Share

Bagain 6

Penulis: Isna Arini
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-21 15:42:33

"Kapan jadwal haidmu, ditanya malah jawabannya hah. Memangnya nggak dengar pertanyaan sejelas itu." Bian mulai berkata keras lagi padaku.

"Untuk apa kamu bertanya hal itu?" tanyaku. Penasaran, tentu saja

"Memangnya tadi kamu nggak dengar apa yang dikatakan dokter. Aku akan mencatatnya di sini," terang Bian seraya memperlihatkan ponselnya padaku.

"Aku akan datang ke tempat ini saat kamu dalam masa subur. Kau pikir aku ini pria yang tak punya pekerjaan hingga harus bolak-balik dari tempatmu ke rumahku," sambungnya dengan nada menggebu.

"Jika begitu bawa aku ke tempat Mama."

"Itu yang kamu mau, jangan harap," balas Bian dengan nada sinis.

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sejak saat aku melahirkan bayi laki-laki itu, sejak saat itu juga aku tak boleh menjejakkan kaki di rumah itu. Bahkan aku tak boleh datang ke kota yang sama dengan di mana mereka semua berada.

"Sini biar aku isi sendiri," kataku, sembari mengulurkan tangan padanya.

Meminta ponsel yang ada dalam genggaman tangan Bian. Aku yakin pasti dia sudah menginstal sebuah aplikasi yang dikatakan oleh dokter tadi. Aplikasi untuk bisa mengetahui jadwal ovulasi dengan tepat tinggal memasukkan periode haidnya saja.

Aku kembalikan ponsel tersebut begitu selesai mengisinya. Bian menerima dan langsung meneliti semuanya. Tak lama kemudian dia menghembuskan nafas kasar.

"Ini kamu isi dengan benar, kan?" tanyanya dengan kesal.

Apa yang salah dengan isinya, kenapa dia bisa sekesal itu. Jangan-jangan karena ....

"Kamu membuang waktuku, udah lewat kan masa suburnya," omelan Bian.

Ya Tuhan, mulutnya benar-benar gak dijaga. Dia benar-benar tak menganggap Saga ada di antar kami. Bikin emosi saja. Memang semua ini salahku?

"Jangan datang ke sini kalau buang waktu." Aku berkata lirih, serupa gumaman.

"Makanya lahirkan anak yang sehat, jangan penyakitan seperti itu."

Ada sakit yang tak bisa digambarkan terasa di dalam dadaku. Seakan ada benda tajam yang menyayat di bagian sana, saat mendengar perkataan Bian barusan.

"Ini pasti penyakit bawaan dari keluargamu. Keluargaku sehat semua, makan makanan sehat, hidup terjamin dan sehat. Pasti dia sakit karena bawaan dari keluargamu." Bian masih melanjutkan ucapannya yang begitu menyakitkan.

Aku tak tahan lagi, rasanya ingin meledak saat ini juga.

"Kalau merasa aku tak bisa memberikan anak yang sehat kenapa meminta dariku, minta dari istrimu itu. Dia dari keluarga kaya sepertimu kan. Dia sehat, kenapa tak kamu minta dari dia. Dia gak bisa memberikan anak padamu? Artinya aku lebih sehat daripada dia, aku lebih sempurna sebagai wanita daripada dia," kataku penuh emosi.

"Jaga ucapmu!" Seru Bian, pria itu mencengkeram kedua bahuku dengan kencang.

Aku sampai berjingkrat dan terkejut dengan reaksi kasarnya yang tiba-tiba.

"Apa yang kamu lakukan, mengemudilah dengan benar," bentak Bian.

Kali ini dia membentak Saga. Pasalnya, pria itu tiba-tiba menghentikan laju kendaraannya dengan mendadak.

"Maaf, Pak. Barusan ada kucing lewat," terang Saga.

Bian melepaskan cengkraman tangannya dan membuang napas kasar. Saga juga kembali menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sedangkan aku, mengusap sudut mata sambil menatap kembali keluar jendela.

"Orang stress juga sulit hamil, Pak," ujar Saga, memecah keheningan.

"Sok tahu, kamu," balas Bian. "Kamu saja belum nikah dan punya istri," imbuhnya.

"Tapi saya sudah banyak pengalaman menjaga istri orang." Saga seakan tak mau kalah debat.

"Nggak ada hubungannya. Dulu, apa kamu pikir Nala tak setress saat hamil anak pertama. Kami sejak dulu begini," tutur Bian.

"Dulu baru nikah, pasti ada masa bahagianya. Mungkin sesaat setelah ikrar akad atau malam pertama. Iya kan, Bu?" Saga bertanya padaku di akhir ucapannya.

