Di dalam mobil yang tertutup rapat, suasana lebih kaku dari kursi kulit yang ditumpangi Vivi. Ia sengaja menempelkan pipi pada kaca, pura-pura tertarik pada kerlip lampu jalan.
Giorgio ada di belakang kemudi, wajahnya datar, fokus pada jalanan. Jemarinya mantap di kemudi, sementara rahangnya sesekali mengeras. Dari sudut matanya, ia tahu, Vivi sedang berusaha keras menghindari kontak mata. “Kamu masih marah soal malam itu?” Mendengar pertanyaan tiba-tiba Giorgio, wajah Vivi seketika menegang. “Malam mana? Makan malam? Atau malam yang lebih memalukan dari itu?” “...Lupakan.” Helaan nafas seketika terdengar dari mulut Giorgio. “Percaya deh, itu juga yang aku mau,” ucap Vivi tak acuh. Ia lalu kembali menatap jendela, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran yang membuat perutnya merasakan gelenyar aneh. Sementara bagi Giorgio, kalimat itu seperti tamparan. Ia mengetukkan jarinya di setir, menahan diri. Kalau bukan karena perintah orang tua, kalau bukan karena jebakan yang membuatnya harus terikat dengan gadis keras kepala ini, mungkin ia sudah menurunkan Vivi di pinggir jalan. Namun, ia tidak melakukannya. Mobil terus melaju, menembus jalanan kota yang padat lalu berbelok ke sebuah kawasan apartemen mewah di pusat kota. “Turun!" Giorgio mematikan mesin begitu sampai di basement. Suaranya pendek, tanpa intonasi. Vivi merengut, tapi tetap membuka pintu. Ia tidak menyangka mobil Giorgio mengarah ke sini. Apartemen dengan lobi berlampu kristal, resepsionis yang selalu tersenyum ramah, dan lift yang berkilau seperti hotel bintang lima. “Apa kita … tinggal di sini?” tanya Vivi ragu. Giorgio hanya mengangguk singkat. Ia berjalan mendahului, menyeret koper hitamnya. Vivi mengikut, menyeret koper pink dengan suara roda yang berisik, membuat beberapa orang menoleh. Sesampainya di lantai delapan, Giorgio berhenti di depan sebuah pintu. Ia mengetik kode, lalu pintu terbuka. Vivi langsung terpaku begitu masuk. Ruangan itu kecil. Nyaman memang, tapi jelas tidak seperti yang ia bayangkan. Satu ruang tengah menyatu dengan dapur mini, balkon mungil menghadap kota, dan satu pintu lain yang mengarah ke kamar. “Mana kamarnya?” tanya Vivi, mendengus. Giorgio membuka pintu. Satu ranjang besar, lemari, meja kerja, dan kamar mandi dalam. Hanya satu. “Kamu bercanda.” Vivi melotot. “Orang tuamu nggak mungkin sengaja—” “Sepertinya mereka sengaja,” potong Giorgio dingin. Ia berjalan masuk kamar. Vivi mengacak rambutnya. “Ini gila. Kita nggak mungkin tinggal sekamar!” “Kamu pikir aku mau?” Giorgio menoleh cepat, tatapannya tajam. “Aku juga nggak minta ini.” Vivi terdiam, napasnya memburu. Ia ingin protes lebih keras, tapi tenggorokannya tercekat. Yang bisa ia lakukan hanya menjatuhkan tubuh di sofa ruang tengah, lalu menutupi wajah dengan bantal. Beberapa menit kemudian, mereka sibuk unpacking dalam diam. Vivi memindahkan pakaiannya ke lemari setengah sisi kanan, dengan sengaja menumpuk agar terasa “aku ada di sini.” Giorgio hanya meletakkan beberapa kemeja rapi di sisi kiri, seakan menunjukkan ia tak peduli. Suasana hening sampai Giorgio tiba-tiba bertanya pernyataan aneh. “Setelah malam itu, kamu udah minum kontrasepsi?” Vivi terkesiap dan tak mengerti. “Apa?!” Giorgio berdiri, menatapnya tanpa ekspresi. Sementara Vivi, wajah Vivi memanas. “Sudah, jelas sudah. Aku nggak sebodoh itu!” Namun, begitu Giorgio masuk kamar mandi, Vivi buru-buru mengaduk isi tasnya. Tangannya gemetar saat menemukan dua bungkus obat. Yang satu vitamin kulit, yang satunya kontrasepsi. Ia membeku. Yang sudah terbuka adalah