Luna melepaskan bekapan tangannya, lalu dengan kesal berjalan menuju mobil yang terparkir di depan. Melihat itu, Ardan hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Sementara itu, Kinanti yang penasaran langsung bertanya, "Apa, sih? Tadi kamu mau ngomong apa?"Ardan hanya menggeleng dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. Ia lalu meraih tangan ibunya dan berpamitan, "Kita berangkat dulu, Ma. Besok aku baru balik lagi ke Jakarta."Kinanti mengangguk. "Hati-hati di jalan," ucapnya lembut.Ia tetap berdiri di depan rumah, menatap mobil anaknya yang perlahan melaju pergi. Senyum hangat terukir di wajahnya saat ia bergumam, "Kalian pasangan yang serasi. Semoga Tuhan kasih kalian kesempatan buat memperbaiki hubungan lagi." "Nyonya, ayo masuk! Teh herbalnya sudah jadi," seru seorang pembantu dari dalam rumah, membuat Kinanti langsung bergegas masuk ke dalam.***** Sepanjang perjalanan, Ardan terus tersenyum sendiri seperti orang gila. Entah apa yang ada di kepalanya, setiap kali
Ardan refleks menginjak rem sekuat tenaga. Benturan tak terhindarkan, namun setidaknya kecelakaan besar berhasil dicegah. Beruntung, posisi mereka berada di tepi jalan, dan arus kendaraan di belakang tidak terlalu padat, sehingga tabrakan beruntun dapat dihindari. "Astaga!" Luna tersentak, wajahnya menegang. Ia mengusap dadanya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Napas keduanya masih memburu. Ardan yang masih gemetar segera menoleh ke arah Luna untuk memastikan keadaannya. "Kamu nggak papa?" tanya Ardan sambil mengguncang bahu Luna pelan. Luna hanya mengangguk sambil menghela napas panjang. Tangannya masih menekan dadanya, sementara kepalanya bersandar di kursi, mencoba untuk menenangkan dirinya. Tak lama kemudian, pengemudi mobil di depan keluar dengan ekspresi tidak menyenangkan dan langsung menghampiri Ardan. "Woi, keluar! Anda nyetir pakai mata atau pakai kaki?! Lihat tuh, mobil saya penyok gara-gara anda!" bentak pria yang berusia sekitar tiga puluhan itu, tangann
"Ayah pulang ke rumah, Nak," ujar Luna lembut, berusaha membujuk Cio agar membiarkan ayahnya pergi. Namun, Cio menggeleng keras. Bibirnya sudah ditekuk ke bawah, tanda-tanda akan menangis. Dan benar saja, detik berikutnya, ia menyandarkan kepalanya ke pundak Ardan sambil terisak pelan. Semua orang di sana hanya bisa menghela napas melihatnya. "Udah, nggak papa. Nginep di sini aja, Dan. Ada satu kamar kosong di rumah ini," sahut Bu Juli sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Ardan menatap Luna, meminta persetujuan. Luna sendiri hanya bisa menghela napas dan mengangkat bahunya pasrah. "Yaudah, masuk, Mas," katanya akhirnya. Ardan pun tak bisa berbuat banyak selain mengikuti mereka masuk ke dalam rumah, sambil menggendong Cio yang enggan lepas darinya. Ya, tak ada yang bisa menolak permintaan bocah kecil itu. Jika tak dituruti, tangisnya pasti semakin menjadi-jadi. Beruntung, ada s
Bu Juli tersenyum tipis melihat ketiganya duduk bersama. Pemandangan ini mengingatkannya pada masa lalu, ketika Ardan dan Luna masih bersama sebagai suami istri. "Cio mau makan pakai telur atau pakai ayam?" tanya Luna sambil menuangkan susu ke gelas kecil."Pakai telur dadar," jawab Cio yang masih melamun dengan suara yang masih lemas.Ardan langsung mengambil sepotong telur dadar dan meletakkannya di piring kecil Cio. "Ayah suapin, ya?" tawarnya lembut.Cio hanya mengangguk kecil. Tenaganya belum terkumpul sepenuhnya, jadi ia duduk diam menerima suapan demi suapan dari ayahnya."Makan dulu, Mas. Biar aku aja yang nyuapin," ujar Luna. "Enggak, kamu makan aja dulu. Biar aku yang nyuapin Cio," balas Ardan. Luna menghela napas, tapi tidak membantah. Karena perutnya juga sudah lapar, ia segera mengambil nasi, sepotong ayam, dan sedikit sambal.Meskipun sebenarnya kurang sopan makan lebih dulu daripada tamunya, Luna tak peduli. Lagipula, Ardan sendiri yang menolak untuk digantikan."Mi
