"Bu, saya pamit pulang ya," izinku pada Ibu dengan membawa tas kecil yang berisi beberapa pakaian saja.
Aku memang sudah memiliki rumah sendiri. Sebuah rumah yang di bangun oleh suami sejak sebelum menikah. Bangunan permanen dengan halaman keliling yang luas.
Di rumah, aku tinggal sendiri, sedang suamiku bekerja sebagai pelayar yang baru kembali ke daratan dalam waktu enam bulan sekali. Itu adalah rentang waktu tercepat.
"Loh, kok cepat sekali, Nis? Nggak nanti malam saja? Lauk untuk malam belum dimasak 'kan?" jawab Ibu tanpa memandang karena beliau sedang asyik dengan selendang di tangannya.
Ya saat ini, Ibu, Kak Rika sedang ada di kamar Sarah. Mereka sedang asyik dan sibuk membongkar kado dari resepsi kemarin juga melihat-lihat barang pribadi milik Sarah.
"Hm, Nisa besok harus ngajar, Bu. Nanti malam rencana mau buat soal ulangan anak-anak besok."
"Alah libur saja! Masih ada acara keluarga bilang ke kepala sekolah tempatmu mengajar. Lagi pula sekolah itu nggak akan batal ulangan karena kamu nggak datang 'kan?"
"Tapi Nisa harus profesional, Bu. Nisa izin cuma tiga hari."
"Ibu bilang nggak, ya nggak, Nis. Jangan cerita profesionallah sama Ibu. Gaji tak seberapa saja kok. Gaji kamu sebulan bekerja itu cuma bisa buat beli sendal tidur Ibu.
Ya, yang di katakan Ibu memang benar, aku hanya bekerja sebagai guru honorer masa pengabdian lima tahun di sebuah sekolah dasar negeri di kecamatan. Gajiku memang tak seberapa, hanya satu juta delapan ratus perbulannya. Hanya bisa membeli sendal tidur, tapi nominal itu sangat berguna dan besar juga bermanfaat bagi keluargaku di kampung. Aku bekerja memang untuk mencari kesibukan di waktu luang yang panjang, dan sebagian gaji kukirimkan pada keluargaku. Tentunya ini juga adalah kesepakatan bersama antara aku dan Mas Ilyas.
Aku di izinkan Mas Ilyas mengirim gajiku ke kampung, juga karena gaji Mas Ilyas sebagai pelayar bisa mencapai lima belas kali lipatnya gajiku sebagai guru honorer.
"Mbak sini, masuk," panggil Sarah masuk sembari melambai-lambaikan tangannya.
Akupun melangkahkan kaki ke kamar Sarah.
"Mbak mau ini?" tawarnya sembari mengambil sebuah hijab, "warnanya bagus ini ke kulit mbak, atau warna ini juga cakep," ucapnya mengambil barang yang lain.
"Maaf, Rah, nggak usah," jawabku tersenyum.
"Loh kenapa? Mbak nggak suka warnanya? Atau motifnya, yaudah Mbak pilih sendiri aja ya." Sarah tampak kecewa.
"Udah terima aja, di kasih kok nggak mau. Biar kamu punya hijab bermerk mahal. Selama ini hijabmu kan dari toko biasa di pasar," sela Ibu.
"Hmm atau Mbak mau barang yang lain? Bedcover set banyak ini, Mbak, atau tunggu ya," Sarah turun dari tempat tidurnya, dan membuka pintu yang aku rasa selama ini tidak ada.
Aku baru menyadari bahwa kamar Reno ini berubah, serta barang-barang nya benar-benar mewah dan besar. Sepertinya Reno mengeluarkan uang banyak untuk persiapan sebelum menikahi Sarah. Karena aku tahu persis kamar ini sebelumnya bagaimana saat masih hanya Reno yang menempati.
"Sini Mbak, pilihlah yg Mbak suka," ucap Sarah membuka pintu ruangan yang setahuku selama ini tidak ada.
