yang menimpa kulit seperti kabut yang enggan bubar. Musik mengalun, tapi tak ada satu pun nada yang benar-benar sampai ke telinga Aluna. Semuanya samar, seperti datang dari balik kaca tebal.
Ia berjalan perlahan di antara meja-meja, mengenakan senyum yang sudah terlatih—tipis, sopan, nyaris tak menyentuh matanya. Tangan kirinya menahan nampan, tangan kanannya menggenggam gelas kristal yang bergetar sedikit saat diletakkan di meja. “Lun, lo nggak apa-apa?” suara Gina menyusul dari belakang, disertai bunyi tawa pelanggan. “Hmm? Oh, nggak. Cuma agak pusing aja.” “Tumben lo pusing. Biasanya yang paling kuat shift malam.” Aluna cuma nyengir, setengah hati. “Ya, mungkin lagi kalah aja malam ini.” Tapi di balik candanya, pikirannya masih berputar di satu suara dingin yang menempel di kepalanya sejak siang tadi. ‘Ke ruangan saya sekarang.’ Nada datar itu menembus batas waktu. Membuat perutnya mengeras tiap kali ia ingat. Tangannya sempat bergetar saat menuang es ke gelas. Sebongkah es jatuh, pecah di lantai. Ia membungkuk memungutnya, menahan napas yang terasa berat. “Luna.” Suara itu membuatnya reflek menoleh. Seorang staf laki-laki berdiri di ujung bar, dengan wajah serius. “Bos nyuruh lo ke ruangan dia. Sekarang.” “Bos?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. “Katanya penting,” jawab si pria tanpa ekspresi, lalu pergi. Satu detik… dua… tiga. Aluna tetap diam di tempat. Sampai akhirnya, tubuhnya sendiri yang bergerak. Langkah kakinya membawa ke arah lorong belakang, menuju lantai atas. Setiap langkah terasa seperti masuk ke ruang hampa semakin sunyi, semakin sempit. Sampai di depan pintu, Aluna berhenti. Menatap gagang pintu perak yang dingin, dan napasnya menggantung. Ia menarik napas panjang. Sekali, dua kali. Lalu tangannya terulur pelan, mengetuk pintu. Pintu terbuka pelan, menimbulkan bunyi gesekan kecil yang terlalu jelas di ruangan sebesar itu. Lampu di dalam temaram, hanya satu sumber cahaya dari arah meja kerja yang belum sepenuhnya rapi ada tumpukan dokumen, beberapa gelas kosong, dan aroma alkohol samar bercampur parfum kayu yang khas. Aluna masuk setengah ragu, menutup pintu di belakangnya. Kosong. Tidak ada siapa pun. Ia menatap sekeliling, mencoba menenangkan napas. Tangannya refleks membenarkan ujung blusnya yang sedikit kusut, lalu menyapukan pandang ke arah dinding kaca. Pantulan dirinya terlihat kecil di tengah ruangan luas. Pintu lain di sisi kiri tiba-tiba terbuka. Seseorang muncul dari baliknya. Sagara. Tapi bukan versi yang ia lihat di kampus siang tadi. Kemeja putih polos dengan dua kancing teratas dibiarkan terbuka, memperlihatkan sedikit kulit putih dada bidangnya. Celana pendek selutut berwarna abu muda, dan kaki telanjangnya menapak lantai marmer tanpa suara. Rambutnya sedikit berantakan, tapi bukan berantakan yang asal lebih seperti effortless mess yang justru bikin orang menoleh dua kali. “Sudah datang rupanya,” katanya datar, tapi tatapannya tajam. Nada suaranya sama seperti tadi siang datar, tenang, tapi menggantung di antara ancaman dan ketertarikan aneh yang tak bisa dijelaskan. “P–pak Sagara,” Aluna membungkuk kecil, berusaha formal. “Duduk,” jawabnya sambil berjalan pelan ke arah meja, seolah tak perlu menjelaskan posisi atau maksudnya. Aluna menunggu dalam diam. Sagara tidak langsung bicara, hanya menatapnya seolah sedang membaca sesuatu yang tidak tertulis. Tatapan itu tenang, tapi cukup lama untuk membuat Aluna merasa seluruh dirinya disorot. “Empat tahun di Eden,” katanya akhirnya, nada suaranya rendah tapi tegas. “Kamu pasti tahu banyak rahasia tempat ini.” Aluna menelan ludah. “Saya cuma pelayan, Pak.” “Cuma pelayan?” Sagara mengulang perlahan, seperti sedang menguji. Ia berdiri, berjalan memutar meja dengan langkah pelan, lalu