LOGINBegitu pintu ruang dosen tertutup di belakangnya, Aluna menahan napas lama dan baru sadar dari tadi ia menahannya.
Tangannya masih sedikit gemetar saat menggenggam map. Langkahnya otomatis menuju tangga, tapi kepalanya penuh suara yang tumpang tindih: nada bicaranya, tatapannya, bahkan senyum tipisnya yang terlalu familiar. Ia berhenti di depan jendela lorong, menatap bayangan dirinya sendiri di kaca. Wajahnya terlihat tenang dari luar, tapi matanya penuh ketakutan. “Dia inget,” bisiknya pelan. Suaranya sendiri nyaris tak terdengar. “Dia inget, tapi pura-pura nggak.” Ia memejamkan mata, menunduk, mencoba bernapas normal. Tenang, Lun. Lo cuma mahasiswanya sekarang. Dia nggak bisa apa-apa. Ini dunia yang berbeda. Tapi bahkan mantra kecil itu nggak cukup menenangkan. Tangannya mencengkeram tali tas kuat-kuat. “Lo nggak boleh kayak Ibu,” gumamnya lirih, seolah bicara ke dirinya sendiri. “Lo udah janji nggak bakal jatuh di tempat yang sama.” Ia memaksa langkahnya menjauh. Tapi setiap langkah terasa seperti mundur ke masa lalu—ke tempat di mana semuanya dimulai. *** Di dalam ruangan, Sagara masih duduk di kursinya. Kertas dengan tulisan tangan Aluna masih terbuka di meja. Ia menatapnya lama, kemudian menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, senyum samar kembali muncul di sudut bibirnya. “Sama bahkan sampai tulisan tangannya,” gumamnya pelan. Ia memutar pena di jarinya, seperti kebiasaan lamanya. Tatapannya kosong, tapi ada sesuatu di balik itu penuh perhitungan, atau mungkin rasa ingin tahu yang terlalu dalam. Sagara menatap pintu yang baru saja tertutup. “Selamat datang di dunia yang benar, Aluna,” katanya pelan, hampir tanpa nada. Lalu ia menutup map itu perlahan, seolah menandai bab baru dari sesuatu yang belum seharusnya dimulai. Telepon di meja Sagara bergetar pelan. Ia menatap layar sebentar, lalu mengangkatnya sambil tetap menulis sesuatu di notes kecil di samping laptop. “Ya.” Suaranya rendah, nyaris tanpa intonasi. “Sudah saya kirim draft kontrak Eden baru. Tinggal tanda tangan akhir, Pak,” suara di seberang menjawab. “Baik. Urus pagi ini. Saya tidak suka menunggu,” jawabnya datar, lalu menutup panggilan tanpa basa-basi. Sunyi kembali mengisi ruangan, hanya suara detak jarum jam dan mesin pendingin yang samar. Ia menatap layar laptop beberapa detik sebelum membuka tab lain. Nama itu masih berputar di kepalanya — Aluna Prameswari. Suara lembutnya tadi, cara tangannya sedikit bergetar waktu menulis, semuanya terlalu khas untuk diabaikan. Sagara mengambil ponselnya lagi, menekan nomor di daftar kontak cepat. Suaranya berubah sedikit lebih pelan, tapi nadanya jelas perintah. “Raka. Cari data tentang satu mahasiswa,” katanya tanpa pembuka. “Nama?” “Aluna Prameswari. FHISIP. Tingkat akhir.” Di seberang, terdengar bunyi ketikan cepat. “Seberapa detail, Pak?” Sagara menatap jendela besar di depannya, pantulan dirinya tampak di kaca. “Lengkap. Semua yang bisa kamu temukan—alamat, keluarga, pekerjaan, riwayat akademik, bahkan hal yang tidak tercatat di kampus. Saya mau datanya sekarang.” “Baik, Pak. Saya kirim dalam tiga puluh menit.” Sagara menutup panggilan, lalu duduk bersandar, menatap langit siang dari balik tirai. Ada sesuatu di matanya — bukan sekadar penasaran. Lebih seperti seseorang yang sedang menyusun ulang potongan masa lalu yang belum tuntas. Tangannya mengetuk meja pelan, ritmis. “Masih kamu, ya,” bisiknya, hampir seperti bicara pada diri sendiri. “Masih kamu.” Ia membuka kembali catatan di laptop, mengetik satu baris di bawah daftar mahasiswa bimbingannya: Aluna Prameswari – observasi pribadi. Dan tepat setelah itu, senyum tipis itu muncul lagi bukan karena bahagia, tapi karena permainan baru sudah dimulai.Aluna terbangun dengan napas berat. Udara terasa lembap. Suasana juga begitu sunyi. Lampu redup di pojok ruangan menyorot samar, cukup untuk memperlihatkan siluet furnitur gelap dan kilau botol di meja bar kecil. Ia mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat. Tenggorokan juga kering. Ada jaket hitam di atas tubuhnya, berbau maskulin yang terlalu familiar. Di mana ini? Kenapa aku di sini? Matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Baru kemudian ia sadar jika ia tidak berada di kamarnya. Ini ruangan berbeda. Luas, berlapis aroma bourbon dan kayu tua. Lantai karpet tebal. Dinding kaca tertutup tirai gelap. Dan di meja di ujung ruangan, terdapat gelas kristal yang tadi. Masih ada sisa cairan di dalamnya. Aluna menegakkan tubuh dengan hati-hati. Jantungnya berdetak cepat. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan sosok yang familiar tapi tidak ada siapa pun di sana.
