Dua Tuan Tampan

Dua Tuan Tampan

last updateLast Updated : 2025-06-29
By:  bluaeyaCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
59Chapters
215views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Raina Atmaja, seorang gadis sederhana dengan bakat melukis terpendam, terpaksa meninggalkan impian seninya demi keluarga. Ia mengambil pekerjaan sebagai asisten pribadi Arjuna Dirgantara, seorang CEO muda yang dingin, perfeksionis, dan sangat menuntut, pemilik Grup Dirgantara yang megah. Hidup Raina berubah drastis menjadi penuh tekanan dan formalitas, jauh dari kebebasan yang ia dambakan. Namun, ia diam-diam bertemu kembali dengan Bima Samudra, seorang seniman berjiwa bebas yang tulus menghargai bakat Raina dan mengundangnya berkolaborasi dalam sebuah proyek mural. Perhatian Raina yang terbagi memicu kecemburuan tak terucapkan dari Arjuna. Ketegangan memuncak saat Arjuna dan Bima berhadapan langsung dan memperjelas persaingan di antara mereka. Kini, Raina terjebak di antara dua dunia yang berbeda: dunia Arjuna yang menawarkan kemewahan dan keamanan finansial dengan harga kebebasan jiwa, dan dunia Bima yang menawarkan semangat seni dan kehangatan tanpa syarat.

View More

Chapter 1

1. Tabrakan

Senja itu berlumur jingga di atas cakrawala Jakarta, seolah langit ikut merasakan gumpalan kekosongan di dada Raina. Ia berjalan di trotoar dengan hati hampa.

Suara klakson yang bersahutan, deru mesin yang tak pernah henti, dan obrolan samar dari para pejalan kaki lainnya terasa seperti dengungan jauh di telinganya. Semua itu tak mampu mengalihkan fokus Raina dari satu fakta yang menusuk: ia baru saja dipecat.

Kantor agensi kecil tempatnya bekerja sebagai junior graphic designer itu, yang tadinya terasa seperti oase di tengah gurun impiannya, kini berubah menjadi kuburan bagi harapannya.

Alasan yang diberikan atasan? Klise. "Restrukturisasi" katanya, dengan tatapan dingin dan tanpa empati.

Raina tahu itu hanya cara halus untuk mengatakan, "Kami tak lagi membutuhkanmu." Gaji yang tak seberapa itu, yang selama ini menjadi penopang utama bagi biaya sekolah adiknya, Rian, dan obat-obatan ibunya, kini lenyap. Perutnya melilit, bukan karena lapar, melainkan karena kecemasan yang mendalam.

Langkah Raina gontai, tak beraturan. Matanya yang biasanya memancarkan semangat kini memudar, terpaku pada aspal yang retak-retak di bawah sepatunya.

Tas ransel usang nya terasa memberat di pundak, isinya bukan sekadar benda mati, melainkan impian yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertas.

Di dalamnya ada buku sketsa kesayangan, tempat ia melarikan diri dari realita yang mencekik. Setiap guratan pensil, setiap warna, adalah napas lain bagi jiwanya. Mungkin, pikirnya getir, inilah saatnya ia menghadapi kenyataan bahwa impian menjadi ilustrator sukses hanyalah angan-angan belaka.

Ia tidak memperhatikan sekelilingnya. Tidak hirau pada deretan toko pinggir jalan yang mulai menyalakan lampu, tidak juga pada para pedagang kaki lima yang sibuk menjajakan dagangan. Pikirannya melayang jauh, mencari-cari solusi.

Bagaimana ia akan memberitahu Ibu? Bagaimana dengan Rian?

Saat itulah, tepat di depan sebuah gedung perkantoran megah dengan fasad kaca yang memantulkan semburat senja, sesuatu terjadi.

Raina, dengan pandangan yang kosong, tidak melihat sesosok pria tinggi dengan setelan jas hitam yang sempurna, yang sedang melangkah keluar dari lobi gedung itu dengan tergesa. Aroma parfum mahal menguar, berpadu dengan udara sore yang lembap. Pria itu, dengan aura kekuasaan yang terasa membebani, tampak tenggelam dalam ponselnya, berbicara dengan nada tegas dan tak terbantahkan.

