Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja.
Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan. "Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi. "Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion. Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan. Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya gegabah, membuat tubuhnya sedikit tersandung di bagian tuas transmisi. Ardan hanya menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Bagi Luna, tidak ada kata jaim di depan mantan suaminya yang sangat pendendam ini. Ia akan bersikap anggun di hadapan Dokter Dylan saja. "Saya nggak nyuruh kamu manjat kayak gitu," sindir Ardan. "Bodo amat," balas Luna sambil merapikan duduknya. Ia melipat tangan lagi, menatap lurus ke depan dengan wajah masam. Ardan melirik Luna sejenak sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil. "Kayak anak kecil," cibirnya pelan, lalu menginjak pedal gas. Perjalanan dimulai dalam suasana canggung. Hanya ada suara musik jazz pelan yang mengisi keheningan. Luna melirik ke luar jendela, mencoba mengabaikan kehadiran Ardan. Namun, pria itu justru tampak santai, seperti tidak peduli dengan ekspresi kesal Luna. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di warung seafood yang direkomendasikan oleh Luna. Ardan segera memarkir mobilnya, lalu menoleh ke Luna. "Ayo turun," ajaknya. "Nggak," jawab Luna singkat dan ketus. "Turun sendiri atau saya tarik?" ancam Ardan. Luna mendesis kesal. "Kenapa maksa banget, sih!" bentaknya, tak bisa menahan amarah yang sudah sejak tadi terpendam. Ardan tak menghiraukannya. Ia langsung turun dari mobil dan berdiri menunggu Luna di depan mobilnya. Luna terdiam sejenak, menatapnya dengan kesal. Setelah beberapa detik, akhirnya dengan gerakan yang enggan, ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Mereka duduk di bangku kayu yang terletak dekat kolam ikan. Suasana tenang dengan suara gemercik air menambah kesan santai, meskipun hati Luna masih terasa panas karena sikap Ardan. "Kamu biasanya makan di sini?" tanya Ardan memecah keheningan. Luna hanya mengangguk sebagai jawaban. Untuk menghindari tatapan Ardan, ia memilih sibuk dengan ponselnya. Tak lama kemudian, pelayan datang membawa dua piring besar berisi seafood yang tampak menggugah selera. Di atas meja, terdapat hidangan udang bakar, cumi saus tiram, kepiting saus padang, dan nasi putih panas yang menguar aroma menggoda. "Take away udang bakar sama cumi saus padang, Mbak," ujar Ardan pada sang pelayan. "Baik, Pak," jawab pelayan itu sebelum meninggalkan mereka. Ardan segera mengambil sendok dan mulai menyantap hidangannya tanpa berkata-kata. Sementara Luna masih terdiam. "Kenapa diam aja? Nunggu saya suapin?" tanya Ardan. Luna langsung meliriknya sinis. "Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi dimakan sama anak hasil hubungan terlarang." Luna menirukan dan mengungkit ucapan Ardan kemarin. Mendengar itu, Ardan langsung mendengus kesal. "Makan aja," ujarnya sambil membuang muka, terlihat jelas bahwa ia merasa malu sekarang. "Huh, makanya jadi orang itu jangan plin-plan mulutnya," cibir Luna. Kemudian ia mengambil sendok dan garpu, lalu mulai menyantap cuminya, merasa lapar setelah sekian lama menahan diri. Ardan hanya diam, matanya terfokus pada piringnya. Sesekali, ia melirik Luna yang tampak menikmati makanannya. Melihat Luna kesulitan mengupas udang, Ardan merebut udang itu dari tangan Luna, dengan cepat mengupasnya, lalu meletakkannya di piring Luna. Luna terkejut dengan sikap Ardan. Namun, ia memilih untuk tidak berkomentar dan melanjutkan makanannya. Keheningan kembali menyelimuti meja mereka, hanya suara sendok dan garpu yang terdengar. Beberapa detik kemudian, ponsel Luna berdering. Melihat nama "Bu Lina" di layar, Luna buru-buru mengangkat panggilannya. "Halo, Bu. Ada apa?" tanya Luna. "Cio habis jatuh, Mbak. Nggak mau diantar pulang kalau nggak dijemput Om Dylan katanya." Luna langsung panik. "Jatuh? Terus gimana sekarang? Apanya yang luka?" "Cuma