Lampu-lampu gantung berwarna keemasan memantul di meja marmer hitam. Musik jazz pelan mengisi udara dengan nada-nada yang terlalu halus untuk dianggap penghibur, tapi terlalu hidup untuk diabaikan. Sagara berjalan masuk, jas hitamnya rapi tanpa cela, langkahnya tegap dan terukur. Tidak ada lagi sisa kehangatan dari ruangan tempat Aluna tertidur yang tersisa hanyalah dingin dan ketegasan seorang pemimpin. Di salah satu bilik privat, dua pria sudah menunggunya. Salah satunya adalah Tuan Nakamura, pria paruh baya asal Jepang dengan tatapan setajam pisau. Di sebelahnya, penerjemah dan salah satu konsultan keuangan Eden Group, Ardi. “Sagara-san,” sapa Nakamura dengan senyum kecil. “Selalu tepat waktu.” “Ketepatan waktu adalah bentuk penghormatan, Nakamura-san,” balasnya singkat, duduk di hadapan mereka. Ardi membuka map berisi dokumen kerja sama. “Kita bahas kelanjutan joint project antara Eden Holdings dan Akiyama Corporat
Aluna terus merancau mengakibatkan sensasi aneh di leher Sagara. Pria itu menggertakkan rahang. Setiap desah yang meluncur dari bibir Aluna, setiap hembusan napas yang menghangatkan kulitnya perlahan menggerogoti kendali yang selama ini ia banggakan. "Kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan," bisiknya serak, jemarinya mengepal di punggung Aluna. Rasanya ingin mendorong, ingin memeluk erat, tapi malah terjebak di antara dua hasrat. Dengan susah payah, Sagara menarik diri beberapa inci. Matanya gelap. Bukan hanya karena alkohol atau ramuan itu tapi karena sesuatu yang jauh lebih berbahaya. "Jika kau terus seperti ini aku tidak akan bisa menjagamu lagi." Bisik Sagar pelan, suaranya nyaris patah. "Dan kau tahu hal terburuknya? Aku sudah tidak ingin menjaga diriku sendiri darimu," lanjutnya. Merasakan tubuh Sagara perlahan menjauh, Aluna kembali merengek. Bahkan kini ia terisak pelan. "Hiks. Nggak mau," bisiknya manja. Sagara merinding saat mendengar desah lembutnya. Ras
mobil berhenti di depan club. Aluna keluar lebih dulu, berdiri dengan canggung di samping mobil. Kemudian Sagara turun setelahnya, memasangkan kancing lengan kemeja sebelum memasukan tangan ke dalam saku celana. Tatapanannya lurus ke depan, tapi pandangan ia arahkan ke Aluna dengan jelas. "Berhati-hatilah pada apa yang akan kau lihat dalam situasi seperti ini," katanya sembari memulai langkah panjang ke arah pintu masuk. "Saya sudah terbiasa dengan suasana ini, Pak." Sagara menarik satu alis dengan penasaran. "Sudah biasa?" tanyanya menyeringai. Kali ini, suaranya lebih serius dari sebelumnya. "Mungkin, tapi malam ini akan berbeda. Karena aku akan berada bersamamu." Alea merasa bingung, apa yang berbeda? Meskipun hatinya berdegup takut ia tetap mengikuti Sagara masuk ke dalam ruangannya. "Apa yang bisa saya bantu pak?" Sagara menatapnya untuk beberapa kali, pandangan tegas. Ia berjalan ke arah bar, menyandar di atas meja dengan santai. "Kau tidak perlu melakukan b
Jika biasanya ke kampus adalah hal favorit Aluna maka sekarang terasa berbeda. Kali ini dengan langkah berat ia kembali menuju ruangan Sagara. Di tangannya ada map biru berisi draft judul dan latar belakang masalah skripsinya. Telapak tangannya berkeringat. “Santai, Lun,” gumamnya pelan. “Ini cuma konsultasi. Biasa aja.” Tapi bagaimana bisa biasa, kalau orang yang harus ia temui adalah orang yang semalam menatapnya seolah tahu setiap rahasia di tubuh dan pikirannya? Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. “Masuk.” Suara itu rendah, tenang, dan langsung membuat jantungnya berdebar dua kali lipat. Sagara duduk di belakang meja kerja, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tak ada aroma alkohol atau lampu neon seperti di Eden, tapi wibawa yang sama masih ada. “Silakan duduk.” Aluna duduk perlahan, menunduk sopan sambil menyerahkan map. “Ini, Pak… draft sementara judul dan latar belakang masalah saya.” Sagara membuka map itu dengan tenang, membaca sekilas, lalu
“Apa saya boleh pergi, Pak?” tanya Aluna pelan, setelah merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. “Tunggu. Kali ini belum.” Sagara menurunkan pandangannya, lalu duduk di samping Aluna. Gerakannya tenang, tapi cukup untuk membuat napas Aluna tercekat. Ia diam, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Hatinya berdebar entah karena takut, gugup, atau keduanya. Di sebelahnya, Sagara masih menatap tanpa suara. Tatapan itu menusuk, seperti bisa menembus lapisan pikirannya. “Aku ingin bertanya sesuatu,” katanya akhirnya, lembut tapi tegas. “Jawab dengan jujur. Apakah kau takut padaku, Aluna?” “Sedikit, Pak.” Senyum tipis terbit di sudut bibir Sagara. Nyaris tak terlihat. “Kenapa? Ada alasan tertentu untuk takut?” Aluna menunduk, tak sanggup menatap. Jarak mereka terlalu dekat. Parfum Sagara dengan aroma kayu dan mint yang khas membuyarkan pikirannya. Lalu, jemari Sagara menyentuh lembut rambut Aluna. Ia condong sedikit, suaranya menurun, hampir seperti desau angin. “Kau bisa mendengar







