Share

Bagian 7

Author: Isna Arini
last update Last Updated: 2024-12-19 04:42:10

"Dimana kamu?" tanya Bian begitu panggilan telepon terhubung. Nada bicaranya datar, sungguh di luar dugaan dia tak marah padaku.

Aku kabur dari rumah saat tahu Bian akan datang, pergi ke hotel agar tak bertemu dengan pria itu. Kuminta Saga pergi untuk mencari sesuatu dan aku pergi setelah Saga tak mengawasiku.

"Untuk apa kamu tahu aku dimana," balasku santai.

"Kamu tahu kan ini tanggal berapa."

"Tau."

"Kenapa malah pergi?"

"Aku tak mau kamu perkosa."

Diam, tak ada balasan dari pria yang ada di ujung telpon sana. Untuk sesaat, kami tengelam salam keheningan. Bahkan aku sampai harus memastikan kalau sambungan ponsel masih terhubung.

"Apa begini sikap seorang ibu?" tanya Bian. Pria itu kembali membuka percakapan setelah beberapa lami terdiam.

"Anak itu butuh dirimu, apa kamu tak bisa berkorban untuknya. Di dalam dirinya ada darahmu yang mengalir. Dia menderita, apa kamu tega terus memintanya menunggu. Apa kamu akan terus lari dariku? Sampai kapan?"

Ucapan Bian panjang lebar seakan menyadarkanku. Apa aku egois dengan kabur dari Bian. Apa aku ibu yang tak punya jiwa keibuan hingga bisa berbuat seperti ini.

"Aku ada di Royal Hotel, nomor 1025. Datanglah." Aku berkata lirih, lalu mematikan sambungan telepon secara sepihak.

***

Dadaku berdebar kencang menunggu kedatangan Bian. Entah dia akan datang atau tidak, aku tak tahu. Tapi, aku rasa dia pasti akan datang. Waktu berlalu begitu lambat sekarang.

"Tenangkan dirimu, Sha. Kamu sudah biasa dikasari Bian. Kamu pasti bisa melewatinya lagi. Ini demi anak itu." Aku berkata pada diri sendiri sembari memilin jari-jariku, agar rasa gugup ini hilang segera.

Suara bel berbunyi membuatku terkejut luar biasa, dadaku makin berdebar kencang.

"Kamu bisa, Sha. Kamu bisa," gumamku berulangkali.

Keayunkan langkak kaki menuju pintu masuk. Benar Bian ada di luar sana. Aku membuka pintu setelah menarik nafas dalam-dalam dan berusaha menguasai diri.

Pria itu langsung masuk tanpa basa basi, berjalan ke dalam tanpa memerhatikan diriku. Seakan aku tak ada di depannya. Bian lantas duduk di sofa dan memintaku yang masih tetep berdiri untuk duduk di dekatnya.

Aku seperti kali pertama dulu berada di ruang tertutup dengan Bian. Saat malam pertama kami bersama. Dulu, kupikir dia akan menyentuhku dengan cinta. Tapi ternyata dia langsung berniat melakukan intinya saja.

Aku duduk di sofa, berjarak dengannya seperti biasanya.

"Namanya Avicenna Biantara. Kami memanggilnya Cenna." Bian berkata sembari meraih ponselnya dari dalam celana.

Kurasa dia sedang menyebut nama anak itu, anak yang aku lahirkan.

"Kamu tahu kenapa aku memberinya nama itu?" tanya Bian. "Aku ingin putraku cerdas seperti ilmuan itu, orang eropa mengenalnya sebagai tokoh ilmu pengetahuan dan kedokteran," terang Bian. Menjawab pertanyaannya sendiri.

Aku yakin dia mengira aku tak tahu tentang tokoh itu.

"Avicenna adalah ilmuan muslim, dia lahir di Bukhara dan orang Islam mengenalnya sebagai Ibnu Sina." Aku menimpali perkataan Bian.

