Share

5. Mawar

Author: bluaeya
last update Last Updated: 2025-05-07 17:01:06

Keesokan harinya, Karina terbangun dengan perasaan sedikit lelah. Rutinitas pagi di kos berjalan seperti biasa. Risa sudah sibuk dengan ritual dandan sebelum kerja, sementara Beno tampak tenang dengan laptopnya.

"Muka lo kenapa ditekuk gitu, Kar? Mimpi buruk ketemu Pak Bambang nagih laporan?" celetuk Risa sambil menyisir rambutnya di depan cermin.

"Nggak kok. Cuma kurang tidur aja," jawab Karina berbohong sambil meraih mug kopinya.

Sesampainya di kantor, suasana pagi terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Beberapa karyawan tampak berbisik-bisik dan melihat ke arah pintu masuk. Karina tidak terlalu menghiraukannya dan langsung menuju mejanya.

"Pagi, Kar! Ada kejutan buat lo!" seru Maya dengan senyum misterius saat Karina baru sampai.

"Kejutan apaan?" tanya Karina skeptis. Biasanya, "kejutan" ala Maya berkisar antara gosip terbaru yang belum tentu benar atau makanan aneh dari kantin.

Maya menunjuk ke arah mejanya dengan gerakan dramatis. Di atas mejanya, Karina melihat sebuket bunga mawar merah yang sangat indah tergeletak di samping tumpukan berkasnya. Jantung Karina langsung berdebar lebih cepat. Siapa yang mengirim bunga ini?

"Dari siapa nih?" tanya Karina dengan nada nyaris berbisik, matanya terpaku pada buket mawar yang menawan itu.

"Mana gue tahu! Tiba-tiba udah ada di situ pas gue dateng," jawab Maya dengan ekspresi penasaran yang sama. "Tapi ini bukan bunga biasa, Kar! Mawar merah segede gini pasti mahal!"

Karina meraih buket itu dengan tangan sedikit gemetar. Aroma mawar yang lembut merasuk indra penciumannya. Ia mencari kartu ucapan di antara bunga-bunga itu dan menemukan sebuah amplop kecil berwarna putih terselip di sana. Dengan hati-hati, ia membukanya dan membaca tulisan singkat di dalamnya:

"Untuk Karina, semoga harimu lebih indah."

Tidak ada nama pengirim. Karina mengerutkan kening. Siapa yang mengirim bunga ini?

"Siapa pengirimnya?" desak Maya yang sudah tidak sabar.

Karina menggelengkan kepalanya. "Nggak ada nama."

"Wah! Makin misterius aja! Jangan-jangan lo punya pengagum rahasia yang udah lama ngamatin lo!" teori Maya kembali berkecamuk.

Toni yang baru saja datang dan melihat buket bunga di meja Karina langsung bersiul. "Wih! Ada yang lagi PDKT (pendekatan) nih!" candanya sambil tertawa.

Karina tidak menanggapi candaan Toni. Pikirannya berkecamuk. Bunga mawar merah yang indah ini terasa seperti harapan palsu lainnya.

Belum sempat Karina sepenuhnya mencerna keindahan buket mawar misterius di mejanya, tiba-tiba Pak Bambang muncul dari balik kubikelnya dengan langkah tegap seperti biasa. Matanya langsung tertuju pada buket merah menonjol itu.

"Pagi, Semuaa! Wah Karina... bunga dari siapa ini? Pasti pengagum rahasia yang lama mengagumi kamu ya?" goda Pak Bambang dengan senyum lebar yang jarang-jarang terlihat.

Karina merasa sedikit salah tingkah. "Eh... nggak tahu, Pak. Nggak ada namanya."

Pak Bambang mendekat dan mengamati buket mawar itu dengan seksama. "Hmm... mawar merah... klasik memang. Tapi sayang sekali kalau cuma dipajang di meja kamu. Ruangan Bapak jadi kelihatan agak suram hari ini."

Karina mengerutkan kening. "Maksud Bapak?"