lututnya doang yang luka, tapi udah diobatin kok." Luna menghela napas lega, meski masih khawatir. "Yaudah, saya ke sana sekarang." Setelah mengakhiri panggilan tersebut, Luna langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku. Kemudian ia buru-buru menuju wastafel untuk mencuci tangannya. "Mau ke mana?" tanya Ardan. "Bukan urusanmu," balas Luna ketus tanpa menoleh. Namun, Ardan langsung berdiri dari duduknya dan menyusul Luna yang sudah berjalan cepat meninggalkan warung itu. "Saya antar," ujar Ardan tegas, langkahnya cepat mengejar. "Nggak usah," jawab Luna, berusaha mengabaikannya. Enggan berdebat lebih lama lagi, Ardan langsung menarik tangan Luna dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, dengan cepat, ia berlari kembali ke dalam warung untuk membayar dan mengambil pesanannya. ***** Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Luna hanya sesekali melirik ke arah Ardan, namun tidak ada niat untuk memulai percakapan. Setelah beberapa menit, Luna memecah keheningan dengan suara datar, "Belok kanan di depan." Ia menunjuk ke arah jalan yang dimaksud tanpa menoleh ke Ardan. Ardan hanya mengangguk dan mengikuti arahannya. Ketika akhirnya mereka sampai di depan TK, Luna menyuruhnya untuk berhenti. "Udah, sana pulang," ucap Luna sambil membuka pintu mobil. "Saya tunggu di sini," balas Ardan dengan nada tenang. Luna menatapnya tajam. "Yakin? Aku mau jemput anakku, loh. Awas aja kalau kamu ngomong aneh-aneh di depan anakku." Ardan hanya mengangkat bahu dengan ekspresi datar. "Hmm," gumamnya. Luna berdecak kesal. Ia berjalan cepat menuju gerbang sekolah, sementara Ardan tetap duduk di mobil, memandang punggungnya yang semakin menjauh. Luna sama sekali tidak keberatan jika Ardan bertemu dengan anaknya. Ia justru merasa ini kesempatan yang tepat. Ia ingin Ardan melihat sendiri bagaimana wajah anaknya yang sangat mirip dengannya. Mungkin, setelah ini, Ardan akan berpikir ulang tentang tuduhannya selama ini. Luna ingin pria itu sadar betapa salahnya menuduhnya berselingkuh dan berkhianat. Tak lama kemudian, Luna muncul kembali, kali ini dengan seorang anak kecil yang berjalan di sampingnya dengan wajah cemberut. Wajah Ardan seketika berubah tegang. Tubuhnya membeku sesaat, matanya terpaku pada bocah itu. Tak ingin larut dalam keterkejutannya, Ardan buru-buru keluar dari mobil dan berjalan cepat menghampiri mereka, membuat langkah Luna dan bocah itu terhenti seketika."Aku kasih cincin ini ke kamu, kamu kasih kesempatan kedua ke aku."Luna yang semula tegang perlahan tersenyum. Ia menatap cincin yang sudah tersemat di jarinya dengan perasaan campur aduk."Ini kesempatan terakhir. Manfaatin sebaik mungkin," ucapnya.Senyum Ardan langsung mengembang. Tanpa menunggu persetujuan, ia berdiri, meraih kepala Luna, lalu mengecup keningnya dengan cepat.Luna langsung melotot, refleks memukul lengan Ardan. "Mas! Nanti dilihat orang!" geramnya, sambil melirik sekitar dengan wajah memerah.Ardan terkekeh pelan. "Enggak. Tenang aja. Pelayan udah masuk ke dapur semua."Luna mendengus kesal, tapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya.Setelah selesai makan malam, mereka keluar dari restoran. Mobil masih terparkir rapi di tempatnya, tetapi alih-alih langsung pulang, mereka memilih berjalan-jalan di trotoar, menikmati malam yang tenang sambil bergandengan tangan.Bagi Luna, m
Luna perlahan bangkit dari duduknya, menatap orang-orang di hadapannya dengan senyum tipis yang mulai merekah di wajahnya."Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang juga... sekarang juga."Mereka terus bernyanyi sambil bertepuk tangan, menciptakan suasana yang semakin hangat dan meriah.Luna masih tersenyum, matanya berbinar penuh haru. Begitu nyanyian mereka berhenti, ia segera meniup lilin di atas kue dengan satu tarikan napas."Yeay!" seru mereka serempak, diiringi tepuk tangan yang semakin riuh.Setelah meniup lilin, Luna mengambil pisau yang sudah disiapkan di samping kue. Dengan senyum hangat, ia mulai memotong kue dan membagikannya kepada semua orang. Cio menjadi orang pertama yang mendapat potongan kue, yang langsung disambutnya dengan wajah penuh antusias.Mereka kemudian duduk melingkar, menikmati kue sambil bercanda dan mengobrol santai. Suasana terasa begitu hangat dan penuh kebahagiaan. Nam