berhenti di belakang kursi Aluna. Suara napasnya nyaris tak terdengar, tapi keberadaannya terlalu dekat untuk diabaikan. “Kamu tahu kenapa aku suka orang yang bilang ‘cuma’ tentang dirinya?” Aluna tak menjawab. Ia menatap lurus ke bawah, tubuhnya kaku. “Karena biasanya,” lanjutnya pelan, “orang seperti itu menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang dia sadari.” Ia berjalan lagi ke samping, menatap Aluna dari sisi meja. “Kamu kuliah, kerja, hidup sendirian, dan masih bisa bertahan di tempat ini empat tahun.” Sagara menatapnya tajam. “Itu bukan hal kecil, Aluna.” Ia berhenti sejenak, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Tapi aku juga tahu dunia nggak sebaik itu buat perempuan sepertimu.” Kalimat terakhir itu menusuk. Bukan karena keras, tapi karena terasa seperti kenyataan pahit yang tak bisa dibantah. Aluna menarik napas pendek. “Kalau Bapak mau menilai saya, silakan. Tapi saya cuma kerja di sini untuk hidup, bukan—” Sagara memotong kalimatnya lembut. “Aku nggak menilai. Aku cuma bilang, kamu menarik perhatian yang salah.” Ia menatapnya lagi, kali ini lebih dalam. “Dan kalau kamu nggak hati-hati, kamu bisa jadi bahan permainan orang yang jauh lebih berbahaya dari aku.” Aluna terdiam. Ia tak tahu harus merasa lega karena pria itu ‘memperingatkan’, atau takut karena entah kenapa kata-kata itu terdengar seperti peringatan dari seseorang yang sudah lebih dulu menggenggam kendalinya. Sagara kemudian bersandar, menatapnya tanpa senyum. “Mulai malam ini, kalau ada yang mencari ku, kamu yang urus. Langsung.” Nada itu tak memberi ruang untuk menolak. Aluna mengangguk pelan, masih menunduk. “Baik, Pak.”Aluna terbangun dengan napas berat. Udara terasa lembap. Suasana juga begitu sunyi. Lampu redup di pojok ruangan menyorot samar, cukup untuk memperlihatkan siluet furnitur gelap dan kilau botol di meja bar kecil. Ia mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat. Tenggorokan juga kering. Ada jaket hitam di atas tubuhnya, berbau maskulin yang terlalu familiar. Di mana ini? Kenapa aku di sini? Matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Baru kemudian ia sadar jika ia tidak berada di kamarnya. Ini ruangan berbeda. Luas, berlapis aroma bourbon dan kayu tua. Lantai karpet tebal. Dinding kaca tertutup tirai gelap. Dan di meja di ujung ruangan, terdapat gelas kristal yang tadi. Masih ada sisa cairan di dalamnya. Aluna menegakkan tubuh dengan hati-hati. Jantungnya berdetak cepat. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan sosok yang familiar tapi tidak ada siapa pun di sana.
Lampu-lampu gantung berwarna keemasan memantul di meja marmer hitam. Musik jazz pelan mengisi udara dengan nada-nada yang terlalu halus untuk dianggap penghibur, tapi terlalu hidup untuk diabaikan. Sagara berjalan masuk, jas hitamnya rapi tanpa cela, langkahnya tegap dan terukur. Tidak ada lagi sisa kehangatan dari ruangan tempat Aluna tertidur yang tersisa hanyalah dingin dan ketegasan seorang pemimpin. Di salah satu bilik privat, dua pria sudah menunggunya. Salah satunya adalah Tuan Nakamura, pria paruh baya asal Jepang dengan tatapan setajam pisau. Di sebelahnya, penerjemah dan salah satu konsultan keuangan Eden Group, Ardi. “Sagara-san,” sapa Nakamura dengan senyum kecil. “Selalu tepat waktu.” “Ketepatan waktu adalah bentuk penghormatan, Nakamura-san,” balasnya singkat, duduk di hadapan mereka. Ardi membuka map berisi dokumen kerja sama. “Kita bahas kelanjutan joint project antara Eden Holdings dan Akiyama Corporat