Satu bulan telah berlalu, Ardan sudah kembali ke Bandung sejak dua minggu yang lalu setelah mengurus perceraiannya dengan Wulan. Meskipun putusan resmi belum diketok palu, Ardan sudah merasa lega. Setidaknya, ia telah melepaskan beban yang selama ini menghimpitnya. Sementara itu, Kinanti juga memilih untuk menetap di Bandung. Ia rela meninggalkan rumahnya di Jakarta demi bisa lebih dekat dengan cucunya. Di sisa usianya, ia ingin menikmati hidup dengan melihat pertumbuhan dan perkembangan Cio. Meski tidak bisa bertemu setiap hari, setidaknya dalam seminggu ia masih bisa menghabiskan waktu bersama cucunya beberapa kali. "Aku mau jemput Cio dulu, Ma," ujar Ardan sambil mengenakan jaketnya. "Iya, sekalian ajak mampir ke supermarket, biar nggak bolak-balik beli jajan," sahut Kinanti yang tengah membaca majalah di depan televisi. "Iya," jawab Ardan singkat. "Luna ajak sekalian kalau mau," tambah Kinanti.
Sebagai wanita yang pernah diberi harapan oleh Dylan, Luna tentu saja kecewa dengan sikap pria itu. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba memberinya undangan pernikahan.Padahal selama satu bulan terakhir, tak ada tanda-tanda bahwa Dylan dekat dengan wanita lain. Dalam pikirannya, mungkin Dylan hanya masih marah karena kejadian di acara pernikahan waktu itu.Namun, apakah semarah itu hingga memutuskan untuk menikahi orang lain?"Di dunia ini isinya emang cowok-cowok bajingan. Nggak bapakku, nggak mantan suamiku, nggak mantan gebetan, semuanya sama aja. Semoga anakku nanti gedenya jadi orang bener," gumam Luna sambil melempari batu-batu kecil ke permukaan sungai.Luna memutuskan untuk menenangkan diri di sungai kecil. Ia tidak mau membawa kesedihannya hingga ke rumah dan berakhir jadi sensitif nanti.Ia sengaja datang ke tempat ini untuk menenangkan diri. Luna tak mau membawa kesedihannya pulang, lalu berakhir menjadi sensitif di rumah.
*Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r
Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep
Sebagai wanita yang pernah diberi harapan oleh Dylan, Luna tentu saja kecewa dengan sikap pria itu. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba memberinya undangan pernikahan.Padahal selama satu bulan terakhir, tak ada tanda-tanda bahwa Dylan dekat dengan wanita lain. Dalam pikirannya, mungkin Dylan hanya masih marah karena kejadian di acara pernikahan waktu itu.Namun, apakah semarah itu hingga memutuskan untuk menikahi orang lain?"Di dunia ini isinya emang cowok-cowok bajingan. Nggak bapakku, nggak mantan suamiku, nggak mantan gebetan, semuanya sama aja. Semoga anakku nanti gedenya jadi orang bener," gumam Luna sambil melempari batu-batu kecil ke permukaan sungai.Luna memutuskan untuk menenangkan diri di sungai kecil. Ia tidak mau membawa kesedihannya hingga ke rumah dan berakhir jadi sensitif nanti.Ia sengaja datang ke tempat ini untuk menenangkan diri. Luna tak mau membawa kesedihannya pulang, lalu berakhir menjadi sensitif di rumah.
Satu bulan telah berlalu, Ardan sudah kembali ke Bandung sejak dua minggu yang lalu setelah mengurus perceraiannya dengan Wulan. Meskipun putusan resmi belum diketok palu, Ardan sudah merasa lega. Setidaknya, ia telah melepaskan beban yang selama ini menghimpitnya. Sementara itu, Kinanti juga memilih untuk menetap di Bandung. Ia rela meninggalkan rumahnya di Jakarta demi bisa lebih dekat dengan cucunya. Di sisa usianya, ia ingin menikmati hidup dengan melihat pertumbuhan dan perkembangan Cio. Meski tidak bisa bertemu setiap hari, setidaknya dalam seminggu ia masih bisa menghabiskan waktu bersama cucunya beberapa kali. "Aku mau jemput Cio dulu, Ma," ujar Ardan sambil mengenakan jaketnya. "Iya, sekalian ajak mampir ke supermarket, biar nggak bolak-balik beli jajan," sahut Kinanti yang tengah membaca majalah di depan televisi. "Iya," jawab Ardan singkat. "Luna ajak sekalian kalau mau," tambah Kinanti.
