Share

Garis Batas

Hangat.

Entah mengapa aku justru merasakan kehangatan sekejap setelah segala hal mengerikan yang barusaja aku lalui. Aku tidak tahu apakah setelah mati akan ada kehangatan?

Kenapa aku merasa hangat? Apa aku berada di tempat yang hangat? Jadi rasanya mati seperti ini?

Tunggu dulu.

Hanya tangan kananku yang terasa hangat.

Apa dunia setelah kematian memang seperti ini? Tapi ... aku tidak melihat apapun. Semuanya gelap. Namun aku bisa merasakan sesuatu yang hangat pada tangan kananku.

Rasanya seperti ... genggaman tangan?

    Aku pun bersusah payah menggerakkan mataku, kelopak mataku. Aku penasaran bagaimana dunia setelah kematian? Apakah yang namanya surga dan neraka itu benar-benar ada? Lalu di manakah aku sekarang?

Alih-alih melanjutkan pikiranku yang tidak jelas kemana arahnya, aku mencoba membuka mataku secara perlahan. Sangat perlahan. Aku tidak tahu jika membuka mata setelah mati akan sesulit ini.

    Hal pertama yang kutangkap setelah aku membuka sedikit netraku adalah ruangan bernuansa perak dan aksen ungu yang sangat familiar. Bukankah aku sudah mati? Lalu kenapa yang ada di hadapanku—yang masih sedikit buram—ini adalah ruangan yang mirip dengan kamarku?

Kamar?

    Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dengan perlahan. Pandanganku semakin jelas. Ruangan yang kulihat benar-benar kamarku. Apa setelah mati aku mendapatkan hal yang sama seperti saat aku hidup?

Kenapa aku berada di kamar? Bukankah aku sudah mati?

    Lalu aku melirik ke sebelah kanan, ke tempat yang mengalirkan kehangatan. Sumber kehangatan yang tak kuketahui sebelumnya. Dan tepat ketika aku menangkap sosok yang berada di sisiku dengan kedua tangan menggenggam tanganku dengan kepala menunduk dalam. Aku menyadari darimana sumber kehangatan itu.

Rambut ungu yang gelap, segelap rambut kakakku, Falos, dengan sedikit uban. Aku tahu sosok itu bukan Falos karena dia belum beruban. Falos masih muda. Terlalu muda untuk dihukum sebengis itu.

Dan sosok yang kulihat pertama kali adalah ayahku, Mainard Starluston.

    Tunggu. Ayahku? Bukankah ayah sudah meninggal sebelumku? Yang kutahu ayah dieksekusi lebih dulu daripada aku. Lalu kenapa sekarang sosoknya ada di sisiku?

Apa dia juga meninggal? Jadi dia bersamaku di sini? Apakah kami bertemu lagi setelah kematian? Jadi dia sedang menungguku menyusulnya?

    Aku dirundung perasaan bingung, gusar dan gelisah yang bercampur menjadi satu lalu diaduk hingga segalanya larut. Aku pun menggerakkan tanganku dan mencoba menyentuhnya dengan tanganku yang lain.

Rasanya sakit sekali. Seluruh tubuhku, bahkan tanganku yang lain. Apa yang terjadi sebenarnya?

“A ... Ayah ...?” panggilku dengan suara lirih.

Seluruh tubuhku terasa lemas dan lelah—juga nyeri. Aku tidak yakin apakah ayah mendengarku atau tidak karena suaraku yang lirih.

    Aku pun mencoba memanggil ayahku kembali. Aku sangat rindu padanya. Semoga sosok di sisiku ini bukanlah ilusi belaka. Aku tidak ingin melihat adegan mengerikan itu lagi.

“Ayah ...” panggilan keduaku juga tidak berhasil.

Sosok yang kukenali sebagai ayahku itu masih tak bergeming. Ia masih menunduk dalam. Rasa sedih di hatiku pun mulai membuncah.

Apa ayahku benar-benar pergi? Apa yang sebenarnya terjadi?