vitamin. Strip kontrasepsi masih utuh, segel tak tersentuh. “Ya Tuhan,” bisiknya panik. Ia menutup mulut dengan tangan, wajahnya pucat. Suara pintu kamar mandi terbuka membuat Vivi buru-buru menyembunyikan obat itu ke balik bantal sofa. Namun, yang muncul dari balik pintu hampir membuatnya pingsan. Giorgio keluar hanya dengan handuk melilit pinggang. Rambutnya basah, meneteskan air ke bahu dan dada bidang yang berkilau oleh sisa air. Ia berjalan santai ke lemari, seolah tak ada yang aneh. “Woi!” Vivi berteriak, meloncat sambil menutup mata dengan bantal. “Kamu gila, ya?! Pake baju dong!” “Ini apartemenku,” balas Giorgio ringan, mengambil kaus putih dari lemari. “Dan, untuk catatan, sekarang juga apartemenmu. Jadi kamu harus membiasakan diri.” Vivi menutup wajah rapat-rapat, jantungnya berpacu gila. Ia bisa mendengar suara kain kaus ditarik ke tubuh Giorgio, aroma sabun yang maskulin memenuhi ruangan. Ketika akhirnya berani melongok, Giorgio sudah duduk di tepi ranjang, memainkan ponselnya. Netra tajamnya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada layar. Detik berikutnya, bunyi notifikasi terdengar. Giorgio membuka pesan. Alisnya terangkat, wajahnya berubah sedikit tegang. Pesan itu dari Miranda. [Selamat atas pernikahanmu. Jangan khawatir, rahasiamu aman … untuk sekarang.]Dira yang duduk di sebelah Vivi langsung menepuk bahunya dengan semangat. “Wah, kita satu kelompok, Vivi! Asyik, kan?”Vivi hanya tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa kikuknya. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa di antara sekian banyak mahasiswa dikelas itu dia harus dipasangkan dengan Antonio?Sementara itu, Giorgio menutup daftar dan menatap seisi kelas. “Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik. Proyek ini nilainya cukup besar, jadi jangan anggap enteng. Minggu depan kalian sudah harus menentukan topik.”Bel pun berbunyi. Beberapa mahasiswa langsung bangkit, berhamburan keluar kelas sambil membicarakan kelompoknya masing-masing.“Eh, Antonio! Kita bisa janjian kapan buat diskusi?” seru Dira.Antonio menjawab dengan singkat. “Besok sore. Perpustakaan.”Vivi membereskan bukunya dengan hati-hati, berusaha terlihat santai meski dadanya berdegup lebih cepat. "Aku duluan ya." Buru-buru dia tinggalkan kelas itu.
"Ka--kamu melakukan itu?! Dasar mesum, aku tidak mengizin ….""Menggendongmu …."Hah?"Tadi malam saat menggendongmu, kamu tidak berontak …."Oh ... hanya menggendong ….Wajahnya memerah, buru-buru Vivi menyambar handuk dan langsung ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, gadis itu masih merasa geram pada Giorgio. Selesai mandi, Vivi mengenakan pakaian. berdiri di depan cermin, menata kemeja salem yang baru saja dipakainya. Rok panjang dengan warna senada jatuh rapi sampai mata kaki. Merasa penampilannya sudah rapi, Vivi menuju meja makan. Dia ingin sarapan sebelum pergi ke kampus. Pagi itu ada susu dan roti di meja yang sudah disiapkan oleh suaminya. Giorgio sudah duduk di meja makan. Menatap Vivi dalam diam. Seolah sedang menebak apa yang Vivi rasakan dari ekspresi wajahnya. Vivi menahan langkah sesaat. Ada rasa canggung yang menempel sejak semalam. Ia masih ingat jelas bagaimana kepalanya terjatuh di bahu Giorgio saat meno