Aku tak tahu, kenapa mulutku lancar mengatakan hal itu. Aku memang rajin membaca selama ini, aku tahu banyak hal. Waktu luangku, kugunakan untuk membaca. Daripada melamun dan membuatku hilang kendali setelahnya.

"Benarkah?" tanyanya seakan tak percaya.

"Benar, coba saja lihat di mesin pencarian," jawabku penuh percaya diri.

"Ternyata kamu benar," ucap Bian setelah mengotak atik ponselnya. Mungkin benar-benar mencari di mesin pencarian.

"Banyak nama-nama ilmuan muslim yang berubah begitu dikenal oleh orang Eropa. Kita di sini, tidak tahu bahwasanya mereka adalah orang yang sama. Contohnya Al Khawarizmi, di Eropa dikenal dengan Al Goritmi, ahli matematika, penemu aljabar dan algoritma. Beliau juga ilmuan muslim. Bapak optik modern, penemu robot pertama, semua orang Islam. Pada masa kejayaan Islam, banyak ilmuan dan ahli filosofi yang berkontribusi terhadap perkembangan teknologi dan kebudayaan. Tapi kebanyakan kita, tahunya mereka bukan orang muslim. Karena di buku pelajaran umum, nama mereka jadi kebarat-baratan. Seperti yang kamu kenal tadi."

"Apa aku salah kasih nama pada anakku?"

"Enggak, Ibnu Sina dan Avicenna adalah orang yang sama. Anggap saja putramu memiliki nama versi Eropa."

Kami berbicara dua arah seperti sedang berdiskusi. Sungguh hal yang sangat tidak biasa.

"Kamu cerdas," gumam Bian.

Aku refleks menatap padanya, di saat yang sama dia juga menatapku. Tatapan mata elang itu, membuatku harus segera memalingkan pandangan.

"Apa anak itu juga cerdas?" Aku bertanya, setelah beberapa saat kami di liputi keheningan.

Kenapa rasanya begitu sulit menyebut namanya. Seumur hidupnya, aku belum pernah melihat sama sekali wajah anak itu, meskipun dalam foto sekalipun.

"Tentu saja, dia anakku," jawab Bian.

"Konon katanya, kecerdasan anak menurun dari ibu," sanggahku.

Entah kenapa kali ini aku terus ingin membantah Bian, aku seperti mendapatkan lawan bicara yang tak pernah kudapatkan selama ini. Saga, sangat irit bicara.

Bian tak menanggapi ucapanku kali ini, mungkin dia enggan berdebat.

"Kamu mau lihat fotonya?" tanya Bian. Pertanyaan yang bagiku seperti keajaiban.

"Boleh?" Aku balik bertanya.

Bian menyodorkan ponselnya padaku, aku menerimanya dengan dada berdebar. Baru kali ini aku diijinkan untuk melihat wajah putraku.

"Dia tampan, sepertimu." Aku berkata lirih, serupa gumaman.

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Dan aku menyesalinya.

Hening, tak ada obrolan lagi. Bian juga tak menanggapi ucapanku barusan. Aku masih terpaku menatap wajah putraku. Banyak fotonya di dalam galeri Bian. Termasuk fotonya dengan Mbak Ivanka dan Bian. Mereka tampak bahagia. Demikian juga Cenna, anak itu terlihat bahagia dan ceria. Mereka keluarga yang sempurna. Dan aku ....

Aku menarik nafas dalam-dalam, mengisi dadaku yang rasanya sesak. Entah apa yang kurasakan, aku tak tahu.

"Cenna sakit, dia perlu pertolongan. Hanya kamu yang saat ini menjadi harapan kami." Bian menjeda ucapnya.

Aku mengusap mataku yang mulai berair, sesak karena aku bukan bagian dari mereka, juga sesak memikirkan putraku yang menderita. Ya, biarpun dia tak tau, aku tetaplah ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan.