    Seperti menjawab permohonan dalam kesedihanku, sosok itu bergerak pelan. Aku bisa mendengar erangan pelan suara berat yang sangat kurindukan. Aku bisa melihatnya menegakkan tubuh sambil mengusap wajahnya.

“Ah ... sudah pukul berapa ini?”

Aku bisa mendengar suara ayahku. Apakah tadi ia tertidur dengan posisi duduk yang sangat tidak nyaman itu?

Air mataku meluncur begitu saja saat melihat wajah ayahku dan matanya yang menatapku dengan tatapan terkejut.

“Ly ... Lyra? Kau ... kau sadar? Sejak kapan?” ucap ayahku dengan suara bergetar. Pria itu mendekatkan tubuhnya seraya berlutut menyamakan posisinya dengan tinggi ranjang tidurku.

Aku masih menangis lalu bibirku mengucapkan kata seperti anak kecil yang baru bisa berbicara.

“Ayah ...”

    Ayah langsung bangkit dan memelukku dengan erat. Aku agak terkejut tapi aku membalas pelukannya juga. Aku merindukan pelukan ayah. Syukurlah ini bukan mimpi. Syukurlah hal mengerikan yang kualami sebelumnya ternyata hanyalah mimpi.

“Terima kasih karena kau sudah bangun, Nak! Kupikir aku tidak akan pernah melihatmu lagi!” ujar ayah dengan suara parau.

Ayah menangis.

Hal yang sangat amat jarang terjadi. Terakhir kali aku melihat ayah menangis adalah ketika kematian ibu. Setelahnya tidak pernah kulihat ia menangis lagi.

    Setelah memelukku agak lama, ayah segera memanggil Irene, pelayan pribadiku, untuk memanggil seorang dokter. Aku bisa melihat Irene juga menangis ketika melihatku tersenyum lemah. Padahal seingatku aku barusaja mengalami hal yang mengerikan—eksekusi—dan tiba-tiba aku terbangun di kamarku dengan tangan ayah yang menggenggam tanganku erat.

    “Ayah ... aku senang sekali melihatmu.”

Ayah membelai pipiku dengan lembut dan menghapus air mataku. Aku masih dalam posisi berbaring. Aku tidak bisa berhenti menangis.

“Ayah juga ... Kenapa kau menangis, Lyra? Apa yang kau alami dalam mimpimu sampai kau tak kunjung bangun? Apa kau bermimpi hal yang sangat menyenangkan?”

Aku menggeleng.

“Aku bermimpi sangat panjang. Tapi itu bukan mimpi yang menyenangkan ...”

    Ayah kembali memelukku dengan lembut.

“Tak apa. Itu hanya mimpi. Yang terpenting sekarang kau sudah sadar. Ayah benar-benar bersyukur ...”

Aku tersenyum lagi. Aku juga bersyukur masih bisa bertemu dengan ayahku. Semoga saja ini benar-benar nyata. Aku tidak ingin mengalami hal mengerikan itu lagi. Tidak.

    Tak lama kemudian, seorang dokter yang kuingat benar bernama Phillip Patton, berjalan ke arahku diikuti dengan Irene dan Falos.

Ah, Falos ... kakakku. Dia terlihat sehat. Sangat sehat.

“Lyra ... kau benar-benar sudah sadar ...” ujarnya dengan tatapan sendu bercampur bahagia. Justru akulah yang lebih bahagia karena melihatnya berdiri tegak di sana.

Falos tidak mati.

Begitu juga dengan ayah dan aku. Kalau saja aku bisa bangkit dan berdiri sekarang, aku akan memeluknya.

“Aku akan memeriksamu sebentar, Nona.”

*****

    Setelah Dokter Patton memeriksaku dengan teliti dan lembut. Ia segera memberitahu jika aku baik-baik saja. Aku hanya perlu istirahat dan memulihkan lukaku. Aku sedikit bingung dengan luka yang dimaksud Dokter Patton.

Apa aku terluka? Kapan?

Tepat setelah Dokter Patton mengatakan semua hal yang kubutuhkan dan bagaimana perawatan selanjutnya, ia segera pamit pergi.