Sejak resmi menyandang status duda, Ardan semakin gencar mendekati Luna. Tak jarang, pria itu menjadikan Cio sebagai senjatanya. Bahkan, Sila dan Nayla pun sering diajak bekerja sama untuk meluluhkan hati Luna.Seperti hari ini, di ulang tahun Luna, Ardan kembali menyusun rencana. Dengan bantuan Sila dan Nayla, ia menyiapkan kejutan di danau yang sering menjadi tempat Luna menenangkan diri.“Bunda masih masak, Ayah,” ujar Cio pelan, berusaha agar suaranya tidak terdengar oleh sang bunda.Diam-diam, bocah itu meminjam ponsel bundanya untuk menelepon Ardan demi menjalankan rencana yang telah mereka susun. Ia bersembunyi di kamar neneknya, sementara Luna masih sibuk di dapur."Yaudah, nanti langsung ajak Bunda ke danau kalau sudah selesai, ya." Suara Ardan terdengar di ujung telepon.Cio mengangguk meskipun sang ayah tak bisa melihatnya. Setelah panggilan berakhir, ia berlari kecil keluar kamar dan dengan hati-hati meletakkan kembali ponsel
Suasana di sekitar mendadak hening, hingga suara kecil yang polos memecah kebisuan.“Bunda kok cium Ayah?” tanya Cio sambil menatap mereka dengan wajah bingung.Luna tersentak. Kesadarannya langsung kembali. Dengan wajah memerah, ia buru-buru berusaha bangkit. Namun, sialnya, tangannya malah terpeleset di dada Ardan, membuatnya semakin panik.Sementara itu, pria di bawahnya hanya terkekeh santai tanpa berniat untuk segera bangun."Santai aja, nggak usah gugup," ujar Ardan dengan nada menggoda, membuat wajah Luna semakin memanas.Dengan wajah yang masih bersemu merah, Luna buru-buru beringsut dan akhirnya berhasil bangkit. Ia merapikan bajunya yang sedikit berantakan, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat kejadian dengan kepala tertunduk.Jangan tanya seberapa malunya Luna saat ini. Kalau bisa, ia ingin meminjam pintu Doraemon dan menghilang seketika. Sakit akibat terjatuh memang tidak seberapa, tapi rasa malunya? Tidak terkira!
Malam semakin larut, tapi baik Luna maupun Ardan masih duduk di tepi sungai. Mereka tidak banyak bicara, hanya menikmati suasana tenang dengan suara gemericik air yang mengalir.Hingga akhirnya, setelah cukup lama terdiam, Luna membuka suara. "Udah, sana ke tenda, Mas. Nanti mereka makin mikir yang enggak-enggak.""Nggak papa. Biarin aja. Lagian mereka juga udah tahu kalau aku masih suka sama kamu," balas Ardan santai.Luna mendengus kesal. "Nggak seharusnya kamu ngomong kayak gitu di depan mereka. Aku sebenarnya marah banget, tapi mau gimana lagi? Mulutmu emang nggak bisa dikontrol."Ardan menoleh, menatapnya dengan tenang. "Maksud kamu, aku harus bohong gitu?"Luna terdiam, tak langsung menjawab.Ardan tersenyum tipis. "Aku memang masih suka sama kamu, Luna. Masa aku harus bilang sebaliknya?"Luna mendesah pelan, lalu berdecak kesal. "Setidaknya, kamu nggak harus blak-blakan di depan mereka."Ardan terkekeh pe
Permainan pun dimulai. Mega mulai memutar botol. Semua mata mengikuti gerakan botol yang berputar dengan cepat, hingga akhirnya melambat dan berhenti… menunjuk ke Dafa."Truth or dare?" tanya Nayla.Dafa menyeringai. "Dare, dong! Apa tantanganku?" tanyanya songong.Nayla dan Mega saling pandang, lalu berbisik sebentar sebelum akhirnya Nayla berkata, "Nyanyi lagu cinta sambil tatap-tatapan sama Siska."Ledakan tawa pun pecah. Dafa langsung protes, sementara Siska yang duduk di seberang Dafa mendengus kesal. Semua orang di sini tahu betapa seringnya mereka bertengkar dan saling sindir. Karena itulah, Mega dan Nayla sepakat memberi tantangan ini."Sialan kalian!" gerutu Dafa, tapi tetap melakukannya. Ia menatap Siska dengan ekspresi malas, lalu mulai menyanyikan lagu romantis dengan suara sengaja dibuat fals, membuat semua orang makin tertawa.Setelah Dafa menyelesaikan tantangannya, Mega kembali mengambil botol dan memutarnya lagi.