Suara riuh lelang yang sesekali diselingi sorak sorai dan ketukan palu juru lelang menjadi backsound bagi Raina yang kini berdiri agak jauh dari meja VIP. Perhatiannya terpaku pada Bima Samudra yang memancarkan aura berbeda dari kebanyakan orang di ballroom itu. Bima adalah seniman yang tampak bebas dan nyaman dengan dirinya sendiri di tengah keramaian formalitas yang kaku.
Raina mengamati Bima dari kejauhan. Pria itu tampak sibuk melayani beberapa tamu yang ingin berinteraksi dengannya. Ia tersenyum hangat, menanggapi setiap pertanyaan dengan sabar, dan sesekali membuat sketsa cepat di buku kecilnya untuk para penggemar. Gerak-geriknya luwes, jauh dari kekakuan yang ia lihat pada Arjuna Dirgantara. Bima adalah sebuah kontras yang menarik, seperti kanvas kosong yang tiba-tiba diisi dengan warna-warna cerah di antara palet monokrom. Sebuah lukisan Bima, yang menggambarkan siluet kota Jakarta dengan sentuhan fantasi, baru saja dilelang dan mencapai harga yang fantastis. Raina mendengar beberapa orang berbisik-bisik mengagumi bakatnya. Ia tahu karya-karya Bima memang unik, memadukan realisme dengan imajinasi, selalu berhasil menarik perhatian para kolektor. Raina sendiri sering terinspirasi oleh gaya Bima, meskipun impiannya adalah menciptakan gaya yang benar-benar orisinal. "Rain, kenapa ngalamun?" suara Maya tiba-tiba mengagetkannya. "Ayo, bantu bereskan piring-piring kosong di meja nomor delapan. Acara sebentar lagi selesai." Raina tersentak, sedikit malu karena ketahuan mengamati. "Oh, iya, May." Ia buru-buru mengangguk dan mulai bergerak. Namun, pandangannya tak bisa lepas dari Bima. Ada sesuatu yang menariknya pada pria itu, sebuah magnet yang terasa asing namun menyenangkan. Sambil melangkah, Raina mengambil rute memutar, sengaja melewati area tempat Bima berdiri. Ia hanya ingin melihat lebih dekat, mungkin sekadar mengamati ekspresinya, atau mendengar sedikit percakapannya. Saat ia mendekat, Raina bisa mendengar Bima sedang menjelaskan makna di balik salah satu lukisannya kepada seorang wanita paruh baya. "Bagi saya, Bu, seni itu bukan cuma keindahan visual," ujar Bima, suaranya lembut namun penuh semangat. "Seni itu adalah dialog. Dialog antara seniman dengan kanvasnya, dan kemudian, antara karya itu dengan penikmatnya. Setiap guratan, setiap warna, punya cerita." Raina merasa tersentuh oleh kata-kata itu. Itu persis seperti yang ia rasakan. Baginya, menggambar bukan sekadar hobi, itu adalah cara ia berbicara tanpa suara, cara ia mengekspresikan jiwanya yang terkadang terlalu penuh. Ia merasakan koneksi yang aneh, seolah Bima mampu membaca isi hatinya. "Permisi," ujar Raina pelan, saat ia lewat di belakang Bima, membawa nampan berisi gelas-gelas kosong. Ia menunduk, berusaha tidak membuat kontak mata. Bima menoleh. Senyumnya yang ramah langsung mengembang di wajahnya. Ia tidak menunjukkan ekspresi kaget atau terganggu. Justru, ada sorot mata ingin tahu yang melintas di sana. "Oh, maaf kalau mengganggu," katanya dengan nada sopan. Raina hanya mengangguk dan segera berlalu. Jantungnya berdebar kencang. Bahkan sapaan singkat itu terasa berbeda. Ada kehangatan yang memancar dari Bima, seperti sinar matahari yang menyentuh kulit. Kontras sekali dengan kebekuan Arjuna yang masih membekas di benaknya. Beberapa menit kemudian, saat Raina kembali ke area meja katering, ia melihat Bima berjalan menuju panggung utama. Lukisannya, yang baru saja dilelang, akan dibawa turun. Ada aura bangga yang terpancar dari Bima, bukan angkuh, melainkan kepuasan seorang seniman yang karyanya diapresiasi. Raina kembali mengamati. Kali ini, ia melihat Bima melirik ke arah meja VIP tempat Arjuna duduk. Ekspresi Bima sedikit berubah, senyumnya memudar, digantikan oleh sorot mata yang sulit diartikan—semacam kekosongan, atau mungkin kerinduan yang tersembunyi. Arjuna, yang sibuk berbicara dengan rekannya, tampak tidak menyadari tatapan itu. Raina merasa ada sesuatu yang aneh, sebuah ketegangan tak terlihat yang hanya bisa ia rasakan. Apakah mereka saling mengenal? Pertanyaan itu muncul di benak Raina. Tapi kenapa ekspresi Bima seperti itu? Lelang berakhir. Para tamu mulai berpamitan, ballroom perlahan mengosong. Tim katering mulai sibuk membersihkan sisa-sisa acara. Raina masih di sana, membantu mengumpulkan perlengkapan. Ia merasa lelah, namun ada sedikit rasa puas. Ia berhasil melewati hari yang panjang ini. Saat ia sedang mengelap meja di dekat pintu keluar, ia melihat Bima berjalan menuju lobi. Ia tampak akan segera pulang. Raina diam-diam mempercepat gerakannya, berharap bisa melewati Bima tanpa interaksi lebih lanjut. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada rasa canggung yang tiba-tiba melingkupinya. Namun, takdir seolah punya rencananya sendiri. Saat Raina buru-buru berjalan, ia tidak sengaja menyenggol tumpukan flyer acara lelang yang diletakkan di atas sebuah meja kecil. Flyer-flyer itu berjatuhan, dan beberapa lembar sketsa dari buku Raina, yang entah bagaimana bisa terselip di sana, ikut terlepas dan melayang. Srett! Satu lembar sketsa jatuh tepat di kaki Bima. Itu adalah sketsa wajah seorang anak kecil yang sedang tertawa, sketsa Rian yang ia buat semalam. Bima menunduk, memungut lembaran itu. Raina membeku. Ia merasa sangat malu. Lagi-lagi, ia ceroboh dan menjatuhkan sketsanya di hadapan seorang pria penting. Dan kali ini, di hadapan Bima Samudra, seniman yang sangat ia kagumi. "Maafkan saya!" seru Raina, buru-buru mendekat. Wajahnya memerah. Bima mendongak, dan senyum hangatnya kembali terukir. Kali ini, senyum itu ditujukan padanya, dengan sorot mata yang penuh pengertian, bukan dingin seperti Arjuna. Ia mengamati sketsa di tangannya. "Ini... sketsa yang indah," ujar Bima pelan, suaranya memancarkan ketulusan. Ia menatap Raina. "Ini buatan Anda?" Raina mengangguk malu-malu. "Iya, Pak. Maaf, saya ceroboh." Bima tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Saya sering juga menjatuhkan barang. Tapi, serius, goresan Anda sangat bagus. Anda punya bakat." Ia menyerahkan kembali sketsa itu kepada Raina. Jari-jari mereka bersentuhan sepersekian detik. Hangat. "Terima kasih," Raina bergumam, merasa sedikit lega. "Jangan pernah berhenti berkarya," ujar Bima, tatapannya menyemangati. "Dunia butuh lebih banyak keindahan yang jujur seperti ini." Setelah mengucapkan itu, Bima mengangguk singkat, memberikan senyum terakhirnya yang menawan, lalu melangkah keluar dari ballroom, meninggalkan Raina dengan perasaan campur aduk. Raina memegang sketsa Rian di tangannya. Kata-kata Bima terus berngiang di telinganya. Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya, sesuatu yang berbeda dari getaran cemas yang ia rasakan setiap kali bertemu Arjuna. Bima tidak memberinya tekanan, tidak memaksanya, hanya memberinya semangat.Suara tembakan yang menusuk telinga, kegelapan yang mencekam, dan aura ancaman dari Prakoso kini memudar, digantikan oleh gema sirene polisi yang mendekat. Raina terhuyung, bersandar pada dinding yang dingin, membiarkan napasnya tersengal.Ia mencengkeram erat tangan Arjuna Dirgantara, yang kini berdiri di sampingnya, memandangi Bima Samudra yang menahan Prakoso yang tak sadarkan diri. Mata Raina berkaca-kaca, bukan karena takut, melainkan karena lega yang luar biasa. Mereka berhasil. Mereka selamat. Polisi tiba beberapa menit kemudian, menggeledah rumah Prakoso dan mengamankan Bramantyo yang juga masih terlihat syok. Mereka menemukan pistol Prakoso yang tergeletak di sudut ruangan, dan segera mengambil berkas bukti yang dipegang Arjuna. Rekaman suara kecil dari dalam berkas itu menjadi kunci utama, suara yang merekam percakapan Prakoso dan kaki tangannya mengenai skandal yayasan dan, yang paling mengerikan, perintah untuk membungkam Arya. Seluruh ruangan itu kini dipenuhi petugas y
Rencana Raina untuk memicu alarm kebakaran di kediaman Prakoso bagaikan percikan api yang akan menyulut ledakan. Di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari rumah mewah itu, Arjuna Dirgantara mengangguk, menyetujui strategi berani Raina. Ketegangan memenuhi udara pagi di kota kecil itu, sebuah ketegangan yang hanya bisa dibandingkan dengan bisikan angin dingin yang menyelinap melalui celah jendela mobil. Raina merasakan jantungnya berdebar kencang, setiap detiknya terasa seperti sebuah hitungan mundur menuju momen krusial."Bagaimana Anda akan melakukannya, Raina?" tanya Arjuna, suaranya rendah, matanya menatap Raina penuh kekaguman sekaligus kekhawatiran. Ia melihat tekad di mata Raina, sebuah keberanian yang jauh melampaui tugas seorang asisten.Raina tersenyum tipis, sebuah senyum penuh keyakinan. "Saya sudah mempelajari beberapa sistem keamanan yang biasa digunakan di rumah-rumah mewah. Ada celah kecil yang bisa dimanfaatkan pada panel alarm eksternal. Dengan sedikit modifikasi pa
