"Ayahnya Hera adalah sahabat Papa. Dia orang yang sangat baik dan Papa sangat berhutang budi padanya. Jika bukan karena jasa ayahnya Hera, kita tidak akan mungkin bisa menikmati hidup yang mewah seperti ini! Dulu perusahaan Papa berada diambang kebangkrutan dan hanya Ayahnya Hera yang menolong kita, Gama," papar Darma berusaha menjelaskan tentang jasa dari ayahnya Hera pada Gama.
Tetapi Gama menggelengkan kepalanya. Ia malah menyungginngkan senyum kecut. Seakan menganggap semua ucapan yang keluar dari mulut Darma tidak masuk akal.
"Aku baru dengar jika balas budi bisa dibalas dengan mengorbankan anak sendiri!" desis Gama membalas telak ucapan papanya.
Darma menatap putranya dengan mata yang membeliak. Ia tidak menyangka jika Gama akan berpikiran seperti itu. Padahal tidak sedikitpun Darma berniat menjadikan Gama sebagai korban. Tahukah Gama jika apa yang selalu Darma lakukan adalah demi kebaikannya?
"Kau memang tidak akan mengerti. Selamanya kau tidak akan pernah mengerti apa yang berusaha Papa lakukan untukmu, Gama. Karena dulu wanita itu sudah mencuci otakmu untuk membenci kami!" Darma meninggikan suaranya. Ia bahkan enggan menyebut nama Karin saking tidak sukanya dengan menantu pertamanya itu.
Gama mengepalkan tangannya. Amarahnya mendidih hingga ke ujung kepala. Ia tidak suka jika ada orang yang menjelek-jelekkan Karin. Karin adalah wanita yang sangat ia cintai. Meskipun saat ini wanita itu telah tiada.
Sedangkan Hera yang menyaksikan perdebatan di antara kedua orang itu hanya meremas pagar tangga dengan tangan kanannya. Hera dibuat semakin tidak mengerti dengan bagaimana Darma bisa sebenci itu pada Karin.
"Bagus. Aku memang tidak suka jika nama Karin keluar dari mulut kalian. Di hari pertama aku membawa Karin sebagai pengantinku ke rumah ini, bahkan sampai kematiannya, kalian tidak pernah menyukai dia. Kalian selalu memperlakukan Karin dengan tidak adil. Dia istriku! Dan sampai kapanpun hanya Karin yang pantas menjadi istriku. Bukan dia!" tegas Gama lalu ia mengarahkan telunjuknya pada Hera yang berdiri di anak tangga. Hera terhenyak melihat Gama yang kini menatapnya penuh amarah. Rahang lelaki itu terlihat mengeras seakan ingin menerkamnya.
Tetapi Hera hanya balas menatap datar lelaki yang sudah menjadi suaminya itu. Ia tidak ingin menunjukkan rasa takutnya. Gama hanyalah manusia sepertinya. Hanya saja bedanya, dia mungkin tak memiliki hati.
Setelah itu, Gama melangkah cepat menghampiri Hera. Merenggut tangan istrinya dengan kasar hingga membuat Hera sedikit meringis kesakitan.
"Aaakhh.."
"Gama! Kau mau kemana?! Lepaskan Hera! Jangan perlakukan dia sekasar itu!" Darma dan Jessi berseru panik melihat Gama yang berjalan keluar rumah dan menarik tangan Hera menuju mobil. Mereka mengejar langkah Gama dari belakang. Takut sekali jika Gama akan menyakiti menantu mereka.
"Aku tahu apa yang harus kulakukan! Kalian tidak perlu ikut campur. Mulai sekarang aku ini adalah suaminya 'kan? Hhh... setidaknya begitulah yang terjadi," kata Gama yang masih saja menarik tangan Hera.
"Lepaskan tanganku! Aku bisa jalan sendiri. Tidak perlu kau tarik-tarik seperti ini!" Hera memberontak. Membuat Gama menghentikan langkah dan menatapnya dengan tatapan setajam elang.
Hera merasa tertohok ditatap seperti itu. Ia merasa seperti sedang berhadapan sedang singa yang lapar.
"Masuk!" perintah Gama menujuk ke arah pintu mobil. Hera menatap Gama dengan benci. Ia tidak pernah diperlakukan sekaras ini oleh kedua orang tuanya. Tapi sialnya Hera juga tidak bisa menampar Gama. Ia ingat jika lelaki itu sudah berstatus suaminya.