    Ayah membantuku untuk menyandarkan punggung karena aku ingin duduk.

“Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku seraya melempar tatapan pada ayah dan kakakku. Ayah dan Falos saling berpandangan sebelum salah satu dari mereka bersuara.

“Kau tak sadarkan diri selama satu minggu setelah misimu di bagian barat,” Falos memberitahu. Ucapannya lantas membuat otakku berusaha mengingat kembali. Menggali ingatan yang sudah tertumpuk dengan ingatan mimpi mengerikan yang kualami.

Aku pun teringat. Benar. Misi di wilayah bagian barat, desa yang berada di bawah tanggung jawab Count Chander.

Banjir itu!

    “Apa anak-anak itu selamat?” tanyaku tiba-tiba setelah aku berhasil mengingat semuanya. Waktu itu aku sedang menjalankan tugas untuk mengevakuasi warga karena banjir yang datang tiba-tiba. Lalu aku berusaha menyelamatkan dua anak kemudian .... kami hanyut?

Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya.

    Falos dan ayahku saling melempar pandangan lagi. Falos menyunggingkan senyuman sambil membelai puncak kepalaku dengan lembut.

“Mereka selamat. Kalian hanyut terbawa arus. Kedua anak itu baik-baik saja karena kau melindungi mereka. Tapi kau terluka dan tidak sadarkan diri selama satu minggu,” jelas Falos.

“Asal kau tahu, Count Chander sampai mengirimkan surat untuk menanyakan keadaanmu. Para ksatria yang bertugas bersamamu juga kemari, begitu juga dengan Lady Marsh. Kau membuat banyak orang khawatir,” lanjutnya.

    Aku tak bisa menyembunyikan perasaan bahagia dan kelegaanku.

“Maafkan aku.”

“Sebaiknya tidak kau ulangi. Atau aku mungkin bisa saja memaksamu berhenti menjadi ksatria.” Ayahku menambahkan. Aku tertawa pelan.

“Jangan, kumohon.” Ayah pun membelai puncak kepalaku.

“Ayah benar-benar senang kau kembali. Makanlah lalu istirahat dan jangan lupa bangun.”

Aku pun mengangguk dengan menunjukkan senyuman terbaik yang tidak pernah kutunjukkan pada siapapun. Yang jelas aku sangat lega karena semua yang kualami sebelumnya hanyalah mimpi belaka.

*****

    Tiga hari kemudian Ellia mengunjungiku karena aku masih cuti dari segala kegiatan ksatria. Ayahku sendiri yang meminta agar Duke Finlay—yang merupakan atasanku—untuk mengizinkanku libur sampai aku benar-benar pulih. Tentu saja Kapten Finlay tidak akan bisa berkata tidak.

“Kau tidak tahu betapa bahagianya aku bisa berbicara denganmu lagi, Lyra!”

Ini sudah ketiga kalinya Ellia berkata begitu dengan menyeka air matanya. Aku hanya bisa terkekeh pelan melihat tingkah Ellia.

“Maaf aku membuatmu khawatir, Lia.”

“Tentu saja kau membuatku khawatir! Bahkan ada rumor yang mengatakan kalau kau meninggal! Aku benar-benar takut, kau tahu?! Saat itu kau tiba-tiba terbawa arus begitu ... dan aku ... uhh. Yang jelas aku bersyukur kau sudah bangun!”

    Aku tersenyum senang mendengar ucapan Ellia.

Dia adalah satu dari sekian orang yang tulus berteman denganku. Putri dari Baron Marsh yang baik hati dan pemberani ini adalah salah satu alasanku bahagia. Diantara sekian banyak orang yang merendahkanku karena aku adalah Starluston tanpa kekuatan, Ellia yang sangat baik hati ini mau berteman denganku sejak pertama kali kami bertemu di pesta penerimaan ksatria baru. Meskipun status keluarganya berada di keluargaku, tapi aku tidak pernah mempermasalahkannya. Aku tidak peduli.

Ellia tak tahu betapa bersyukurnya aku memiliki orang sepertinya di sisiku.

