Share

Dua Lelaki dalam Hidupku
Dua Lelaki dalam Hidupku
Penulis: Syifa Safaah

Pernikahan Terpaksa

 "Bagaimana saksi? Sah?" seru penghulu mengedarkan pandangannya pada para saksi yang hadir dalam acara ijab kabul ini."

Sah!" seru mereka kompak.

Semua orang pun berdoa sambil menengadahkan kedua tangan. Wajah kedua orang tua Gama tampak bahagia menyaksikan pernikahan putra mereka. 

Hera yang hari ini menjadi mempelai pengantin wanita, hanya tertunduk dengan wajah merahnya. Matanya memanas menahan tangis, teringat pada orang tuanya yang sudah tiada.

'Ma! Pa! Aku merindukan kalian. Hari ini aku sudah menjalankan wasiat yang kalian inginkan. Aku sudah menikah dengan Gama. Semoga kalian berdua bahagia di sana,' jerit Hera dalam batinnya.

Dua minggu yang lalu kedua orang tua Hera meninggal karena kecelakaan mobil. Menyisakan Hera yang hanya sebatangkara. Sebelum meninggal, ayahnya menuliskan sebuah wasiat melalui seorang pengacara agar Hera menikah dengan anak dari sahabat mereka yang bernama Gama Dirgantara.

Hera tak bisa menolak. Ini adalah wasiat dari orang yang sangat dicintainya. Beruntung kedua orang tua Gama menyambut baik isi wasiat itu. Dengan senang hati mereka menerima Hera sebagai menantu.

Tapi entahlah dengan Gama. Hera tidak tahu isi hati lelaki itu. Saat ini Gama hanya duduk dengan wajah tegasnya di samping Hera. Bahkan tak sekalipun Gama berniat menoleh ke arah Hera yang sekarang sudah sah menjadi istrinya.

"Selamat atas pernikahan kalian, Gama!"

Kini Gama dan Hera berdiri di atas pelaminan. Menyalami para tamu undangan yang berbaris mengucapkan selamat pada mereka. Hera tetap dengan senyum manis yang ia umbar. Sementara Gama? Wajahnya tetap kaku. Bahkan ia terlihat tak menyukai pernikahan ini. Setidaknya begitu yang Hera pikirkan.

Sampai dua orang wanita berpakaian seksi tiba di depan mereka, menyalami Gama dan mengabaikan Hera begitu saja. Seakan mereka menganggap Hera selayaknya patung yang tak bergerak.

"Wah, Gama. Aku tidak menyangka akhirnya kau menikah lagi."

"Istri barumu cantik juga. Walaupun tetap cantik istrimu yang pertama."

"Selamat atas pernikahan keduamu ya, Gama!"

Hera terhenyak mendengar itu. Ia menoleh ke arah Gama yang tatapannya masih sedingin es. Hera tidak mengerti dengan maksud dari ucapan kedua wanita tadi. 

'Mengapa mereka bilang kalau aku adalah istri kedua Gama? Apa pernikahan ini bukan yang pertama kalinya untuk Gama?' batin Hera bertanya-tanya.

*** 

Menjelang malam, acara pernikahan yang digelar di hotel bintang lima itu telah usai. Gama dan seluruh keluarganya pun kembali pulang ke rumah dengan membawa Hera.

Mobil mereka berhenti di pelataran rumah yang sangat luas. Gama keluar dari mobil dan ia melangkah lebih dulu menuju pintu utama.

Kening kedua orang tuanya berkerut marah melihat tingkah Gama yang mengabaikan Hera.

"Gama! Jangan berjalan sendirian! Tuntun istrimu. Apa kau lupa kalau sekarang kau sudah memiliki istri?" tegur Darma, ayah kandung Gama.

Hera berdiri di samping mobil bersama dengan Jessi, mertuanya. Ia menatap punggung tegap Gama dengan tatapan bingung.

Gama menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ke belakang, ia berkata. "Dia punya kaki 'kan? Suruh dia jalan sendiri!" cetus Gama tak peduli. Sebelum kemudian ia melanjutkan langkahnya memasuki rumah megah itu.

Hati Hera mencelos melihat betapa dinginnya sikap Gama. Hari pernikahan biasanya akan menjadi hari yang paling membahagiakan bagi setiap orang. Tetapi sepertinya itu tidak berlaku untuk Hera. Ia sadar jika Gama tidak memiliki cinta untuknya.

"Hhh.. anak itu," desah Darma menggelengkan kepala melihat tingkah Gama yang seenaknya. Darma dan Jessi lalu menoleh pada Hera dan menatapnya lembut.