Bruk!

Tabrakan tak terhindarkan. Raina, yang tubuhnya tak sekuat pria itu, terhuyung, nyaris terjatuh. Tas nya terlepas dari genggaman, dan isinya tumpah ruah ke trotoar. Puluhan lembar sketsa, pensil warna, buku sketsa, dan dompet kecilnya berserakan di aspal yang kasar. Ia tersentak, keterkejutannya bercampur dengan rasa malu.

"Maaf!" Raina buru-buru mengucapkan. Ia berjongkok, mencoba mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan, tapi tangannya gemetar. Kertas-kertas sketsa itu, yang menjadi saksi bisu setiap jejak mimpinya, kini terancam terinjak-injak oleh langkah kaki pejalan lain yang lalu-lalang.

Pria itu, yang tadinya terhuyung sedikit, kini berdiri tegak. Raina mendongak, dan tatapan mereka bertemu. Mata pria itu menatapnya nyaris menusuk. Wajahnya sempurna, rahang tegas, hidung mancung, bibir tipis yang terkatup rapat. Ada jejak kekesalan samar di sana, namun juga sesuatu yang sulit diartikan—semacam kebekuan yang dalam.

Pria itu adalah Arjuna Dirgantara, nama yang tak asing di telinga Raina, meskipun hanya sebatas berita di majalah bisnis atau headline koran. Pewaris tunggal Grup Dirgantara, raksasa bisnis yang menguasai berbagai sektor, dari properti hingga teknologi. Ia terkenal sebagai pebisnis kejam yang tak mengenal kompromi, dingin, dan efisien.

Arjuna tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya mengalihkan pandangan dari ponselnya ke tumpukan barang Raina. Gerakan pria itu begitu tenang dan terkontrol, seolah tak ada yang mampu menggoyahkan ketenangannya, bahkan setelah insiden kecil ini.

Dengan satu tarikan napas, ia sedikit membungkuk. Jari-jarinya yang panjang dan terawat dengan hati-hati memungut satu per satu lembaran sketsa Raina yang berserakan. Ia melakukannya tanpa ekspresi, tanpa menunjukkan rasa jijik atau bahkan ketertarikan pada gambar-gambar itu. Hanya gerakan mekanis.

Raina terpaku. Ada rasa aneh yang menjalari dirinya. Kagum pada ketampanannya yang tak terbantahkan, sekaligus gentar oleh aura dominan yang terpancar darinya. Ia merasa kecil di hadapan pria itu, bagai setitik debu di tengah badai.

"Lain kali," suara Arjuna terdengar. Dingin, datar, namun beresonansi dengan jelas di telinga Raina. "Perhatikan jalan Anda."

Ia tidak menatap mata Raina saat mengatakannya. Tatapannya tertuju pada lembaran sketsa terakhir yang ia pungut. Sebuah gambar wajah perempuan yang tersenyum penuh harapan, mungkin representasi impian Raina sendiri. Arjuna menatapnya sepersekian detik lebih lama dari yang seharusnya, lalu meletakkannya kembali ke tumpukan dengan gerakan cepat.

Setelah semua buku dan sketsa terkumpul, Arjuna menegakkan tubuh. Ia tak menunggu Raina mengucapkan terima kasih, atau melihat apakah Raina baik-baik saja.

Dengan langkahnya yang pasti, ia melangkah pergi, masuk ke dalam mobil sport hitam mewah yang sudah menunggunya di pinggir jalan. Pintu tertutup, dan mobil itu melesat membelah kemacetan senja, meninggalkan Raina terpaku sendirian di trotoar.

Raina menghela napas, napas yang selama ini ia tahan. Dadanya terasa sesak. Ia memungut tasnya, merapikan kembali buku dan sketsa-sketsanya yang kini terasa semakin berharga.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
59 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status