"Begini, Karina," lanjut Pak Bambang dengan nada bicara merayu yang dibuat-buat. "Bunga seindah ini lebih pantas menghiasi meja seorang kepala bagian yang bertanggung jawab dan berdedikasi tinggi seperti Bapak. Bagaimana kalau kamu hibahkan saja buket ini untuk mempercantik sudut ruangan Bapak?"

Maya yang mendengar percakapan itu dari mejanya langsung melongo. "Enak aja Bapak! Itu kan kejutan buat Karina! Masa' mau diembat?!" celetuknya tanpa filter.

Toni yang sedang menyeruput kopi di mejanya tersedak mendengar permintaan Pak Bambang yang tak terduga. "Wah, Bapak modus nih! Bilangnya buat hiasan, padahal mau pamer ke Bu Rini!" komentarnya sambil terkekeh pelan.

Pak Bambang melirik Maya dan Toni dengan tatapan pura-pura kesal. "Kalian ini selalu berpikir negatif! Bapak cuma ingin menciptakan suasana kerja yang lebih menyenangkan dan estetis!"

Setelah perdebatan. Karina sedikit tertekan dengan permintaan Pak Bambang. Meskipun buket mawar merah itu terasa spesial, ia juga tidak ingin menciptakan suasana tidak enak di kantor, terutama dengan atasannya langsung. Dengan berat hati, Karina akhirnya menghela napas dan mencoba mencari jalan tengah.

"Begini saja, Pak Bambang," ujar Karina dengan nada sedikit formal namun berusaha tetap sopan. "Bunga ini memang sangat indah, dan saya mengerti Bapak ingin mempercantik ruangan. Bagaimana kalau... saya pinjamkan beberapa tangkai saja untuk meja Bapak? Nanti kalau layu, saya ganti dengan yang lain."

Ekspresi wajah Pak Bambang sekilas menunjukkan kekecewaan karena tidak mendapatkan seluruh buket, namun kemudian berubah menjadi senyum lebar yang dibuat-buat. "Hmm... ide yang menarik, Karina! Setidaknya Bapak masih bisa menikmati sebagian keindahan bunga ini. Terima kasih banyak!"

Maya melirik Karina dengan tatapan tidak setuju, seolah mengatakan, "Kenapa lo mau-mau aja sih?" Sementara Toni hanya mengangkat bahunya pasrah, merasa percuma ikut campur dalam urusan atasan dan bawahan.

Karina dengan hati-hati memilih beberapa tangkai mawar merah yang paling segar dan menyerahkannya kepada Pak Bambang. Pria itu menerimanya dengan senyum lebar yang sedikit berlebihan, lalu bergegas menuju ruangannya dengan buket kecil di tangannya, seperti anak kecil yang mendapatkan permen.

"Lo yakin, Kar? Itu kan buket buat lo," bisik Maya tidak percaya.

"Daripada suasana jadi nggak enak, mending ngalah aja deh, May," jawab Karina lelah. "Lagian, masih banyak kok sisanya di meja gue." Ia berusaha menyemangati dirinya sendiri meskipun sedikit kecewa karena sebagian keindahan buket itu harus menghiasi meja Pak Bambang.

Tak lama setelah Pak Bambang pergi dengan "jatah" mawarnya, Karina kembali memperhatikan buket mawar yang tersisa di mejanya. Aroma lembutnya merasuk indra penciumannya, namun pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang siapa pengirim misterius ini. Ia kembali mencari kartu ucapan, memastikan tidak ada sebuah nama atau petunjuk terlewatkan. Namun, amplop kecil berwarna putih itu tetap kosong.

"Siapa sih sebenarnya yang ngirim bunga ini?" gumam Karina pelan, merasa semakin penasaran.

Maya berpikir sejenak. "Coba lo inget-inget lagi, Kar. Siapa cowok yang deketin lo akhir-akhir ini?"

Karina menggelengkan kepalanya. "Nggak ada."

tiba-tiba suara Pak Bambang terdengar memanggil Karina dari balik kubikelnya.