"Hera! Papa minta jangan masukan ucapan Gama ke dalam hati. Dia memang seperti itu. Tapi sebenarnya dia juga orang baik dan pengertian," kata Jessy menyentuh pangkal lengan Hera.

Hera hanya mengulum senyum hambar. Dalam hati ia mendesah.

'Baik dan pengertian? Entahlah... bahkan aku belum melihat sedikitpun sikap baik dan pengertian itu dari sosok Gama,' batin Hera.

Namun Hera tetap menganggukan kepalanya sebagai jawaban.

"Iya, Ma. Aku mengerti," balasnya. Membuat Jessi tersenyum karena ia senang memiliki menantu yang manis dan baik seperti Hera. Menurut Jessi, sikap Hera jauh sekali dengan istri pertama Gama yang bernama Karin.

Setelah itu, Darma dan Jessi membawa Hera masuk. Sementara koper milik Hera dibawakan oleh seorang pembantu. 

Ketika memasuki ruang tengah, bola mata Hera bertemu dengan bola mata milik Gama yang berwarna abu. Tatapan lelaki itu terasa seperti sedang menusuknya. Gama duduk di sofa ruang tengah sambil menaikan kaki kanannya ke kaki kiri.

"Untuk apa kopernya dibawa ke lantai atas?" tanya Gama pada Bik Asih yang baru saja menapakkan kakinya di anak tangga pertama. Bik Asih menoleh takut pada Gama. Ditambah lagi sekarang lelaki itu berdiri dan berjalan mendekat sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Engh.. itu, Tuan Gama—" Bik Asih gelagapan. Sebelum pembantu itu menyelesaikan ucapannya, Darma segera menyela.

"Papa yang menyuruh Bik Asih membawa koper Hera ke lantai atas. Malam ini kalian akan tidur di sana 'kan? Kalian akan tinggal beberapa hari di sini sebelum kau membawa Hera ke rumahmu," ucap Darma menjelaskan.

"Kata siapa?" Gama menaikan sebelah alisnya. Hera merasa bingung melihat sikap Gama yang begitu berani pada kedua orang tuanya. Terlebih lagi pada Darma.

"Malam ini juga aku akan membawa Hera ke rumahku!" tegas Gama. 

Kening Darma berkerut dalam. "Mengapa? Tinggalah dulu di rumah Papa selama satu dua hari, Gama. Setelah itu baru kalian boleh pulang," pinta Darma. Terlihat jelas sekali dari raut wajah Darma dan Jessi jika mereka berdua sangat menyayangi Hera.

Apalagi Jessi sedari tadi tak henti menggenggam tangan Hera. Seolah menguatkan wanita itu. Dan melihat itu membuat Gama mendengkus sebal.

"Kalian tidak pernah berkata semanis itu saat hari pertama pernikahanku dengan Karin!" 

"Gama! Jangan lagi menyebut namanya di rumah ini!" seru Darma mengacungkan sebelah telunjuknya pada Gama yang berdiri di hadapannya sambil berpangku tangan.

Sementara Hera terkejut mendengar Darma yang sampai semarah itu begitu Gama menyebut nama Karin. 

'Jadi benar. Gama sudah menikah sebelumnya dan nama istri pertamanya adalah Karin? Tapi kenapa sepertinya Papa Darma dan Mama Jessi terlihat tidak menyukai Karin?' Hera kembali bergumam dalam hati. 

Hera merasa menjadi orang bodoh yang tidak tahu apa-apa di rumah ini. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi di antara Gama, kedua orang tuanya dan Karin.

"Hera! Kau ikut naik ke lantai atas bersama dengan Bik Asih ya," pinta Darma menoleh pada Hera dan menatapnya hangat. Hera paham jika sebenarnya Darma tidak ingin ia mendengar perdebatan di antara mereka. 

"Baik, Pa." selayaknya menantu yang baik. Hera mengangguk dan berjalan menuju tangga. Namun langkahnya terhenti saat Gama kembali bersuara dan menyindir dirinya.

"Hanya karena ayah dari gadis itu meninggalkan sebuah wasiat, lalu Papa menjadikan aku korbannya! Aku terpaksa menerima pernikahan yang sama sekali tidak kuinginkan!" ucapan Gama terdengar penuh emosi. Membuat ulu hati Hera serasa diremas dengan tangan tak kasat mata.

Tubuh Hera membeku. Meski Bik Asih berkali-kali mengajaknya menaiki tangga, tetapi kedua kaki Hera seolah sudah dipaku. Tidak bergerak sedikitpun dari sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status