Arlina menatap Rexa sambil tersenyum. Di sudut bibirnya masih menempel remah kecil dari roti nanas."Kamu jadi Doraemon-ku ya? Selama aku ingin sesuatu, kamu tinggal keluarkan dari kantong ajaibmu dan kasih ke aku."Rexa yang tadi sempat tegang kini melirik ke arahnya, lalu tersenyum tak berdaya.Arlina tak mau kalah, masih merengek manja. "Kamu mau nggak jadi Doraemon-ku? Mau nggak?""Mau, mau, mau. Jadi suami juga mau." Mata Rexa penuh kasih sayang saat menjawab.Mendapat jawaban memuaskan, Arlina bersenandung kecil dengan riang, lalu teringat sesuatu. "Gimana kalau aku buat SIM saja?""Kok tiba-tiba kepikiran buat SIM?""Dari dulu sih sudah kepikiran, cuma aku masih di luar negeri waktu itu. Kalau aku punya SIM, kamu nggak usah repot-repot jemput aku terus.""Kamu nggak mau aku jemput?""Bukan begitu, aku cuma nggak mau kamu terlalu capek. Lagi pula kalau punya SIM, lebih praktis juga. Nanti kalau pergi sama Annie, bisa gantian nyetir."Kalau dibilang praktis, memang lebih praktis.
Hubert melirik Arlina sekilas, tidak berkata apa-apa.Arlina menganggap itu sebagai persetujuan, jadi langsung menggantikan posisi Donna. Donna mengusap hidungnya, tampak sedikit tersinggung, lalu menyingkir ke samping.Dari cara Arlina menyedot darah sedikit demi sedikit dari setiap titik di rongga dada, bisa terlihat bahwa dia cukup berpengalaman. Sejak dia mengambil alih, meskipun ini kali pertama dia bekerja sama dengan Hubert, mereka seolah-olah tahu peran masing-masing tanpa perlu banyak bicara.Titik perdarahan segera ditemukan, pendarahan pun berhasil dihentikan dan operasi dilanjutkan seperti biasa. Sejak saat itu, posisi Arlina dan Donna tidak lagi bertukar.Operasi akhirnya selesai. Arlina dan Hubert sama-sama mengantar pasien yang baru selesai dioperasi ke dalam lift.Tak satu kata pun terlontar di antara mereka. Wajar saja. Dengan hubungan mereka, kalau sampai mengobrol santai malah aneh.Di dalam lift tidak banyak orang. Beberapa saat kemudian, seorang perawat masuk. Dia
"Coba saja dulu, baru tahu bisa nggak aku melampauimu. Tapi syaratnya, kamu harus kasih aku kesempatan untuk belajar."Ekspresi Hubert seolah-olah baru tersadar. "Jadi, semua omonganmu tadi cuma karena itu."Sudut bibir Arlina terangkat membentuk senyuman samar. "Dokter Hubert, berani nggak taruhan sama aku? Kalau kamu memang begitu yakin dengan kemampuanmu, kenapa takut murid melebihi gurunya?"Tatapan Hubert tak beranjak dari wajah Arlina. Dia merasa seperti sedang masuk ke perangkap yang dipasang perempuan ini.Dulu dia memang pernah membimbing dokter-dokter lain dan dia tahu betul bahwa temperamennya kurang baik. Beberapa dokter perempuan yang manja saja menangis di hadapannya, bahkan ada yang sampai mengadu ke Kepala Departemen.Namun, belum pernah ada satu orang pun seperti Arlina, berani menatap langsung matanya dan menawarkan syarat.Setelah beberapa saat hening, Hubert berujar, "Untuk operasi hari ini, kamu jadi asisten kedua."Wajah Arlina langsung berseri-seri. "Baik."Huber
"Dokter Hubert, barusan Dokter Herman telepon. Katanya dia mengalami kecelakaan di jalan dan sekarang sedang di IGD. Jadi, dia nggak bisa masuk kerja hari ini."Perawat yang bertugas di pos perawat langsung masuk ke ruang dokter dan menyampaikan kabar itu kepada Hubert."Dokter Hubert, bukannya nanti Dokter ada jadwal operasi? Dokter Herman asisten utama. Kalau dia cedera, gimana operasinya?" tanya salah satu dokter.Hubert mengernyit. "Ada yang kosong nggak, bisa gantiin?""Kami semua ada jadwal operasi.""Aku hari ini bantu dokter lain.""Sekarang sudah jam segini, siapa yang masih kosong? Kalau nggak ada, panggil tim dua saja.""Tim dua sudah dipanggil. Kepala Departemen lagi ada operasi transplantasi jantung. Karena kekurangan tenaga medis, mereka semua disuruh bantu ke atas."Para dokter dalam ruangan saling menimpali sambil membereskan berkas masing-masing. Saat itu, Arlina yang duduk di samping berdiri dan berkata, "Aku bisa."Salah satu dokter langsung menanggapi, "Ya, benar! D
Sambil makan, Arlina merasa ada yang aneh. Perempuan di depannya terus-menerus menatapnya sambil tersenyum. Ditatap seperti itu oleh orang asing terasa agak menyeramkan.Setelah ragu sebentar, Arlina bertanya, "Ada perlu?"Masa iya orang ini mengincar paha bebek di piringku?Perempuan di depannya tersenyum semakin lebar. "Terima kasih ya.""Hah?" Arlina bingung. Dia belum bilang mau memberikan paha bebeknya, kenapa sudah bilang terima kasih duluan?"Waktu kamu memarahi Hubert hari ini, aku dengar. Terima kasih sudah berbicara mewakili kami."Arlina langsung paham. "Kamu ... Dokter Lillia ya? Bukannya kamu lagi dinas di luar kota?"Pantas tadi merasa wajahnya agak familier. Di papan nama dokter memang ada foto Lillia, tetapi itu foto lama, waktu dia masih berambut panjang."Aku baru saja balik, pas waktunya makan siang," kata Lillia sambil mengulurkan tangan. "Kenalin, aku Lillia, kita satu divisi. Memang agak telat, tapi tetap ... selamat datang di departemen bedah jantung."Arlina ter
Arlina berdiri tak jauh dari sana dengan jas putihnya, stetoskop tergantung di leher, tatapannya tajam mengarah ke arah sumber suara tadi."Sesulit itu mengakui kalau perempuan juga bisa hebat? Hanya karena dia perempuan, kamu merasa berhak meragukan pencapaiannya. Kalau begitu, aku juga bisa berasumsi, kamu dulu bisa masuk rumah sakit ini karena pernah melakukan sesuatu yang memalukan di belakang, 'kan?"Dua perawat di ruang jaga, Miko dan Lucia, langsung menarik napas dalam-dalam.Berani banget! Cari mati? Seorang dokter baru berani bicara seperti itu ke Hubert? Bahkan Lillia pun tidak pernah bisa menanganinya.Seperti yang diduga, wajah Hubert langsung menjadi suram saat itu juga."Justru karena ada orang kayak kamu, perempuan makin susah di dunia kerja. Kenapa kamu harus menjatuhkan perempuan buat cari eksistensi? Kesuksesan perempuan bukan berarti laki-laki harus jatuh, kecuali memang kamu berdiri di atas punggung kami. Dunia ini luas. Kenapa kita nggak bisa berdiri sejajar?"Seti