Share

Bab 8

Author: Arievelle
last update Last Updated: 2025-11-07 08:33:17

Udara Eden malam itu terasa lebih tebal dari biasanya. Asap rokok, wangi parfum mahal, dan cahaya ungu yang menimpa kulit seperti kabut yang enggan bubar. Musik mengalun, tapi tak ada satu pun nada yang benar-benar sampai ke telinga Aluna. Semuanya samar, seperti datang dari balik kaca tebal.

Ia berjalan perlahan di antara meja-meja, mengenakan senyum yang sudah terlatih—tipis, sopan, nyaris tak menyentuh matanya.

Tangan kirinya menahan nampan, tangan kanannya menggenggam gelas kristal yang bergetar sedikit saat diletakkan di meja.

“Lun, lo nggak apa-apa?” suara Gina menyusul dari belakang, disertai bunyi tawa pelanggan.

“Hmm? Oh, nggak. Cuma agak pusing aja.”

“Tumben lo pusing. Biasanya yang paling kuat shift malam.”

Aluna cuma nyengir, setengah hati. “Ya, mungkin lagi kalah aja malam ini.”

Tapi di balik candanya, pikirannya masih berputar di satu suara dingin yang menempel di kepalanya sejak siang tadi. ‘Ke ruangan saya sekarang.’ Nada datar itu menembus batas waktu. Membuat perutnya mengeras tiap kali ia ingat.

Tangannya sempat bergetar saat menuang es ke gelas. Sebongkah es jatuh, pecah di lantai. Ia membungkuk memungutnya, menahan napas yang terasa berat.

“Luna.”

Suara itu membuatnya reflek menoleh. Seorang staf laki-laki berdiri di ujung bar, dengan wajah serius.

“Bos nyuruh lo ke ruangan dia. Sekarang.”

“Bos?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.

“Katanya penting,” jawab si pria tanpa ekspresi, lalu pergi.

Satu detik… dua… tiga.

Aluna tetap diam di tempat. Sampai akhirnya, tubuhnya sendiri yang bergerak.

Langkah kakinya membawa ke arah lorong belakang, menuju lantai atas. Setiap langkah terasa seperti masuk ke ruang hampa semakin sunyi, semakin sempit. Sampai di depan pintu, Aluna berhenti. Menatap gagang pintu perak yang dingin, dan napasnya menggantung.

Ia menarik napas panjang. Sekali, dua kali.

Lalu tangannya terulur pelan, mengetuk pintu.

Pintu terbuka pelan, menimbulkan bunyi gesekan kecil yang terlalu jelas di ruangan sebesar itu.

Lampu di dalam temaram, hanya satu sumber cahaya dari arah meja kerja yang belum sepenuhnya rapi ada tumpukan dokumen, beberapa gelas kosong, dan aroma alkohol samar bercampur parfum kayu yang khas.

Aluna masuk setengah ragu, menutup pintu di belakangnya. Kosong. Tidak ada siapa pun.

Ia menatap sekeliling, mencoba menenangkan napas. Tangannya refleks membenarkan ujung blusnya yang sedikit kusut, lalu menyapukan pandang ke arah dinding kaca. Pantulan dirinya terlihat kecil di tengah ruangan luas.

Pintu lain di sisi kiri tiba-tiba terbuka.

Seseorang muncul dari baliknya.

Sagara. Tapi bukan versi yang ia lihat di kampus siang tadi.

Kemeja putih polos dengan dua kancing teratas dibiarkan terbuka, memperlihatkan sedikit kulit putih dada bidangnya. Celana pendek selutut berwarna abu muda, dan kaki telanjangnya menapak lantai marmer tanpa suara. Rambutnya sedikit berantakan, tapi bukan berantakan yang asal lebih seperti effortless mess yang justru bikin orang menoleh dua kali.

“Sudah datang rupanya,” katanya datar, tapi tatapannya tajam.

Nada suaranya sama seperti tadi siang datar, tenang, tapi menggantung di antara ancaman dan ketertarikan aneh yang tak bisa dijelaskan.

“P–pak Sagara,” Aluna membungkuk kecil, berusaha formal.

“Duduk,” jawabnya sambil berjalan pelan ke arah meja, seolah tak perlu menjelaskan posisi atau maksudnya.

Aluna menunggu dalam diam. Sagara tidak langsung bicara, hanya menatapnya seolah sedang membaca sesuatu yang tidak tertulis.

Tatapan itu tenang, tapi cukup lama untuk membuat Aluna merasa seluruh dirinya disorot.

“Empat tahun di Eden,” katanya akhirnya, nada suaranya rendah tapi tegas. “Kamu pasti tahu banyak rahasia tempat ini.”