"Karina! Bisa ke ruangan Bapak sebentar?"

Dengan perasaan khawatir, Karina menghampiri ruangan kepala bagiannya itu. Pak Bambang tampak sedang melihat beberapa berkas dengan ekspresi serius.

"Karina, ada sedikit masalah dengan laporan keuangan bulanan. Ada beberapa angka yang tidak cocok, dan Bapak butuh kamu untuk memeriksanya lagi malam ini," ujar Pak Bambang tanpa basa-basi.

"Lembur, Pak?" tanya Karina мераса (merasa) sedikit kecewa. Ia sudah merencanakan untuk pulang cepat dan menikmati malam yang tenang di kos.

"Iya, maaf sekali mendadak begini," jawab Pak Bambang dengan nada formal namun menandakan tidak ada ruang untuk negosiasi. "Ini penting, dan Bapak percaya kamu bisa menyelesaikannya dengan cepat dan teliti."

Karina menghela napas pasrah. "Baik, Pak. Saya akan mengerjakannya malam ini."

Kembali ke mejanya, Karina merasa sedikit lelah dan kecewa. Kebingungan tentang buket mawar dan pesan misterius belum terjawab, dan kini ia harus menambah jam kerjanya. Malam yang seharusnya tenang akan berubah menjadi malam yang panjang di depan layar komputer.

"Lembur, Kar?" tanya Maya.

Karina mengangguk lesu. "Ada kesalahan di laporan keuangan."

"Yah... sabar ya." goda Toni mencoba menghibur.

Suasana kantor setelah jam kerja usai merasa sunyi dan menyeramkan bagi Karina. Hanya beberapa staf kebersihan yang terlihat hilir mudik dengan suara mesin pembersih lantai yang menyelimuti keheningan. Cahaya lampu neon dingin menciptakan bayangan-bayangan panjang yang tidak biasa.

Karina berkonsentrasi pada layar komputer, berusaha mencari letak kesalahan dalam laporan keuangan bulanan. Angka-angka dan kolom-kolom itu merasa semakin kabur di matanya yang mulai lelah.

Tiba-tiba, suara gelas pecah terdengar dari arah pantry kantor yang gelap dan sunyi. Jantung Karina langsung berdebar lebih cepat. Suara itu keras dan mengagetkan di tengah keheningan malam. Bulu kuduknya merinding

"Ih, jangan gitu dong," gumam Karina pelan dengan suara sedikit bergetar, menatap ke arah pantry yang gelap dengan rasa takut yang mencekam. "Gue lagi kerja ini, please hantu, jangan ganggu gue." Ia merasa konyol berbicara pada kegelapan, namun rasa takutnya terlalu kuat untuk diabaikan.

Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki pelan terdengar dari arah koridor menuju ruangan operasional.

Dengan jantung berdebar-debar, Karina perlahan mengangkat kepalanya dari layar komputer. Di ambang pintu ruangan operasional, berdiri seorang pria dengan siluet yang familiar meskipun gelap karena minimnya cahaya. Pria itu memakai setelan jas berwarna gelap.

Karina terkejut menyadari bahwa pria itu adalah Julian Pratama, CEO perusahaan tempatnya bekerja. Ia sedikit malu karena telah berbicara tentang "hantu" di kantor yang ternyata masih dihuni oleh bosnya.

"Pak Julian?" sapa Karina dengan nada sedikit gugup. "Bapak belum pulang?"

Julian menatap Karina dengan tatapan menyelidik yang tidak biasa. "Karina? Kamu masih di sini selarut ini?" tanyanya dengan suara lembut namun formal. "Saya pikir semua karyawan sudah pulang."

Karina merasa salah tingkah tertangkap basah masih berada di kantor selarut ini, apalagi oleh CEO sendiri. Ia cepat-cepat merapikan berkas-berkas di mejanya, seolah menyembunyikan jejak-jejak kelelahannya.

"I-iya, Pak," jawab Karina dengan nada sedikit tercekat. "Ada sedikit kesalahan di laporan keuangan, jadi Bapak Bambang meminta saya untuk memeriksanya lagi malam ini."