Nama yang dibisikkan Arjuna Dirgantara di dalam mobil, nama yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan dalam dunia Grup Dirgantara, kini terasa bagai hantaman palu godam bagi Raina. Prakoso. Mitra bisnis terdekat Tuan Dirgantara Senior. Sosok yang selama ini dianggap sebagai tangan kanan keluarga. Kenyataan bahwa dialah dalang di balik pembunuhan Arya adalah pengkhianatan yang paling kejam, sebuah duri yang menusuk hingga ke inti jiwa Arjuna.Raina merasakan darahnya berdesir dingin. Ia menatap Arjuna, wajah pria itu kini lebih pucat dari sebelumnya, matanya memancarkan campuran duka yang mendalam dan kemarahan yang membara. Aura kuat yang biasa menyelimuti Arjuna kini tergantikan oleh kerapuhan yang menyayat hati. Raina tahu, ini adalah titik balik. Arjuna tidak hanya kehilangan adiknya, tetapi juga kepercayaannya pada dunia yang selama ini ia anggap aman."Prakoso..." Raina berbisik, namanya terasa asing di lidahnya, berlumuran pengkhianatan. "Bagaimana mungkin?"Arjuna menggeleng, t
Beberapa hari setelah penemuan surat Arya, Arjuna dan Raina menghabiskan waktu luang mereka untuk menggali lebih dalam tentang Bramantyo. Mereka menyadari, nama ini tidak hanya terkait dengan skandal yayasan, tetapi juga dengan kepergian Arya yang misterius.Raina, dengan kemampuannya yang teliti, mulai mencari informasi tentang Bramantyo melalui jaringan internal kantor dan sumber-sumber terbuka. Ia menemukan bahwa Bramantyo, setelah skandal yayasan mereda, tidak benar-benar menghilang. Ia hanya mengubah namanya, dan hidup di bawah radar, jauh dari sorotan publik. Ia memiliki beberapa bisnis kecil di luar kota, yang tidak terkait langsung dengan sektor keuangan atau properti."Dia sengaja bersembunyi," Raina berbisik pada Arjuna saat mereka membahas temuan ini di ruang kerja Arjuna yang sepi. "Dia tahu ada yang mencarinya."Arjuna mengangguk, rahangnya mengeras. "Kita harus menemukannya. Dia pasti tahu sesuatu."Namun, Raina tahu, mendekati Bramantyo adalah langkah yang sangat berbah
Pengakuan Tuan Dirgantara Senior tentang Sinta adalah bom yang telah meledak, menghancurkan tembok kebohongan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, penolakannya untuk berbicara tentang kaitan Arya membuat Raina, Arjuna Dirgantara, dan Bima Samudra terdiam. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih menyakitkan, yang masih terkubur dalam-dalam di benak pria tua itu. Sebuah bayangan yang enggan terungkap, mengisyaratkan tragedi yang lebih besar dari sekadar skandal yayasan.Raina merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Ia kini tahu bahwa perannya tidak hanya sebagai jembatan antara Arjuna dan Bima, melainkan juga sebagai penyelidik kebenaran yang sesungguhnya. Ia harus menemukan apa yang Tuan Dirgantara Senior sembunyikan, bahkan jika itu berarti menggali lebih dalam ke masa lalu yang penuh rasa sakit.Setelah percakapan singkat di kamar rumah sakit, Arjuna dan Bima sepakat untuk tidak menekan Ayah mereka lebih jauh. Mereka tahu, memaksanya dalam kondisi seperti itu tidak
Keesokan harinya, suasana di kantor terasa lebih mencekam. Ketidakhadiran Arjuna dan Tuan Dirgantara Senior meninggalkan kekosongan yang terasa berat. Lia, sekretaris senior, tampak lebih sibuk dari biasanya, menjawab telepon-telepon dari media dan kolega yang penasaran. Raina mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang ke rumah sakit. Bagaimana keadaan Tuan Dirgantara Senior? Bagaimana reaksi Arjuna terhadap semua ini? Apakah ia akan dipecat?Desas-desus mulai beredar di antara karyawan. Ada yang mengasihani Tuan Dirgantara Senior, ada yang menyalahkan Bima karena terlalu gegabah, dan ada pula yang diam-diam menyalahkan Raina karena telah 'membocorkan' rahasia keluarga. Raina merasakan tatapan-tatapan sinis itu, namun ia berusaha mengabaikannya. Ia tahu, ia telah melakukan hal yang benar, terlepas dari konsekuensinya.Ia mencoba menghubungi Arjuna, namun tidak ada jawaban. Pesan singkat yang ia kirimkan juga tak berbalas. Raina merasa putus asa. Ia tahu, kepercay