"Jangan lepaskan …."
Dalam remang, seorang perempuan yang dipengaruhi efek alkohol itu dikuasai pelukan oleh pria gagah dan maskulin di ujung sofa. Aroma keringatnya yang pekat bercampur dengan wangi parfum maskulin yang memabukkan membuat Vivi, nama perempuan itu, semakin tak berdaya. Gejolak hasrat itu membakar tubuhnya, memintanya untuk tunduk. "Hngh..." Ujung-ujung jari pria itu meremas dan menekan punggungnya semakin erat, seerat pagutan pria itu ketika menyambar bibir mungil miliknya. Sensasi itu membuat Vivi memejamkan mata, kepalanya berkata 'pergi', tapi tubuhnya justru menolak. Hentakan demi hentakan membuat desahan lolos dari bibir mereka, berpadu dengan jeritan halus dari pegas sofa. Cengkeraman Vivi pada punggung pria itu semakin erat, kuku-kuku jarinya menancap. Kemudian derit sofa itu berhenti, digantikan oleh suara napas terengah-engah dan hening yang pekat. “Vivi!?” Vivi berusaha menjaga kesadarannya. Di depannya, wajah pria itu menatapnya tajam. “Vi! Bangun…” Suara bariton itu perlahan-lahan berubah menjadi suara perempuan, membuatnya terlonjak. Nafasnya memburu, kulitnya terasa panas dan basah oleh keringat. Matanya terbuka–bukan sofa, bukan pelukan pria itu, melainkan kursi sempit berlapis kain abu-abu. Pandangannya berganti ke deretan kursi mobil travel yang kini sedang ia tumpangi. Saat ini, Vivi tengah menuju kampusnya di Bandung setelah menanti dua tahun lamanya untuk berkuliah di kampus yang ia idam-idamkan. "Kamu pulang jam berapa sih semalam? Aku ngechat tadi malam nggak dibales-bales." Vivi cepat-cepat mengatur ekspresinya agar tidak dicurigai. "Oh … aku nginep di rumah teman. Kemarin aku pergi sama dia. Malamnya capek banget, jadi aku ketiduran di sana.” Lala menatapnya curiga, tetapi tak melanjutkan. "Ya udah, kirain kamu kenapa-kenapa." Vivi mengangguk pelan, walaupun sebenarnya ia tahu kini ia telah terperosok dalam masalah. Ya, masalah yang sangat… besar! Ia menatap keluar jendela, berusaha meyakinkan diri bahwa adegan-adegan yang barusan ia rasakan benar-benar mimpi. Tapi, pikirannya tak bisa menampik; sprei putih kusut malam itu, aroma parfum asing yang masih menempel di benaknya, dan rasa jijik pada tubuhnya sendiri ini terlalu nyata untuk dibilang sebagai mimpi. Semua bermula dari pesta kecil bersama tiga teman SMA. Ia mencoba alkohol untuk pertama kali, kepalanya cepat melayang, dan ingatannya terputus. Yang tersisa hanya potongan samar: dirinya mendekati dua pria asing, lalu gelap. Saat sadar, ia sudah berada di ranjang dengan seorang pria dewasa yang tak ia kenal. Panik, Vivi memunguti pakaiannya dan kabur pulang. Sesampainya di rumah pun, ia bergegas untuk berangkat ke pool tempat ia memesan travel menuju Bandung. Dan, di sinilah ia sekarang, memikirkan kembali kejadian bodoh yang ia lakukan pada malam itu. Travel terus berjalan sampai akhirnya tiba di kota Bandung. Begitu travel memasuki gerbang kota, Vivi memaksa dirinya fokus ke tujuan awalnya yakni kampus. Dari pool travel ini dia masih harus naik angkutan umum menuju kampus. Bersama dengan Lala, dia tiba di kampus tepat jam sepuluh pagi. Hari ini penyambutan mahasiswa baru diadakan di aula besar yang sudah penuh sejak pagi. Riuh suara, lampu panggung, dan sorak-sorai panitia membuat suasana terasa hangat kontras dengan perasaan Vivi saat ini. Ia duduk di barisan tengah, mencoba larut dalam acara dan melupakan sejenak masalah yang dia alami. Vivi mengedarkan pandangan, menatap wajah-wajah bahagia seperti dirinya. Tiba-tiba pandangannya berhenti pada seorang lelaki berkemeja rapi di samping dekat tembok. Sekilas wajah itu terasa begitu familiar. Ia menyipitkan mata, mencoba mengingat. Di mana dia pernah melihatnya melihat lelaki itu. Dan tiba-tiba, potongan memori semalam menyeruak—malam yang berantakan, wajah samar di balik cahaya redup. Jantung Vivi berdegup kencang. Jangan bilang ... dia lelaki yang tadi malam? Saat pikiran itu bergulir, pria tersebut menoleh. Tatapan mereka bertemu, singkat tapi cukup untuk membuat darah Vivi berdesir. Lelaki itu pun tampak sedikit terkejut, seolah sama-sama mengenali dirinya. “Ya Tuhan ...," gumam Vivi dalam hati, panik. “Dia ngeliat ke sini. Duh, kenapa dia ada di sini?" Vivi buru-buru berpindah tempat, ia pun langsung pergi dari sana dengan cepat sebelum sebuah pesan masuk di ponselnya. “Vi, nanti setelah dari kampus, temui Mama Papa di restoran ya, nanti Mama akan kirim lokasinya. Jangan sampai terlambat!” Desahan pendek keluar dari mulut Vivi tatkala ia melihat pesan tersebut, bahkan ketika ia sudah di Bandung pun, cengkraman orang tuanya tak bisa sepenuhnya ia lepaskan. *** Malam itu, setelah acara penyambutan mahasiswa baru. Vivi ditunggu Ratna–ibunya Vivi di sebuah restoran. Restoran Ananta. Dia harus tiba pada jam tujuh malam. Begitu tiba di restoran Ananta, ia berjalan malas menuju meja yang dipesan. Langkahnya terhenti mendadak. Di meja itu, ada seseorang yang duduk dengan santai mengenakan kemeja biru yang lengan atasnya digulung. Tubuh Vivi membeku, kenapa… dia bisa bertemu pria itu lagi di sini?! “Lama sekali. Kupikir kamu nggak akan datang.”Dira yang duduk di sebelah Vivi langsung menepuk bahunya dengan semangat. “Wah, kita satu kelompok, Vivi! Asyik, kan?”Vivi hanya tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa kikuknya. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa di antara sekian banyak mahasiswa dikelas itu dia harus dipasangkan dengan Antonio?Sementara itu, Giorgio menutup daftar dan menatap seisi kelas. “Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik. Proyek ini nilainya cukup besar, jadi jangan anggap enteng. Minggu depan kalian sudah harus menentukan topik.”Bel pun berbunyi. Beberapa mahasiswa langsung bangkit, berhamburan keluar kelas sambil membicarakan kelompoknya masing-masing.“Eh, Antonio! Kita bisa janjian kapan buat diskusi?” seru Dira.Antonio menjawab dengan singkat. “Besok sore. Perpustakaan.”Vivi membereskan bukunya dengan hati-hati, berusaha terlihat santai meski dadanya berdegup lebih cepat. "Aku duluan ya." Buru-buru dia tinggalkan kelas itu.
"Ka--kamu melakukan itu?! Dasar mesum, aku tidak mengizin ….""Menggendongmu …."Hah?"Tadi malam saat menggendongmu, kamu tidak berontak …."Oh ... hanya menggendong ….Wajahnya memerah, buru-buru Vivi menyambar handuk dan langsung ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, gadis itu masih merasa geram pada Giorgio. Selesai mandi, Vivi mengenakan pakaian. berdiri di depan cermin, menata kemeja salem yang baru saja dipakainya. Rok panjang dengan warna senada jatuh rapi sampai mata kaki. Merasa penampilannya sudah rapi, Vivi menuju meja makan. Dia ingin sarapan sebelum pergi ke kampus. Pagi itu ada susu dan roti di meja yang sudah disiapkan oleh suaminya. Giorgio sudah duduk di meja makan. Menatap Vivi dalam diam. Seolah sedang menebak apa yang Vivi rasakan dari ekspresi wajahnya. Vivi menahan langkah sesaat. Ada rasa canggung yang menempel sejak semalam. Ia masih ingat jelas bagaimana kepalanya terjatuh di bahu Giorgio saat meno
