Raina Atmaja, seorang gadis sederhana dengan bakat melukis terpendam, terpaksa meninggalkan impian seninya demi keluarga. Ia mengambil pekerjaan sebagai asisten pribadi Arjuna Dirgantara, seorang CEO muda yang dingin, perfeksionis, dan sangat menuntut, pemilik Grup Dirgantara yang megah. Hidup Raina berubah drastis menjadi penuh tekanan dan formalitas, jauh dari kebebasan yang ia dambakan. Namun, ia diam-diam bertemu kembali dengan Bima Samudra, seorang seniman berjiwa bebas yang tulus menghargai bakat Raina dan mengundangnya berkolaborasi dalam sebuah proyek mural. Perhatian Raina yang terbagi memicu kecemburuan tak terucapkan dari Arjuna. Ketegangan memuncak saat Arjuna dan Bima berhadapan langsung dan memperjelas persaingan di antara mereka. Kini, Raina terjebak di antara dua dunia yang berbeda: dunia Arjuna yang menawarkan kemewahan dan keamanan finansial dengan harga kebebasan jiwa, dan dunia Bima yang menawarkan semangat seni dan kehangatan tanpa syarat.
View MoreSenja itu berlumur jingga di atas cakrawala Jakarta, seolah langit ikut merasakan gumpalan kekosongan di dada Raina. Ia berjalan di trotoar dengan hati hampa.
Suara klakson yang bersahutan, deru mesin yang tak pernah henti, dan obrolan samar dari para pejalan kaki lainnya terasa seperti dengungan jauh di telinganya. Semua itu tak mampu mengalihkan fokus Raina dari satu fakta yang menusuk: ia baru saja dipecat. Kantor agensi kecil tempatnya bekerja sebagai junior graphic designer itu, yang tadinya terasa seperti oase di tengah gurun impiannya, kini berubah menjadi kuburan bagi harapannya. Alasan yang diberikan atasan? Klise. "Restrukturisasi" katanya, dengan tatapan dingin dan tanpa empati. Raina tahu itu hanya cara halus untuk mengatakan, "Kami tak lagi membutuhkanmu." Gaji yang tak seberapa itu, yang selama ini menjadi penopang utama bagi biaya sekolah adiknya, Rian, dan obat-obatan ibunya, kini lenyap. Perutnya melilit, bukan karena lapar, melainkan karena kecemasan yang mendalam. Langkah Raina gontai, tak beraturan. Matanya yang biasanya memancarkan semangat kini memudar, terpaku pada aspal yang retak-retak di bawah sepatunya. Tas ransel usang nya terasa memberat di pundak, isinya bukan sekadar benda mati, melainkan impian yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertas. Di dalamnya ada buku sketsa kesayangan, tempat ia melarikan diri dari realita yang mencekik. Setiap guratan pensil, setiap warna, adalah napas lain bagi jiwanya. Mungkin, pikirnya getir, inilah saatnya ia menghadapi kenyataan bahwa impian menjadi ilustrator sukses hanyalah angan-angan belaka. Ia tidak memperhatikan sekelilingnya. Tidak hirau pada deretan toko pinggir jalan yang mulai menyalakan lampu, tidak juga pada para pedagang kaki lima yang sibuk menjajakan dagangan. Pikirannya melayang jauh, mencari-cari solusi. Bagaimana ia akan memberitahu Ibu? Bagaimana dengan Rian? Saat itulah, tepat di depan sebuah gedung perkantoran megah dengan fasad kaca yang memantulkan semburat senja, sesuatu terjadi. Raina, dengan pandangan yang kosong, tidak melihat sesosok pria tinggi dengan setelan jas hitam yang sempurna, yang sedang melangkah keluar dari lobi gedung itu dengan tergesa. Aroma parfum mahal menguar, berpadu dengan udara sore yang lembap. Pria itu, dengan aura kekuasaan yang terasa membebani, tampak tenggelam dalam ponselnya, berbicara dengan nada tegas dan tak terbantahkan. Bruk! Tabrakan tak terhindarkan. Raina, yang tubuhnya tak sekuat pria itu, terhuyung, nyaris terjatuh. Tas nya terlepas dari genggaman, dan isinya tumpah ruah ke trotoar. Puluhan lembar sketsa, pensil warna, buku sketsa, dan dompet kecilnya berserakan di aspal yang kasar. Ia tersentak, keterkejutannya bercampur dengan rasa malu. "Maaf!" Raina buru-buru mengucapkan. Ia berjongkok, mencoba mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan, tapi tangannya gemetar. Kertas-kertas sketsa itu, yang menjadi saksi bisu setiap jejak mimpinya, kini terancam terinjak-injak oleh langkah kaki pejalan lain yang lalu-lalang. Pria itu, yang tadinya terhuyung sedikit, kini berdiri tegak. Raina mendongak, dan tatapan mereka bertemu. Mata pria itu menatapnya nyaris menusuk. Wajahnya sempurna, rahang tegas, hidung mancung, bibir