Home / Young Adult / Dua Pilar Cinta / 1. Dua Pilar Cinta

Share

Dua Pilar Cinta
Dua Pilar Cinta
Author: Ramdani Abdul

1. Dua Pilar Cinta

Author: Ramdani Abdul
last update Last Updated: 2021-09-08 15:53:46

“Mau lari ke mana lagi kamu, hah?” tanya seorang pria yang berjalan dari arah kegelapan. Suara lumatan sepatunya memercik suara yang langsung mendominasi ruangan pengap ini.

Gadis bersurai panjang yang terikat di kursi itu perlahan mengerjap. Butuh beberapa waktu baginya untuk mengembalikan penglihatan ke keadaan normal. Ketika matanya benar-benar terbuka, ia dengan jelas melihat seorang pria bertubuh tambun tengah menatapnya dengan seringai tajam.

“Mau ke mana lagi kamu, hah?” ulang pria itu dengan suara menggema. Pria paruh baya itu memelotot sembari memutari sang korban yang tengah meronta.

Rania merotasikan bola mata. Dibanding merasa takut, ia justru jengkel karena untuk kesekian kalinya pria gendut itu berhasil menyekapnya di gudang bau ini. Pria yang tengah memutarinya memang gila. Walau begitu, tetap saja sosok itu adalah papanya sendiri, Ratnawan.

 “Kamu gak bakalan bisa kabur dari sini, Rania.” Ratnawan terbahak sembari menepuk perutnya bak tengah menabuh gendang. “Papa bakal hukum kamu karena kamu udah berani kabur dari pesantren.”

“Pa,” panggil seorang wanita yang muncul dari belakang Ratnawan. Ia menggenggam tangan sang suami dengan lembut. “Kenapa Rania harus diiket kayak kangkung gitu, sih, Pa? Kita bisa bicarain ini baik-baik.”

Ratnawan melepas genggaman sang istri, kemudian menoleh ke arah Rania sembari berkacak pinggang. “Biarin aja, Ma. Si sendok nyam-nyam ini memang harus diberi pelajaran.”

Rania sontak memelotot dengan tajam. Lakban hitam yang membekap mulutnya tampak bergetar. Ada teriakan yang terhalang keadaan. Gadis itu kemudian mengentak-entak kursi hingga benda yang tengah didudukinya maju beberapa senti.

“Kasian Rania, Pa.” Risa, wanita di kursi roda itu kembali memohon.

Teriakan Rania lolos dari celah lakban. Bunyinya seperti kursi tua yang berderit. Sisi benda hitam itu sampai terbuka sebagian.

“Kamu ngomong apa, sih?” Ratnawan tergelak dengan tangan masih memukul perut.

Rania sontak menjerit saat Ratnawan menarik lakban dengan tiba-tiba. Ia mengaduh dengan pandangan berkaca-kaca. Mulut gadis itu serasa akan terlepas sampai hanya menyisakan deretan gigi. “Papa, ih!”

“Tenang, mulut kamu gak bakalan lepas kalau cuma ditarik kayak gitu. Gimana kalau pake cara lain? Mau?”

“Papa gak bosen apa nyekap-nyekap aku kayak gini?” tanya Rania. Pipinya langsung menggembung seirama dengan bibirnya yang maju beberapa senti ke depan.

“Mana mungkin Papa bosen. Udah jelas itu hobi Papa,” jawab Ratnawan enteng.

“Mama,” panggil Rania dengan nada memelas, “Papa udah gila.”

Risa tersenyum, lantas mengelus pipi sang putri dengan lembut. Untuk saat ini, ia sepertinya belum bisa banyak membantu. Ini konsekuensi dari ulah Rania sendiri.

“Kejutan!” teriak Ratnawan sembari mengangkat dua kantung keresek berwarna putih pucat.

“Papa, aku gak lagi ulang tahun! Lepasin cepet!” pekik Rania. Ia tahu kalau plastik itu berisi tepung terigu dan telur ayam.

“Jawab dulu pertanyaan Papa. Kenapa kamu kabur dari pesantren?”

“Lepasin dulu nanti aku jawab. Aku janji gak bakalan kabur,” tawar Rania.

“Jawab atau muka kamu bakal Papa jadiin adonan.” Ratnawan mengayun-ayunkan dua kantung itu di depan wajah Rania. “Jawab atau Papa—”

“Mama!” jerit Rania seraya berusaha melepas kungkungan tali.

