Home / Romansa / Dosenku, Musuhku, Suamiku / Bab 108. Makan di Luar

Share

Bab 108. Makan di Luar

Author: Agniya14
last update Last Updated: 2025-10-30 00:16:04

Vivi bangkit dari kursi, memesan makanan untuk makan siangnya. “Mas, nasi ayam goreng satu ya,” ucapnya pada penjual.

“Pakai sambal?” tanya si penjual.

“Sedikit saja,” jawabnya sambil tersenyum.

Dengan nampan di tangan, Vivi menoleh ke sekeliling, mencari seseorang yang seharusnya sudah ada di sini kalau sedang jam makan siang, Lala. Sepupunya itu biasanya tidak pernah melewatkan kesempatan nongkrong di kantin.

"Aneh, dia kemana sih?” gumamnya perlahan.

Setelah mengitari hampir separuh kantin dan tetap tidak menemukan sosok cerewet yang biasanya melambai-lambaikan tangan sambil memanggil, “Viiiii! Sini!” akhirnya Vivi menyerah.

“Mungkin dia lagi balik ke kosan,” pikirnya sambil kembali duduk.

Dia tidak mencari Antonio. Tidak juga berusaha memikirkan lelaki itu. Sudah cukup kepalanya dipenuhi kehadiran Antonio tadi pagi tadi di depan perpustakaan, lengkap dengan tatapan intens.

Vivi mulai menyuap ayam gorengnya. Kulit ayamnya garing, rasanya gurih. Suapan pertama membuat bahunya mer
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 154. Makan Siang bareng Lala

    Lala benar-benar kehilangan kendali diri. Ia mengguncang-guncangkan bahu Vivi dengan wajah yang memerah karena antusias, lalu beralih menatap Giorgio yang hanya bisa mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah.​"Demi apa, Vi?! Kok kamu nggak bilang-bilang?!" pekik Lala lagi, suaranya naik satu oktav. "Pantasan tadi aku merasa ada yang beda! Auranya itu ah, gila, aku bakal jadi tante!"​Vivi tertawa geli melihat reaksi sepupunya yang sudah seperti orang mau demo. "Mau empat bulan, La. Tadinya mau kasih tahu pas acara keluarga bulan depan, tapi mumpung kamu di sini, ya sudah."​Lala langsung berlutut di depan sofa agar posisinya sejajar dengan perut Vivi. Ia mendekatkan telinganya ke sana, seolah-olah janin itu sudah bisa diajak mengobrol.​"Dengar ya, Giorgio Junior," ucap Lala dengan nada serius yang dibuat-buat. "Nanti kalau sudah lahir, pokoknya harus lebih sayang Tante Lala daripada Papa kamu yang galak ini, ya!"​Giorgio terkekeh, ia menyandarkan kepalanya di telapak tangan

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 153.. Kedatangan Lala

    Vivi dan Giorgio menuju supermarket. Pendingin udara supermarket menyambut kulit mereka begitu pintu otomatis terbuka. Lampu-lampu neon yang terang benderang memantul di lantai keramik putih. ​Vivi melangkah menyusuri lorong makanan ringan, matanya berbinar menatap deretan kemasan warna-warni. Tangannya dengan lincah menyambar berbagai macam keripik kentang, cokelat batangan, hingga beberapa kaleng soda, lalu memasukkannya ke dalam keranjang yang dibawa Giorgio.​Giorgio hanya bisa menggeleng pelan, sudut bibirnya terangkat geli melihat antusiasme istrinya. Ia melirik keranjang belanjaan yang kini mulai terasa berat di tangannya.​"Udah cukup belum, Vi?" tanya Giorgio sembari mengangkat sedikit keranjang itu, menunjukkan isinya yang sudah menggunung.​Vivi berhenti sejenak, menatap tumpukan camilan itu dengan jari telunjuk di dagu, lalu mengangguk mantap. "Udah, deh. Lagian kan yang makan cuma kita bertiga."​"Oke," Giorgio tersenyum. Ia mengusap puncak kepala Vivi sekilas sebelum be

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 152. Lala Mau Datang

    Liburan yang semula direncanakan singkat, terasa begitu manis sehingga Giorgio memutuskan untuk menghubungi agen travelnya dan menambah dua hari lagi di Singapura. Ia ingin memberikan kejutan pada Vivi agar mereka tidak terburu-buru pulang.​"Vi, aku sudah mengatur ulang tiket kita. Kita punya dua hari ekstra di sini," bisik Giorgio saat mereka bersantai setelah makan siang.​Mata Vivi membelalak senang. "Benarkah? Jadi kita punya lebih banyak waktu!"​*​Pagi hari di hari keempat, Giorgio mengajak Vivi menuju Haji Lane dan Kampong Glam. Area ini sangat kontras dengan kemewahan Marina Bay. Mereka berjalan di gang-gang sempit yang dipenuhi mural warna-warni dan butik-butik unik.​"Gio, lihat dinding ini! Kita harus foto di sini," ajak Vivi, antusias melihat seni jalanan yang artistik. Giorgio dengan senang hati menjadi fotografer pribadi istrinya, memotret Vivi yang tampak sangat serasi dengan latar belakang urban yang ceria.​Sore harinya, mereka menuju Singapore Flyer. Saat kapsul ra

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 151. Singapura 2

    Pagi menyapa Singapura dengan langit yang cerah dan hembusan angin laut yang segar. Giorgio terbangun lebih awal, merasa jauh lebih bugar setelah tidur tanpa gangguan beban pekerjaan. Ia membiarkan tirai terbuka sedikit, membiarkan cahaya matahari keemasan menyelinap masuk dan membangunkan Vivi dengan lembut.​"Ayo, bangun, Sayang. Si Singa sudah menunggu," goda Giorgio sambil mencium pipi istrinya.​Vivi menggeliat, tersenyum lebar. Kelelahan kemarin telah sirna, digantikan oleh semangat petualangan baru. Setelah sarapan singkat di hotel, mereka segera memulai jadwal dari agen travel.​Tujuan pertama adalah Merlion Park. Begitu turun dari kendaraan, mereka disambut oleh kerumunan wisatawan yang antusias. Di hadapan mereka, patung Merlion yang megah berdiri kokoh, menyemburkan air ke arah Teluk Marina dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit yang ikonik.​"Gio, kita harus ambil foto yang itu!" seru Vivi sambil menunjuk wisatawan yang berpose seolah sedang meminum air sembur

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 150. Singapura

    Setelah masa ujian akhir semester selesai, waktunya Giorgio memeriksa hasil ujian dan mengurus nilai siswa. Dia membawa setumpuk kertas lembar jawaban di apartemen. ​Pukul 22.00, Vivi sudah terlelap di kamar, napasnya teratur dan lembut. Barulah saat itu, dengan ditemani lampu baca dan secangkir teh chamomile yang menenangkan, Giorgio membuka tumpukan itu. Jari-jarinya menelusuri coretan tinta, mencari pemahaman di balik setiap jawaban. Proses ini bukan sekadar memberi nilai; ini adalah momen introspeksi, untuk menilai sejauh mana ia berhasil menyampaikan ilmunya. Ketika pena merahnya mendarat, menentukan nasib mahasiswa, wajahnya tampak serius, terkadang senyum tipis terukir, terkadang desahan pelan lolos dari bibirnya. Ia bekerja hingga dini hari. ​Akhirnya, setelah berhari-hari berjibaku dengan angka-angka kolom nilai terakhir terisi. Sebuah perasaan lega yang manis menjalar, menandakan bahwa ia telah menyelesaikan satu babak penting dalam semester ini.​*​Keesokan paginya, s

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 149. Musim Ujian

    Vivi menggeliat di balik selimut tebalnya. Matanya masih terpejam, tapi kesadarannya perlahan berkumpul. Dalam kehangatan sisa tidur itu, bibirnya bergerak tanpa suara, merapalkan sebuah "doa" yang sama setiap pagi selama seminggu ini."​Tuhan, biarkan aku bangun dengan ciuman Giorgio. Bukan alarm, bukan suara tetangga, tapi Giorgio." ​Seolah alam semesta setuju dengan keinginan manjanya, sebuah kecupan hangat mendarat di keningnya. Lembut, tidak menuntut, tapi cukup untuk menarik Vivi dari alam mimpi.​"Bangun, Tuan Putri. Waktunya ujian." Suara bariton itu terdengar rendah di telinganya.​Vivi membuka mata, mengerjap pelan. Wajah Giorgio adalah hal pertama yang ia lihat. Pria itu sudah rapi, aroma sabun mint dan kopi yang baru diseduh menguar dari tubuhnya.​"Lima menit lagi," rengek Vivi, menarik selimut menutupi kepala.​"Tidak ada lima menit. Jadwalmu padat," Giorgio menarik selimut itu turun. "Roti panggang dengan telur setengah matang sudah siap. Kalau dingin, amisnya keluar,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status