"Maukah kamu melakukannya untuk Cenna? Jangan merasa terpaksa, jangan stress, nikmatilah agar semua ini segera berakhir dan Cenna tak lagi menderita."

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menatap pada Bian. "Aku siap melakukannya."

🍁🍁🍁

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Ekstra Part 3

    Ekstra Part 2 "Terima kasih udah menjagaku selama ini, Ga," ucapku pada Saga yang sedang duduk di sampingku.Kali ini aku ingin berterima kasih padanya dengan benar. Dulu saat dia pergi ada banyak hal yang terjadi, hingga aku tak benar-benar bisa mengucapkan terima kasih padanya. Maka kali ini saat semua sudah berada pada tempatnya, dan semua sudah mendapat kebahagiaan masing-masing, aku ingin mengucapkan terima kasih tanpa terbebani perasaan apapun. Saat ini aku dan Saga tengah berada di kolam ikan, tempat dulu di mana kami juga menghabiskan waktu sambil berbincang saat pertama kali di yayasan ini. Saat itu kami sedang merajut mimpi, akan saling menjaga dan tinggal di tempat ini bersama. Tapi takdir berkata lain, Saga tetap berada di sini dan menikah dengan pemilik yayasan, sedangkan aku tetap bersama dengan Bian. Bian sedang menemani anak-anak berkeliling dan bermain di tempat ini. Sejak pertama kali datang tadi pagi, mereka sudah sangat senang dengan tempat ini. Baik Hafizah mau

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Ekstra Part 2

    "Kamu bilang Saga sudah menikahkan, jangan curiga padaku. Aku ke sana hanya ingin mengucapkan terima kasih dengan benar padanya. Juga mengenalkan anak-anak pada orang-orang yang tak seberuntung mereka. Aku ingin Cenna dan Hafizah memiliki rasa peduli pada orang yang lebih membutuhkan," tuturku panjang lebar."Kapan mau ke sana?" tanya Bian. Aku tak menyangka dia akan dengan mudah mengiyakan setelah kukatakan alasannya. "Weekend minggu ini gimana?" tanyaku mau minta pendapat. "Boleh. Oke persiapkan semuanya."***Kami sampai di hotel tepat saat adzan ashar berkumandang. Bian sengaja memesan hotel lalu akan menginap di hotel terlebih dahulu, sebelum esok paginya kami pergi ke tempat Saga. Bian mengatakan tak ingin merepotkan orang-orang di sana, sehingga dia mengatakan lebih baik menginap di hotel lalu pagi harinya ke yayasan dan sore harinya kembali ke hotel lagi. Kami memesan kamar dengan sistem connecting door di mana anak-anak tidur berdua sedangkan aku dan dia akan tidur bersam

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Ekstra Part 1

    Aku terbangun dengan tubuh yang sudah cukup segar dan mata tak lagi mengantuk. Tadi setelah salat subuh, aku tertidur kembali tanpa membangunkan Bian. Sekarang, kulihat disampingku tak ada lagi pria itu, mungkin dia sudah terbangun. Aku melihat keluar jendela yang masih tertutup oleh tirai, sepertinya matahari sudah tinggi kenapa Bian tidak membangunkanku. Semalam kami berbagi peluh, lalu berbincang, kemudian mengulanginya lagi hingga tak terasa waktu sudah beranjak dini hari, dan kami baru tertidur. "Ya Allah, gimana anak-anakku." Aku berseru, seraya bergegas beranjak dari tempat tidur.Sejak acara pernikahan dilanjutkan dengan pesta semalam, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan Mama. Bahkan semalam Mama yang menidurkan mereka, sekarang tentu saja aku mengkhawatirkan kedua anakku, terutama Hafizah "Sudah bangun?" tanya Bian yang baru saja masuk ke dalam kamar. Pria itu membawa nampan berisi makanan. "Ayo sarapan dulu." Bian berkata sambil mengangkat nampan sedikit tin

