Ibu Chris termangu sejenak mendengar ucapan itu. Arlina menunjukkan ekspresi serius."Aku dan suamiku dulu memang dosen dan mahasiswi, tapi hubungan kami sangat baik. Kami nggak pernah melakukan hal yang merugikan masyarakat. Dia tekun mengajar dan aku berusaha sebaik mungkin menyembuhkan pasien. Aku rasa hubungan dosen dan mahasiswi bukan alasan yang cukup untuk menyerang kami.""Aku memang pergi belajar ke luar negeri setelah melahirkan anak, tapi sepertinya di benak banyak orang sudah tertanam bahwa setelah punya anak, prioritas harus selalu pada anak. Panggilan kita berubah, dari nama pribadi menjadi Mama Chris, Mama Annie. Padahal kita bukan hanya seorang ibu, tapi juga adalah individu sendiri.""Sebelum jadi ibu, aku juga hebat dan ingin sekali melihat dunia yang lebih luas. Aku bersyukur punya suami yang mendukungku. Berkat dia, aku bisa melangkah tanpa rasa takut. Saat anak kami sudah dewasa, aku berharap dia juga bisa mengutamakan dirinya sendiri. Setiap orang adalah individu
Menghadapi tatapan polos Annie, Arlina menjadi kikuk sampai tidak bisa berkata apa-apa. Seolah-olah teringat sesuatu, dia asal mengambil buku di atas nakas, lalu tergagap. "Baca buku, Papa dan Mama lagi baca buku. Membaca sebelum tidur bisa menenangkan hati dan membantu tidur.""Kalau begitu, kenapa lama sekali buka pintunya?"'Tentu saja karena Papa dan Mama lagi pakai baju, Sayang.' Arlina nekat menjawab, "Karena Papa dan Mama lagi di bagian seru, ingin selesai dulu baru buka pintu. Sama seperti kamu saat nonton kartun. Saat adegan penting juga nggak mau diganggu, 'kan?"Annie mengangguk seolah-olah mengerti. "Hmm."Melihat berhasil mengelabui Annie, Arlina menatap ke arah biang keroknya. Melihat Rexa naik ke tempat tidur, Arlina melewati Annie dan menendangnya.Mata Annie membelalak. "Mama, kenapa tendang Papa? Guru bilang nggak boleh sembarangan tendang orang."Arlina menjadi canggung, cepat-cepat menjelaskan, "Nggak, nggak. Mama cuma bercanda sama Papa."Rexa tak kuasa menahan taw
Dua orang yang kepanasan itu tiba-tiba seperti disiram air dingin. Mereka hanya berhenti dua detik, lalu tersadar dan buru-buru mengenakan pakaian dengan canggung."A ... Annie, tunggu sebentar."Dengan wajah memerah, Arlina langsung memakai bajunya, sementara Rexa mengambil baju yang terjatuh di lantai dan cepat-cepat memakainya. Keduanya tampak terburu-buru dan kikuk, sampai-sampai Arlina menendang Rexa sebagai tanda agar dia segera membuka pintu.Rexa berjalan ke pintu dan menarik napas dalam-dalam. Detik berikutnya, dia berubah menjadi ayah yang lembut dan serius seperti biasanya. Dia membuka pintu sambil tersenyum. "Annie."Annie memeluk boneka kecil, menengadah memandangnya sambil mengeluh, "Papa sama Mama ngapain sih? Kok lama banget!"Mata Rexa berkedip sebentar. Dari belakang terdengar tawa ringan. Arlina menatap punggung Rexa dengan nakal, menunggu bagaimana jawabannya.Rexa lantas terbatuk kecil. "Hmm, kami lagi bahas sesuatu."Annie penasaran dan bertanya dengan mata berbin
"Ada kejadian serupa di kampungku. Orang tua kurang mengawasi, anaknya tersedak kelereng. Waktu dibawa ke rumah sakit sudah tak tertolong. Anak yang sudah dirawat tiga atau empat tahun tiba-tiba pergi begitu saja. Sungguh kejam bagi orang tua."Ibu Chris membayangkan adegan itu, langsung merinding dan memeluk anaknya erat-erat karena masih merasa takut."Kalian tadi berantem ya? Dia masih mau tolong anakmu, benar-benar orang yang lapang dada.""Kamu harus berterima kasih padanya."Tatapan ibu Chris bergejolak. Diam sejenak, lalu bertanya, "Mereka di mana sekarang?""Sudah pergi dari tadi."....Bayangan keluarga kecil itu tertangkap oleh lampu. Annie berjalan di tengah dengan tangan kiri dan kanannya digenggam oleh ayah dan ibunya. Dia melompat dengan riang.Suara Arlina yang tidak puas terdengar. "Karena kejadian ini, aku jadi nggak enak hati buat hitung-hitungan sama dia. Menyebalkan. Kalau dia masih terus bicara omong kosong, aku benar-benar bakal laporin dia ke polisi."Rexa meliri
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar. Wanita yang berjongkok di tanah tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar dan langsung melompat bangun."Chris!" Dia berteriak parau, tergopoh-gopoh berlari ke arah anaknya.Arlina dan Rexa juga langsung berlari ke sana.Di dekat kolam pasir sudah berkumpul banyak orang. Kepala kecil Annie terus dijulurkan ke dalam kerumunan. Terlihat Chris sedang dipeluk oleh orang dewasa. Dia memegang lehernya dengan wajah penuh kesakitan, bibirnya membiru karena kesulitan bernapas."Cepat tolong dia. Pakai itu, namanya manuver Heimlich," kata seseorang dengan panik.Orang yang memeluk Chris tampak panik. "Aku ... aku nggak tahu caranya. Apa begini?" Dia pun asal menekan perut anak itu."Cepat cari di internet, banyak tutorialnya.""Sudah telepon ambulans belum? Cepat telepon, biar dokter datang.""Wajahnya sudah ungu, cepat bawa ke rumah sakit.""Orang tuanya mana? Orang tuanya ada di sini?"Semua orang saling berteriak dan kebingungan.Annie yang berada di te
Awalnya, dia menelepon kerabat untuk menanyakan kondisi istri Rexa. Tak disangka, dia malah mendengar gosip besar. Pantas saja Arlina meninggalkan anaknya begitu saja. Ternyata karena melakukan hal yang memalukan."Lihat saja si Annie, dari lahir sampai sekarang nggak pernah merasakan kasih sayang ibu. Kasihan sekali. Jadi ibu kok kejam banget," kata ibu Chris untuk mengompori lagi.Mereka merasa bangga telah mengorbankan diri demi anak, menganggap itulah cinta seorang ibu. Sementara orang seperti Arlina, sama sekali tidak pantas menjadi seorang ibu."Ya, aku sampai berhenti kerja demi anakku, cuma supaya bisa lebih banyak menemaninya.""Di usia segini, anak paling butuh pendampingan orang tua. Dia kok tega banget sih?""Kelihatannya memang nggak semua ibu itu sejak lahir sayang pada anaknya."Suara obrolan mendadak terhenti. Ibu Chris melihat para wanita itu tiba-tiba berhenti berbicara dan memandang ke satu arah. Tatapan mereka bahkan saling menghindar.Ibu Chris menoleh ke belakang