Vivi menelan ludah, menahan air mata lagi. “Kadang aku iri sama orang-orang yang punya tempat curhat. Yang bisa cerita sepuasnya tanpa takut bikin orang capek. Aku … nggak pernah ngerasa punya itu.”
Lala meraih tangan Vivi di atas meja, menggenggam hangat. “Mulai sekarang, anggap aku tempat curhatmu, Vi. Kalau kamu galau, nangis, marah sekalipun, aku siap denger. Nggak ada kata capek buat sepupu sendiri.”Vivi akhirnya menatap Lala, matanya basah tapi bibirnya melengkung tipis. “Makasih, La.”Lala tersenyum lebar. “Udah, jangan kebanyakan nangis. Ramen kita keburu dingin, nanti makin sedih lagi rasanya.”Keduanya pun tertawa kecil. Malam itu, meski hati Vivi belum sepenuhnya lega, ia merasa sedikit lebih ringan karena ada Lala yang sungguh-sungguh mencoba memahami perasaannya.Jam dinding restoran sudah menunjuk pukul sembilan malam ketika Vivi dan Lala akhirnya berdiri dari kursinya. Perut mereka kenyang, tapi hati masing-masing masih me“Hah? Biasanya juga tidur di kamar, tapi nggak pernah bilang,” ucap Vivi tanpa menoleh. Nada suaranya datar, tapi ada sedikit keheranan yang terselip.Giorgio berdiri di ambang dapur. “Beberapa hari kemarin aku tidur di sofa,” katanya pelan. “Malam ini aku mau tidur di kamar.”Vivi membalik halaman bukunya. “Ya nggak perlu bilang, kan? Langsung aja tidur di kamar.”Giorgio sempat membuka mulut, tapi menutupnya lagi. Tidak ada yang perlu dibantah. Dia hanya berdiri beberapa detik sebelum akhirnya menuju meja kecil. .Vivi menghabiskan makan malam. Ia bangkit, mengangkat mangkuk dan gelasnya, lalu membilasnya sekilas di wastafel.“Taruh aja situ, nanti aku cuci sekalian,” ucap Giorgio saat melihat Vivi menumpuk piring.“Nggak apa-apa,” jawab Vivi tanpa menoleh. Selesai merapikan piring, Vivi kembali ke ruang tengah. Lampu ruangannya temaram, hanya satu standing lamp menyala di sudut. Dia duduk di ujung sofa, bersila,
Setelah telepon terakhir itu, Antonio benar-benar tak menghubungi Vivi lagi. Tak ada pesan masuk, tak ada panggilan tak terjawab. Vivi menghela napas lega. Malam menjelang, ia memutuskan mandi agar pikirannya lebih segar. Ia mengenakan kaus abu-abu longgar dan celana panjang berbahan katun. Rambutnya ia biarkan tergerai, masih sedikit basah.Dari balik pintu kamarnya, terdengar suara berisik dari dapur. Vivi melirik ke arah sana. Giorgio sudah berganti pakaian, kaus hitam polos dan celana panjang. Dia terlihat berbeda. Terlihat lebih santai. Jika mengenakan kemeja dan celana bahan pria itu terlihat lebih berwibawa. Giorgio membuka-buka pintu lemari dapur, memeriksa satu per satu rak dan laci.Vivi berjalan pelan keluar. “Nyari apa?” tanyanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Giorgio melirik sekilas, lalu menghela napas pendek. “Stok bahan buat masak besok habis. Telur tinggal dua, sayur udah nggak layak, bahkan nasi pun nggak ada.” Ia menutup laci terakhir dan merapika