Aluna menelan ludah. “Saya cuma pelayan, Pak.”

“Cuma pelayan?” Sagara mengulang perlahan, seperti sedang menguji. Ia berdiri, berjalan memutar meja dengan langkah pelan, lalu berhenti di belakang kursi Aluna.

Suara napasnya nyaris tak terdengar, tapi keberadaannya terlalu dekat untuk diabaikan.

“Kamu tahu kenapa aku suka orang yang bilang ‘cuma’ tentang dirinya?” Aluna tak menjawab. Ia menatap lurus ke bawah, tubuhnya kaku.

“Karena biasanya,” lanjutnya pelan, “orang seperti itu menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang dia sadari.”

Ia berjalan lagi ke samping, menatap Aluna dari sisi meja. “Kamu kuliah, kerja, hidup sendirian, dan masih bisa bertahan di tempat ini empat tahun.”

Sagara menatapnya tajam. “Itu bukan hal kecil, Aluna.”

Ia berhenti sejenak, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Tapi aku juga tahu dunia nggak sebaik itu buat perempuan sepertimu.”

Kalimat terakhir itu menusuk. Bukan karena keras, tapi karena terasa seperti kenyataan pahit yang tak bisa dibantah.

Aluna menarik napas pendek. “Kalau Bapak mau menilai saya, silakan. Tapi saya cuma kerja di sini untuk hidup, bukan—”

Sagara memotong kalimatnya lembut. “Aku nggak menilai. Aku cuma bilang, kamu menarik perhatian yang salah.”

Ia menatapnya lagi, kali ini lebih dalam.

“Dan kalau kamu nggak hati-hati, kamu bisa jadi bahan permainan orang yang jauh lebih berbahaya dari aku.”

Aluna terdiam. Ia tak tahu harus merasa lega karena pria itu ‘memperingatkan’, atau takut karena entah kenapa kata-kata itu terdengar seperti peringatan dari seseorang yang sudah lebih dulu menggenggam kendalinya.

Sagara kemudian bersandar, menatapnya tanpa senyum. “Mulai malam ini, kalau ada yang mencari ku, kamu yang urus. Langsung.”

Nada itu tak memberi ruang untuk menolak.

Aluna mengangguk pelan, masih menunduk.

“Baik, Pak.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 21

    Pagi itu, meski jam operasional baru saja dimulai Aluna bersama Naura dan Zora jalan di mall karena Naura bilang, "Gue butuh kopi mahal dulu biar bisa mikir skripsi murah." Mereka berjalan berdampingan menuju lantai dua, dengan rencana sederhana: sarapan, kopi, lalu skripsi-an dengan wifi cafe.Seperti biasa, Naura sudah mengeluh lagi. "Demi apa pun, otak gue baru nyala kalau minum kopi mahal," gumamnya sambil mengutak-atik tote bag-nya."Mahal yang bikin dompet menjerit tapi jiwa tercerahkan," timpal Zora, penuh dramatis.Aluna terkekeh. Sisa lelah semalam masih menempel, tapi celotehan dua sahabatnya cukup jadi penawar. Ada kehangatan aneh saat mereka bertiga bersama: rusuh, enggak efisien, tapi selalu menyenangkan.Eskalator membawa mereka naik perlahan. Naura sibuk menunjuk segala hal—sepatu blink-blink, parfum diskon, bahkan stan skincare yang masih tutup. Zora merengek soal tumitnya yang lecet. Aluna sendiri cuma mengamati sekeliling, merasa kontras dengan suasana klub semalam y

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 20

    Aluna mengangkat kepalanya perlahan, menatap pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya. Bukan lagi ketakutan yang murni, tapi setitik tekad yang mulai menyala."Tidak," bisiknya pada bayangannya sendiri. "Aku tidak akan membiarkannya karena aku nggak mau seperti ibu."Dengan gerakan yang lebih pasti, ia meraih tisu dan membersihkan sisa air mata dan riasan yang luntur di wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diri.Setelah merasa sedikit lebih baik, Aluna membuka pintu toilet dan keluar. Lorong belakang masih sepi, tetapi kali ini ia tidak merasa sekecil dan selemah tadi. Ia berjalan dengan langkah yang lebih tegap, meskipun hatinya masih berdebar kencang.Ia harus melakukan sesuatu. Tidak mungkin ia hanya berdiam diri dan menunggu Sagara menghancurkannya. Ia harus mencari cara untuk melindungi dirinya sendiri, untuk melawan balik.Baru beberapa meter keluar dari pintu toilet, suara langka

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 19

    Aluna keluar dari ruangan pribadi Sagara dengan langkah yang tidak stabil. Pintu berat itu menutup perlahan di belakangnya, namun suara klik-nya terdengar seperti palu yang memaku peti mati—mengurung napasnya, mengunci masa depannya. Gadis itu menyeret langkahnya menjauh dari lorong VIP, berusaha tidak terlihat kacau. Musik club masih menghantam dari lantai bawah, tapi lorong belakang untuk staff lebih sepi, hanya terdengar suara AC berdengung dan langkah karyawan yang lalu-lalang. Begitu sampai di depan toilet karyawan, Aluna langsung masuk dan mengunci pintunya. Klik. Suara yang biasanya membuatnya merasa aman kali ini justru terasa seperti apitan terakhir sebelum ia pecah. Lampu putih dingin di atas kepala membuat wajahnya tampak pucat di cermin. Rambutnya berantakan. Bibirnya memerah bekas tekanan. Dan matanya terlihat seperti mata seorang gadis yang baru lari dari sesuatu yang gelap. Aluna memalingkan wajah. Ia tidak sanggup menatap pantulan dirinya lebih lama. Tan

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 18

    Aluna meronta dalam hati, namun tubuhnya seolah membeku. Ciuman Sagara semakin dalam, merasuki setiap inci dirinya. Ia merasa seperti terhisap ke dalam pusaran yang gelap dan berbahaya. Di tengah kekalutan itu, Aluna melihat bayangan dirinya di masa depan, seorang wanita yang terjebak dalam dunia malam, seperti ibunya. Ia tidak ingin menjadi seperti itu. Ia ingin meraih mimpinya, menjadi seorang sarjana yang sukses, dan membuktikan bahwa ia bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Dengan sekuat tenaga, Aluna mendorong Sagara menjauh. Ia terhuyung ke belakang, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Tatapan Sagara menggelap, bukan hanya marah tapi juga tersinggung. "Kenapa?" Suara Sagara terdengar rendah dan dingin. "Aku tidak bisa," bisik Aluna, suaranya bergetar seperti daun yang tertiup angin. "Aku bukan wanita seperti itu." Sagara tertawa sinis, suara yang berhasil mengiris hati Aluna. "Lucu sekali. Kau pikir kau siapa, Aluna? Dunia tidak peduli kau seperti apa." Aluna me

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 17

    Waktu seolah berhenti. Aluna bisa merasakan napas Sagara menerpa wajahnya, hangat dan menggoda. Ia tahu, ia seharusnya mendorong Sagara menjauh, berlari secepat mungkin, dan mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Tapi kakinya terasa terpaku di tempatnya. Ada kekuatan aneh yang menariknya lebih dekat, membuatnya ingin merasakan lebih. Ia seorang mahasiswi yang sedang berjuang untuk meraih gelar sarjana, seorang gadis yang telah bekerja keras selama empat tahun di Eden untuk membiayai kuliahnya. Ia tidak seharusnya berada di sini, di dalam cengkeraman pemilik klub malam yang baru, yang juga dosen pembimbingnya. "Buka matamu, Aluna," bisik Sagara, suaranya nyaris tak terdengar. Aluna menggeleng pelan. Ia takut dengan apa yang akan dilihatnya, dengan apa yang akan dirasakannya. Ia takut pada Sagara, tapi ia juga takut pada dirinya sendiri. Ia takut jika ia membuka mata, ia akan melihat bayangan ibunya di sana, seorang wanita yang telah menyerahkan segalanya untuk bertahan hidup di

  • Dosenku Di Club Malam   Bab 16

    Sagara menatap dalam Aluna. Ia tak mengatakan apapun lagi, hanya saja ia terus menggerakkan ibu jarinya di pipinya, gerakannya lembut namun makin lama makin membawa sensasi tersendiri di dada Aluna. Sagara bisa melihat perasaan perlawanan yang perlahan-lahan mulai pudar di mata gadis di depannya."Mengapa diam?" bisiknya lagi, bahkan terdengar lebih lembut dari sebelumnya.Kini ibu jari Sagara lebih turun ke bawah, menelusuri rahang Aluna. Mata Aluna kembali terpejam. Pikirannya berkata tidak, namun tubuhnya tidak bisa bohong. Ia menikmati sentuhan Sagara. Sentuhan dari dosen pembimbing skripsinya.Sagara sama sekali tidak berniat menghentikan ibu jarinya, elusannya terus turun ke lehernya dan meraba di bawah dagunya, sampai menuju tempat detak jantung Aluna yang berdebar lebih keras dari sebelumnya.Sagara mengeratkan ujung ibu jarinya di atasnya, seolah ingin menguji keberaniannya.“Kenapa tidak menjauh?" bisik Sagara lebih dekat dari sebelumnya, sehingga pria itu hampir menyentuh t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status