Setelah diperhatikan dengan saksama, Arlina semakin yakin bahwa orang itu memang Friska. Meski sekarang dia melepas kacamata tebalnya dan rambut panjangnya diikat ekor kuda, raut wajahnya jadi tampak jelas.Arlina menarik lengan Rexa, memberi isyarat agar dia melihat ke arah sana.Mengikuti arah isyaratnya, mata Rexa pun berkilat. Dia juga mengenalinya.Friska mengenakan celemek bertuliskan logo toko boba, jelas sekali dia adalah pegawai di sana. Dia melindungi salah satu pegawai perempuan yang juga bekerja di toko itu. Dia berdiri di depannya dan menegur seorang pelanggan dengan suara lantang, "Kamu ini kelihatannya baik-baik, tapi kenapa kelakuanmu memalukan sekali?"Pelanggan itu tidak menyangka dia akan membuat keributan sebesar ini, wajahnya memerah karena malu dan marah, "Beginikah sikap pelayanan toko kalian? Panggil manajermu ke sini, aku mau komplain!"Friska sama sekali tidak gentar, dia justru balik menukas, "Aku ini manajernya."Pelanggan itu tertegun.Friska menarik pegawa
Annie mengulurkan tangan hendak menyentuh bunga, lalu bertanya pada Arlina, "Mama, boleh aku ambil satu?""Tentu saja, jangan bilang satu, sepuluh pun boleh."Annie bergoyang-goyang kegirangan di kursi belakang. Itu justru memberi Arlina sebuah ide."Aku tahu cara menghabiskan bunga-bunga ini."Mendengar itu, Rexa yang sedang menyetir melirik ke arahnya.Arlina menoleh pada Annie. "Annie, mau nggak kalau Papa Mama ajak kamu main sebuah permainan?"Annie menjawab dengan suara manja, "Mau ...."Lampu-lampu neon yang gemerlap menari di langit malam kota, membentuk simfoni cahaya yang indah. Orang-orang berjalan tergesa-gesa, seakan tak punya waktu untuk benar-benar menikmati pemandangan di sekitar.Di sebuah alun-alun yang tidak terlalu besar, seorang wanita dan seorang anak kecil berjalan sambil membagikan bunga pada para pejalan kaki."Nona, ini bunga untukmu. Semoga hidupmu selalu bahagia.""Kakak, bunga ini buat kamu. Cantik seperti dirimu.""Paman, nyanyianmu tadi sangat merdu. Ini b
"Kenapa Pak Rexa terburu-buru sekali kali ini?""Biasanya dia selalu menunggu kita semua keluar dulu baru pergi.""Sepertinya dia lagi teleponan."Di belakang, para mahasiswa masih sibuk bergosip, sementara Rexa sudah menuruni tangga dan langsung menekan nomor Arlina.Di seberang sana, Arlina menjawab dengan cepat, "Ada apa?"Rexa langsung berterus terang, "Lihat orang lain jatuh cinta lebih seru, ya?"Terdengar tawa kecil dari ponsel.Rexa lalu bertanya lagi, "Kalau jatuh cinta sama aku, nggak seru?""Kita ini 'kan sudah kayak pasangan lama.""Jadi perasaanmu sudah pudar?""Bukan begitu maksudku," Arlina berkata manja, "Aku cuma lihat Pak Jazlan sama Bu Lillia baru jadian, romantis banget. Jadi kupikir seru daja kalau kubagi ke kamu.""Kita ini nggak romantis?" Rexa terus mendesak."Romantis, romantis, romantis." Arlina tak kuasa tertawa, "Kalau begitu kenapa kamu nggak tandingi saja? Pak Jazlan kasih bunga ke Bu Lillia lebih besar daripada yang pernah kamu kasih ke aku."Tak lama set
Arlina benar-benar tidak tahu harus berkomentar apa. Dia hanya melirik sekilas ke arah Lillia. Ekspresinya sulit digambarkan dengan kata-kata.Lillia merasa malu dan langsung berbalik hendak pergi. Namun, Jazlan yang tatapannya jeli segera melihatnya dan mengejarnya dengan sebuket besar bunga mawar di pelukannya."Lilli ...."Panggilannya pun berganti secepat itu.Saat melewati Arlina, dia masih sempat menyapa dengan sopan, "Halo, Kakak Ipar."Lalu dia bergegas masuk ke ruang istirahat, mengikuti Lillia. Arlina yang melihat pintunya tidak tertutup, langsung memasang telinga di depan pintu.Di dalam ruang istirahat, Lillia menatap Jazlan yang masih memeluk sebuket besar bunga, sambil mengusap pelipisnya, "Mau apa kamu ke sini?""Tentu saja mau kasih kamu bunga." Jazlan menyodorkan bunga itu ke pelukannya, wajahnya tampak malu-malu. "Sekaligus kasih tahu semua orang tentang hubungan kita sekarang.""Kita ini baru hari kedua, kenapa kamu terburu-buru sekali?""Tentu saja buru-buru," Jazla
Arlina berakhir dalam ketegangan sekaligus gairah. Sekujur tubuhnya telah merah padam. Dia terbaring di ranjang, sementara Rexa menindih di atasnya dengan napas yang terengah-engah. Di bagian kulit yang saling menempel, keringat bercucuran deras hingga membuat tubuh mereka terasa lengket.Suara Jazlan tak lagi terdengar, hanya tersisa dengkuran halus yang terdengar.'Bisa-bisanya ngobrol lewat telepon sampai ketiduran, sungguh luar biasa.'Rexa meraih tangan untuk menutup telepon.Arlina menyenggolnya, lalu mengeluh manja, "Kamu nggak bisa tunggu sampai dia selesai bicara baru lanjut lagi?" Suaranya lembut, sekaligus penuh rengekan manja.Rexa menutup telepon, lalu memeluknya erat. "Nggak bisa." Nada bicaranya penuh dominasi saat berkata, "Kamu lihat jam sekarang, kalau nunggu dia selesai, semuanya sudah keburu dingin."Ucapan itu membuat Arlina tertawa geli. Namun begitu teringat bahwa mereka tadi melakukan itu dengan Jazlan yang masih menelepon di seberang, wajahnya kembali memerah.
Bibir panas Rexa jatuh di kelopak matanya. Bulu mata Arlina bergetar ringan, seperti bulu halus yang menyapu bibirnya. Di mata Rexa bergulir api hasrat dan gerakannya masih tak berhenti.Wajah Arlina memerah, bibirnya tanpa sadar mengeluarkan desahan manja, leher putihnya tertarik membentuk lengkungan indah.Rexa menutup bibir merahnya. Lidahnya melilit, seakan hendak merenggut seluruh napas Arlina.Tepat saat itu, suara getaran ponsel mengacaukan suasana penuh gairah di ruangan."Po ... ponsel." Arlina terengah di bawah tubuhnya."Biarkan saja."Sudah hampir tengah malam masih ada yang menelepon, apa tidak bisa lihat situasi?Wajah Arlina merah padam, tubuhnya melemas dalam pelukan Rexa. "Kalau ada urusan mendesak dari kampus ...."Gerakan Rexa berhenti, dia terpaksa membungkuk dan meraih ponsel di meja. Urat di punggung tangannya yang panjang tampak menonjol, seolah masih memerah karena gairah.Arlina melihat wajah Rexa yang seketika menggelap setelah melihat layar ponsel."Siapa?" F