Di detik ketiga setelah Rania memekik, satu butir telur sukses mendarat di kepala gadis itu, kemudian disusul oleh taburan tepung terigu di rambut. Menyadari hal itu, Rania sontak memelotot. Mulutnya hampir saja jatuh saking kaget dengan tindakan sang papa. “Aku gak lagi ulang tahun!” rengeknya kemudian.

“Pa, ini udah cukup. Kita bicarain semuanya baik-baik, ya.” Risa menengahi.

“Papa belum puas kalau tusukan cimol ini belum nangis, Ma.”

“Aku bosen tinggal di pesantren, Pa. Gak betah,” ungkap Rania.

Satu kucuran telur kembali berlabuh di surai panjang Rania. Kali ini ditambah dengan adukan tangan Ratnawan. Gadis itu merasa anyir, ingin muntah saking sebalnya.

“Pokoknya aku gak mau tinggal di pesantren!” pungkas Rania dengan wajah merengut.

“Gak betah gimana maksud kamu? Baru dua jam kamu tinggal di pesantren, dan kamu bilang kamu gak betah?” Ratnawan menggeleng.

“Aku udah lakuin apa yang Papa pinta. Pake kerudung, ikutan les ngaji, les kosidah sampai aku bela-belain masuk pesantren. Terus apalagi nanti?”

“Gak ada satu pun yang kamu lakuin dengan bener,” balas Ratnawan, “pake kerudung tapi bawahannya pake rok mini, les ngaji malah nyiram gurunya pake kuah bakso, ekskul kosidah ngancurin alat-alatnya, sampai masuk pesantren malah bikin rusuh seisi pondok. Kamu hadir gak, sih, pas pembagian otak?”

“Saat itu ‘kan aku lagi sama Papa,” jawab Rania.

Ratnawan mengembus napas panjang. “Papa bakal lepasin kamu asal kamu ikutin perintah Papa.”

“Apa lagi?” Rania setengah pasrah. “Apa?” ulangnya ketus.

“Satu hal.” Ratnawan tersenyum lebar.

“Apa?” Rania memutar bola mata. Ia masih berusaha melepas ikatan. Kursinya beberapa kali mengentak lantai hingga menimbulkan suara.

“Satu ... hal,” ulang Ratnawan.

“Iya, apa?” Rania mencebik.

“Kamu bakal Papa jodohin,” bisik Ratnawan, “kamu bakal Papa jodohin,” tandasnya kemudian.

Rahang Rania seakan lapuk saat mendengar ucapan barusan. Mulutnya menganga bak gua. Otaknya dengan cepat bekerja keras untuk memahami maksud Ratnawan. Tiga detik setelahnya, Rania mengambil napas panjang, lantas berteriak, “Papa, gak lucu!”

“Memang siapa yang lagi ngelawak?” tanya Ratnawan.

“Papa, aku gak mau dijodoh-jodohin. Aku baru aja dua puluh tahun. Pokoknya aku gak mau!” Rania menoleh ke arah lain.

“Pa.” Risa menggoyangkan tangan sang suami.    

“Jodohin,” ujar Ratnawan sembari meloloskan telur ke surai panjang Rania. Tak puas, pria itu kemudian menabur tepung ke wajah gadis itu. “Sempurna.”

“Papa!” Rania terbatuk beberapa kali. Perutnya kembali mual karena mencium bau anyir. Setelah berhasil menguasai diri, ia bertanya, “Papa mau ngejodohin aku sama siapa, sih? Kalau Papa mau jodohin aku sama Kim Taehyung atau Kim Seokjin, aku janji gak bakalan nolak.”

Ratnawan menarik telinga Rania, kemudian berbisik, “Papa jodohin kamu sama ustaz.”

Rania sontak memelotot saat bisikan itu terdengar. Bulu kuduknya mendadak meremang. Jantungnya serasa akan pindah ke kerongkongan. Di sisi lain, otaknya mendadak menampilkan bayangan aneh kalau sampai hal itu benar-benar terjadi.  Rania akan dipanggil ustazah, berpakaian tertutup, mengurus anak sampai berbagi tempat tidur dengan orang lain. Entahlah, di pikirannya saat ini, ustaz adalah sosok pria tua dengan wajah keriput dan janggut panjang.