Aku terkejut melihat isinya. Bukan hanya aku bahkan Ibu dan Kak Rika yang kutahu juga suka membeli barang pribadi yang banyak saja sampai melongo melihat isi ruangan di kamar Sarah ini.
Ruangan besar tersebut berisi beberapa buah lemari jati dan kaca transparan. Di isi penuh dengan barang-barang pribadi milik Sarah.
"Oh jadi untuk ini Reno renovasi kamarnya dan buat ruangan baru?" tanya Kak Rika.
"Iya, Mbak, walk in closet, buat barang-barangku," jawab Sarah nyengir yang menampilkan deretan gigi indahnya.
Aku tahu memang Reno membongkar dinding sebelah kiri kamarnya yang berdampingan dengan halaman samping, lalu menambahkan bangunan baru. Ternyata untuk hal ini.
"Nah Mbak Nisa, pilih saja sukanya ya, kalau ini sudah beberapa kali aku pakai," tunjuknya ke arah lemari besar, "kalau yang ini, belum pernah aku pakai Mbak, ada banyak disini," ucapnya lalu membuka sebuah lemari yang lebih kecil.
Terlihatlah banyak barang-barang milik Sarah yang masih ada di paper bag, plastik, dan kotak.
"Wah iparku ini bener-bener fashionable ya," ucap Kak Rika dan berjalan ke lemari, "Mbak juga boleh pilih yang baru nggak?" Kak Rika nyengir.
"Kalau Mbak mau, pilih aja," ucap Sarah riang, "Mbak Nisa juga, pilih. Kalau Ibu nggak ada yang cocok, kemudaan. Ntar aku beliin yang lain ya, yang sesuai dengan usia Ibu," ucap nya lagi sembari merentangkan kedua tangannya, meminta dipeluk Ibu.
"Oh, mantu kesayangan Ibu. Udah cantik, tahu gaya, karirnya bagus, baik dan sayang Ibu pula," balas Ibu memeluk Sarah.
"Jadi, Mbak mau pilih yang mana?" tanya Sarah lagi padaku.
"Kamu kasihnya yang mana aja, Mbak terima kok."
"Iya kamu pilih saja suka yang mana, Nis, tinggal milih aja kok susah banget sih. Sarah ini udah baik mau kasih kamu barang-barang dia." Kak Rika menimpali.
"Baiklah, hijab di kamar kamu tadi aja, warna peach itu," jawabku pada Sarah akhirnya.
"Oh yaudah Mbak, satu aja?"
"Iya satu aja, hijab Mbak ada kok."
"Tunggu ya, Mbak, aku ambil."
"Tapi murah dan nggak up to date 'kan Nis?" balas Kak Rika.
"Iya jangan buat malu Ibu lah. Kamu itu menantu perempuan paling besar di rumah ini. Istri dari anak laki-laki pertama Ibu," ucap Ibu mulai kesal.
"Maaf Ibu, maaf Kak Rika. Tapi Mas Ilyas jauh dari saya."
"Iya Ibu tahu, tapi kan kamu juga harus menjaga nama baik keluarga suamimu Nis. Jadi, berdandan dan berpakaian lah yang layak," Kak Rika menimpali.
"Sudahlah biarkan saja, Ka. Memang dari sananya iparmu itu katrok. Namanya juga dari pedalaman desa sana. Listrik aja di tempat asalnya nggak ada. Rezekinya saja bisa ketemu Ilyas, dan jadi bagian keluarga kita. Tapi ya tetap aja kampungannya nggak hilang."
Aku tidak tahu ternyata penampilanku selama ini di mata Ibu dan Kak Rika sejelek dan setidak layak itu. Padahal bagiku, penampilan dan pakaianku sehari-hari sudah amat sangat layak.
Aku membeli gamis dan hijab ku di butik yang ada di pasar. Hanya butik biasa memang, merk-nya pun tidak terkenal. Tapi bahan dan kualitasnya cukup bagus.
