Share

Bab 133. Chef Vivi

Penulis: Agniya14
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-26 22:29:52

Di samping Vivi, Giorgio dengan sigap menarik sebuah troli besi. Roda troli itu berdecit pelan.

​"Ingat aturannya, Vi," kata Giorgio, suaranya rendah, seraya mendorong troli masuk ke lorong buah dan sayur. "Kita beli bahan makan malam. Bukan yang lain."

​Vivi mengerucutkan bibirnya, meski matanya sudah melirik nakal ke arah rak keripik kentang di kejauhan. "Satu bungkus aja nggak boleh? Buat appetizer."

​"Masakan aku nanti jauh lebih enak dari keripik itu." Giorgio tersenyum miring, senyum yang selalu berhasil membuat argumen Vivi luluh lantak.

​Giorgio di supermarket adalah pemandangan yang berbeda. Dia bukan sekadar pria yang mengambil barang asal-asalan.

Vivi memperhatikannya saat pria itu memilih paprika. Tangan Giorgio yang besar telaten memutar buah paprika merah itu, memeriksa kulitnya di bawah lampu neon yang terang benderang.

​"Lihat ini," Giorgio menyodorkan paprika itu ke hadapan wajah Vivi. "Kulitnya kencang, warnanya mengilap, dan batangnya masih hijau segar. Ini yang
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 154. Makan Siang bareng Lala

    Lala benar-benar kehilangan kendali diri. Ia mengguncang-guncangkan bahu Vivi dengan wajah yang memerah karena antusias, lalu beralih menatap Giorgio yang hanya bisa mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah.​"Demi apa, Vi?! Kok kamu nggak bilang-bilang?!" pekik Lala lagi, suaranya naik satu oktav. "Pantasan tadi aku merasa ada yang beda! Auranya itu ah, gila, aku bakal jadi tante!"​Vivi tertawa geli melihat reaksi sepupunya yang sudah seperti orang mau demo. "Mau empat bulan, La. Tadinya mau kasih tahu pas acara keluarga bulan depan, tapi mumpung kamu di sini, ya sudah."​Lala langsung berlutut di depan sofa agar posisinya sejajar dengan perut Vivi. Ia mendekatkan telinganya ke sana, seolah-olah janin itu sudah bisa diajak mengobrol.​"Dengar ya, Giorgio Junior," ucap Lala dengan nada serius yang dibuat-buat. "Nanti kalau sudah lahir, pokoknya harus lebih sayang Tante Lala daripada Papa kamu yang galak ini, ya!"​Giorgio terkekeh, ia menyandarkan kepalanya di telapak tangan

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 153.. Kedatangan Lala

    Vivi dan Giorgio menuju supermarket. Pendingin udara supermarket menyambut kulit mereka begitu pintu otomatis terbuka. Lampu-lampu neon yang terang benderang memantul di lantai keramik putih. ​Vivi melangkah menyusuri lorong makanan ringan, matanya berbinar menatap deretan kemasan warna-warni. Tangannya dengan lincah menyambar berbagai macam keripik kentang, cokelat batangan, hingga beberapa kaleng soda, lalu memasukkannya ke dalam keranjang yang dibawa Giorgio.​Giorgio hanya bisa menggeleng pelan, sudut bibirnya terangkat geli melihat antusiasme istrinya. Ia melirik keranjang belanjaan yang kini mulai terasa berat di tangannya.​"Udah cukup belum, Vi?" tanya Giorgio sembari mengangkat sedikit keranjang itu, menunjukkan isinya yang sudah menggunung.​Vivi berhenti sejenak, menatap tumpukan camilan itu dengan jari telunjuk di dagu, lalu mengangguk mantap. "Udah, deh. Lagian kan yang makan cuma kita bertiga."​"Oke," Giorgio tersenyum. Ia mengusap puncak kepala Vivi sekilas sebelum be