tipis yang terkatup rapat. Ada jejak kekesalan samar di sana, namun juga sesuatu yang sulit diartikan—semacam kebekuan yang dalam. Pria itu adalah Arjuna Dirgantara, nama yang tak asing di telinga Raina, meskipun hanya sebatas berita di majalah bisnis atau headline koran. Pewaris tunggal Grup Dirgantara, raksasa bisnis yang menguasai berbagai sektor, dari properti hingga teknologi. Ia terkenal sebagai pebisnis kejam yang tak mengenal kompromi, dingin, dan efisien. Arjuna tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya mengalihkan pandangan dari ponselnya ke tumpukan barang Raina. Gerakan pria itu begitu tenang dan terkontrol, seolah tak ada yang mampu menggoyahkan ketenangannya, bahkan setelah insiden kecil ini. Dengan satu tarikan napas, ia sedikit membungkuk. Jari-jarinya yang panjang dan terawat dengan hati-hati memungut satu per satu lembaran sketsa Raina yang berserakan. Ia melakukannya tanpa ekspresi, tanpa menunjukkan rasa jijik atau bahkan ketertarikan pada gambar-gambar itu. Hanya gerakan mekanis. Raina terpaku. Ada rasa aneh yang menjalari dirinya. Kagum pada ketampanannya yang tak terbantahkan, sekaligus gentar oleh aura dominan yang terpancar darinya. Ia merasa kecil di hadapan pria itu, bagai setitik debu di tengah badai. "Lain kali," suara Arjuna terdengar. Dingin, datar, namun beresonansi dengan jelas di telinga Raina. "Perhatikan jalan Anda." Ia tidak menatap mata Raina saat mengatakannya. Tatapannya tertuju pada lembaran sketsa terakhir yang ia pungut. Sebuah gambar wajah perempuan yang tersenyum penuh harapan, mungkin representasi impian Raina sendiri. Arjuna menatapnya sepersekian detik lebih lama dari yang seharusnya, lalu meletakkannya kembali ke tumpukan dengan gerakan cepat. Setelah semua buku dan sketsa terkumpul, Arjuna menegakkan tubuh. Ia tak menunggu Raina mengucapkan terima kasih, atau melihat apakah Raina baik-baik saja. Dengan langkahnya yang pasti, ia melangkah pergi, masuk ke dalam mobil sport hitam mewah yang sudah menunggunya di pinggir jalan. Pintu tertutup, dan mobil itu melesat membelah kemacetan senja, meninggalkan Raina terpaku sendirian di trotoar. Raina menghela napas, napas yang selama ini ia tahan. Dadanya terasa sesak. Ia memungut tasnya, merapikan kembali buku dan sketsa-sketsanya yang kini terasa semakin berharga.Suara tembakan yang menusuk telinga, kegelapan yang mencekam, dan aura ancaman dari Prakoso kini memudar, digantikan oleh gema sirene polisi yang mendekat. Raina terhuyung, bersandar pada dinding yang dingin, membiarkan napasnya tersengal.Ia mencengkeram erat tangan Arjuna Dirgantara, yang kini berdiri di sampingnya, memandangi Bima Samudra yang menahan Prakoso yang tak sadarkan diri. Mata Raina berkaca-kaca, bukan karena takut, melainkan karena lega yang luar biasa. Mereka berhasil. Mereka selamat. Polisi tiba beberapa menit kemudian, menggeledah rumah Prakoso dan mengamankan Bramantyo yang juga masih terlihat syok. Mereka menemukan pistol Prakoso yang tergeletak di sudut ruangan, dan segera mengambil berkas bukti yang dipegang Arjuna. Rekaman suara kecil dari dalam berkas itu menjadi kunci utama, suara yang merekam percakapan Prakoso dan kaki tangannya mengenai skandal yayasan dan, yang paling mengerikan, perintah untuk membungkam Arya. Seluruh ruangan itu kini dipenuhi petugas y
Rencana Raina untuk memicu alarm kebakaran di kediaman Prakoso bagaikan percikan api yang akan menyulut ledakan. Di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari rumah mewah itu, Arjuna Dirgantara mengangguk, menyetujui strategi berani Raina. Ketegangan memenuhi udara pagi di kota kecil itu, sebuah ketegangan yang hanya bisa dibandingkan dengan bisikan angin dingin yang menyelinap melalui celah jendela mobil. Raina merasakan jantungnya berdebar kencang, setiap detiknya terasa seperti sebuah hitungan mundur menuju momen krusial."Bagaimana Anda akan melakukannya, Raina?" tanya Arjuna, suaranya rendah, matanya menatap Raina penuh kekaguman sekaligus kekhawatiran. Ia melihat tekad di mata Raina, sebuah keberanian yang jauh melampaui tugas seorang asisten.Raina tersenyum tipis, sebuah senyum penuh keyakinan. "Saya sudah mempelajari beberapa sistem keamanan yang biasa digunakan di rumah-rumah mewah. Ada celah kecil yang bisa dimanfaatkan pada panel alarm eksternal. Dengan sedikit modifikasi pa