Bu Juli tersenyum tipis melihat ketiganya duduk bersama. Pemandangan ini mengingatkannya pada masa lalu, ketika Ardan dan Luna masih bersama sebagai suami istri. "Cio mau makan pakai telur atau pakai ayam?" tanya Luna sambil menuangkan susu ke gelas kecil."Pakai telur dadar," jawab Cio yang masih melamun dengan suara yang masih lemas.Ardan langsung mengambil sepotong telur dadar dan meletakkannya di piring kecil Cio. "Ayah suapin, ya?" tawarnya lembut.Cio hanya mengangguk kecil. Tenaganya belum terkumpul sepenuhnya, jadi ia duduk diam menerima suapan demi suapan dari ayahnya."Makan dulu, Mas. Biar aku aja yang nyuapin," ujar Luna. "Enggak, kamu makan aja dulu. Biar aku yang nyuapin Cio," balas Ardan. Luna menghela napas, tapi tidak membantah. Karena perutnya juga sudah lapar, ia segera mengambil nasi, sepotong ayam, dan sedikit sambal.Meskipun sebenarnya kurang sopan makan lebih dulu daripada tamunya, Luna tak peduli. Lagipula, Ardan sendiri yang menolak untuk digantikan."Mi
"Ayah pulang ke rumah, Nak," ujar Luna lembut, berusaha membujuk Cio agar membiarkan ayahnya pergi. Namun, Cio menggeleng keras. Bibirnya sudah ditekuk ke bawah, tanda-tanda akan menangis. Dan benar saja, detik berikutnya, ia menyandarkan kepalanya ke pundak Ardan sambil terisak pelan. Semua orang di sana hanya bisa menghela napas melihatnya. "Udah, nggak papa. Nginep di sini aja, Dan. Ada satu kamar kosong di rumah ini," sahut Bu Juli sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Ardan menatap Luna, meminta persetujuan. Luna sendiri hanya bisa menghela napas dan mengangkat bahunya pasrah. "Yaudah, masuk, Mas," katanya akhirnya. Ardan pun tak bisa berbuat banyak selain mengikuti mereka masuk ke dalam rumah, sambil menggendong Cio yang enggan lepas darinya. Ya, tak ada yang bisa menolak permintaan bocah kecil itu. Jika tak dituruti, tangisnya pasti semakin menjadi-jadi. Beruntung, ada s
Ardan refleks menginjak rem sekuat tenaga. Benturan tak terhindarkan, namun setidaknya kecelakaan besar berhasil dicegah. Beruntung, posisi mereka berada di tepi jalan, dan arus kendaraan di belakang tidak terlalu padat, sehingga tabrakan beruntun dapat dihindari. "Astaga!" Luna tersentak, wajahnya menegang. Ia mengusap dadanya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Napas keduanya masih memburu. Ardan yang masih gemetar segera menoleh ke arah Luna untuk memastikan keadaannya. "Kamu nggak papa?" tanya Ardan sambil mengguncang bahu Luna pelan. Luna hanya mengangguk sambil menghela napas panjang. Tangannya masih menekan dadanya, sementara kepalanya bersandar di kursi, mencoba untuk menenangkan dirinya. Tak lama kemudian, pengemudi mobil di depan keluar dengan ekspresi tidak menyenangkan dan langsung menghampiri Ardan. "Woi, keluar! Anda nyetir pakai mata atau pakai kaki?! Lihat tuh, mobil saya penyok gara-gara anda!" bentak pria yang berusia sekitar tiga puluhan itu, tangann