Saat keterkejutan belum sepenuhnya usai, Rania justru kian berimajinasi liar. Mendengar akan dijodohkan dengan seorang ustaz, gadis itu malah takut akan dijadikan istri simpanan, atau bahkan akan tinggal serumah dengan perempuan yang lebih dahulu menjadi istri si ustaz dalam bayangannya. Ia akan disuruh-suruh, dicibir tetangga, dituduh pelakor hingga menjadi buronan polisi karena terbukti meracuni suami atau salah satu dari madunya.

Ketika kesadarannya pulih, Rania sontak menjerit, “Mama, Papa mau jodohin aku sama ustaz!” Gadis itu hendak bangkit, tetapi tubuhnya masih tertanam kuat di kursi.

“Pa.” Risa tersentak kaget. “Kita udah bicarain hal ini sebelumnya. Rania masih—”

Ratnawan tak mengindahkan ucapan maupun gestur yang ditampilkan Risa. Ia berjongkok, kemudian menatap Rania dengan dalam. “Kamu bakal nikah besok.”

Mata Rania serasa turun ke perut. Ia ingin berguling-guling di lantai sembari menangis histeris. Mungkin ini hanya sekadar candaan, tetapi tetap saja terdengar menyebalkan, apalagi kalau sampai menjadi kenyataan. Syok mendengar penuturan tersebut, penglihatan gadis itu tiba-tiba memudar hingga muncul titik-titik terang yang membawanya ke kegelapan mimpi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dua Pilar Cinta   99. Dua Pilar Cinta

    7 Tahun Kemudian Sebuah motor tampak memasuki gerbang sebuah rumah megah. Saat si pengendara melepas helm, dua buah mobil ikut menepi tak jauh dari kendaraan beroda doa itu terparkir. Pria bermanik cokelat itu menghela napas sebelum berjalan menuju rumah. Serempak, para pengawal menunduk, memberi hormat. Melihat tingkah para bawahannya, pria itu hanya bisa menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Papa!” Kepulangan pria itu disambut oleh dua anak kecil berusia enam tahun yang berlari ke arahnya. Si anak laki-laki membawa pedang mainan di tangan kanan, berbaju biru dengan topi warna senada yang sengaja dibalik ke belakang, sedang yang satunya anak perempuan berbaju merah muda dengan bando kelinci yang tengah mengacungkan wajan penggorengan mainan di tangan kiri. Pria berjaket lusuh yang bernama Raihan Amirul Jihad atau yang sekarang dikenal dengan panggilan Rasya Sebastian itu, dengan segera mengangkat kedua anakn

  • Dua Pilar Cinta   98. Dua Pilar Cinta

    Seluruh santri berhamburan keluar ruangan saat mendengar suara rebana yang ditabuh keras-keras. Pelakunya tak lain adalah seorang gadis yang memakai rok selutut dengan wajah yang sengaja ditutup topeng. Sore di pesantren tak pernah segaduh ini sebelumnya.Si pelaku tanpa beban menabuh rebana sambil diiringi nyanyiannya yang sumbang. Tak ada santri yang berani melarang, semua hanya mampu berbisik, memandang aneh si pelaku karena seorang pria kekar berseragam hitam berada di samping gadis tadi. Hampir semua santri diam di tempat, kecuali seorang santri laki-laki yang kini memblokade jalan si pelaku.Koridor pesantren menjadi ramai oleh para santri yang berkumpul. Para akhwat di sebelah kanan dan ikhwan di sebelah kiri. Kumpulan remaja itu bak disuguhi hiburan dadakan."Jangan buat onar di pesantren!" ucap santri laki-laki itu tegas sembari memblokade jalan."Gue gak buat onar," elak gadis bertopeng itu sambil memukul rebananya lagi. "Gue cuma ngasih hiburan

  • Dua Pilar Cinta   97. Dua Pilar Cinta

    Di tengah aksi senjata yang kian mendorong dahi Ratnawan, dan juga jari Raihan yang siap menembakkan peluru, Rania tiba-tiba saja berlari ke arah kerumunan. Gadis itu terkejut saat melihat sang papa justru akan dibunuh oleh pemuda yang ia cintai.“Jangan! Jangan!” pekik Rania sembari mendekat. “Jangan sakitin Papa! Aku mohon.”Di belakang Rania, Romi tengah berlari dengan kondisi cukup mengenaskan. Kepalanya dialiri darah karena tak sengaja menabrak batu ketika turun dari mobil. Hal itulah yang menjadi penghambat baginya untuk segera bergabung dengan pertempuran. Di sisi lain, tangan kanannya yang patah kian menyulitkannya bergerak.“Rania,” gumam Raihan ketika melihat gadis itu mendekat ke arahnya. Ragu seketika bersarang di hati. Ia ingin menghancurkan Ratnawan, tetapi di sisi lain tak ingin menyakiti Rania. Hal itu menyebabkan kewaspadaan Raihan mengendur hingga tanpa disadarinya, Rendi sudah menembakkan peluru ke arahnya.

  • Dua Pilar Cinta   96. Dua Pilar Cinta

    Tak terkira bagaimana cemasnya Rania saat ini. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus mengetuk-ngetuk kaca mobil, sedang kaki tak henti mengentak pelan alas mobil. Gadis itu mengeratkan pegangan begitu kendaraan dipaksa melaju lebih cepat. Mobil meliuk laksana ular mengejar mangsa. Si kuda besi kemudian berbelok ke kanan, menerobos rimbunnya pepohonan. Angin sepoi-sepoi yang berembus rupanya tak mampu menurunkan khawatir yang mendera Rania.Waktu serasa melambat, dan di saat bersamaan ketakutan Rania kian bertambah seiring. Berkali-kali gadis itu mencondongkan tubuh ke depan, berharap sang pujaan hadir dalam pandangan.“Setelah sampai, kamu tetap di mobil,” ujar Rahmadi.“Kenapa?” Nada suara Rania terdengar tak suka.“Jangan cerewet!” Rahmadi setengah membentak. “Cukup papa kamu yang bikin masalah! Kamu pikir semua kejadian ini ulah siapa, hah?”Rania menunduk, meremas ujung baju kuat-kuat. Panda

  • Dua Pilar Cinta   95. Dua Pilar Cinta

    Rania mulai membuka mata ketika sinar mentari mencumbu kesadaran. Kepalanya sedikit pening saat turun dari kasur. Ia dengan cepat memindai sekeliling. Jaket yang tersampir di depan pintu nyatanya sudah hilang. Ia juga melihat pintu dalam keadaan setengah terbuka. Apa mungkin Raihan pergi? Ke mana?Tanya membawa langkah Rania mengelilingi pesantren. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui. Ketakutan mulai perlahan hinggap di hati. Spekulasi kembali membebani diri. Apa mungkin Raihan memutuskan pergi?Usaha Rania nyatanya membuahkan hasil. Senyumnya mengembang sempurna begitu melihat sosok yang dicarinya berjalan ke arah gerbang. Ia melangkah lebih cepat. Sayang, lelaki itu nyatanya lebih dahulu menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan pesantren. Teriakannya hanya dibalas sapuan angin.“Mana Raihan?” tanya Rahmadi dengan nada gelisah. Pria paruh baya itu mendekati Rania ketika merasa gelegat tak beres.Rania menoleh.“Ma

  • Dua Pilar Cinta   94. Dua Pilar Cinta

    Lara masih menguasai perasaan, dan kehilangan masih mengangkangi keadaan. Raihan tengah berdiri mengamati gerbang pesantren. Tatapannya begitu dalam, menyiratkan begitu banyak penyesalan. Pemuda itu masih mengingat saat Rojak menyeretnya masuk ke pesantren ini. Ia berontak, tetapi keinginan bapaknya tak dapat ditolak.Raihan mengembus napas panjang. Kenangan dengan sang bapak silih berganti berdatangan. Pemuda itu mengamati potret dirinya dengan Rojak di layar ponsel. Keduanya tampak kaku di gambar itu. Butuh sedikit paksaan agar sang bapak mau berfoto berdua dengannya.Raihan kembali memasukkan ponsel ke saku celana, lantas mengelus liontin hitam di leher. Pemuda itu baru menyadari jika tertulis sebuah nama di dalam benda itu yang menyatakan identitas sang pemilik, Rasya Sebastian.“Tuan ... Rasya,” panggil seorang pria sembari mendekat ke arah Raihan. Ia melepas kaca mata, lantas membungkuk untuk memberi hormat. Sosok itu datang bersama dua b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status