Aluna terus merancau mengakibatkan sensasi aneh di leher Sagara. Pria itu menggertakkan rahang. Setiap desah yang meluncur dari bibir Aluna, setiap hembusan napas yang menghangatkan kulitnya perlahan menggerogoti kendali yang selama ini ia banggakan. "Kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan," bisiknya serak, jemarinya mengepal di punggung Aluna. Rasanya ingin mendorong, ingin memeluk erat, tapi malah terjebak di antara dua hasrat. Dengan susah payah, Sagara menarik diri beberapa inci. Matanya gelap. Bukan hanya karena alkohol atau ramuan itu tapi karena sesuatu yang jauh lebih berbahaya. "Jika kau terus seperti ini aku tidak akan bisa menjagamu lagi." Bisik Sagar pelan, suaranya nyaris patah. "Dan kau tahu hal terburuknya? Aku sudah tidak ingin menjaga diriku sendiri darimu," lanjutnya. Merasakan tubuh Sagara perlahan menjauh, Aluna kembali merengek. Bahkan kini ia terisak pelan. "Hiks. Nggak mau," bisiknya manja. Sagara merinding saat mendengar desah lembutnya. Ras
mobil berhenti di depan club. Aluna keluar lebih dulu, berdiri dengan canggung di samping mobil. Kemudian Sagara turun setelahnya, memasangkan kancing lengan kemeja sebelum memasukan tangan ke dalam saku celana. Tatapanannya lurus ke depan, tapi pandangan ia arahkan ke Aluna dengan jelas. "Berhati-hatilah pada apa yang akan kau lihat dalam situasi seperti ini," katanya sembari memulai langkah panjang ke arah pintu masuk. "Saya sudah terbiasa dengan suasana ini, Pak." Sagara menarik satu alis dengan penasaran. "Sudah biasa?" tanyanya menyeringai. Kali ini, suaranya lebih serius dari sebelumnya. "Mungkin, tapi malam ini akan berbeda. Karena aku akan berada bersamamu." Alea merasa bingung, apa yang berbeda? Meskipun hatinya berdegup takut ia tetap mengikuti Sagara masuk ke dalam ruangannya. "Apa yang bisa saya bantu pak?" Sagara menatapnya untuk beberapa kali, pandangan tegas. Ia berjalan ke arah bar, menyandar di atas meja dengan santai. "Kau tidak perlu melakukan b
Jika biasanya ke kampus adalah hal favorit Aluna maka sekarang terasa berbeda. Kali ini dengan langkah berat ia kembali menuju ruangan Sagara. Di tangannya ada map biru berisi draft judul dan latar belakang masalah skripsinya. Telapak tangannya berkeringat. “Santai, Lun,” gumamnya pelan. “Ini cuma konsultasi. Biasa aja.” Tapi bagaimana bisa biasa, kalau orang yang harus ia temui adalah orang yang semalam menatapnya seolah tahu setiap rahasia di tubuh dan pikirannya? Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. “Masuk.” Suara itu rendah, tenang, dan langsung membuat jantungnya berdebar dua kali lipat. Sagara duduk di belakang meja kerja, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tak ada aroma alkohol atau lampu neon seperti di Eden, tapi wibawa yang sama masih ada. “Silakan duduk.” Aluna duduk perlahan, menunduk sopan sambil menyerahkan map. “Ini, Pak… draft sementara judul dan latar belakang masalah saya.” Sagara membuka map itu dengan tenang, membaca sekilas, lalu
“Apa saya boleh pergi, Pak?” tanya Aluna pelan, setelah merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. “Tunggu. Kali ini belum.” Sagara menurunkan pandangannya, lalu duduk di samping Aluna. Gerakannya tenang, tapi cukup untuk membuat napas Aluna tercekat. Ia diam, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Hatinya berdebar entah karena takut, gugup, atau keduanya. Di sebelahnya, Sagara masih menatap tanpa suara. Tatapan itu menusuk, seperti bisa menembus lapisan pikirannya. “Aku ingin bertanya sesuatu,” katanya akhirnya, lembut tapi tegas. “Jawab dengan jujur. Apakah kau takut padaku, Aluna?” “Sedikit, Pak.” Senyum tipis terbit di sudut bibir Sagara. Nyaris tak terlihat. “Kenapa? Ada alasan tertentu untuk takut?” Aluna menunduk, tak sanggup menatap. Jarak mereka terlalu dekat. Parfum Sagara dengan aroma kayu dan mint yang khas membuyarkan pikirannya. Lalu, jemari Sagara menyentuh lembut rambut Aluna. Ia condong sedikit, suaranya menurun, hampir seperti desau angin. “Kau bisa mendengar







