Vivi menatap obat antasida di tangannya. Dengan perasaan gamang, ia menelan pil itu bersama segelas air putih. Tenggorokannya terasa kering. Dalam hati ia berbisik, "Semoga aku hanya telat haid karena stres. Bukan karena yang aku takutkan itu."
Ia mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Udahlah, Vi. Jangan overthinking," gumamnya pada diri sendiri sambil berdiri perlahan.Setelah mandi, ia memilih kemeja coklat muda yang rapi, dipadukan dengan rok krem selutut. Penampilannya sederhana, tapi tetap manis. Dengan tas selempang tersampir di bahu, Vivi keluar dari kamar menuju ruang makan.“Sarapan dulu, Vi." Suara Giorgio terdengar dari meja makan.Vivi melangkah mendekat, mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Ia duduk, meraih sepotong roti yang sudah disiapkan.Namun, Giorgio memperhatikannya lekat-lekat. Kening pria itu berkerut. “Kamu sakit, Vi? Mukamu pucat banget.”Vivi kaget sejenak, lalu tersenyum kiTelepon ditutup. Vivi menatap layar ponselnya sejenak sebelum memasukkannya kembali ke dalam tas. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Langkahnya cepat menuju gerbang kampus. Begitu melihat sosok Lala berdiri di bawah pohon, Vivi merasa sedikit lega. “Lala!” serunya.Lala menoleh dan tersenyum. “Vivi! Jadi kita langsung jalan sekarang?”“Ayo!” Vivi langsung merangkul lengan Lala. Mereka berjalan sambil mengobrol ringan menuju halte angkot. Tapi begitu duduk di dalam kendaraan yang melaju pelan itu, keheningan justru mengambil alih. Vivi menatap keluar jendela, tapi pikirannya tidak benar-benar melihat jalanan. Ia hanya melihat pantulan wajahnya sendiri pucat, letih, dan berusaha tersenyum.Lala memperhatikan perubahan itu.“Vi, kamu kenapa? Ada masalah?”Vivi mengembangkan senyum kecil, berusaha menepis kekhawatiran itu. “Nanti aku ceritain. Kita ke Timezone dulu ya.”Lala tidak memaks
Mi instan dalam mangkuk sudah tandas sejak tadi. Namun, rasa gurihnya masih menempel samar di lidah. Vivi meneguk air putih banyak-banyak, berharap cairan itu bisa menetralisir sekaligus menenangkan pikirannya. Ia kembali mengikuti kuliah, mencoba fokus pada penjelasan dosen yang entah mengapa terdengar seperti gumaman jauh di depan kelas. Sesekali matanya melirik jam tangan. Lima menit lagi. Begitu dosen keluar, Vivi langsung menyambar bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Namun, baru saja ritsletingnya ditarik separuh, sebuah tangan menahan gerakan itu.“Vi, jangan keluar dulu." Suara Antonio rendah, seolah takut didengar orang lain. “Ada hal penting yang mau aku katakan.”Vivi mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya datar, bahkan sedikit jengkel.“Hal penting apa? Mau ngajak aku ke rumahmu lagi? Sorry, aku capek. Pengen pulang.”Antonio terdiam. Ia melirik ke pintu kelas, menunggu sampai semua mahasiswa meninggalkan ruang
Vivi mendecih pelan. Dia mengetik balasan, lalu menghapusnya lagi. Pada akhirnya, dia memilih tidak membalasnya sama sekali.Setelah makan, Vivi mengganti baju, mencuci muka, lalu merebahkan diri di kasur. Lampu kamar hanya menyisakan satu bohlam temaram. Tubuhnya rileks, tapi pikirannya belum benar-benar tenang.Hari sudah malam ketika Giorgio akhirnya tiba di apartemen. Suara langkah kakinya yang menggema pelan. Begitu membuka pintu, dia langsung melepas sepatu di sana. Cahaya ruangan apartemen redup, hanya lampu kecil di sudut ruang tamu yang menyala. Giorgio berjalan perlahan ke kamar. Dengan hati-hati ia membuka pintu dan langsung menekan saklar lampu.Cahaya kuning memenuhi ruangan, menyingkap sosok Vivi yang terlelap di ranjang. Gadis itu tidur miring dengan selimut menutupi separuh tubuhnya, napasnya teratur.Dia tidak membangunkannya. Vivi terlihat kelelahan. Giorgio mengambil pakaian rumah dari lemari, lalu menuju kamar mandi.