    “Apa akhir-akhir ini banyak yang kau kerjakan?” tanyaku sebelum menyesap secangkir teh yang kupegang.

Aroma teh yang sangat kurindukan ini rasanya seperti meluruhkan segala kegelisahanku.

Ellia menggeleng.

“Tidak. Hanya patroli di ibukota. Setelah kejadian banjir itu, untungnya tidak ada korban jiwa, semua yang terlibat dalam evakuasi diberi waktu senggang. Waktu yang tepat untuk istirahat apalagi karena kau adalah satu-satunya yang jadi korban.”

Rasanya aku sangat malu. Sebagai ksatria seharusnya aku tidak selemah itu. Namun di sisi lain aku bersyukur tak ada korban jiwa dari penduduk dan dua anak yang bersamaku selamat.

    “Tapi kau sangat hebat. Para penduduk yang mengungsi waktu itu khawatir padamu setelah mendengar kabar bahwa kau tak sadarkan diri. Kakakmu bersama Pangeran datang membantu keesokan harinya dan kau dibawa pulang oleh kakakmu.”

“Kau benar-benar bodoh kalau boleh kukatakan, maafkan aku. Bergerak ceroboh saat situasi berbahaya ... itu benar-benar seperti bukan kau, Lyra,” lanjut Ellia.

Aku mengedikkan bahu seolah itu bukan sepenuhnya kehendakku. “Entahlah. Saat itu yang kupikirkan hanya ingin menyelamatkan kedua anak itu. Hanya itu saja ...”

“Iya dan kau tidak memikirkan dirimu sendiri,” cibir Ellia.

“Aku akan lebih berhati-hati, aku janji,” ucapku dengan tertawa pelan.

Aku melihat ke arah langit yang sangat cerah sore ini. Mega oranye menambah kesan tenang senja ini dan membuatku menyadari jika ini semua adalah nyata.

Benar. Hal mengerikan yang kurasakan saat itu hanyalah mimpi belaka.

    Ellia turut memerhatikan pemandangan langit sore yang menenangkan bersamaku.

“Langitnya benar-benar indah.”

Aku setuju dengan ucapan Ellia. Lalu gadis itu bangkit dari duduknya dan tersenyum padaku.

“Matahari sudah hampir tenggelam. Aku harus segera kembali, Lyra. Aku benar-benar senang kau baik-baik saja,” ujarnya seraya berdiri lalu berjalan mendekat.

Aku pun bangkit dan Ellia memelukku singkat.

“Sampai jumpa saat kau kembali ke markas!” serunya dengan antusias.

Benar.

Aku juga sudah tidak sabar untuk kembali ke markas. Ke tempat satu-satunya pekerjaan yang kusuka. Sekalipun aku tahu akan ada banyak orang yang membicarakanku nanti karena kelemahanku. Aku tidak peduli.

“Tentu saja!”

    Aku mengantar Ellia sampai gerbang depan kediamanku. Kereta kuda sudah menunggu di depan gerbang atas permintaanku untuk mengantar Ellia kembali ke kediamannya.

“Terima kasih sudah menemaniku hari ini, Ellia.”

“Aku akan menemanimu kapanpun, Lady Starluston,” ucapnya dengan nada bercanda.

Ia pun masuk ke dalam kereta kuda dan kami saling melambaikan tangan. Ellia pun perlahan menjauh bersama kereta kuda.

    Aku menghela napas pelan. Dua hari lagi cutiku berakhir dan aku akan kembali sebagai ksatria. Aku hanya berharap keadaan tidak semakin buruk. Orang-orang yang membenci keluargaku sudah pasti menyebarkan rumor-rumor tentangku, sebagai ksatria yang lemah karena terluka ketika seharusnya aku menolong para penduduk.

Tapi, apa yang bisa lebih buruk dari mimpi burukku kemarin?

Rumor tidak penting itu tidak lebih buruk dari mimpiku.

Aku bisa mengatasinya dengan mudah. Benar, aku tidak perlu memerdulikannya seperti biasa karena itu bukanlah hal yang asing bagiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status