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 152. Lala Mau Datang

    Liburan yang semula direncanakan singkat, terasa begitu manis sehingga Giorgio memutuskan untuk menghubungi agen travelnya dan menambah dua hari lagi di Singapura. Ia ingin memberikan kejutan pada Vivi agar mereka tidak terburu-buru pulang.​"Vi, aku sudah mengatur ulang tiket kita. Kita punya dua hari ekstra di sini," bisik Giorgio saat mereka bersantai setelah makan siang.​Mata Vivi membelalak senang. "Benarkah? Jadi kita punya lebih banyak waktu!"​*​Pagi hari di hari keempat, Giorgio mengajak Vivi menuju Haji Lane dan Kampong Glam. Area ini sangat kontras dengan kemewahan Marina Bay. Mereka berjalan di gang-gang sempit yang dipenuhi mural warna-warni dan butik-butik unik.​"Gio, lihat dinding ini! Kita harus foto di sini," ajak Vivi, antusias melihat seni jalanan yang artistik. Giorgio dengan senang hati menjadi fotografer pribadi istrinya, memotret Vivi yang tampak sangat serasi dengan latar belakang urban yang ceria.​Sore harinya, mereka menuju Singapore Flyer. Saat kapsul ra

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 151. Singapura 2

    Pagi menyapa Singapura dengan langit yang cerah dan hembusan angin laut yang segar. Giorgio terbangun lebih awal, merasa jauh lebih bugar setelah tidur tanpa gangguan beban pekerjaan. Ia membiarkan tirai terbuka sedikit, membiarkan cahaya matahari keemasan menyelinap masuk dan membangunkan Vivi dengan lembut.​"Ayo, bangun, Sayang. Si Singa sudah menunggu," goda Giorgio sambil mencium pipi istrinya.​Vivi menggeliat, tersenyum lebar. Kelelahan kemarin telah sirna, digantikan oleh semangat petualangan baru. Setelah sarapan singkat di hotel, mereka segera memulai jadwal dari agen travel.​Tujuan pertama adalah Merlion Park. Begitu turun dari kendaraan, mereka disambut oleh kerumunan wisatawan yang antusias. Di hadapan mereka, patung Merlion yang megah berdiri kokoh, menyemburkan air ke arah Teluk Marina dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit yang ikonik.​"Gio, kita harus ambil foto yang itu!" seru Vivi sambil menunjuk wisatawan yang berpose seolah sedang meminum air sembur

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 150. Singapura

    Setelah masa ujian akhir semester selesai, waktunya Giorgio memeriksa hasil ujian dan mengurus nilai siswa. Dia membawa setumpuk kertas lembar jawaban di apartemen. ​Pukul 22.00, Vivi sudah terlelap di kamar, napasnya teratur dan lembut. Barulah saat itu, dengan ditemani lampu baca dan secangkir teh chamomile yang menenangkan, Giorgio membuka tumpukan itu. Jari-jarinya menelusuri coretan tinta, mencari pemahaman di balik setiap jawaban. Proses ini bukan sekadar memberi nilai; ini adalah momen introspeksi, untuk menilai sejauh mana ia berhasil menyampaikan ilmunya. Ketika pena merahnya mendarat, menentukan nasib mahasiswa, wajahnya tampak serius, terkadang senyum tipis terukir, terkadang desahan pelan lolos dari bibirnya. Ia bekerja hingga dini hari. ​Akhirnya, setelah berhari-hari berjibaku dengan angka-angka kolom nilai terakhir terisi. Sebuah perasaan lega yang manis menjalar, menandakan bahwa ia telah menyelesaikan satu babak penting dalam semester ini.​*​Keesokan paginya, s

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 149. Musim Ujian

    Vivi menggeliat di balik selimut tebalnya. Matanya masih terpejam, tapi kesadarannya perlahan berkumpul. Dalam kehangatan sisa tidur itu, bibirnya bergerak tanpa suara, merapalkan sebuah "doa" yang sama setiap pagi selama seminggu ini."​Tuhan, biarkan aku bangun dengan ciuman Giorgio. Bukan alarm, bukan suara tetangga, tapi Giorgio." ​Seolah alam semesta setuju dengan keinginan manjanya, sebuah kecupan hangat mendarat di keningnya. Lembut, tidak menuntut, tapi cukup untuk menarik Vivi dari alam mimpi.​"Bangun, Tuan Putri. Waktunya ujian." Suara bariton itu terdengar rendah di telinganya.​Vivi membuka mata, mengerjap pelan. Wajah Giorgio adalah hal pertama yang ia lihat. Pria itu sudah rapi, aroma sabun mint dan kopi yang baru diseduh menguar dari tubuhnya.​"Lima menit lagi," rengek Vivi, menarik selimut menutupi kepala.​"Tidak ada lima menit. Jadwalmu padat," Giorgio menarik selimut itu turun. "Roti panggang dengan telur setengah matang sudah siap. Kalau dingin, amisnya keluar,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status