Julian melangkah masuk sepenuhnya ke dalam ruangan operasional, tatapannya mengedar ke sekeliling ruangan yang sepi dan gelap. Cahaya bulan samar-samar menembus jendela besar, menciptakan pola bayangan yang tidak biasa di lantai.

"Pak Bambang masih di sini?" tanya Julian, nada suaranya yang tenang.

"Tidak, Pak. Beliau sudah pulang tadi," jawab Karina. Ia merasa tidak nyaman berdua saja dengan atasannya di kantor yang kosong seperti ini.

Julian perlahan berjalan mendekati meja Karina, tatapannya tertuju pada buket mawar merah yang masih menangkap perhatian di tengah tumpukan berkas. Ia berhenti sejenak, memperhatikan keindahan bunga-bunga itu dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Bunga yang indah," komentarnya pelan.

"Terima kasih, Pak," jawab Karina formal, sedikit terkejut bahwa Julian memperhatikan buket itu.

Sentuhan lembut Julian pada kelopak mawar merah menimbulkan sensasi tidak biasa dalam diri Karina. Ada kehangatan yang merasuk meskipun atmosfer kantor dingin dan sunyi. Ia tanpa sadar menahan napas, memperhatikan setiap gerakan atasannya dengan rasa ingin tahu yang semakin besar.

Julian akhirnya menarik tangannya dari buket mawar, namun tatapannya masih melekat pada bunga-bunga itu. Ia menghela napas pelan, seolah baru saja terbangun dari lamunan. Kemudian, ia kembali menatap Karina dengan tatapan lebih menyelidik dari sebelumnya.

"Karina," ujar Julian dengan nada suara yang lebih rendah. "Kamu... tidak takut lembur sendirian di kantor selarut ini?"

"Eh... tidak apa-apa, Pak," jawab Karina formal meskipun sekilas teringat pada suara pecah gelas dan perasaan tidak enak yang menyelimuti dirinya sebelumnya. "Saya sudah hampir selesai dengan laporan keuangannya."

Julian berpikir sejenak, memperhatikan ekspresi wajah Karina dengan seksama. "Kamu yakin? Kantor sudah cukup sepi"

"Iya, Pak. Saya sudah biasa lembur kok kalau ada pekerjaan mendesak," jawab Karina mencoba meyakinkan atasannya, meskipun dalam hatinya ia mengakui bahwa suasana kantor malam ini memang sedikit berbeda.

"Jika kamu merasa tidak nyaman, jangan ragu untuk menghubungi keamanan," ujar Julian pelan, tanpa mengalihkan pandangannya dari mawar-mawar itu. "Mereka bertugas sepanjang malam."

Karina mengangguk formal. "Baik, Pak. Terima kasih."

"Baiklah, Karina," ujar Julian dengan nada suara yang kembali formal namun sedikit melembut. "Saya rasa saya harus pergi sekarang. Jaga diri baik-baik. Dan sekali lagi, jangan ragu untuk menghubungi keamanan jika kamu merasa ada sesuatu yang tidak beres."

Karina mengangguk formal. "Baik, Pak. Terima kasih atas perhatiannya."

Julian menatap Karina sejenak lagi, tatapannya menyelidik namun kali ini lebih lembut dan mengandung makna yang sulit diartikan. Kemudian, ia berbalik dan melangkah menuju pintu ruangan operasional.

Setiap langkahnya memecah keheningan malam kantor yang semakin pekat. Karina memperhatikan siluet tubuh Julian yang tegap menghilang di koridor yang gelap. Suara langkah kakinya semakin menjauh sebelum akhirnya lenyap ditelan kesunyian malam.

Setelah siluet Julian menghilang di koridor yang gelap, Karina menghela napas panjang, sebuah campuran antara kelegaan dan kekecewaan menyelimuti dirinya. Kesunyian kantor malam kembali pekat, hanya dipecah oleh suara dengungan dari mesin pendingin ruangan dan suara ketikan keyboard laptopnya.