Luna melepaskan bekapan tangannya, lalu dengan kesal berjalan menuju mobil yang terparkir di depan. Melihat itu, Ardan hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Sementara itu, Kinanti yang penasaran langsung bertanya, "Apa, sih? Tadi kamu mau ngomong apa?"Ardan hanya menggeleng dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. Ia lalu meraih tangan ibunya dan berpamitan, "Kita berangkat dulu, Ma. Besok aku baru balik lagi ke Jakarta."Kinanti mengangguk. "Hati-hati di jalan," ucapnya lembut.Ia tetap berdiri di depan rumah, menatap mobil anaknya yang perlahan melaju pergi. Senyum hangat terukir di wajahnya saat ia bergumam, "Kalian pasangan yang serasi. Semoga Tuhan kasih kalian kesempatan buat memperbaiki hubungan lagi." "Nyonya, ayo masuk! Teh herbalnya sudah jadi," seru seorang pembantu dari dalam rumah, membuat Kinanti langsung bergegas masuk ke dalam.***** Sepanjang perjalanan, Ardan terus tersenyum sendiri seperti orang gila. Entah apa yang ada di kepalanya, setiap kali
Luna kaget, Ardan juga kaget. Keduanya sama-sama terdiam dalam posisi canggung. Ardan berdehem pelan, berusaha mengendalikan situasi. "Ehm..." Mendengar itu, Luna mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Ardan. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. "AAAA!!!" Luna menjerit keras. Ia langsung melepas pelukannya dan menutup pintu kamar mandi dengan keras. BRAK! Ardan menghela napas panjang, mengusap dadanya yang masih berdebar. Matanya tertuju pada pintu kamar mandi sambil bergumam pelan, "Sialan... mana makin gede lagi." Ia menggelengkan kepala, berusaha menepis pikirannya yang mulai melenceng. Tanpa membuang waktu, Ardan segera melangkah keluar rumah menuju mobilnya. Ia berniat menyelesaikan urusannya secepat mungkin agar bisa segera kembali dan mengantar Luna pulang ke Bandung malam ini juga. Setelah dua puluh menit di perjalanan, Ardan memarkir mobilnya di depan sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan. Warung itu tampak sepi, hanya ada satu pria tua yang duduk di su
"Oh, udah akur ternyata," ujar teman Ardan sambil menatap Luna dengan senyum canggung."Iya, dong. Meskipun udah pisah, kita harus tetap akur demi anak," balas Ardan sambil tersenyum lebar.Luna menggeram dalam hati. Kalau tidak sedang berada di acara resmi seperti ini, mungkin high heels-nya sudah mendarat di wajah tampan Ardan."Oh, anaknya nggak diajak?" tanya pria itu lagi."Enggak. Dia baru sembuh dari sakit," jawab Ardan.Kesal, Luna berniat pergi dari sana. Namun, sebelum ia sempat melangkah, Ardan dengan sigap menarik pundaknya dan memeluknya erat."Lepasin, Mas!" bisik Luna geram. Ia menatap Ardan tajam, lalu melirik ke arah Dylan, berharap pria itu akan membantunya. Tapi Dylan hanya memalingkan wajah, rahangnya mengeras, dan rona merah terlihat di wajahnya.Luna merasa bersalah. Ia segera melepaskan pelukan Ardan dan hendak mengajak Dylan pergi. Namun, Dylan lebih dulu membuka suara."Aku ke kamar mandi dulu, Lun," ucapnya singkat, tanpa menoleh.Luna tertegun. Dylan pergi b
Saat ini, Luna dan Dylan sudah berada di perjalanan menuju Jakarta. Cio tidak diajak, karena bocah itu baru saja sembuh dari sakit. Alhasil, suasana di mobil terasa sangat canggung, karena biasanya Cio yang selalu mencairkan suasana. "Minggu depan ibuku berkunjung ke rumah," ujar Dylan, memulai percakapan. "Ke rumah siapa?" tanya Luna, menanggapi. "Ke rumahku," jawab Dylan santai. "Oh..." Luna mengangguk pelan. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Rasanya wajar saja kalau ibu Dylan berkunjung ke rumah anaknya, kan? "Nanti kamu temui," kata Dylan tiba-tiba. Luna menoleh, alisnya berkerut. "Hah? Aku?" tanyanya bingung. "Iya. Ibu pengen ketemu kamu," jawab Dylan. Luna tersenyum canggung. "Ngapain ketemu aku?" tanyanya lagi. "Mungkin ditanya, kapan nikah sama anak saya?" jawab Dylan, setengah bercanda. Luna menghela napas panjang,