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Tamat

    "Na, tau gak? Kamu itu ditipu sama Bian." Tanpa menyapa terlebih dahulu, Pak Ardi duduk di kursi yang ada di meja kami dan langsung mengatakan hal itu. "Dia udah tahu," timpal Bian."Udah tahu gimana?" tanya Pak Ardi sambil menatap Bian. "Udah tahu tentang telepon palsu itu. Pokoknya dia udah tahu semuanya. Kamu udah kalah, udah nyerah aja," tutur Bian panjang lebar. Pak Ardi menatap padaku, seakan meminta jawaban. "Bian mengatakan yang sebenarnya, Pak," ucapku. "Kalau Bian bikin susah kamu, bilang saja padaku. Aku siap memboyongmu." Pak Ardi berkata dengan penuh percaya diri. "Itu tidak akan pernah terjadi. Kalau kau harap seperti itu, melajang saja sampai tua," seru Bian tak suka. Kurasa mereka berdua memang sangat dekat, sehingga bisa berbicara sesuka hati seperti ini.***Pesta telah usai, anak-anak sudah terlebih dahulu tidur sebelum pesta selesai. Begitu semua orang pulang dan orang tertidur, suasana rumah juga sepi. Di antara semua penghuni rumah ini, aku dan Bian yang t

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bab 61

    Aku mematut diri di cermin, menatap pada diriku yang sudah siap dengan gamis pesta dengan model elegan dan modern berwarna silver. Malam ini adalah malam pesta pernikahanku dengan Bian, harusnya. Setelah tadi siang kami mengadakan acara ijab kabul secara resmi dan hanya di saksikan keluarga dekat saja, maka malam ini adalah pesta untuk memperkenalkan aku dan anak-anak pada rekan kerja Papa dan Bian. Jujur aku gugup dengan semua yang akan terjadi malam ini, apa pandangan mereka semua padaku. Pada anak-anakku, memikirkannya saja membuatku hampir gila. Mungkin beberapa teman dekat Bian sudah ada yang tahu statusku, seperti halnya Pak Ardi. Tapi bagaiman dengan yang lain? Aku segera pergi ke kamar Bian, dia mengatakan agar aku ke sana setelah selesai berganti pakaian dan ber-makeup minimalis. Tadinya Mama akan meminta orang melakukannya, tapi aku menolak. Lebih baik aku melakukannya sendiri saja. Aku mengetuk pintu saat sudah ada di depan kamar Bian. Tak ada jawaban, sepertinya dia ada

  • Dua Kali Menjadi Rahim Pengganti    Bagian 60

    "Na, kamu sadar gak apa yang kamu lakukan?" tanya Bian. Kini dia berusaha bertumpu pada kedua tangannya agak tak sepenuhnya menimpaku Ah, ternyata ini kenyataan bukan mimpi. Terlanjur basah, mengaku sajalah. "Sadar," balasku apa adanya. Aku ingin mengurai pelukanku, berniat kembali ke kamarku sendiri. Namun saat aku sudah melepaskan pelukan, Bian malah membalikkan tubuhnya hingga posisiku berada di atasnya. "Mau kemana, katanya kangen," ucap Bian sambil menatap padaku. Mataku yang sejatinya masih mengantuk langsung melebar, seketika hilang rasa kantukku. "Bi, lepas. Aku harus pergi dari sini," kataku, seraya menekan dadanya agar terlepas dari pelukannya. Tapi usahaku sia-sia, pelukannya malah semakin erat. Membuatku menyerah dan merebahkan diri di dadanya."Aku juga rindu, aku semakin sadar sangat membutuhkanmu saat kita berjauhan. Tidurlah saja di sini malam ini. Aku janji tidak akan melakukan apapun padamu. Hanya tidur, benar-benar tidur." "Tapi, Bi ...." Aku kembali berusah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status