Home / Romansa / Dosenku, Musuhku, Suamiku / Bab 2. Makan Malam yang Salah

Share

Bab 2. Makan Malam yang Salah

Author: Agniya14
last update Last Updated: 2025-08-18 15:56:20

Vivi menatapnya tajam, melangkah mendekat dengan langkah cepat. “Kamu ngikutin aku sampai ke Bandung, ya?!” desis Vivi yang terdengar sampai ke meja lain. Sampai beberapa kepala di meja lain sempat menoleh.

Alis Giorgio terangkat malas. “Lucu. Aku yang mengikutimu?” Ia menghela napas, mencondongkan tubuh sedikit ke depan, tatapannya menusuk. “Bukannya kamu yang—”

Ia berhenti. Kalimat itu menggantung dan sengaja ia potong, meninggalkan tanda tanya yang membakar rasa penasaran Vivi.

Vivi mengerutkan kening. “Aku yang apa?”

Giorgio hanya menyandarkan punggung ke kursi, memainkan gelas air di depannya. “Lupakan.”

Nada santainya justru membuat darah Vivi mendidih. “Kamu pikir aku nggak sadar, ya? Tiba-tiba kita ada di kota yang sama, kampus yang sama, restoran yang sama, di jam yang sama? Mau sampai kapan kamu mainkan drama aneh-aneh ini?”

Giorgio menatapnya lama, bibirnya melengkung seolah ingin tertawa, tetapi tatapannya dingin. “Vivi, dunia ini kecil. Jangan terlalu ge-er. Kadang orang bertemu bukan karena takdir … tapi karena ada alasan lain.”

Kalimat itu membuat Vivi merasakan sesuatu yang tak nyaman merayap di punggungnya. Ada yang membuatnya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi gengsi menahannya.

Dari sudut matanya, Vivi menyadari sesuatu. Di meja yang agak jauh dari mereka, seorang wanita elegan dengan rambut bergelombang rapi dan blazer krem tengah memerhatikannya.

Namun, Vivi tidak memedulikan hal itu, setidaknya untuk sekarang. Kini, ia harus kembali menghadapi pria yang ada di hadapannya.

Vivi belum sempat membuka mulut lagi ketika pintu masuk restoran terbuka lebar. Dua pasang orang tua melangkah masuk dengan langkah mantap.

Mama Vivi terlihat anggun dengan gaun pastel, Papa di sisinya. Di belakang mereka, sepasang suami-istri yang tak kalah berwibawa berjalan mendekat.

Vivi berdiri dengan refleks, tetapi pandangannya tertumbuk pada pria berambut perak dengan rompi rajut itu mirip sekali dengan Giorgio. Dan ternyata, Giorgio sudah berdiri di sampingnya.

Ayah Giorgio tersenyum santai, menepuk bahu putranya. “Sepertinya pertemuan ini akan lebih singkat dari yang kita duga.” Ia menatap bergantian antara Vivi dan Giorgio, senyum penuh arti di bibirnya. “Anak-anak kita ternyata sudah saling kenal.”

Kalimat itu menghantam Vivi.

Saling kenal? Sejak kapan pertemuan ini menjadi pertemuan untuk anak-anak mereka?

Vivi membeku, menatap Giorgio yang entah kenapa justru menatapnya balik dengan senyum tipis penuh misteri, seolah sudah tahu semua ini akan terjadi.

Dan di sudut lain, wanita itu masih duduk, matanya mengawasi adegan yang membuatnya kini tersenyum samar.

Restoran Ananta malam itu lebih mirip ruang sidang daripada tempat makan malam keluarga. Aroma wangi makanan sama sekali tidak mengurangi ketegangan yang menekan dada setiap orang di ruangan itu.

Vivi duduk di kursi ujung, kedua tangannya terkepal di atas pangkuan. Pandangannya menempel pada piring kosong di depannya, seolah nasi dan lauk bisa muncul dari tatapan matanya yang tajam. Jantungnya berdebar kencang sejak ia melihat siapa yang duduk di seberang meja. Giorgio.

Ia masih mengingat jelas ketika ibunya mengirim pesan singkat: “Makan malam jam 7 di restoran Ananta. Kamu harus datang!” Vivi kira itu sekadar makan malam keluarga. Ia tak pernah menduga akan berhadapan dengan Giorgio, pria yang dia benci dan tak ingin dia temui lagi.

Dan kini, lebih mengejutkan lagi, ayah Giorgio dan ibunya justru duduk berdampingan seperti dua sekutu lama.

“Baiklah." Suara berat Pak Adrian, ayah Giorgio, memecah keheningan. Tangannya yang besar menepuk meja dengan penuh wibawa. “Kita tidak akan berlama-lama. Malam ini saya umumkan sesuatu yang penting untuk masa depan dua keluarga kita.”