Mas Ilyas juga selama ini tidak mempermasalahkan penampilanku.
Aku memilih diam tidak menjawab apa yang Ibu dan Kak Rika ucapkan.
"Ini Mbak." Sarah memberikan hijabnya, aku mengulurkan tangan menerimanya.
"Terima kasih ya, Rah."
"Iya, Mbak. Sama-sama. Lain kali kita shopping bareng ya," ucap Sarah tersenyum.
"Iya, Rah, Insya Allah, Bu, saya permisi ya."
"Mau kemana? Pulang? Kan Ibu bilang jangan!"
"Iya, Bu, tapi nanti saya pulangnya, masak untuk makan malam dulu."
Aku memang berniat masak terlebih dahulu, baru pulang ke rumah, mengingat Ibu mencegahku karena hal itu.
"Mbak tunggu." Baru saja hendak berbalik, Sarah memanggilku.
"Ya, Rah?"
"Mbak mau masakkan? Aku ikut ya, mau bantu," pinta Sarah tersenyum hingga menampilkan deretan gigi putihnya.
"Eh, ya jangan. Mbakmu saja, kamu disini aja temenin Ibu dan Rika." Ibu mencegah Sarah.
"Tapi sayakan juga menantu Bu, mau bantu Mbak Nisa," jawab Sarah.
"Iya tapi Nisa itu Mbakmu, dan kamu adiknya. Wajar seorang Mbak melayani adiknya. Apalagi kamu kan masih manten baru, masih lelah habis resepsi," ucap Ibu lagi.
Padahal aku juga masih baru menjadi keluarga ini. Masih bisa dikatakan pengantin baru. Aku dinikahi Mas Ilyas baru setahun yang lalu saja.
"Tapi nanti Mbak Nisa capek, Bu.”
"Nggak akan, masak saja kok. Malah di kampungnya di desa pedalaman sana, Mbakmu ini kalau mau masak cari kayu dulu. Udah biasa dia. Nggak mungkinkan disini masak tinggal cetekin kompor bisa capek.”
Sarah sampai melongo mendengar ucapan Ibu. Mungkin dia membayangkan dan tak menyangka ternyata teramat sulit hanya untuk memasak saja.
Tapi begitulah keadaanku sebenarnya. Aku hanya terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Menikah dengan Mas Ilyas adalah satu kebanggaan yang tak ternilai bagi keluargaku.
___
Suara dering ponsel membangunkan. Saat akan kuangkat ternyata sudah terputus. Sembilan belas panggilan tak terjawab atas nama Ibu Mertua. Kurentangkan tangan ke atas, suara tulang terdengar beradu. Rasanya badanku lelah dan sakit semua. Dua hari di rumah Ibu benar-benar menguras tenaga dan energi. Semalam aku juga tidur hingga larut malam karena menyelesaikan soal ulangan untuk murid-muridku. Kulihat jam di nakas, sudah hampir jam empat, adzan subuh baru saja usai berkumandang. Saat akan beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu ponsel itu berdering kembali. Segera aku meraihnya. "Halo, Assalamu'alaikum Bu.” "Waalaikumsalam, Nis. Kok lama angkat telponnya? Sampai pegel loh tangan Ibu menunggunya, baru bangun ya? Jam segini kok baru bangun sih Nis, pusing Ibu lihat kamu, untung saja nggak tinggal sama Ibu, kalau tinggal sama Ibu sudah Ibu omelin kamu tiap hari Nis," Ibu berkata panjang lebar, aku hanya diam mendengarkan. Karena aku tahu, mulut Ibu memang seperti itu tapi sesungguhn
