Rania menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Walau bibirnya mulai merangkai senyum, tetapi hatinya penuh dengan sumpah serapah yang tertuju pada papanya. Ia berjanji tidak akan lagi mendoakan pria itu agar mirip Oh Sehun.
“Gue gak akan kabur,” ketus Rania sembari berjalan ke tepi untuk melihat kondisi lantai satu. Matanya membola saat melihat ruangan itu sudah tertata dengan rapi.
“Nona, calon pengantin pria sudah datang,” ucap salah satu pelayan wanita.
“Suruh dia balik,” respons Rania seadanya. Gadis itu buru-buru membelah jalan para pelayan sembari menyentil kening mereka satu per satu.
“Gimana calon suami gue?” tanya Rania sembari memutar tubuh. Ia baru ingat kalau belum tahu bagaimana wujud si calon suami. Semalam, papanya memang memasukkan sebuah map berisi biodata mempelai laki-laki itu melalui celah di bawah pintu. Akan tetapi, Rania malah membakarnya saat itu juga. Alhasil, ia amat penasaran sekarang.
Apa mungkin calon suaminya ustaz tua seperti yang dikatakan papanya? Atau justru lebih buruk dari itu?
Amit-amit. Rania mengetuk kepala, kemudian mengusap perut beberapa kali.
“Nona Rania, pernikahan akan segera dimulai,” kata salah satu pelayan, “mari ikut saya.”
Rania melongo seperti kehabisan obat. “Di mana papa sama mama gue?”
“Tuan sedang berbincang dengan pengantin pria, sedang nyonya sudah menunggu Nona di dalam kamar.”
“Ganteng gak suami gue?” Rania basa-basi, padahal ia sama sekali tak peduli. “Bilangan sama papa gue kalau jelek kayak dia, suruh dia yang nikahin pengantin cowok itu.”
Merasa punya kesempatan, Rania mengangkat rok, lalu mendorong si pelayan agar bisa kabur dengan leluasa. Nahas, baru saja beberapa langkah, para penjaga dengan mudah menangkapnya, kemudian menyeretnya ke salah satu kamar.
Ini benar-benar hari terburuk dalam hidup Rania. Sepertinya, penikahan ini benar-benar harus terjadi. Ia refleks ingin menendang para pengawal, tetapi kesulitan karena rok yang dikenakan. “Dasar gak tau diri!” rutuknya.
“Sayang,” panggil Risa seraya mendorong kursi roda. Wanita itu kemudian menggenggam tangan sang putri, kemudian mendudukannya di karpet merah yang sudah digelar di atas lantai.
Di dalam ruangan, hanya ada Rania, Risa dan dua pelayan wanita. Seperti yang dikatakan salah satu maid tadi, Ratnawan memang tak terlihat perut buncitnya di ruangan ini. Rania akan benar-benar bahagia jika mendengar kabar kalau papanya tiba-tiba diculik alien, lalu pernikahan ini benar-benar batal.
“Ma, Rania belum mau nikah,” ujar Rania seraya menyandarkan wajah ke paha sang mama. Kedua bola matanya mendadak berkaca-kaca. “Kenapa sih Rania harus nikah sekarang? Apa mungkin papa kelilit utang sampai harus nikahin Rania ke orang lain? Apa Rania sebenarnya anak pungut dari planet Mars?”
“Itu gak bener, Sayang.” Risa menepuk pundak Rania. “Papa ngelakuin ini karena papa tahu apa yang terbaik buat kamu.”
Rania hanya berdeham.
“Sebentar lagi ijab kabulnya akan dimulai,” kata Risa seraya menunjuk layar televisi yang menampilkan tempat pernikahan di lantai satu.
Rania menatap sang mama dengan intens, seakan meminta penjelasan masuk akal atas semua hal yang harus terjadi hari ini. Gadis itu sama sekali tak pernah bermimpi akan menjadi seorang istri secepat ini. Rania sadar kalau dirinya tidak pandai bersih-bersih, apalagi memasak. Terakhir kali ia menyentuh peralatan dapur mungkin sekitar sepuluh tahun lalu. Itu pun berakhir dengan kebakaran.
Rania memfokuskan pandangan ke arah televisi. Sayang, calon suaminya malah membelakangi kamera, yang terlihat hanya punggungnya saja. Gadis itu kemudian melurus lutut, lalu teralih pada layar saat papanya menggenggam tangan seorang pria. Untuk kedua kalinya, Rania tak bisa melihat wajah pengantin laki-laki. Suasana mendadak hening ketika suara seorang laki-laki mengucap ikrar pernikahan. Setelah kata “sah” terdengar, doa turut dipanjatkan.
Bukannya mengaminkan, Rania malah fokus pada layar. Ia kian penasaran karena suaminya lagi-lagi memunggungi kamera. Apa mungkin saking jeleknya kamera akan jadi rusak?
Awas saja kalau pria itu adalah aki-aki. Amit-amit tujuh turunan. Saat pikiran buruk itu melintas, Rania mengetuk kepala serta karpet beberapa kali.
“Sayang, sekarang kamu udah jadi seorang istri,” ujar Risa dengan bola terselimuti bening kristal.
“Eh, nikahnya udah, Ma?” tanya Rania.
Risa mengangguk, lantas memeluk Rania dengan erat. “Kamu ... harus jadi istri yang baik, Sayang.”
“Apa aku bisa cerai sekarang?” Rania mendadak pusing. Ia ingin kembali ke kasur, lalu terbangun keesokan harinya dan menganggap semua kegilaan ini adalah mimpi buruk.
Sementara itu, Raihan tak tahu apakah pernikahan ini merupakan kesalahan atau malah sesuatu yang sejalan dengan suratan. Pemuda itu juga tak memahani mengapa ikrar suci itu bisa meluncur mulus dari bibirnya yang sejak tadi lebih banyak bungkam.
Raihan seketika menunduk saat ekor matanya tak sengaja menoleh ke lantai atas. Suasana sekitar teramat hening hingga jejak kaki gadis yang tengah menuruni tangga itu terdengar jelas.
“Nak Raihan,” bisik Ratnawan yang duduk di hadapannya. “Istri Nak Raihan sudah datang. Saya senang karena Nak Raihan sudah menjadi bagian dari keluarga Ratnawan.”
Raihan hanya mengangguk singkat. Walau begitu, parasnya masih belum terangkat. Ia sempat menoleh pada bapaknya yang tampak lagi-lagi menampilkan raut datar.
“Berdiri,” pinta Rojak sembari menyenggol bahu Raihan.
Raihan segera menegakkan tubuh. Ketika matanya melihat rok putih yang menjuntai, dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Pandangannya perlahan naik hingga paras sang istri dapat ia lihat dengan jelas.
Ini ‘kan cewek yang buat rusuh di pesantren, batinnya.
7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn
Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan
Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.
Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda
Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma
Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b