Vivi menegakkan punggung. Perasaan tak enak menjalar cepat dari tengkuk hingga ujung jari.

Pak Adrian melanjutkan, “Mulai malam ini, Vivi dan Giorgio akan dijodohkan. Pernikahan ini akan menyelamatkan saham, sekaligus menjaga kehormatan dua keluarga besar.”

“Apa?!” Vivi terkejut.

Vivi pun bangkit, wajahnya memerah. “Mama! Aku datang karena pikir cuma makan malam biasa, bukan untuk—untuk—” Ia tercekik, kata dijodohkan terlalu berat untuk keluar dari mulutnya.

Ibunya, Ratna, hanya menatapnya tenang. Senyum tipis di wajahnya. “Duduklah, Vivi. Jangan mempermalukan dirimu sendiri.”

“Justru ini memalukan!” Vivi hampir berteriak. “Aku bahkan tidak punya hubungan apa pun dengan dia!”

Ia kini menatap Giorgio dengan tajam, kedua orang itu saling pandang penuh amarah. Rasanya udara bisa terbakar hanya karena tatapan mereka.

Vivi merasa tak tahan lagi. Ia meraih tasnya dan melangkah cepat menuju toilet, niatnya hanya satu, kabur dari perjodohan ini. Lebih baik pulang naik ojek online daripada bertahan di situ. Namun baru beberapa langkah, tangan ibunya mencengkeram lengannya kuat-kuat.

“Diam di sini!” Ratna berbisik di telinganya dengan nada suara yang terasa dingin.

Vivi berusaha melepaskan diri. “Mama, aku nggak mau! Ini gila. Aku punya hak atas hidupku sendiri!”

Ratna menunduk, bibirnya hampir menempel di telinga Vivi. “Kalau kamu menolak, besok pagi keluarga kita akan bangkrut. Paham?”

Darah Vivi seakan berhenti mengalir. Matanya membesar, menatap ibunya tak percaya. “Apa maksud Mama?”

“Jangan paksa Mama jelaskan di sini. Yang jelas, kamu tidak punya pilihan.”

Dengan langkah gemetar, Vivi kembali duduk. Rasa sesak menekan dadanya, seakan-akan seluruh dunia bersekongkol menjebaknya di kursi itu.

Di sisi lain meja, Giorgio berdiri dengan rahang mengeras. “Papa, aku sudah bilang aku tidak tertarik dengan warisan perusahaan. Aku ingin hidup dengan caraku sendiri.”

Pak Adrian menatap anaknya dengan sorot dingin. “Kau pikir bisa lepas begitu saja? Dunia luar tidak seindah bayanganmu, Giorgio. Jika kau ingin kebebasanmu, maka lakukan ini sekali saja. Menikahlah dengan Vivi. Setelah itu, semua keputusan hidupmu boleh kau tentukan sendiri.”

“Pa ....” Nada suaranya melemah.

Selama ini, ia berjuang membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar pewaris bisnis. Ia ingin terbang, menulis, melakukan apa saja selain dikurung dalam meja rapat.

Namun, rupanya syarat kebebasannya adalah menikahi gadis yang bahkan tak bisa ia ajak bicara tanpa pertengkaran.

Vivi sudah kembali ke tempat duduknya dan masih belum bisa menerima keputusan dari orang tuanya.

“Ini konyol!” Vivi meledak lagi. “Pernikahan bukan alat tukar-menukar saham!”

Suasana meja memanas. Para pelayan saling pandang cemas, tak tahu harus mundur atau tetap berdiri di sudut ruangan.

Ratna akhirnya bersuara. “Vivi, dengarkan Mama. Ini bukan hanya tentangmu. Ada ratusan karyawan yang hidupnya bergantung pada stabilitas perusahaan. Kalau kamu menolak—”

“Kenapa harus aku?!” Vivi menatap ibunya dengan mata berair. “Kenapa harus aku yang dikorbankan?”

Hening. Tak ada jawaban, hanya pandangan tegas dari semua orang dewasa di meja itu.

Tiba-tiba, pintu restoran terbuka. Seorang pria bersetelan rapi masuk, membawa map cokelat.

“Maaf mengganggu,” ujarnya datar. “Saya dari kantor catatan sipil. Apakah pasangan pengantin sudah siap menandatangani berkas pernikahan?”

Jantung Vivi langsung jatuh ke perutnya. Ia menoleh pada Giorgio dengan panik. Tolong katakan tidak. Tolong lakukan sesuatu.

Namun, Giorgio hanya menatap balik dengan mata gelap. Ia tidak berkata sepatah kata pun, hanya duduk kembali perlahan.