“Sudahlah, Antonio. Aku nggak akan datang,” ucap Vivi datar sambil menutup bukunya.Antonio yang sejak tadi bersandar di tepi meja langsung menegakkan tubuh. Rahangnya mengencang, matanya menatap Vivi tanpa berkedip.“Ya terus kamu maunya apa supaya datang?” tanyanya serius, nada suaranya lebih berat dari sebelumnya.Vivi menoleh sebentar lalu mengangkat alis santai. “Nggak ada,” sahutnya pendek. “Itu jawabannya.”Tanpa menunggu reaksi, Vivi memasukkan buku ke tas dan berdiri. Ia berjalan melewati deretan bangku kuliah tanpa sedikit pun menoleh ke arah Antonio. Antonio hanya bisa mengikuti punggung Vivi dengan tatapan tajam. Jemarinya mengepal di samping tubuh, napasnya tertahan seolah mencoba menahan kesal.“Dia pikir bisa seenaknya aja nolak?” gumamnya pelan. Namun, Vivi sudah menghilang di ambang pintu, tak tertarik lagi meladeni perdebatan apa pun.Antonio masih terpaku di tempatnya, rahangnya mengera
Vivi baru saja melangkah masuk ke ruang kelas, masih menenteng buku catatan ketika tiba-tiba seseorang menarik lengannya pelan.“Eh—” Vivi menoleh cepat. Ternyata Antonio. Tanpa banyak bicara, cowok itu menuntunnya duduk di bangku kosong di sebelahnya.“Kamu kenapa narik-narik? Ada apa?” tanya Vivi sambil mengangkat alis.Antonio menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, matanya menatap penasaran. “Gimana acara camping malam keakraban kemarin? Seru, nggak?”Vivi langsung paham arah pertanyaannya. Antonio memang nggak hadir di acara itu.“Biasa aja,” jawabnya santai. “Nggak ada yang aneh. Tapi kamu kenapa nggak datang? Setahu aku itu acara wajib, kan?”Antonio menghela napas. “Aku nggak bisa datang karena ada acara keluarga. Wajib banget ikut. Daripada dipecat jadi anak.”Vivi menatapnya heran. “Emang ada ya acara keluarga yang modelnya gitu?”Antonio memiringkan kepala, menatapnya tajam, tapi sambil senyum tipis. “Jangan pura-pura nggak tahu, Vi.”Vivi mengembuskan napas, malas menanggapi
Vivi berdiri sambil merapikan tasnya. “La, aku duluan ya. Taksi udah nunggu di depan.”Lala langsung menoleh cepat. “Hah? Kok bisa? Kapan kamu pesen taksinya? Tadi di truk kamu tidur pules, baru melek juga sekarang. Mana sempet pesen taksi?”Vivi sempat terdiam sepersekian detik, matanya bergerak gelisah sebelum cepat-cepat menjawab, “Oh, aku pesennya pas kita masih di gunung tadi.”Senyumnya muncul, tapi agak kikuk, lebih mirip orang habis bohong.Lala menatapnya dari atas sampai bawah dengan ekspresi nggak percaya. “Hilah, kamu tuh aneh banget. Masa pesen taksi dari gunung? Udah sana pulang. Hati-hati di jalan, istirahat yang bener ya, Vi.”“Iya, La.” Vivi mengangguk kecil. “Aku jalan dulu. Ketemu lagi Senin ya.”Lala hanya mengangkat tangan sambil mengangguk, masih heran, tapi malas memperpanjang.Vivi kemudian melangkah cepat menuju gerbang kampus. Matahari siang menyengat, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal
Vivi malas menanggapi celotehan Lala. Ia menunduk, menghabiskan suapan terakhir sarapannya tanpa komentar. Begitu kotaknya kosong, ia langsung bangkit dan berjalan cepat menuju tenda. Jaketnya yang tebal ia lepas satu, lalu disampirkan di ujung tas.“La, aku mandi duluan, ya,” ucapnya sambil membongkar perlengkapan mandi.“Heh, Vi, tunggu dulu!” Lala menyusul. “Kamu pasti ngambek gara-gara Pak Giorgio, kan?”Vivi mendengkus pendek tanpa menoleh. “Nggak, La. Lihat ini udah jam berapa? Udah setengah sembilan. Jam sembilan kita harus kumpul lagi.”Lala spontan melirik jam tangannya. “Eh, iya juga!” Ia buru-buru menyuap sisa sarapannya. “Tunggu aku habisin dulu sarapanku, Vi!”“Cepetan,” sahut Vivi sambil mengganti pakaian.Lala masuk ke dalam tenda menyambar baju ganti. Tak lama kemudian mereka berjalan menuju kamar mandi. Untungnya, antrean sudah tidak sepanjang pagi tadi.“Nah, lumayan kosong,” gumam Lala, senang.