Kampus mulai lengang ketika jam digital di dinding kelas menunjukkan pukul 16.30. Mahasiswa berbondong-bondong keluar dari kelas terakhir, sebagian langsung menuju parkiran, sebagian lagi nongkrong di tangga sambil bercanda. Vivi memeluk buku di dadanya, berniat langsung pulang sebelum langit gelap. Ia lupa kalau Antonio sempat bilang akan menjemput. Karena itu, langkahnya terhenti. Ia kaget saat melihat sosok pria itu duduk di bangku panjang tepat di depan pintu kelasnya.Antonio terlihat santai, satu kaki disilangkan, tangan memainkan ponsel. Begitu Vivi muncul, dia langsung berdiri.“Ngapain kamu di sini?” tanya Vivi spontan, alisnya terangkat heran.Antonio menyampirkan tas ke bahu. “Aku kan udah bilang mau nungguin kamu.”Vivi menghela napas pendek. “Aku juga udah bilang nggak usah nungguin aku, kan?”Antonio tersenyum tipis, seolah angin lalu. “Ayo ikut ke parkiran. Aku antar pulang.”Vivi menggeleng cepat, langkahnya berusaha menghindari kontak mata. “Maaf ya, Ton. Aku bisa pu
“Hah? Biasanya juga tidur di kamar, tapi nggak pernah bilang,” ucap Vivi tanpa menoleh. Nada suaranya datar, tapi ada sedikit keheranan yang terselip.Giorgio berdiri di ambang dapur. “Beberapa hari kemarin aku tidur di sofa,” katanya pelan. “Malam ini aku mau tidur di kamar.”Vivi membalik halaman bukunya. “Ya nggak perlu bilang, kan? Langsung aja tidur di kamar.”Giorgio sempat membuka mulut, tapi menutupnya lagi. Tidak ada yang perlu dibantah. Dia hanya berdiri beberapa detik sebelum akhirnya menuju meja kecil. .Vivi menghabiskan makan malam. Ia bangkit, mengangkat mangkuk dan gelasnya, lalu membilasnya sekilas di wastafel.“Taruh aja situ, nanti aku cuci sekalian,” ucap Giorgio saat melihat Vivi menumpuk piring.“Nggak apa-apa,” jawab Vivi tanpa menoleh. Selesai merapikan piring, Vivi kembali ke ruang tengah. Lampu ruangannya temaram, hanya satu standing lamp menyala di sudut. Dia duduk di ujung sofa, bersila,
Setelah telepon terakhir itu, Antonio benar-benar tak menghubungi Vivi lagi. Tak ada pesan masuk, tak ada panggilan tak terjawab. Vivi menghela napas lega. Malam menjelang, ia memutuskan mandi agar pikirannya lebih segar. Ia mengenakan kaus abu-abu longgar dan celana panjang berbahan katun. Rambutnya ia biarkan tergerai, masih sedikit basah.Dari balik pintu kamarnya, terdengar suara berisik dari dapur. Vivi melirik ke arah sana. Giorgio sudah berganti pakaian, kaus hitam polos dan celana panjang. Dia terlihat berbeda. Terlihat lebih santai. Jika mengenakan kemeja dan celana bahan pria itu terlihat lebih berwibawa. Giorgio membuka-buka pintu lemari dapur, memeriksa satu per satu rak dan laci.Vivi berjalan pelan keluar. “Nyari apa?” tanyanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Giorgio melirik sekilas, lalu menghela napas pendek. “Stok bahan buat masak besok habis. Telur tinggal dua, sayur udah nggak layak, bahkan nasi pun nggak ada.” Ia menutup laci terakhir dan merapika