Share

Bab 7 (Praduga)

Hari ini adalah hari ulang tahun Ibu. Seperti biasa, dan tahun-tahun sebelumnya ulang tahun Ibu adalah waktunya berkumpul semua keluarga tapi tak jarang juga menjadi tempat ajang pamer mengenai jabatan dan harta masing-masing.

Ulang tahun Ibu selalu dirayakan dengan meriah. Semua sanak saudara akan di undang. Semua turut bersuka cita jika Ibu ulang tahun.

Bahkan warga dan pekerja di kebun teh sering berguyon, seandainya saja Ibu bisa berulang tahun sepuluh kali dalam setahun, tentunya mereka akan sangat bahagia.

Sebab di setiap acara ulang tahun Ibu, beliau pasti membuka lebar pintu rumahnya untuk warga yang mayoritasnya adalah pekerja, dimulai dari pagi hari hingga menjelang waktu dzuhur, dan saat pulang mereka semua akan kebagian amplop.

Lalu pukul tiga sore sampai dengan malam hari adalah waktu khusus untuk para keluarga dan kolega Ibu.

Sedari pagi aku sibuk berkutat didapur, mengurusi segala macam hal. Makanan, minuman, amplop, cemilan, hingga hiburan yang disajikan hari ini untuk para warga.

"Kamu ya, mantu baru Bu Sulis? Ayune," ujar seorang Nenek tua saat aku memberikan amplop padanya.

"Bukan, Bu. Ini mah Bu Nisa, istrinya Pak Ilyas. Kalau mantu barunya Bu Sulis ndak ada kelihatan dari tadi," jawab seorang Ibu disebelah Nenek tersebut yang kutaksir adalah anaknya.

"Oh iya, Mbok lupa." Nenek tersebut tertawa hingga menampilkan giginya yang tak lagi utuh.

"Ayu tenan iki mantu Bu Sulis. Lembut, ramah, murah senyum. Beda sama yang baru," ujar Ibu lainnya.

Aku sedikit bingung mendengar bisik-bisik mereka.

"Iya, yang baru itu pernah diajak Bu Sulis sawon ke pabrik. Pas salaman sama pekerja, mukanya keliatan sekali di paksakan untuk tersenyum. Terus lebih parahnya kata anakku si Tono, setelah salaman, mantu baru Bu Sulis itu langsung bersihkan tangannya pakai cairan kental bening gitu terus di lap lagi pakai tisu."

Mendengar ucapan Ibu tersebut, serempak semua yang ada disitu ber-oh bersama lalu menggelengkan kepalanya.

Aku diam tak menanggapi ucapan mereka. Hanya saja lebih kearah heran. Setahuku Sarah adalah pribadi yang humble dan berbaur. Dengan mudah orang akan langsung nyaman bercerita padanya. Sangat kontras denganku, yang hanya akan berbicara seperlunya, menanggapi dan tertawa kecil jika ada hal yang lucu.

Menjadi perempuan dan anak pertama tanpa sadar menjadikan aku pribadi yang selalu menjaga tutur kata dan sikap untuk memberi contoh pada adik-adikku.

Aku juga tidak bisa berteman dan bergaul dengan banyak orang sebab keadaan keluargaku yang murat marit menuntutku untuk selalu berpikir menghadapi hari esok.

Bekerja dan belajar. Hanya itu yang aku tahu. Bahkan memijak mall dan taman safari pun kulakukan setelah aku menjadi istri Mas Ilyas.

"Nis, jika sudah selesai membagikan amplopnya, ke kamar Ibu segera ya," pinta Ibu.

Aku hanya menganggukkan kepalaku tanda mengerti.

Pelan kuketuk pintu kamar Ibu, "Bu, ini Nisa."

"Ya, sebentar,' jawab suara dari sebaliknya. "Masuk sini, ada yang mau Ibu berikan pada kalian dan pakai setelah para tamu pagi pulang," ujar Ibu. Dikamar ternyata sudah ada Kak Rika dan Sarah terlebih dahulu.