Akhirnya Hera memilih masuk dengan bibir yang terkatup rapat. Bik Asih memasukan koper milik Hera ke dalam bagasi. Sedangkan kedua orang tua Gama kini berdiri dan menatap cemas ke arah Gama yang masih berdiri di samping mobil.
"Gama! Perlakukan Hera dengan baik. Dia itu istrimu!" pinta Darma yang mencoba mengingatkan Gama tentang status Hera sekarang.
Gama mendengkus masam. Ia meremas kunci mobil yang ada dalam genggamannya. Lalu menatap Darma dengan dagu yang terangkat.
"Jangan khawatir, Pa. Menantu kesayangan kalian tidak akan lecet sedikitpun. Sebaiknya kalian berdoa saja agar aku tidak memperlakukan Hera sama seperti cara kalian memperlakukan Karin. Selamat malam!" ucap Gama sebelum ia masuk ke dalam mobilnya dan duduk di balik kemudi.
Begitu Gama duduk di sebelahnya, seketika Hera merasa suasana di dalam mobil terasa mencekam. Bahkan bulu kuduknya lansung berdiri. Padahal Hera tahu jika lelaki itu bukanlah setan atau semacamnya. Dia adalah manusia sama seperti dirinya.
Darma dan Jessi masih menatap khawatir pada mobil Gama yang kini sudah melaju meninggalkan pekarangan rumah.
"Pa! Mama takut jika Gama akan menyakiti Hera. Gama tidak mengerti jika Karin itu sering mencuci otaknya. Karin tidak sebaik yang ia pikirkan. Wanita itu terlalu licik. Jauh sekali dengan Hera yang polos dan lugu." Jessi meremas tangan Darma. Menatap suaminya dengan mata yang berkaca-kaca.
Darma mengangguk. Ia paham dengan apa yang Jessi rasakan. Diabaikan oleh anak sendiri pastilah membuat Jessi bersedih. Tetapi yang lebih Jessi takutkan adalah perlakuan Gama pada Hera nantinya.
"Berdoa saja, Ma. Semoga Gama segera bisa melihat kebenarannya. Dia telah banyak salah paham selama ini. Papa yakin meski semarah apapun Gama, dia tidak akan sampai hati menyakiti Hera secara fisik," balas Darma menarik pundak Jessi agar bersandar ke dadanya.
Darma berusaha menguatkan Jessi, padahal dalam hatinya sendiri, Darma mendesah penuh penyesalan.
'Maafkan aku, Tio. Sepertinya aku telah salah menerima wasiatmu. Hera harus menderita menikah dengan putraku,' batin Darma meminta maaf pada Satrio, ayah kandung Hera yang telah meninggal dunia.
***
Gama menghentikan mobilnya. Ia langsung disambut oleh para pelayan yang berdiri menyapanya.
"Selamat datang, Tuan Gama!" sapa mereka. Hera pun keluar dari mobil. Ia menatap takjub pada rumah Gama yang megah dan sangat luas. Bahkan menurut Hera, rumah ini lebih pantas disebut sebagai mansion.
Gama membenarkan kelepak jassnya. Ia menatap tegas pada seluruh pelayan yang menyambutnya, lalu melirik sinis ke arah Hera yang berdiri di sampingnya.
"Dia Hera. Mulai sekarang dia akan tinggal di paviliun bersama dengan kalian. Dan jangan sungkan memberikan pekerjaan padanya. Karena di sini dia tidak akan diperlakukan istimewa!" ucap Gama begitu lantang. Mata Hera dan semua pelayan yang mendengar itu langsung membeliak lebar.
Hera menoleh pada Gama dengan mata yang menyipit. Apa maksud lelaki itu? Hera akan tinggal di paviliun? Tunggu! Bukankah Hera adalah istrinya dan sudah seharusnya berada dalam satu rumah bersama Gama?
Para pelayan Gama tahu jika tuannya itu baru saja menikahi Hera. Mereka hanya bisa menunduk menatap pada kaki mereka masing-masing. Enggan berkomentar ataupun bertanya tentang mengapa Gama bersikap seperti itu pada wanita yang baru saja dinikahinya.
"Apa maksudmu? Aku tinggal di paviliun?" tanya Hera. Keningnya berkerut dalam.
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat