Home / Romansa / Dosenku, Musuhku, Suamiku / Bab 3. Apartemen Satu Kamar

Share

Bab 3. Apartemen Satu Kamar

Author: Agniya14
last update Last Updated: 2025-08-18 15:58:36

Di dalam mobil yang tertutup rapat, suasana lebih kaku dari kursi kulit yang ditumpangi Vivi. Ia sengaja menempelkan pipi pada kaca, pura-pura tertarik pada kerlip lampu jalan.

Giorgio ada di belakang kemudi, wajahnya datar, fokus pada jalanan. Jemarinya mantap di kemudi, sementara rahangnya sesekali mengeras. Dari sudut matanya, ia tahu, Vivi sedang berusaha keras menghindari kontak mata.

“Kamu masih marah soal malam itu?”

Mendengar pertanyaan tiba-tiba Giorgio, wajah Vivi seketika menegang.

“Malam mana? Makan malam? Atau malam yang lebih memalukan dari itu?”

“Lupakan.” Helaan nafas seketika terdengar dari mulut Giorgio.

“Percaya deh, itu bukan aku mau,” ucap Vivi tak acuh.

Ia lalu kembali menatap jendela, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran yang membuat perutnya merasakan gelenyar aneh.

Sementara bagi Giorgio, kalimat itu seperti tamparan. Ia mengetukkan jarinya di setir, menahan diri.

Kalau bukan karena perintah orang tua, kalau bukan karena jebakan yang membuatnya harus terikat dengan gadis keras kepala ini, mungkin ia sudah menurunkan Vivi di pinggir jalan.

Namun, ia tidak melakukannya. Mobil terus melaju, menembus jalanan kota yang padat lalu berbelok ke sebuah kawasan apartemen mewah di pusat kota.

“Turun!" Giorgio mematikan mesin begitu sampai di basement. Suaranya pendek, tanpa intonasi.

Vivi merengut, tapi tetap membuka pintu. Ia tidak menyangka mobil Giorgio mengarah ke sini. Apartemen dengan lobi berlampu kristal, resepsionis yang selalu tersenyum ramah, dan lift yang berkilau seperti hotel bintang lima.

“Apa kita … tinggal di sini?” tanya Vivi ragu.

Giorgio hanya mengangguk singkat. Ia berjalan mendahului, menyeret koper hitamnya. Vivi mengikut, menyeret koper pink dengan suara roda yang berisik, membuat beberapa orang menoleh.

Sesampainya di lantai delapan, Giorgio berhenti di depan sebuah pintu. Ia mengetik kode, lalu pintu terbuka. Vivi langsung terpaku begitu masuk.

Ruangan itu kecil. Nyaman memang, tapi jelas tidak seperti yang ia bayangkan. Satu ruang tengah menyatu dengan dapur mini, balkon mungil menghadap kota, dan satu pintu lain yang mengarah ke kamar.

“Mana kamarnya?” tanya Vivi, mendengkus.

Giorgio membuka pintu. Satu ranjang besar, lemari, meja kerja, dan kamar mandi dalam. Hanya satu.

“Kamu bercanda.” Vivi melotot. “Orang tuamu nggak mungkin sengaja—”

“Sepertinya mereka sengaja,” potong Giorgio dingin. Ia berjalan masuk kamar.

Vivi mengacak rambutnya. “Ini gila. Kita nggak mungkin tinggal sekamar!”

“Kamu pikir aku mau?” Giorgio menoleh cepat, tatapannya tajam. “Aku juga nggak minta ini.”

Vivi terdiam, napasnya memburu. Ia ingin protes lebih keras, tapi tenggorokannya tercekat. Yang bisa ia lakukan hanya menjatuhkan tubuh di sofa ruang tengah, lalu menutupi wajah dengan bantal.

Beberapa menit kemudian, mereka sibuk membuka koper dalam diam. Vivi memindahkan pakaiannya ke lemari setengah sisi kanan, dengan sengaja menumpuk agar terasa “aku ada di sini.” Giorgio hanya meletakkan beberapa kemeja rapi di sisi kiri, seakan menunjukkan ia tak peduli.

Suasana hening sampai Giorgio tiba-tiba bertanya pernyataan aneh.

“Setelah malam itu, kamu udah minum kontrasepsi?”

Vivi terkesiap dan tak mengerti. “Apa?!”

Giorgio berdiri, menatapnya tanpa ekspresi.

Sementara Vivi, wajah Vivi memanas. “Sudah, jelas sudah. Aku nggak sebodoh itu!”

Namun, begitu Giorgio masuk kamar mandi, Vivi buru-buru mengaduk isi tasnya. Tangannya gemetar saat menemukan dua bungkus obat. Yang satu vitamin kulit, yang satunya kontrasepsi.

Ia membeku. Yang sudah terbuka adalah vitamin. Strip kontrasepsi masih utuh, segel tak tersentuh.

“Ya Tuhan,” bisiknya panik. Ia menutup mulut dengan tangan, wajahnya pucat.

Suara pintu kamar mandi terbuka membuat Vivi buru-buru menyembunyikan obat itu ke balik bantal sofa.

Namun, yang muncul dari balik pintu hampir membuatnya pingsan.

Giorgio keluar hanya dengan handuk melilit pinggang. Rambutnya basah, meneteskan air ke bahu dan dada bidang yang berkilau oleh sisa air. Ia berjalan santai ke lemari, seolah tak ada yang aneh.

“Woi!” Vivi berteriak, meloncat sambil menutup mata dengan bantal. “Kamu gila, ya?! Pake baju dong!”

“Ini apartemenku,” balas Giorgio ringan, mengambil kaus putih dari lemari. “Dan, untuk catatan, sekarang juga apartemenmu. Jadi kamu harus membiasakan diri.”

Vivi menutup wajah rapat-rapat, jantungnya berpacu gila. Ia bisa mendengar suara kain kaus ditarik ke tubuh Giorgio, aroma sabun yang maskulin memenuhi ruangan.

Ketika akhirnya berani melongok, Giorgio sudah duduk di tepi ranjang, memainkan ponselnya. Netra tajamnya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada layar.

Detik berikutnya, bunyi notifikasi terdengar. Giorgio membuka pesan. Alisnya terangkat, wajahnya berubah sedikit tegang.

Pesan itu dari Miranda.

[Selamat atas pernikahanmu. Jangan khawatir, rahasiamu aman … untuk sekarang.]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 96. Mandi

    Giorgio tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Eh, kamu harus istirahat lagi, Vi. Ayo, aku gendong ke kamar.”Vivi hendak menolak, tapi tubuhnya sudah lebih dulu terangkat ke pelukan Giorgio. Kali ini, ia menatap wajah suaminya dari jarak yang begitu dekat.Pria itu memang tampan. Garis rahangnya tegas, matanya dalam, dan setiap gerakan kecil yang ia lakukan seolah penuh makna. Vivi baru menyadari betapa selama ini ia terlalu sibuk menjaga jarak, sampai lupa bahwa di hadapannya ada seseorang yang benar-benar tulus menjaganya.Sesampainya di kamar, Giorgio menurunkan Vivi dengan hati-hati ke atas ranjang. Ia membetulkan posisi bantal, lalu menarik selimut menutupi tubuh istrinya.“Istirahat. Biar kakinya cepat membaik,” katanya lembut.Vivi menatap wajah itu lama, tanpa berkata apa-apa. Ada debar halus yang tak mau reda di dadanya. Ia hanya mengangguk pelan, lalu memejamkan mata.Namun sesaat kemudian, ia merasakan sesuatu. Suara langkah pelan mendekat. Nafas hangat terasa di sisi wajahnya.

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 95. Menatapnya

    Setelah makan siang, piring-piring kotor menumpuk di atas meja, sementara Vivi bersandar di kursinya, menyeka ujung bibir dengan tisu. Giorgio memperhatikan istrinya yang terlihat mulai bosan. Sejak kecelakaan kecil yang membuat kaki Vivi terkilir, Vivi pasti merasa bosan terus-menerus berbaring. “Vi, mau nonton TV nggak?” Giorgio membuka percakapan, suaranya lembut tapi tetap berwibawa. “Barangkali kamu bosen tiduran terus di kamar?”Vivi mengangkat wajahnya, bibirnya melengkung sedikit. “Boleh,” katanya ringan. “Tapi acaranya aku yang milih sendiri ya.”“Ok.” Giorgio tersenyum kecil, lalu bangkit dari kursinya.Tanpa menunggu izin, dia melangkah ke arah Vivi dan membungkuk sedikit. “Sini, aku gendong.”Dengan hati-hati Giorgio mengangkat tubuh istrinya, seperti menggendong sesuatu yang sangat berharga. Kehangatan tubuh Vivi langsung terasa di dadanya, dan aroma lembut sabun mandi dari kulitnya entah kenapa membuat jantung Giorgio berdetak lebih cepat dari biasanya. Vivi berusaha m