"Apa itu, Bu?" tanya Kak Rika.

"Sebentar ya," ucap Ibu lalu membuka lemari jati besar miliknya.

Terlihat ekspresi Sarah yang seperti menahan senyum, Kak Rika dengan wajah datarnya, dan aku yang kebingungan.

"Ini pakailah. Hari ini kita memakai baju dengan warna yang sama. Hanya berbeda model. Karena Nisa dan Rika memakai hijab jadi Ibu memesan dengan model gamis, dan untuk Sarah juga Ibu, kita memakai model gaun simple namun mewah," ucap Ibu memberikan kami satu persatu.

Hatiku girang bukan main. Gamis yang indah. Kainnya bertekstur lembut, jahitannya rapi, dengan detail yang pas, dan modelnya sangat cantik.

Aku sungguh senang menerimanya. Senyum tak pudar dari bibirku.

"Kamu kenapa, Rah, wajahnya ditekuk gitu?" tanya Kak Rika.

"Ng--nggak apa-apa, Mba," jawab Sarah sembari menerima pemberian Ibu.

"Nah, nanti padu-padankan dengan hijab, tas atau sepatu yang kalian punya agar penampilan kalian semakin cantik," saran Ibu.

"Iya, Bu. Terimakasih banyak ya, Bu. Nisa sungguh suka," ujarku sumringah.

"Sarah juga suka, Bu," timpal Sarah, hanya Kak Rika saja yang tetap dengan wajah datarnya menerima pemberian Ibu. Mungkin karena terbiasa memiliki pakaian sebagus pemberian Ibu.

"Sudah, kalian segera mandi dan bersiap ya," suruh Ibu.

Setelah menerima pemberian Ibu kamipun memutar dan mulai beranjak keluar, tapi panggilan Ibu membuat kami menghentikan langkah.

"Kalian sini dulu, Ibu hampir lupa. Padahal tadi memanggil kalian juga untuk memberikan ini," ujar Ibu yang telah memegang kotak kayu berwarna keemasan dengan ukiran di setiap sisinya.

Senyum di bibir Sarah terlihat mengembang.

"Nah kalian pilih lah yang mana kalian suka, tapi tetap, Ibu berikan hanya jika menurut Ibu bagus dan pas," ujar Ibu sembari membuka kotak perhiasannya. Terlihat banyak perhiasan Ibu yang banyak dan tersusun rapi.

"Rika yang ini saja, Bu. Cincin ini saja. Rika masih punya yang lainnya," ucap Kak Rika sembari mengambil sebuah cincin.

"Sarah, ini saja Bu. Ini juga, dan ini juga." Sarah mengambil sebuah kalung, gelang juga, giwang.

"Jangan Sarah, Ibu tidak setuju kamu memilih itu semua. Itu terlalu besar dan mewah untuk perempuan seusia kamu. Terlihat berlebihan dan mencolok, kamu tampak lebih tua jika nanti memakainya," sanggah Ibu.

Sarah mengembalikan yang ia ambil kembali ke kotak perhiasan dengan wajah yang ditekuk.

"Ini saja untuk kamu, ini sangat pas dengan gaun yang kamu pakai. Nanti rambut kamu, diikat tinggi keatas ya, agar kalung dan giwangnya terlihat," saran Ibu dan memberikan sepasang giwang, dan kalung untuk Sarah.

Sarah menerimanya dengan wajah yang tak enak.

"Nah, kamu Nisa. Pilihlah, agar kalian bisa dengan cepat bersiap."

"Hm, Nisa yang mana saja, Bu. Yang Ibu rasa pas saja untuk Nisa."

Aku sungguh tak berani jika memilih sendiri, takut yang kuambil bernilai mahal.

Lama Ibu memilih namun tak jua kunjung memberikan padaku.