Petugas meletakkan dokumen di meja, lengkap dengan pena hitam. “Silakan tanda tangan di sini, Tuan Giorgio.”

Ruangan seakan membeku. Semua mata tertuju pada pria itu. Vivi menunggu dengan napas tercekat. Jika Giorgio menolak, ia masih punya celah kabur. Namun, jika Giorgio menerima, Vivi sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Tangannya bergerak. Pena itu menyentuh kertas. Dan dengan satu tarikan garis, tanda tangan Giorgio jatuh di atas dokumen.

“Sekarang giliran mempelai wanita,” ucap petugas.

Vivi menatap kertas itu. Dunia berputar di sekelilingnya. Suara-suara terdengar menjauh dan bergema.

Kalau aku menolak, keluarga hancur. Kalau aku setuju, hidupku hancur.

Air mata mendesak keluar, Vivi menggigit bibir. Ia tidak akan menangis di depan Giorgio. Ia tidak akan memberinya kepuasan itu.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil pena. Seolah pena itu beratnya berton-ton, ia menunduk, dan menuliskan namanya di samping tanda tangan Giorgio.

Tepuk tangan kecil terdengar dari beberapa orang dewasa di meja. Bagi mereka, pernikahan ini hanyalah transaksi bisnis yang sukses.

Bagi Vivi, ini seperti hukuman seumur hidup.

Saat semua orang sibuk mengobrol setelah formalitas selesai, satu sosok melangkah keluar dari restoran. Sosok wanita itu kini menempelkan ponsel ke telinganya sambil tersenyum penuh kemenangan.

“Kau tidak akan percaya siapa yang baru saja menikah,” bisiknya pada lawan bicara di seberang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 96. Mandi

    Giorgio tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Eh, kamu harus istirahat lagi, Vi. Ayo, aku gendong ke kamar.”Vivi hendak menolak, tapi tubuhnya sudah lebih dulu terangkat ke pelukan Giorgio. Kali ini, ia menatap wajah suaminya dari jarak yang begitu dekat.Pria itu memang tampan. Garis rahangnya tegas, matanya dalam, dan setiap gerakan kecil yang ia lakukan seolah penuh makna. Vivi baru menyadari betapa selama ini ia terlalu sibuk menjaga jarak, sampai lupa bahwa di hadapannya ada seseorang yang benar-benar tulus menjaganya.Sesampainya di kamar, Giorgio menurunkan Vivi dengan hati-hati ke atas ranjang. Ia membetulkan posisi bantal, lalu menarik selimut menutupi tubuh istrinya.“Istirahat. Biar kakinya cepat membaik,” katanya lembut.Vivi menatap wajah itu lama, tanpa berkata apa-apa. Ada debar halus yang tak mau reda di dadanya. Ia hanya mengangguk pelan, lalu memejamkan mata.Namun sesaat kemudian, ia merasakan sesuatu. Suara langkah pelan mendekat. Nafas hangat terasa di sisi wajahnya.

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 95. Menatapnya

    Setelah makan siang, piring-piring kotor menumpuk di atas meja, sementara Vivi bersandar di kursinya, menyeka ujung bibir dengan tisu. Giorgio memperhatikan istrinya yang terlihat mulai bosan. Sejak kecelakaan kecil yang membuat kaki Vivi terkilir, Vivi pasti merasa bosan terus-menerus berbaring. “Vi, mau nonton TV nggak?” Giorgio membuka percakapan, suaranya lembut tapi tetap berwibawa. “Barangkali kamu bosen tiduran terus di kamar?”Vivi mengangkat wajahnya, bibirnya melengkung sedikit. “Boleh,” katanya ringan. “Tapi acaranya aku yang milih sendiri ya.”“Ok.” Giorgio tersenyum kecil, lalu bangkit dari kursinya.Tanpa menunggu izin, dia melangkah ke arah Vivi dan membungkuk sedikit. “Sini, aku gendong.”Dengan hati-hati Giorgio mengangkat tubuh istrinya, seperti menggendong sesuatu yang sangat berharga. Kehangatan tubuh Vivi langsung terasa di dadanya, dan aroma lembut sabun mandi dari kulitnya entah kenapa membuat jantung Giorgio berdetak lebih cepat dari biasanya. Vivi berusaha m

