LOGINVivi dan Giorgio menuju supermarket. Pendingin udara supermarket menyambut kulit mereka begitu pintu otomatis terbuka. Lampu-lampu neon yang terang benderang memantul di lantai keramik putih. Vivi melangkah menyusuri lorong makanan ringan, matanya berbinar menatap deretan kemasan warna-warni. Tangannya dengan lincah menyambar berbagai macam keripik kentang, cokelat batangan, hingga beberapa kaleng soda, lalu memasukkannya ke dalam keranjang yang dibawa Giorgio.Giorgio hanya bisa menggeleng pelan, sudut bibirnya terangkat geli melihat antusiasme istrinya. Ia melirik keranjang belanjaan yang kini mulai terasa berat di tangannya."Udah cukup belum, Vi?" tanya Giorgio sembari mengangkat sedikit keranjang itu, menunjukkan isinya yang sudah menggunung.Vivi berhenti sejenak, menatap tumpukan camilan itu dengan jari telunjuk di dagu, lalu mengangguk mantap. "Udah, deh. Lagian kan yang makan cuma kita bertiga.""Oke," Giorgio tersenyum. Ia mengusap puncak kepala Vivi sekilas sebelum be
Liburan yang semula direncanakan singkat, terasa begitu manis sehingga Giorgio memutuskan untuk menghubungi agen travelnya dan menambah dua hari lagi di Singapura. Ia ingin memberikan kejutan pada Vivi agar mereka tidak terburu-buru pulang."Vi, aku sudah mengatur ulang tiket kita. Kita punya dua hari ekstra di sini," bisik Giorgio saat mereka bersantai setelah makan siang.Mata Vivi membelalak senang. "Benarkah? Jadi kita punya lebih banyak waktu!"*Pagi hari di hari keempat, Giorgio mengajak Vivi menuju Haji Lane dan Kampong Glam. Area ini sangat kontras dengan kemewahan Marina Bay. Mereka berjalan di gang-gang sempit yang dipenuhi mural warna-warni dan butik-butik unik."Gio, lihat dinding ini! Kita harus foto di sini," ajak Vivi, antusias melihat seni jalanan yang artistik. Giorgio dengan senang hati menjadi fotografer pribadi istrinya, memotret Vivi yang tampak sangat serasi dengan latar belakang urban yang ceria.Sore harinya, mereka menuju Singapore Flyer. Saat kapsul ra
Pagi menyapa Singapura dengan langit yang cerah dan hembusan angin laut yang segar. Giorgio terbangun lebih awal, merasa jauh lebih bugar setelah tidur tanpa gangguan beban pekerjaan. Ia membiarkan tirai terbuka sedikit, membiarkan cahaya matahari keemasan menyelinap masuk dan membangunkan Vivi dengan lembut."Ayo, bangun, Sayang. Si Singa sudah menunggu," goda Giorgio sambil mencium pipi istrinya.Vivi menggeliat, tersenyum lebar. Kelelahan kemarin telah sirna, digantikan oleh semangat petualangan baru. Setelah sarapan singkat di hotel, mereka segera memulai jadwal dari agen travel.Tujuan pertama adalah Merlion Park. Begitu turun dari kendaraan, mereka disambut oleh kerumunan wisatawan yang antusias. Di hadapan mereka, patung Merlion yang megah berdiri kokoh, menyemburkan air ke arah Teluk Marina dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit yang ikonik."Gio, kita harus ambil foto yang itu!" seru Vivi sambil menunjuk wisatawan yang berpose seolah sedang meminum air sembur
Setelah masa ujian akhir semester selesai, waktunya Giorgio memeriksa hasil ujian dan mengurus nilai siswa. Dia membawa setumpuk kertas lembar jawaban di apartemen. Pukul 22.00, Vivi sudah terlelap di kamar, napasnya teratur dan lembut. Barulah saat itu, dengan ditemani lampu baca dan secangkir teh chamomile yang menenangkan, Giorgio membuka tumpukan itu. Jari-jarinya menelusuri coretan tinta, mencari pemahaman di balik setiap jawaban. Proses ini bukan sekadar memberi nilai; ini adalah momen introspeksi, untuk menilai sejauh mana ia berhasil menyampaikan ilmunya. Ketika pena merahnya mendarat, menentukan nasib mahasiswa, wajahnya tampak serius, terkadang senyum tipis terukir, terkadang desahan pelan lolos dari bibirnya. Ia bekerja hingga dini hari. Akhirnya, setelah berhari-hari berjibaku dengan angka-angka kolom nilai terakhir terisi. Sebuah perasaan lega yang manis menjalar, menandakan bahwa ia telah menyelesaikan satu babak penting dalam semester ini.*Keesokan paginya, s
Vivi menggeliat di balik selimut tebalnya. Matanya masih terpejam, tapi kesadarannya perlahan berkumpul. Dalam kehangatan sisa tidur itu, bibirnya bergerak tanpa suara, merapalkan sebuah "doa" yang sama setiap pagi selama seminggu ini."Tuhan, biarkan aku bangun dengan ciuman Giorgio. Bukan alarm, bukan suara tetangga, tapi Giorgio." Seolah alam semesta setuju dengan keinginan manjanya, sebuah kecupan hangat mendarat di keningnya. Lembut, tidak menuntut, tapi cukup untuk menarik Vivi dari alam mimpi."Bangun, Tuan Putri. Waktunya ujian." Suara bariton itu terdengar rendah di telinganya.Vivi membuka mata, mengerjap pelan. Wajah Giorgio adalah hal pertama yang ia lihat. Pria itu sudah rapi, aroma sabun mint dan kopi yang baru diseduh menguar dari tubuhnya."Lima menit lagi," rengek Vivi, menarik selimut menutupi kepala."Tidak ada lima menit. Jadwalmu padat," Giorgio menarik selimut itu turun. "Roti panggang dengan telur setengah matang sudah siap. Kalau dingin, amisnya keluar,
Pagi itu Vivi bangun dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Ketika akhirnya ia memaksa kelopak matanya terbuka, semburat kelelahan terpancar jelas di wajahnya.Tubuhnya terasa seperti baru saja dipukuli. Setiap sendi berteriak protes. Rasa pegal yang menusuk menjalar dari punggung hingga ke ujung kaki, sisa pertempuran semalam dengan buku-buku kuliah. Ia menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa energi."Astaga, aku nggak enak badan," gumamnya parau.Vivi menarik selimut kembali hingga menutupi dagu. Matanya terpejam, berharap kehangatan selimut bisa membuat dirinya menjadi sehat kembali.Terdengar gesekan pintu terbuka. Giorgio masuk dengan langkah hati-hati. Ia menghampiri sisi ranjang dan tangannya yang hangat menempel lembut di dahi Vivi."Panas," desis Giorgio, raut wajahnya berubah cemas.Vivi membuka mata, menatapnya dengan pandangan sayu. Giorgio duduk di tepi ranjang, merapikan anak rambut yang menempel di pelipis istrinya."Tadi malam tidurnya terlalu mala