Tepat jam tujuh pagi aku tiba di kediaman mertua. Segera aku masuk ke dalam rumah, dan menuju kamar yang biasa aku tempati apabila menginap di rumah Ibu. Kamar Mas Ilyas semasa masih lajang dulu. Kusibak gordyn kamar dengan niat ingin membuka jendela. Aku ingin udara masuk ke kamar ini, agar tercium lebih segar. Biasanya di pagi hari begini, aroma bunga akan menguar dari taman samping. Suara chat masuk terdengar dari ponselku. Suami [Assalamu'alaikum. Kamu sudah sampai rumah Ibu, Nis?] Segeraku ketik pesan balasan. [Sudah, Mas, baru saja.] [Ibu tidak mengangkat telpon, Mas, bisa kamu berikan ponselmu pada Ibu? Mas mau video call.] [Tentu saja Mas. Nisa tunggu] Aku keluar kamar, dan segera mencari Ibu di kamarnya. Tidak ada. Mungkin di taman. Tidak ada juga. "Bi, ada lihat Ibu?" tanyaku pada Bi Siti, asisten rumah tangga yang mengurusi pakaian. "Biasalah, Non, di kamar Non Sarah.”. Bergegas aku ke kamar Sarah, karena panggilan video call dari Mas Ilyas sudah satu kali tidak
Sekembalinya kami dari pasar. Ternyata Ibu sudah berdiri di depan rumah dengan cemasnya sembari menggulung-gulung ujung bajunya."Duh, kok lama sekali kalian ini? Ibu nggak tenang di rumah loh. Kamu nggak kecapekkan Rah?" tanya Ibu sambil menyambut Sarah, lalu mengajak masuk."Nggak kok, Bu. Malahan seru. Tunggu, Bu. Sarah bantu Mba Nisa turunin belanjaan dulu," tolak Sarah pelan."Udah nggak usah. Mang Tardi kan ada."Aku hanya bisa memandang Ibu nanar. Baru dua hari Sarah menjadi menantu Ibu, tapi ia sudah sangat berhasil mengambil hati Ibu. Sedangkan aku, masih saja tetap menjadi menantu kedua.Sebenarnya sebelum kehadiran Sarah, Ibu juga sudah seperti ini terhadapku. Tapi rasanya tidak sesakit setelah kehadiran Sarah.Ternyata selama ini sikap Ibu padaku bukan karena sifatnya yang memang begitu, tapi karena Ibu tidak menyayangiku."Non, ini semua yang mau diangkat?" tanya Mang Tardi membuyarkan pikiranku."Iya, Mang. Ini saja. Seperti biasa. Sembako, letakkan di lemari stok ya, Ma
Gelisah aku kini. Setelah orangtua dan keluarga Sarah selesai makan, dengan cepat aku membersihkan meja dan mencuci piring. Suara dering ponsel yang merupakan suara panggilan tak lagi bisa kutangkap dengan jelas. Aku benar-benar takut dan cemas kini. Pastinya sesaat lagi setelah semua tamu pulang, aku akan dimarahi Ibu perihal luka ditangan Sarah.Kembali ponsel berdering, segera aku mencuci tangan yang penuh sabun dan busa.Tiga panggilan tak terjawab dari Mas Ilyas.Sebentar aku menunggu, tidak ada lagi panggilan berdering, akhirnya aku melanjutkan pekerjaan."Nis, kenapa tadi tangan Sarah bisa luka?" tanya Kak Rika yang baru menghampiriku."Ngupas bawang dia, Kak. Tapi aku sudah melarangnya.""Emaknya sekarang lagi bahas itu tuh di depan. Sampai bilang ke Ibu, meminta Sarah dan Reno tinggal di rumah orangtua Sarah saja.""Sebegitunya, Kak?" tanyaku terkejut."Iya, kamu sih cari masalah, bukannya berusaha keras dilarang," sungut Kak Rika padaku dan berlalu.Kini degup jantungku sema
Hari ini adalah hari ulang tahun Ibu. Seperti biasa, dan tahun-tahun sebelumnya ulang tahun Ibu adalah waktunya berkumpul semua keluarga tapi tak jarang juga menjadi tempat ajang pamer mengenai jabatan dan harta masing-masing. Ulang tahun Ibu selalu dirayakan dengan meriah. Semua sanak saudara akan di undang. Semua turut bersuka cita jika Ibu ulang tahun. Bahkan warga dan pekerja di kebun teh sering berguyon, seandainya saja Ibu bisa berulang tahun sepuluh kali dalam setahun, tentunya mereka akan sangat bahagia. Sebab di setiap acara ulang tahun Ibu, beliau pasti membuka lebar pintu rumahnya untuk warga yang mayoritasnya adalah pekerja, dimulai dar