"Kirain mau dianterin," gumam Karina pelan, hampir tanpa suara, sekilas harapan konyol melintasi benaknya, sebuah fantasi romantis yang absurd mengingat statusnya sebagai karyawan biasa dan Julian sebagai CEO dingin dan formal.

Ia terkekeh pelan,"Emang gue siapa berharap kek gini? Wkwk," bisiknya lagi, kali ini dengan nada yang lebih sinis. Realitas kembali menariknya turun dari awan-awan fantasi yang melibatkan atasannya itu.

Karina kembali fokus pada pekerjaannya, berusaha mengabaikan pikiran fantasi konyol yang sempat merasuk benaknya. Namun,buket mawar merah di mejanya terus menarik perhatiannya, pengingat bisu tentang misteri kecil tentang siapa pengirimnya? Dan kenapa sikap Julian malam ini begitu tidak biasa? Pertanyaan-pertanyaan itu masih menanti jawaban di tengah sunyinya malam lembur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dua Tuan Tampan   12. Perdebatan

    Malam semakin menghampiri di depan toko bunga "Lavender Dreams", namun ketegangan di antara Julian dan Alex belum juga mereda. Setelah Karina berpamitan dan bergegas menuju halte, keduanya masih berdiri di tempat yang sama, saling menatap dengan sorot mata yang menyimpan berbagai pertanyaan dan kecurigaan. Julian, sebagai pihak yang lebih dulu mengenal Karina (sebagai atasannya), merasa memiliki keunggulan. Ia memandang Alex dengan tatapan dingin, mencoba menunjukkan superioritasnya. "Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini, Tuan...?" Julian menggantungkan kalimatnya, seolah meremehkan Alex yang belum ia ketahui identitasnya secara pasti. Alex menyeringai tipis, tidak terpengaruh sedikit pun oleh nada bicara Julian yang merendahkan. "Rossi. Alex Rossi. Dan saya juga tidak menyangka akan bertemu dengan seorang CEO yang berkeliaran di sekitar toko bunga pada malam hari. Sedang mencari inspirasi untuk buket ucapan selamat atas keberhasilan proyek?" balas Alex dengan nada san

  • Dua Tuan Tampan   11. Dua Tuan Tampan

    Senja merayap turun, membalut jalanan dengan cahaya temaram setelah kesibukan jam kantor mereda. Karina, dengan seulas senyum puas menghiasi wajahnya, baru saja keluar dari toko bunga "Lavender Dreams". Di tangannya tergenggam buket bunga matahari cerah untuk ulang tahun Risa. Namun, kedamaian sore itu terusik oleh kedatangan dua sosok pria secara bersamaan dari arah yang berlawanan. Tepat di sisi kanan Karina, sebuah mobil sedan mewah berwarna grafit berhenti. Pintu pengemudi terbuka, dan dari sana keluar Julian Pratama. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung lengannya hingga siku, namun aura CEO yang berwibawa tetap melekat padanya. Karina terkejut bukan main. Belum hilang rasa kagetnya, dari sisi kiri Karina, suara deru motor sport yang khas terdengar mendekat. Sebuah motor Ducati berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya. Pengendaranya menurunkan visor helm, memperlihatkan wajah tegas namun memikat milik Alex. Jaket kulit hitam yang dikenakannya semakin menambah daya ta