Aroma spaghetti bolognese memenuhi apartemen kecil itu. Saus tomat yang sudah menyatu dengan daging cincang mengepul di atas wajan, sementara pasta yang direbus sempurna diletakkan Giorgio di atas piring. Semua tertata rapi, siap untuk disantap. Vivi duduk menunggu di sofa, masih sesekali mengusap perban tipis di tangannya. Perihnya sudah berkurang, tapi rasa malunya justru semakin besar. Dia merasa bersalah karena sudah membuat dapur sedikit berantakan dan akhirnya malah merepotkan Giorgio.“Vi, sini!" Giorgio mengangkat tangan. Vivi menoleh. Segera bangkit dari sofa. Gadis itu menuju meja makan. Matanya membulat menatap hasil masakan Giorgio yang begitu menggugah selera dan tak bisa dia lewatkan. Ada sedikit rasa kagum pada suaminya itu. Dia akui memang sebagai perempuan Vivi belum bisa memasak dan Giorgio memiliki kemampuan. Bagi Vivi, lelaki yang bisa mengolah bahan makanan di dapur itu sungguh…. "Kamu nggak suka masakanku?" Giorg
Sampai di depan ruangan dosen, langkah Vivi terasa berat. Jantungnya berdegup kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Giorgio, lelaki yang berdiri di sampingnya, membuka pintu dengan tenang. Gerakannya mantap, wibawa terpancar jelas dari tubuh jangkungnya. Dia melirik sekilas ke arah Vivi, memberi isyarat dengan tangannya agar gadis itu masuk lebih dulu.Vivi menelan ludah. Kakinya seperti menapak di atas lantai es, dingin. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, bahkan tak berani menoleh ke kiri atau ke kanan. Ruangan dosen itu rapi, aroma kopi bercampur wangi kertas memenuhi udara. Ada rak besar penuh buku, sertifikat yang berjajar di dinding, dan meja kayu lebar yang tertata dengan apik.Namun, semua detail itu sama sekali tak mampu membuat Vivi merasa nyaman. Dia hanya terpaku pada satu hal, hukuman apa yang akan diberikan Giorgio padanya?Vivi tidak langsung duduk. Dia berdiri di depan meja Giorgio dengan kepala menunduk. M
Malam itu, layar laptop Vivi memancarkan cahaya. Di sebelahnya, tergeletak bungkus makanan cepat saji dan gelas plastik berisi minuman kekinian yang sudah setengah habis.Jari-jemari Vivi terus menari di atas keyboard. Sesekali ia berhenti, menyeruput minumannya, lalu melanjutkan mengetik. Tubuhnya terasa lelah , matanya nyaris menutup, tapi tenggat tugas yang memaksanya bertahan. Sesekali ia mendengus kesal ketika apa yang dia ketik tidak sesuai ekspektasi, lalu kembali menghapus dan mengetik ulang.Waktu berjalan cepat. Tanpa sadar, jarum jam sudah melewati tengah malam. Begitu kalimat terakhir selesai, Vivi menghela napas panjang, seakan beban besar terlepas dari pundaknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu bersandar di sofa. Niatnya hanya ingin rebahan sebentar, tapi kantuk yang sejak tadi menumpuk langsung menyeretnya ke dalam tidur lelap. Laptopnya masih terbuka, layarnya memancarkan cahaya redup di tengah ruang tengah yang masih terang itu.
Setelah materi kuliah Giorgio berakhir, Vivi merapikan buku catatannya sambil melirik jam di pergelangan tangan. Jarum panjang sudah menunjuk ke angka dua belas.“Udah jam makan siang, ya. Ayo, semangat, Vivi. Hari ini masih panjang,” gumamnya, berusaha menyemangati diri sendiri.Mahasiswa lain segera berhamburan keluar kelas, tapi Vivi sengaja menunggu sampai ruangannya sepi. Dia malas berdesakan hanya untuk keluar pintu. Setelah agak lengang, barulah ia melangkah tenang menuju kantin.Di kantin, Suara riuh mahasiswa yang bercampur dengan dentingan sendok garpu membuat suasana semakin ramai. Vivi memesan seporsi nasi dengan lauk lalu mencari tempat duduk.“Viii!” panggil seseorang yang suaranya familiar.Vivi menoleh. Ternyata Lala sudah duduk di salah satu meja kosong. Vivi tersenyum tipis lalu menghampirinya. “Pas banget kamu ada di sini, aku hampir aja makan sendirian tadi.”Begitu Vivi duduk, Lala langsung membuka obrolan dengan wajah berbinar. “Eh, tadi gimana kuliah sama Pak G