"Benar begitu, Na?" Bian bertanya padaku.

"Nggak tahu," jawabku, ketus.

Mungkin iya, saat itu aku pernah merasa bahagia. Tapi semua sirna saat malam pertama dia melakukan hal kasar itu padaku.

"Intinya jangan bikin Bu Nala tertekan, gak ada wanita yang suka dikasari," ucap Saga.

Sejak kapan dia berani membelaku di depan Bian. Sungguh di luar dugaan.

Kami kembali terdiam, tak ada obrolan sama sekali hingga kami sampai dan Bian kembali pergi setelah mengatakan akan kembali saat jadwal ovulasiku datang.

***

"Ga, pasangin pintu kamarku smart lock," pintaku pada Saga, saat sore hari kami pulang dari toko bunga.

"Untuk apa?" Saga bertanya.

"Aku mau mengurung diri di kamar kalau Bian datang."

"Kenapa?" Saga masih bertanya.

"Aku gak mau dipaksa lagi sama dia."

"Itu bukan solusi, Sha. Coba bicara baik-baik."

"Kamu pikir aku nggak bicara baik-baik, malam itu pun aku bicara baik-baik padanya. Tapi dia ...." Aku tak meneruskan ucapanku. Ini bukan suatu hal yang perlu dibahas dengan Saga.

Saga menghela napas panjang. "Aku akan coba membujuk Pak Bian agar tidak kasar padamu."

"Nggak akan mempan. Dia itu kayak benci banget sama aku, aku nggak tahu salah apa sama dia."

"Aku akan mencobanya," tegas Saga.

Percuma tak akan bekerja. Seperti percuma juga aku minta tolong pada Saga. Dia tak akan menolongku, aku harus cari cara sendiri agar Bian tak memperlakukanku dengan semena-mena lagi.

🍁🍁🍁

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Ekstra Part 3

    Ekstra Part 2 "Terima kasih udah menjagaku selama ini, Ga," ucapku pada Saga yang sedang duduk di sampingku.Kali ini aku ingin berterima kasih padanya dengan benar. Dulu saat dia pergi ada banyak hal yang terjadi, hingga aku tak benar-benar bisa mengucapkan terima kasih padanya. Maka kali ini saat semua sudah berada pada tempatnya, dan semua sudah mendapat kebahagiaan masing-masing, aku ingin mengucapkan terima kasih tanpa terbebani perasaan apapun. Saat ini aku dan Saga tengah berada di kolam ikan, tempat dulu di mana kami juga menghabiskan waktu sambil berbincang saat pertama kali di yayasan ini. Saat itu kami sedang merajut mimpi, akan saling menjaga dan tinggal di tempat ini bersama. Tapi takdir berkata lain, Saga tetap berada di sini dan menikah dengan pemilik yayasan, sedangkan aku tetap bersama dengan Bian. Bian sedang menemani anak-anak berkeliling dan bermain di tempat ini. Sejak pertama kali datang tadi pagi, mereka sudah sangat senang dengan tempat ini. Baik Hafizah mau

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Ekstra Part 2

    "Kamu bilang Saga sudah menikahkan, jangan curiga padaku. Aku ke sana hanya ingin mengucapkan terima kasih dengan benar padanya. Juga mengenalkan anak-anak pada orang-orang yang tak seberuntung mereka. Aku ingin Cenna dan Hafizah memiliki rasa peduli pada orang yang lebih membutuhkan," tuturku panjang lebar."Kapan mau ke sana?" tanya Bian. Aku tak menyangka dia akan dengan mudah mengiyakan setelah kukatakan alasannya. "Weekend minggu ini gimana?" tanyaku mau minta pendapat. "Boleh. Oke persiapkan semuanya."***Kami sampai di hotel tepat saat adzan ashar berkumandang. Bian sengaja memesan hotel lalu akan menginap di hotel terlebih dahulu, sebelum esok paginya kami pergi ke tempat Saga. Bian mengatakan tak ingin merepotkan orang-orang di sana, sehingga dia mengatakan lebih baik menginap di hotel lalu pagi harinya ke yayasan dan sore harinya kembali ke hotel lagi. Kami memesan kamar dengan sistem connecting door di mana anak-anak tidur berdua sedangkan aku dan dia akan tidur bersam