Nama yang dibisikkan Arjuna Dirgantara di dalam mobil, nama yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan dalam dunia Grup Dirgantara, kini terasa bagai hantaman palu godam bagi Raina. Prakoso. Mitra bisnis terdekat Tuan Dirgantara Senior. Sosok yang selama ini dianggap sebagai tangan kanan keluarga. Kenyataan bahwa dialah dalang di balik pembunuhan Arya adalah pengkhianatan yang paling kejam, sebuah duri yang menusuk hingga ke inti jiwa Arjuna.Raina merasakan darahnya berdesir dingin. Ia menatap Arjuna, wajah pria itu kini lebih pucat dari sebelumnya, matanya memancarkan campuran duka yang mendalam dan kemarahan yang membara. Aura kuat yang biasa menyelimuti Arjuna kini tergantikan oleh kerapuhan yang menyayat hati. Raina tahu, ini adalah titik balik. Arjuna tidak hanya kehilangan adiknya, tetapi juga kepercayaannya pada dunia yang selama ini ia anggap aman."Prakoso..." Raina berbisik, namanya terasa asing di lidahnya, berlumuran pengkhianatan. "Bagaimana mungkin?"Arjuna menggeleng, t
Beberapa hari setelah penemuan surat Arya, Arjuna dan Raina menghabiskan waktu luang mereka untuk menggali lebih dalam tentang Bramantyo. Mereka menyadari, nama ini tidak hanya terkait dengan skandal yayasan, tetapi juga dengan kepergian Arya yang misterius.Raina, dengan kemampuannya yang teliti, mulai mencari informasi tentang Bramantyo melalui jaringan internal kantor dan sumber-sumber terbuka. Ia menemukan bahwa Bramantyo, setelah skandal yayasan mereda, tidak benar-benar menghilang. Ia hanya mengubah namanya, dan hidup di bawah radar, jauh dari sorotan publik. Ia memiliki beberapa bisnis kecil di luar kota, yang tidak terkait langsung dengan sektor keuangan atau properti."Dia sengaja bersembunyi," Raina berbisik pada Arjuna saat mereka membahas temuan ini di ruang kerja Arjuna yang sepi. "Dia tahu ada yang mencarinya."Arjuna mengangguk, rahangnya mengeras. "Kita harus menemukannya. Dia pasti tahu sesuatu."Namun, Raina tahu, mendekati Bramantyo adalah langkah yang sangat berbah
Pengakuan Tuan Dirgantara Senior tentang Sinta adalah bom yang telah meledak, menghancurkan tembok kebohongan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, penolakannya untuk berbicara tentang kaitan Arya membuat Raina, Arjuna Dirgantara, dan Bima Samudra terdiam. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih menyakitkan, yang masih terkubur dalam-dalam di benak pria tua itu. Sebuah bayangan yang enggan terungkap, mengisyaratkan tragedi yang lebih besar dari sekadar skandal yayasan.Raina merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Ia kini tahu bahwa perannya tidak hanya sebagai jembatan antara Arjuna dan Bima, melainkan juga sebagai penyelidik kebenaran yang sesungguhnya. Ia harus menemukan apa yang Tuan Dirgantara Senior sembunyikan, bahkan jika itu berarti menggali lebih dalam ke masa lalu yang penuh rasa sakit.Setelah percakapan singkat di kamar rumah sakit, Arjuna dan Bima sepakat untuk tidak menekan Ayah mereka lebih jauh. Mereka tahu, memaksanya dalam kondisi seperti itu tidak
Keesokan harinya, suasana di kantor terasa lebih mencekam. Ketidakhadiran Arjuna dan Tuan Dirgantara Senior meninggalkan kekosongan yang terasa berat. Lia, sekretaris senior, tampak lebih sibuk dari biasanya, menjawab telepon-telepon dari media dan kolega yang penasaran. Raina mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang ke rumah sakit. Bagaimana keadaan Tuan Dirgantara Senior? Bagaimana reaksi Arjuna terhadap semua ini? Apakah ia akan dipecat?Desas-desus mulai beredar di antara karyawan. Ada yang mengasihani Tuan Dirgantara Senior, ada yang menyalahkan Bima karena terlalu gegabah, dan ada pula yang diam-diam menyalahkan Raina karena telah 'membocorkan' rahasia keluarga. Raina merasakan tatapan-tatapan sinis itu, namun ia berusaha mengabaikannya. Ia tahu, ia telah melakukan hal yang benar, terlepas dari konsekuensinya.Ia mencoba menghubungi Arjuna, namun tidak ada jawaban. Pesan singkat yang ia kirimkan juga tak berbalas. Raina merasa putus asa. Ia tahu, kepercay
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments