Vivi menatapnya tajam, melangkah mendekat dengan langkah cepat. “Kamu ngikutin aku sampai ke Bandung, ya?!” desis Vivi yang terdengar sampai ke meja lain. Sampai beberapa kepala di meja lain sempat menoleh.
Alis Giorgio terangkat malas. “Lucu. Aku yang mengikutimu?” Ia menghela napas, mencondongkan tubuh sedikit ke depan, tatapannya menusuk. “Bukannya kamu yang—” Ia berhenti. Kalimat itu menggantung dan sengaja ia potong, meninggalkan tanda tanya yang membakar rasa penasaran Vivi. Vivi mengerutkan kening. “Aku yang apa?” Giorgio hanya menyandarkan punggung ke kursi, memainkan gelas air di depannya. “Lupakan.” Nada santainya justru membuat darah Vivi mendidih. “Kamu pikir aku nggak sadar, ya? Tiba-tiba kita ada di kota yang sama, kampus yang sama, restoran yang sama, jam yang sama? Mau sampai kapan kamu main drama aneh-aneh ini?” Giorgio menatapnya lama, bibirnya melengkung seolah ingin tertawa, tetapi tatapannya dingin. “Vivi, dunia ini kecil. Jangan terlalu ge-er. Kadang orang bertemu bukan karena takdir … tapi karena ada alasan lain.” Kalimat itu membuat Vivi merasakan sesuatu yang tak nyaman merayap di punggungnya. Ada yang membuatnya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi gengsi menahannya. Dari sudut matanya, Vivi menyadari sesuatu. Di meja yang agak jauh dari mereka, seorang wanita elegan dengan rambut bergelombang rapi dan blazer krem tengah memerhatikannya. Namun, Vivi tidak memedulikan hal itu, setidaknya untuk sekarang. Kini, ia harus kembali menghadapi pria yang ada di hadapannya. Vivi belum sempat membuka mulut lagi ketika pintu masuk restoran terbuka lebar. Dua pasang orang tua melangkah masuk dengan langkah mantap. Mama Vivi terlihat anggun dengan gaun pastel, Papa di sisinya. Di belakang mereka, sepasang suami-istri yang tak kalah berwibawa berjalan mendekat. Vivi berdiri dengan refleks, tetapi pandangannya tertumbuk pada pria berambut perak di rompi rajut itu mirip sekali dengan Giorgio. Dan memang, Giorgio sudah berdiri di sampingnya. Ayah Giorgio tersenyum santai, menepuk bahu putranya. “Sepertinya pertemuan ini akan lebih singkat dari yang kita duga.” Ia menatap bergantian antara Vivi dan Giorgio, senyum penuh arti di bibirnya. “Anak-anak kita ternyata sudah saling kenal.” Kalimat itu menghantam Vivi. Saling kenal? Sejak kapan pertemuan ini menjadi pertemuan untuk anak-anak mereka? Vivi membeku, menatap Giorgio yang entah kenapa justru menatapnya balik dengan senyum tipis penuh misteri, seolah sudah tahu semua ini akan terjadi. Dan di sudut lain, wanita itu masih duduk, matanya mengawasi adegan yang membuatnya kini tersenyum samar. Restoran Ananta malam itu lebih mirip ruang sidang daripada tempat makan malam keluarga. Aroma wangi makanan sama sekali tidak mengurangi ketegangan yang menekan dada setiap orang di ruangan itu. Vivi duduk di kursi ujung, kedua tangannya terkepal di atas pangkuan. Pandangannya menempel pada piring kosong di depannya, seolah nasi dan lauk bisa muncul dari tatapan matanya yang tajam. Jantungnya berdebar kencang sejak ia melihat siapa yang duduk di seberang meja. Giorgio. Ia masih mengingat jelas malam di kosnya beberapa hari lalu, ketika ibunya mengirim pesan singkat: “Makan malam jam 7 di restoran Ananta. Kamu harus datang!” Vivi kira itu sekadar makan malam keluarga. Ia tak pernah menduga akan berhadapan dengan Giorgio, pria yang dia benci dan tak ingin dia temui lagi. Dan kini, lebih mengejutkan lagi, ayah Giorgio dan ibunya justru duduk berdampingan seperti dua sekutu lama. “Baiklah,” suara berat Pak Adrian, ayah Giorgio, memecah keheningan. Tangannya yang besar menepuk meja dengan penuh wibawa. “Kita tidak akan berlama-lama. Malam ini saya umumkan sesuatu yang penting untuk masa depan dua keluarga kita.” Vivi menegakkan punggung. Perasaan tak enak menjalar cepat dari tengkuk hingga ujung jari. Pak Adrian melanjutkan, “Mulai malam ini, Vivi dan Giorgio akan dijodohkan. Pernikahan ini akan menyelamatkan saham, sekaligus menjaga kehormatan dua keluarga besar.” “Apa?!” Vivi terkejut. Vivi pun bangkit, wajahnya memerah. “Mama! Aku datang karena pikir cuma makan malam biasa, bukan untuk—untuk—” ia tercekik, kata dijodohkan terlalu berat untuk keluar dari mulutnya. Ibunya, Ratna, hanya menatapnya tenang. Senyum tipis di wajahnya. “Duduklah, Vivi. Jangan mempermalukan dirimu sendiri.” “Justru ini memalukan!” Vivi hampir berteriak. “Aku bahkan tidak punya hubungan apa pun dengan dia!” Ia kini menatap Giorgio dengan tajam, kedua orang itu saling pandang penuh amarah. Rasanya udara bisa terbakar hanya karena tatapan mereka. Vivi merasa tak tahan lagi. Ia meraih tasnya dan melangkah cepat menuju toilet, niatnya hanya satu, kabur dari perjodohan ini. Lebih baik pulang naik ojek online daripada bertahan di situ. Namun baru beberapa langkah, tangan ibunya mencengkeram lengannya kuat-kuat. “Diam di sini!” Ratna berbisik di telinganya dengan nada suara yang terasa dingin. Vivi berusaha melepaskan diri. “Mama, aku nggak mau! Ini gila. Aku punya hak atas hidupku sendiri!” Ratna menunduk, bibirnya hampir menempel di telinga Vivi. “Kalau kamu menolak, besok pagi keluarga kita akan bangkrut. Paham?” Darah Vivi seakan berhenti mengalir. Matanya membesar, menatap ibunya tak percaya. “Apa maksud Mama?” “Jangan paksa aku jelaskan di sini. Yang jelas, kamu tidak punya pilihan.” Dengan langkah gemetar, Vivi kembali duduk. Rasa sesak menekan dadanya, seakan-akan seluruh dunia bersekongkol menjebaknya di kursi itu. Di sisi lain meja, Giorgio berdiri dengan rahang mengeras. “Papa, aku sudah bilang aku tidak tertarik dengan warisan perusahaan. Aku ingin hidupku sendiri.” Pak Adrian menatap anaknya dengan sorot dingin. “Kau pikir bisa lepas begitu saja? Dunia luar tidak seindah bayanganmu, Giorgio. Jika kau ingin kebebasanmu, maka lakukan ini sekali saja. Menikahlah dengan Vivi. Setelah itu, semua keputusan hidupmu boleh kau tentukan sendiri.” “Pa ....” Nada suaranya melemah. Selama ini, ia berjuang membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar pewaris bisnis. Ia ingin terbang, menulis, melakukan apa saja selain dikurung dalam meja rapat. Namun, rupanya syarat kebebasannya adalah menikahi gadis yang bahkan tak bisa ia ajak bicara tanpa pertengkaran. Vivi sudah kembali ke tempat duduknya dan masih belum bisa menerima keputusan dari orang tuanya. “Ini konyol!” Vivi meledak lagi. “Pernikahan bukan alat tukar-menukar saham!” Suasana meja mendidih. Para pelayan saling pandang cemas, tak tahu harus mundur atau tetap berdiri di sudut ruangan. Ratna akhirnya bersuara. “Vivi, dengarkan Mama. Ini bukan hanya tentangmu. Ada ratusan karyawan yang hidupnya bergantung pada stabilitas perusahaan. Kalau kamu menolak—” “Kenapa harus aku?!” Vivi menatap ibunya dengan mata berair. “Kenapa harus aku yang dikorbankan?” Hening. Tak ada jawaban, hanya pandangan tegas dari semua orang dewasa di meja itu. Tiba-tiba, pintu restoran terbuka. Seorang pria bersetelan rapi masuk, membawa map cokelat. “Maaf mengganggu,” ujarnya datar. “Saya dari kantor catatan sipil. Apakah pasangan pengantin sudah siap menandatangani berkas pernikahan?” Jantung Vivi langsung jatuh ke perutnya. Ia menoleh pada Giorgio dengan panik. Tolong katakan tidak. Tolong lakukan sesuatu. Namun, Giorgio hanya menatap balik dengan mata gelap. Ia tidak berkata sepatah kata pun, hanya duduk kembali perlahan. Petugas meletakkan dokumen di meja, lengkap dengan pena hitam. “Silakan tanda tangan di sini, Tuan Giorgio.” Ruangan seakan membeku. Semua mata tertuju pada pria itu. Vivi menunggu dengan napas tercekat. Jika Giorgio menolak, ia masih punya celah kabur. Namun, jika Giorgio menerima, Vivi sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tangannya bergerak. Pena itu menyentuh kertas. Dan dengan satu tarikan garis, tanda tangan Giorgio jatuh di atas dokumen. “Sekarang giliran mempelai wanita,” ucap petugas. Vivi menatap kertas itu. Dunia berputar di sekelilingnya. Suara-suara terdengar menjauh dan bergema. Kalau aku menolak, keluarga hancur. Kalau aku setuju, hidupku hancur. Air mata mendesak keluar, Vivi menggigit bibir. Ia tidak akan menangis di depan Giorgio. Ia tidak akan memberinya kepuasan itu. Dengan tangan gemetar, ia mengambil pena. Seolah pena itu beratnya berton-ton, ia menunduk, dan menuliskan namanya di samping tanda tangan Giorgio. Tepuk tangan kecil terdengar dari beberapa orang dewasa di meja. Bagi mereka, pernikahan ini hanyalah transaksi bisnis yang sukses. Bagi Vivi, ini seperti hukuman seumur hidup. Saat semua orang sibuk mengobrol setelah formalitas selesai, satu sosok melangkah keluar dari restoran. Sosok wanita itu kini menempelkan ponsel ke telinganya sambil tersenyum penuh kemenangan. “Kau tidak akan percaya siapa yang baru saja menikah,” bisiknya pada lawan bicara di seberang.Dira yang duduk di sebelah Vivi langsung menepuk bahunya dengan semangat. “Wah, kita satu kelompok, Vivi! Asyik, kan?”Vivi hanya tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa kikuknya. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa di antara sekian banyak mahasiswa dikelas itu dia harus dipasangkan dengan Antonio?Sementara itu, Giorgio menutup daftar dan menatap seisi kelas. “Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik. Proyek ini nilainya cukup besar, jadi jangan anggap enteng. Minggu depan kalian sudah harus menentukan topik.”Bel pun berbunyi. Beberapa mahasiswa langsung bangkit, berhamburan keluar kelas sambil membicarakan kelompoknya masing-masing.“Eh, Antonio! Kita bisa janjian kapan buat diskusi?” seru Dira.Antonio menjawab dengan singkat. “Besok sore. Perpustakaan.”Vivi membereskan bukunya dengan hati-hati, berusaha terlihat santai meski dadanya berdegup lebih cepat. "Aku duluan ya." Buru-buru dia tinggalkan kelas itu.
"Ka--kamu melakukan itu?! Dasar mesum, aku tidak mengizin ….""Menggendongmu …."Hah?"Tadi malam saat menggendongmu, kamu tidak berontak …."Oh ... hanya menggendong ….Wajahnya memerah, buru-buru Vivi menyambar handuk dan langsung ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, gadis itu masih merasa geram pada Giorgio. Selesai mandi, Vivi mengenakan pakaian. berdiri di depan cermin, menata kemeja salem yang baru saja dipakainya. Rok panjang dengan warna senada jatuh rapi sampai mata kaki. Merasa penampilannya sudah rapi, Vivi menuju meja makan. Dia ingin sarapan sebelum pergi ke kampus. Pagi itu ada susu dan roti di meja yang sudah disiapkan oleh suaminya. Giorgio sudah duduk di meja makan. Menatap Vivi dalam diam. Seolah sedang menebak apa yang Vivi rasakan dari ekspresi wajahnya. Vivi menahan langkah sesaat. Ada rasa canggung yang menempel sejak semalam. Ia masih ingat jelas bagaimana kepalanya terjatuh di bahu Giorgio saat meno
Aroma spaghetti bolognese memenuhi apartemen kecil itu. Saus tomat yang sudah menyatu dengan daging cincang mengepul di atas wajan, sementara pasta yang direbus sempurna diletakkan Giorgio di atas piring. Semua tertata rapi, siap untuk disantap. Vivi duduk menunggu di sofa, masih sesekali mengusap perban tipis di tangannya. Perihnya sudah berkurang, tapi rasa malunya justru semakin besar. Dia merasa bersalah karena sudah membuat dapur sedikit berantakan dan akhirnya malah merepotkan Giorgio.“Vi, sini!" Giorgio mengangkat tangan. Vivi menoleh. Segera bangkit dari sofa. Gadis itu menuju meja makan. Matanya membulat menatap hasil masakan Giorgio yang begitu menggugah selera dan tak bisa dia lewatkan. Ada sedikit rasa kagum pada suaminya itu. Dia akui memang sebagai perempuan Vivi belum bisa memasak dan Giorgio memiliki kemampuan. Bagi Vivi, lelaki yang bisa mengolah bahan makanan di dapur itu sungguh…. "Kamu nggak suka masakanku?" Giorg
Sampai di depan ruangan dosen, langkah Vivi terasa berat. Jantungnya berdegup kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Giorgio, lelaki yang berdiri di sampingnya, membuka pintu dengan tenang. Gerakannya mantap, wibawa terpancar jelas dari tubuh jangkungnya. Dia melirik sekilas ke arah Vivi, memberi isyarat dengan tangannya agar gadis itu masuk lebih dulu.Vivi menelan ludah. Kakinya seperti menapak di atas lantai es, dingin. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, bahkan tak berani menoleh ke kiri atau ke kanan. Ruangan dosen itu rapi, aroma kopi bercampur wangi kertas memenuhi udara. Ada rak besar penuh buku, sertifikat yang berjajar di dinding, dan meja kayu lebar yang tertata dengan apik.Namun, semua detail itu sama sekali tak mampu membuat Vivi merasa nyaman. Dia hanya terpaku pada satu hal, hukuman apa yang akan diberikan Giorgio padanya?Vivi tidak langsung duduk. Dia berdiri di depan meja Giorgio dengan kepala menunduk. M
Malam itu, layar laptop Vivi memancarkan cahaya. Di sebelahnya, tergeletak bungkus makanan cepat saji dan gelas plastik berisi minuman kekinian yang sudah setengah habis.Jari-jemari Vivi terus menari di atas keyboard. Sesekali ia berhenti, menyeruput minumannya, lalu melanjutkan mengetik. Tubuhnya terasa lelah , matanya nyaris menutup, tapi tenggat tugas yang memaksanya bertahan. Sesekali ia mendengus kesal ketika apa yang dia ketik tidak sesuai ekspektasi, lalu kembali menghapus dan mengetik ulang.Waktu berjalan cepat. Tanpa sadar, jarum jam sudah melewati tengah malam. Begitu kalimat terakhir selesai, Vivi menghela napas panjang, seakan beban besar terlepas dari pundaknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu bersandar di sofa. Niatnya hanya ingin rebahan sebentar, tapi kantuk yang sejak tadi menumpuk langsung menyeretnya ke dalam tidur lelap. Laptopnya masih terbuka, layarnya memancarkan cahaya redup di tengah ruang tengah yang masih terang itu.
Setelah materi kuliah Giorgio berakhir, Vivi merapikan buku catatannya sambil melirik jam di pergelangan tangan. Jarum panjang sudah menunjuk ke angka dua belas.“Udah jam makan siang, ya. Ayo, semangat, Vivi. Hari ini masih panjang,” gumamnya, berusaha menyemangati diri sendiri.Mahasiswa lain segera berhamburan keluar kelas, tapi Vivi sengaja menunggu sampai ruangannya sepi. Dia malas berdesakan hanya untuk keluar pintu. Setelah agak lengang, barulah ia melangkah tenang menuju kantin.Di kantin, Suara riuh mahasiswa yang bercampur dengan dentingan sendok garpu membuat suasana semakin ramai. Vivi memesan seporsi nasi dengan lauk lalu mencari tempat duduk.“Viii!” panggil seseorang yang suaranya familiar.Vivi menoleh. Ternyata Lala sudah duduk di salah satu meja kosong. Vivi tersenyum tipis lalu menghampirinya. “Pas banget kamu ada di sini, aku hampir aja makan sendirian tadi.”Begitu Vivi duduk, Lala langsung membuka obrolan dengan wajah berbinar. “Eh, tadi gimana kuliah sama Pak G