Aroma spaghetti bolognese memenuhi apartemen kecil itu. Saus tomat yang sudah menyatu dengan daging cincang mengepul di atas wajan, sementara pasta yang direbus sempurna diletakkan Giorgio di atas piring. Semua tertata rapi, siap untuk disantap. Vivi duduk menunggu di sofa, masih sesekali mengusap perban tipis di tangannya. Perihnya sudah berkurang, tapi rasa malunya justru semakin besar. Dia merasa bersalah karena sudah membuat dapur sedikit berantakan dan akhirnya malah merepotkan Giorgio.“Vi, sini!" Giorgio mengangkat tangan. Vivi menoleh. Segera bangkit dari sofa. Gadis itu menuju meja makan. Matanya membulat menatap hasil masakan Giorgio yang begitu menggugah selera dan tak bisa dia lewatkan. Ada sedikit rasa kagum pada suaminya itu. Dia akui memang sebagai perempuan Vivi belum bisa memasak dan Giorgio memiliki kemampuan. Bagi Vivi, lelaki yang bisa mengolah bahan makanan di dapur itu sungguh…. "Kamu nggak suka masakanku?" Giorg
Sampai di depan ruangan dosen, langkah Vivi terasa berat. Jantungnya berdegup kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Giorgio, lelaki yang berdiri di sampingnya, membuka pintu dengan tenang. Gerakannya mantap, wibawa terpancar jelas dari tubuh jangkungnya. Dia melirik sekilas ke arah Vivi, memberi isyarat dengan tangannya agar gadis itu masuk lebih dulu.Vivi menelan ludah. Kakinya seperti menapak di atas lantai es, dingin. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, bahkan tak berani menoleh ke kiri atau ke kanan. Ruangan dosen itu rapi, aroma kopi bercampur wangi kertas memenuhi udara. Ada rak besar penuh buku, sertifikat yang berjajar di dinding, dan meja kayu lebar yang tertata dengan apik.Namun, semua detail itu sama sekali tak mampu membuat Vivi merasa nyaman. Dia hanya terpaku pada satu hal, hukuman apa yang akan diberikan Giorgio padanya?Vivi tidak langsung duduk. Dia berdiri di depan meja Giorgio dengan kepala menunduk. M
Malam itu, layar laptop Vivi memancarkan cahaya. Di sebelahnya, tergeletak bungkus makanan cepat saji dan gelas plastik berisi minuman kekinian yang sudah setengah habis.Jari-jemari Vivi terus menari di atas keyboard. Sesekali ia berhenti, menyeruput minumannya, lalu melanjutkan mengetik. Tubuhnya terasa lelah , matanya nyaris menutup, tapi tenggat tugas yang memaksanya bertahan. Sesekali ia mendengus kesal ketika apa yang dia ketik tidak sesuai ekspektasi, lalu kembali menghapus dan mengetik ulang.Waktu berjalan cepat. Tanpa sadar, jarum jam sudah melewati tengah malam. Begitu kalimat terakhir selesai, Vivi menghela napas panjang, seakan beban besar terlepas dari pundaknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu bersandar di sofa. Niatnya hanya ingin rebahan sebentar, tapi kantuk yang sejak tadi menumpuk langsung menyeretnya ke dalam tidur lelap. Laptopnya masih terbuka, layarnya memancarkan cahaya redup di tengah ruang tengah yang masih terang itu.
Setelah materi kuliah Giorgio berakhir, Vivi merapikan buku catatannya sambil melirik jam di pergelangan tangan. Jarum panjang sudah menunjuk ke angka dua belas.“Udah jam makan siang, ya. Ayo, semangat, Vivi. Hari ini masih panjang,” gumamnya, berusaha menyemangati diri sendiri.Mahasiswa lain segera berhamburan keluar kelas, tapi Vivi sengaja menunggu sampai ruangannya sepi. Dia malas berdesakan hanya untuk keluar pintu. Setelah agak lengang, barulah ia melangkah tenang menuju kantin.Di kantin, Suara riuh mahasiswa yang bercampur dengan dentingan sendok garpu membuat suasana semakin ramai. Vivi memesan seporsi nasi dengan lauk lalu mencari tempat duduk.“Viii!” panggil seseorang yang suaranya familiar.Vivi menoleh. Ternyata Lala sudah duduk di salah satu meja kosong. Vivi tersenyum tipis lalu menghampirinya. “Pas banget kamu ada di sini, aku hampir aja makan sendirian tadi.”Begitu Vivi duduk, Lala langsung membuka obrolan dengan wajah berbinar. “Eh, tadi gimana kuliah sama Pak G