Acara ulang tahun Ibu berlangsung meriah. Tampak semua keluarga datang malam ini. Mereka mengenakan setelan dan gaun yang mewah, tak lupa aksesoris dan perhiasan melengkapi.Ibu tampak berjalan kesana kemari sembari menggandeng Sarah. Tampak bahagia dan berbangga. Jelas, Ibu punya alasan yang kuat untuk berbangga diri. Di usianya yang sudah menua, ia masih tampak cantik dan bugar. Tidak kekurangan uang, selalu berbahagia, hanya saja sesekali penyakit tua akan menghampiri pun ketidaksabarannya ingin menimang cucu laki-laki pertama dari anak laki-lakinya. Begitu juga halnya dengan Kak Rika yang tampak asik bercengkrama dengan para keluarga dan kenalannya.Sedang aku disini, duduk di salah satu sudut ruangan sembari menggendong Zahira. Bukan merasa keberatan akan hal itu, hanya saja aku merasa sikap Ibu padaku semakin menyakiti saja sejak kehadiran Sarah dirumah ini. Aku bagai pelengkap rasa dalam masakan, tapi bukan aku bahan utamanya. Namun tetap saja tanpa aku, b
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Acara telah usai, para tamu dan kolega Ibu telah pulang menuju rumah masing-masing, pun hal nya keluarga jauh dan dekat. Hanya Bulek Lani yang akan menginap karena esok Bulek Lani akan ke pabrik juga, mengambil daun teh yang sudah jadi untuk dibawa dan di pasarkan di tempat Bulek Lani tinggal.Aku mencari sosok Ibu sembari membawa nampan yang diatasnya terdapat sebuah gelas dan piring kecil yang berisikan berbagai jenis obat dan vitamin Ibu. Pasti sejak acara tadi Ibu belum meminum obatnya.Pelan kususuri ruangan, tak tampak Ibu berada."Bulek." Perempuan yang kupanggil berbalik dan menghadapku."Apa?""Lihat Ibu nggak, Lek? Mau Nisa ingatkan minum obat," ucapku sembari mengangkat sedikit keatas nampan yang kubawa.""Nggak lihat, Bulek. Mungkin di kamarnya.""Oh, yaudah kalau gitu Nisa ke kamar Ibu dulu ya, Lek.""Iya, pergilah."Akupun berbalik dan menuju kamar Ibu. Pel
Aku terbangun, ketika sebuah sentuhan tangan yang terasa dingin mendarat dipipiku."Bulek," ucapku mengucek mata."Bangun, sudah jam lima. Ayo sholat, Nis," ajak Bulek Lani."Iya, Bulek."Pelan aku berdiri dari tempat tidur, lalu membuka jendela. Seketika aroma subuh hari menguar masuk memenuhi kamar ini. Sepertinya semalam hujan deras, terlihat dari tanah yang basah dan sedikit becek.Usai sholat, segera aku kedapur. Membuat sarapan. Roti bakar, dan teh susu jahe."Walah, Bulek tungguin di kamar rupanya sudah kedapur saja," ucap Bulek Lani yang membuatku sedikit terkejut."Iya, Bulek. Bulek mau teh susu jahe atau teh saja?""Kamu buat teh susu jahe, Nis?""Iya, kalau malam hari hujan, biasa Nisa selalu buat paginya. Kalau nggak buat Ibu nanyain.""Sejak kapan? Dulu juga nggak begitu.""Nggak tahu, Bulek. Tapi kalau Nisa disini selalu begitu,""Hm, sebenarnya Mbakyu itu sejak ada kamu j