"Tunggu ya, kamu yang ini saja," ujar Ibu lalu membuka lemarinya lagi dan mengeluarkan kotak beludru merah kecil. Ibu memberikanku satu set perhiasan yang ukurannya kecil-kecil namun tetap mewah, terdiri dari kalung, gelang, cincin, dan sepasang giwang. Bukan berlian hanya perhiasan dengan batu permata.

"Sarah mau itu, Bu," potong Sarah.

"Kamu mau ini? Yakin?" tanya Ibu.

Sarah tampak ragu. "Harganya berapaan, Bu?"

"Ini harganya murah sepertinya," sambung Ibu lagi.

"Nggak jadi deh, Bu," jawab Sarah dengan senyum yang merekah.

"Ya sudah ini saja untuk Nisa ya. Ini memang tidak terlalu mahal, Nis. Tapi perhiasan ini adalah pemberian Ilyas saat ia berlayar ke Colombia," jelas Ibu.

Aku semakin senang ternyata perhiasan ini dari suamiku, untuk Ibu, dan akhirnya diberikan padaku.

"Terimakasih, Bu," ucapku sembari menyalam tangan Ibu.

"Iya, ya sudah pergilah bersiap."

Aku dan Kak Rika hendak berbalik namun tiba-tiba Sarah merengek pada Ibu menginginkan perhiasan yang telah berada ditanganku. Bahkan ternyata kini, ia sudah bergelayut manja di lengan Ibu.

"Boleh, ya Bu. Sarah mau itu. Tukar saja pada Mba Nisa ya," mohonnya.

"Lah, kamu gimana sih, Rah. Tadi nggak mau," tanya Ibu heran namun tetap dengan intonasi yang lembut.

"Iya, tapi sekarang jadi mau, Bu. Sarah sudah lama ingin sekali punya perhiasan yang batu permatanya dari Colombia."

Tanpa sadar aku memeluk erat kotak beludru merah yang beberapa menit lalu resmi menjadi milikku.

"Boleh ya, Bu. Sarah mohon. Sarah juga sudah punya perhiasan seperti yang Ibu berikan ini, tapi belum punya yang seperti itu," tunjuknya ke kotak yang sudah di tanganku, "Mba Nisa pasti belum punya yang mahal 'kan, Mba? Ini saja sama Mba ya."

"Mana bisa begitu, Rah. Itu sudah diberikan Ibu untuk Nisa. Lagipula tadi katanya kamu nggak mau. Sekarang malah mau. Gimana sih," ketus Kak Rika.

"Tadi nggak mau, karena nggak tahu kalau ternyata itu batu permata dari Colombia, Mba," jawabnya membela diri.

"Lah, kalau cuma mau dari Colombianya saja, toko di kota juga ada jualnya. Kamu bisa minta belikan sama suamimu. Kenapa juga kamu harus minta yang sudah jadi milik Nisa, dan ternyata itu pemberian dari suaminya."

"Tapi kan mana mungkin Mas Reno mau membelikannya untuk Sarah, Mba."

"Nggak mau bagaimana, Rah? Membangunkan ruangan khusus untuk tempat barang-barang pribadimu saja, Reno turuti. Masa iya, membelika n batu permata saja tidak mau."

Ucapan Kak Rika seketika membuat Sarah melepaskan tangannya dari lengan Ibu.

"Baiklah. Maafkan aku, Mba Nis," jawab Sarah lalu keluar kamar.

Pembelaan dari Kak Rika membuat pikiranku menjadi bercabang dua.

Disatu sisi aku lega dengan pembelaan Kak Rika, tapi disisi lain pembelaan Kak Rika malah membuatku berpikir keras, kenapa juga Sarah jadi memaksa menginginkannya, setelah tahu bahwa perhiasan ini pemberian Mas Ilyas, suamiku, untuk Ibu.

'Sarah, adakah niatanmu yang lain mengapa kamu memilih harus menikahi adik dari mantan kekasihmu?' gumamku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status