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 94. Perhatian Giorgio

    Vivi hanya bisa mengangguk. “Iya.”Giorgio melangkah ke pintu, tapi sempat menoleh lagi sejenak untuk memastikan Vivi nyaman di tempatnya. Baru setelah itu, ia keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.Begitu pintu tertutup, Vivi menatap ke arah depan beberapa detik. Dadanya terasa hangat, tapi juga aneh seperti tidak terbiasa diperlakukan sedekat itu oleh seorang suami yang selama ini terasa jauh.Tangan Vivi terangkat, menyentuh bagian kepala yang tadi dielus Giorgio. Senyum tipis muncul tanpa sadar.“Masak makan siang," gumamnya pelan, setengah tak percaya.Suara langkah Giorgio yang menjauh ke arah dapur sayup-sayup terdengar. Aroma masakan mulai terbayang di kepala Vivi. Entah menu apa yang akan dimasak Giorgio, tapi hal itu bukan inti utamanya.Yang membuat hatinya hangat adalah perhatiannya. Sesuatu yang tak pernah ia sangka akan dia rasakan dengan cara sesederhana hari ini.Di dapur, Giorgio menata semua bahan masakannya di meja, seikat sawi se

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 93. Kue Lemon

    Vivi terdiam sepersekian detik ketika mendengar pertanyaan Lala di seberang telepon. Pertanyaan itu datang terlalu cepat, membuat Vivi bingung. Jantung Vivi melompat. Dia memaksa suaranya tetap tenang. “Salah orang kali, La,” ujarnya sambil mencoba terdengar santai.“Nggak, Vi. Aku lihat sendiri kok. Bajunya sama persis sama yang kamu pakai hari itu.”Vivi mengerutkan kening, memutar otak. “Satu-satunya urusan aku sama Pak Giorgio itu cuma karena tugas. Berarti hari itu aku ada tugas yang harus dikumpulkan. Tugas kuliah dari Pak Giorgio.”“Tapi masa sampai naik mobilnya segala sih?” Lala belum puas dengan jawaban Vivi. “Nggak kok, La. Itu cuma sebentar. Aku langsung turun lagi.”“Kenapa coba ngumpulin tugas harus sampai masuk ke mobil Pak Giorgio? Kan bikin orang mikir macam-macam, Vi.”“Aku tuh lupa ngasih tugasnya. Pak Giorgio udah keburu jalan, jadi aku kejar sampai mobilnya,” jelas Vivi cepat, berharap alasan itu cukup untuk Lala. Hening sejenak. Vivi bisa mendengar debar jantu

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 92. Kecurigaan Lala

    Giorgio mempercepat gerakannya, menyambar tumpukan pakaian dalam Vivi yang tersisa di lemari, dan melemparnya ke dalam koper. Matanya menyapu kamar kos itu lagi, memeriksa barang lainnya. Yang tersisa ada berapa buku. Dia ambil semua. Ia menutup lemari, mengunci koper, lalu segera keluar, mengunci pintu kamar kos Vivi dengan kunci yang ia temukan tadi.​Langkah Giorgio cepat dan hati-hati. Ia berjalan agak jauh, sampai tiba di mobilnya. Nafasnya terengah saat ia membuka bagasi dan memasukkan koper itu. Ia bergegas masuk ke kursi kemudi, jantungnya masih berdetak kencang.​"Sudah beres?" tanya Vivi, yang melihat suaminya Kembali dari kosannya. ​"Sudah. Untung sepi," kata Giorgio, menyerahkan kunci kamar kos Vivi. "Ini, simpan yang baik. Jangan diletakkan di bawah rak sepatu lagi. Itu terlalu berisiko."​"Iya, iya. Makasih, Gio," balas Vivi, memasukkan kunci itu ke dalam tas kecilnya.​Giorgio melajukan mobilnya menuju apartemen mereka. Kelelahan setelah dirawat di rumah sakit menyera

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 91. Malu

    Kemarin, seharian penuh Giorgio menemani Vivi. Pria itu tampak lelah, tetapi matanya memancarkan ketenangan. Ia sudah mengurus segalanya di kampus. Minta izin dua hari pada bagian akademik fakultas dan ia telah memberikan tugas mandiri pada mahasiswanya, memastikan mereka tidak berleha-leha.​Di atas meja, sisa bubur sarapan Vivi yang dingin masih ada dalam mangkuk. Vivi sendiri terlihat lebih segar. Rambut panjangnya tergerai rapi, dan matanya tidak lagi redup seperti saat ia dibawa ke UGD. Ia hanya tersenyum tipis melihat suaminya yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin, meski sudah kusut.​Tepat pukul sembilan, pintu diketuk pelan. Seorang dokter wanita yang ramah dengan name tag Dr. Rina, masuk membawa map rekam medis. Itu adalah dokter kandungan Vivi.​"Selamat pagi, Bu Vivi, Pak Giorgio," sapa Dr. Rina hangat.​"Pagi, Dok," jawab Vivi dan Giorgio serempak.​"Bagaimana perasaan Ibu hari ini?"​"Jauh lebih baik, Dok. Mualnya sudah hilang. Rasanya mau cepat-cepat pula

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status