  • Dua Tuan Tampan   10. Kafe Eskrim

    Sore hari, Maya mengajak Karina untuk mencari udara segar sepulang kerja. "Kar, kepala gue udah berasap nih gara-gara brainstorming ide iklan yang nggak jelas. Kita cari es krim yuk di kafe Gelato. Siapa tahu ketemu oppa-oppa ganteng yang lagi nyari inspirasi juga," ajak Maya dengan nada penuh harapan. Karina, yang otaknya juga terasa lelah berjam-jam berkutat dengan angka, menyetujui ajakan Maya. Suasana sore yang ramai dengan lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki sedikit mengalihkan pikirannya dari rutinitas kantor. Sesampainya di kafe Gelato dengan aroma manis yang melekat di udara, Maya langsung memesan dua scoop rasa mint chocolate dan strawberry cheesecake. Karina sendiri memilih rasa salted caramel yang selalu berhasil menghiburnya. Mereka duduk di salah satu meja di sudut kafe, menikmati es krim sambil sesekali mengamati pengunjung lain. "Tuh kan, Kar! Gue bilang juga apa, kafe ini tuh sarangnya cowok-cowok ganteng!" bisik Maya sambil menyikut lengan Karina, matanya berbin

  • Dua Tuan Tampan   9. Hiruk Pikuk Klub Malam

    Dentuman musik menimbulkan vibrasi di lantai dan riuh rendah percakapan menyelimuti malam itu dengan atmosfer yang memekakkan telinga. Di tengah kerumunan pesta yang berjingkrak-jingkrak mengikuti ritme musik, Karina merasa semakin tidak nyaman. Ia seolah menjadi sosok asing di tengah dunia yang menarik namun sedikit mengintimidasi baginya. Meskipun Maya dan Toni tampak menikmati suasana pesta dengan bersemangat, Karina merindukan ketenangan kamar kosnya. Aroma alkohol dan keringat yang bercampur di udara menimbulkan perasaan tidak nyaman. Dengan langkah hati-hati, Karina mulai menepi dari kerumunan yang semakin padat. Ia mencari sudut yang sedikit lebih sepi di mana ia bisa sedikit bernapas dan menjernihkan pikirannya. Matanya menyelidik sekeliling, mencari keberadaan sofa atau kursi kosong yang bisa ia duduki sejenak. Setelah beberapa saat mencari, Karina akhirnya menemukan sofa tersembunyi di sudut ruangan yang remang-remang. Sofa kulit berwarna gelap itu tampak menawarkan sedik

  • Dua Tuan Tampan   8. Kehebohan teman

    Mentari pagi menyusup malu-malu melalui celah ventilasi kamar Karina, membangunkan gadis itu dari tidur lelap yang menyenangkan. Karina menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur dengan gerakan lemah. Ia masih merasa sedikit lelah namun rasa penasaran tentang kejadian kemarin lebih mendominasi. Ia perlu menceritakan ini pada kedua teman kosnya, Risa dan Beno, meskipun ia yakin reaksinya pasti akan heboh. Setelah menyelesaikan ritual pagi seadanya, Karina keluar dari kamar dan mendapati Risa sudah berkutat di dapur dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Beno, seperti biasa di pagi hari, tampak duduk tenang di meja makan dengan sebuah buku tebal di tangannya. "Pagi, Kar! Muka lo kusut banget kayak cucian belum disetrika," sapa Risa mengalihkan pandangannya dari cangkir kopi merasuk indra penciumannya. "Pagi, Ris. Pagi, Ben," jawab Karina lemah sambil duduk di kursi sebelah Beno. Beno hanya mengangguk singkat tanpa memalingkan wajahnya dari bukunya yang berjudul "Eksistens

  • Dua Tuan Tampan   7. Tumpangan Julian

    Mobil mewah Julian meluncur lembut membelah jalanan Jakarta yang mulai sepi di tengah malam. Lampu-lampu jalan menari di kaca jendela, menciptakan refleksi cahaya di wajah Karina. Karina duduk dengan sedikit kaku di kursi penumpang. Ia melirik Julian yang fokus menyetir dengan ekspresi wajah tenang. Sorot lampu jalan sesekali menerangi garis rahangnya yang tegas. Julian memecah keheningan setelah beberapa saat dengan pertanyaan. "Jadi, kos kamu di daerah mana?" "Di daerah luar kota, Pak," jawab Karina. "Dekat dengan kampus baru." Julian mengangguk pelan, Karina memberanikan diri untuk melirik Julian lagi. Julian tiba-tiba memecah keheningan lagi. "Kamu sudah lama tinggal di sana, Karina?" "Sejak kuliah, Pak," jawab Karina pelan. "Sekitar lima tahunan." Karina memberanikan diri untuk bertanya balik. "Kalau Bapak... sudah lama tinggal di Jakarta?" Julian sekilas tersenyum tipis. "Sejak lahir. Tapi... kadang saya merasa pusat kota Jakarta terlalu ramai dan... melelahkan." "Kamu.