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Ekstra Part 1

    Aku terbangun dengan tubuh yang sudah cukup segar dan mata tak lagi mengantuk. Tadi setelah salat subuh, aku tertidur kembali tanpa membangunkan Bian. Sekarang, kulihat disampingku tak ada lagi pria itu, mungkin dia sudah terbangun. Aku melihat keluar jendela yang masih tertutup oleh tirai, sepertinya matahari sudah tinggi kenapa Bian tidak membangunkanku. Semalam kami berbagi peluh, lalu berbincang, kemudian mengulanginya lagi hingga tak terasa waktu sudah beranjak dini hari, dan kami baru tertidur. "Ya Allah, gimana anak-anakku." Aku berseru, seraya bergegas beranjak dari tempat tidur.Sejak acara pernikahan dilanjutkan dengan pesta semalam, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan Mama. Bahkan semalam Mama yang menidurkan mereka, sekarang tentu saja aku mengkhawatirkan kedua anakku, terutama Hafizah "Sudah bangun?" tanya Bian yang baru saja masuk ke dalam kamar. Pria itu membawa nampan berisi makanan. "Ayo sarapan dulu." Bian berkata sambil mengangkat nampan sedikit tin

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Tamat

    "Na, tau gak? Kamu itu ditipu sama Bian." Tanpa menyapa terlebih dahulu, Pak Ardi duduk di kursi yang ada di meja kami dan langsung mengatakan hal itu. "Dia udah tahu," timpal Bian."Udah tahu gimana?" tanya Pak Ardi sambil menatap Bian. "Udah tahu tentang telepon palsu itu. Pokoknya dia udah tahu semuanya. Kamu udah kalah, udah nyerah aja," tutur Bian panjang lebar. Pak Ardi menatap padaku, seakan meminta jawaban. "Bian mengatakan yang sebenarnya, Pak," ucapku. "Kalau Bian bikin susah kamu, bilang saja padaku. Aku siap memboyongmu." Pak Ardi berkata dengan penuh percaya diri. "Itu tidak akan pernah terjadi. Kalau kau harap seperti itu, melajang saja sampai tua," seru Bian tak suka. Kurasa mereka berdua memang sangat dekat, sehingga bisa berbicara sesuka hati seperti ini.***Pesta telah usai, anak-anak sudah terlebih dahulu tidur sebelum pesta selesai. Begitu semua orang pulang dan orang tertidur, suasana rumah juga sepi. Di antara semua penghuni rumah ini, aku dan Bian yang t

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bab 61

    Aku mematut diri di cermin, menatap pada diriku yang sudah siap dengan gamis pesta dengan model elegan dan modern berwarna silver. Malam ini adalah malam pesta pernikahanku dengan Bian, harusnya. Setelah tadi siang kami mengadakan acara ijab kabul secara resmi dan hanya di saksikan keluarga dekat saja, maka malam ini adalah pesta untuk memperkenalkan aku dan anak-anak pada rekan kerja Papa dan Bian. Jujur aku gugup dengan semua yang akan terjadi malam ini, apa pandangan mereka semua padaku. Pada anak-anakku, memikirkannya saja membuatku hampir gila. Mungkin beberapa teman dekat Bian sudah ada yang tahu statusku, seperti halnya Pak Ardi. Tapi bagaiman dengan yang lain? Aku segera pergi ke kamar Bian, dia mengatakan agar aku ke sana setelah selesai berganti pakaian dan ber-makeup minimalis. Tadinya Mama akan meminta orang melakukannya, tapi aku menolak. Lebih baik aku melakukannya sendiri saja. Aku mengetuk pintu saat sudah ada di depan kamar Bian. Tak ada jawaban, sepertinya dia ada

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 60

    "Na, kamu sadar gak apa yang kamu lakukan?" tanya Bian. Kini dia berusaha bertumpu pada kedua tangannya agak tak sepenuhnya menimpaku Ah, ternyata ini kenyataan bukan mimpi. Terlanjur basah, mengaku sajalah. "Sadar," balasku apa adanya. Aku ingin mengurai pelukanku, berniat kembali ke kamarku sendiri. Namun saat aku sudah melepaskan pelukan, Bian malah membalikkan tubuhnya hingga posisiku berada di atasnya. "Mau kemana, katanya kangen," ucap Bian sambil menatap padaku. Mataku yang sejatinya masih mengantuk langsung melebar, seketika hilang rasa kantukku. "Bi, lepas. Aku harus pergi dari sini," kataku, seraya menekan dadanya agar terlepas dari pelukannya. Tapi usahaku sia-sia, pelukannya malah semakin erat. Membuatku menyerah dan merebahkan diri di dadanya."Aku juga rindu, aku semakin sadar sangat membutuhkanmu saat kita berjauhan. Tidurlah saja di sini malam ini. Aku janji tidak akan melakukan apapun padamu. Hanya tidur, benar-benar tidur." "Tapi, Bi ...." Aku kembali berusah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status