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 94. Perhatian Giorgio

    Vivi hanya bisa mengangguk. “Iya.”Giorgio melangkah ke pintu, tapi sempat menoleh lagi sejenak untuk memastikan Vivi nyaman di tempatnya. Baru setelah itu, ia keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.Begitu pintu tertutup, Vivi menatap ke arah depan beberapa detik. Dadanya terasa hangat, tapi juga aneh seperti tidak terbiasa diperlakukan sedekat itu oleh seorang suami yang selama ini terasa jauh.Tangan Vivi terangkat, menyentuh bagian kepala yang tadi dielus Giorgio. Senyum tipis muncul tanpa sadar.“Masak makan siang," gumamnya pelan, setengah tak percaya.Suara langkah Giorgio yang menjauh ke arah dapur sayup-sayup terdengar. Aroma masakan mulai terbayang di kepala Vivi. Entah menu apa yang akan dimasak Giorgio, tapi hal itu bukan inti utamanya.Yang membuat hatinya hangat adalah perhatiannya. Sesuatu yang tak pernah ia sangka akan dia rasakan dengan cara sesederhana hari ini.Di dapur, Giorgio menata semua bahan masakannya di meja, seikat sawi se

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 93. Kue Lemon

    Vivi terdiam sepersekian detik ketika mendengar pertanyaan Lala di seberang telepon. Pertanyaan itu datang terlalu cepat, membuat Vivi bingung. Jantung Vivi melompat. Dia memaksa suaranya tetap tenang. “Salah orang kali, La,” ujarnya sambil mencoba terdengar santai.“Nggak, Vi. Aku lihat sendiri kok. Bajunya sama persis sama yang kamu pakai hari itu.”Vivi mengerutkan kening, memutar otak. “Satu-satunya urusan aku sama Pak Giorgio itu cuma karena tugas. Berarti hari itu aku ada tugas yang harus dikumpulkan. Tugas kuliah dari Pak Giorgio.”“Tapi masa sampai naik mobilnya segala sih?” Lala belum puas dengan jawaban Vivi. “Nggak kok, La. Itu cuma sebentar. Aku langsung turun lagi.”“Kenapa coba ngumpulin tugas harus sampai masuk ke mobil Pak Giorgio? Kan bikin orang mikir macam-macam, Vi.”“Aku tuh lupa ngasih tugasnya. Pak Giorgio udah keburu jalan, jadi aku kejar sampai mobilnya,” jelas Vivi cepat, berharap alasan itu cukup untuk Lala. Hening sejenak. Vivi bisa mendengar debar jantu

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 92. Kecurigaan Lala

    Giorgio mempercepat gerakannya, menyambar tumpukan pakaian dalam Vivi yang tersisa di lemari, dan melemparnya ke dalam koper. Matanya menyapu kamar kos itu lagi, memeriksa barang lainnya. Yang tersisa ada berapa buku. Dia ambil semua. Ia menutup lemari, mengunci koper, lalu segera keluar, mengunci pintu kamar kos Vivi dengan kunci yang ia temukan tadi.​Langkah Giorgio cepat dan hati-hati. Ia berjalan agak jauh, sampai tiba di mobilnya. Nafasnya terengah saat ia membuka bagasi dan memasukkan koper itu. Ia bergegas masuk ke kursi kemudi, jantungnya masih berdetak kencang.​"Sudah beres?" tanya Vivi, yang melihat suaminya Kembali dari kosannya. ​"Sudah. Untung sepi," kata Giorgio, menyerahkan kunci kamar kos Vivi. "Ini, simpan yang baik. Jangan diletakkan di bawah rak sepatu lagi. Itu terlalu berisiko."​"Iya, iya. Makasih, Gio," balas Vivi, memasukkan kunci itu ke dalam tas kecilnya.​Giorgio melajukan mobilnya menuju apartemen mereka. Kelelahan setelah dirawat di rumah sakit menyera

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 91. Malu

    Kemarin, seharian penuh Giorgio menemani Vivi. Pria itu tampak lelah, tetapi matanya memancarkan ketenangan. Ia sudah mengurus segalanya di kampus. Minta izin dua hari pada bagian akademik fakultas dan ia telah memberikan tugas mandiri pada mahasiswanya, memastikan mereka tidak berleha-leha.​Di atas meja, sisa bubur sarapan Vivi yang dingin masih ada dalam mangkuk. Vivi sendiri terlihat lebih segar. Rambut panjangnya tergerai rapi, dan matanya tidak lagi redup seperti saat ia dibawa ke UGD. Ia hanya tersenyum tipis melihat suaminya yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin, meski sudah kusut.​Tepat pukul sembilan, pintu diketuk pelan. Seorang dokter wanita yang ramah dengan name tag Dr. Rina, masuk membawa map rekam medis. Itu adalah dokter kandungan Vivi.​"Selamat pagi, Bu Vivi, Pak Giorgio," sapa Dr. Rina hangat.​"Pagi, Dok," jawab Vivi dan Giorgio serempak.​"Bagaimana perasaan Ibu hari ini?"​"Jauh lebih baik, Dok. Mualnya sudah hilang. Rasanya mau cepat-cepat pula

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status