  • Dua Tuan Tampan   6. Pengirim Mawar

    Setelah berjam-jam berkutat dengan angka-angka dan laporan keuangan tanpa akhir, Karina akhirnya menghela napas lega. Pekerjaannya selesai. Rasa lelah menyelimuti tubuhnya, namun kepuasan kecil menangkap hatinya. Ia cepat-cepat merapikan mejanya, mematikan komputer, dan meraih tasnya, tidak sabar untuk segera kembali ke ketenangan kamar kosnya.Suasana kantor di lantai atas benar-benar sepi. Hanya lampu-lampu darurat yang memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang tidak biasa. Langkah kaki Karina menggema pelan di koridor yang kosong saat ia berjalan menuju lift.Dalam lift yang lambat dan sunyi, pikiran Karina kembali melayang pada buket mawar merah dan sikap tidak biasa Julian malam ini. Pertanyaan-pertanyaan itu masih menanti jawaban di benaknya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengusir kebingungan itu dan fokus pada keinginan untuk segera beristirahat.Tiba di lantai dasar, Karina sedikit terkejut melihat lampu lobi masih menyala terang. Biasany

  • Dua Tuan Tampan   5. Mawar

    Keesokan harinya, Karina terbangun dengan perasaan sedikit lelah. Rutinitas pagi di kos berjalan seperti biasa. Risa sudah sibuk dengan ritual dandan sebelum kerja, sementara Beno tampak tenang dengan laptopnya."Muka lo kenapa ditekuk gitu, Kar? Mimpi buruk ketemu Pak Bambang nagih laporan?" celetuk Risa sambil menyisir rambutnya di depan cermin."Nggak kok. Cuma kurang tidur aja," jawab Karina berbohong sambil meraih mug kopinya.Sesampainya di kantor, suasana pagi terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Beberapa karyawan tampak berbisik-bisik dan melihat ke arah pintu masuk. Karina tidak terlalu menghiraukannya dan langsung menuju mejanya."Pagi, Kar! Ada kejutan buat lo!" seru Maya dengan senyum misterius saat Karina baru sampai."Kejutan apaan?" tanya Karina skeptis. Biasanya, "kejutan" ala Maya berkisar antara gosip terbaru yang belum tentu benar atau makanan aneh dari kantin.Maya menunjuk ke arah mejanya dengan gerakan dramatis. Di atas mejanya, Karina melihat sebuket bunga

  • Dua Tuan Tampan   4. Alex Draxler

    Di balik tatapan menyelidik dan aura misterius yang melingkupi Alex Draxler, tersembunyi sebuah dunia yang jauh dari hiruk pikuk kantor biasa dan senyaman kedai kopi. Alex Draxler, nama lengkapnya, bukanlah sekadar pria asing. Ia adalah putra sulung dari keluarga Draxler, sebuah nama yang disegani sekaligus ditakuti dalam lingkaran bisnis yang abu-abu. Apartemen mewah Alex di pusat kota Jakarta menjadi saksi bisu kehidupannya yang diwarnai dengan pertemuan-pertemuan larut malam. Di ruang kerja apartemennya yang mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap, ayah Alex, Don Rafael Draxler, sudah menunggunya. Don Rafael, pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih namun tatapan matanya masih setajam elang, duduk di kursi kulit besar di balik meja kerjanya yang dipenuhi dokumen dan telepon antik. Aura kekuasaan dan ketegasan melingkupi figur ayahnya. "Alex, akhirnya kau pulang juga," ujar Don Rafael dengan nada suara berat yang menandakan ketidaksenangan. "Aku menunggumu sejak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status