Share

4. Arjuna

Author: bluaeya
last update Last Updated: 2025-05-06 07:36:09

Hari H tiba. Grand Ballroom Hotel Dharmawangsa berkilau di bawah gemerlap lampu kristal, memancarkan aura kemewahan. Raina tiba lebih awal, mengenakan seragam asisten katering berwarna hitam standar yang sedikit kebesaran di tubuhnya. Ia segera bergabung dengan tim Maya yang sudah sibuk menata meja dan memastikan setiap detail sempurna.

Suasana di dalam ballroom bagai dunia yang berbeda dari kehidupan Raina sehari-hari. Udara dipenuhi aroma bunga lili yang mahal, dentingan gelas kristal, dan bisikan-bisikan berbahasa Inggris dan Indonesia yang santun.

Para tamu mulai berdatangan, mengenakan gaun malam elegan dan setelan jas. Mereka adalah para sosialita, pebisnis, dan kolektor seni yang namanya sering menghiasi majalah gaya hidup. Raina merasa seperti alien di tengah keramaian ini, bergerak gesit di antara meja-meja bundar, berusaha tak menarik perhatian, dan hanya fokus pada tugasnya.

"Rain, tolong cek makanan di meja VIP lima. Pastikan dessert-nya sesuai daftar," instruksi Maya, yang wajahnya sudah berkeringat meski riasannya masih sempurna.

Raina mengangguk, mengambil nampan berisi piring-piring kecil berisi crème brûlée dengan hiasan karamel artistik. Meja VIP lima terletak di tengah ruangan, dekat dengan panggung utama tempat sebuah lukisan abstrak besar terpampang, siap dilelang. Saat ia mendekat, jantungnya sedikit berdebar. Di sanalah, duduk di antara beberapa pria berjas lain yang tampak tak kalah penting, adalah Arjuna Dirgantara.

Ia terlihat berbeda di bawah cahaya lampu ballroom. Jas hitamnya tampak lebih gelap, membalut tubuhnya yang tegap dengan sempurna. Wajahnya yang tegas terlihat lebih tajam, disinari pantulan lampu. Rambutnya disisir rapi ke belakang, menambah kesan dingin dan berwibawa.

Arjuna sedang berbicara serius dengan seorang pria paruh baya, sesekali melirik ke arah panggung. Aura kekuasaan yang ia miliki begitu kuat, seolah ia adalah pusat gravitasi di ruangan itu.

Raina berusaha menunduk, fokus pada piring di tangannya. Ia meletakkan dessert itu dengan hati-hati, berusaha menghindari tatapan Arjuna. Namun, Arjuna tiba-tiba mengangkat kepala. Matanya menatap tajam dan sulit diterjemahkan, langsung menemukan Raina di antara para pelayan lain.

Sebuah deja vu yang kuat menjalari Raina. Tatapan itu sama persis seperti saat mereka bertabrakan di trotoar. Dingin, datar, namun entah mengapa, terasa menusuk. Ada sedikit kerutan samar di antara kedua alisnya, seolah ia sedang berusaha mengingat sesuatu.

Raina segera memalingkan wajah, berpura-pura memeriksa letak sendok garpu yang sebenarnya sudah sempurna. Ia merasakan pipinya memanas. Apakah Arjuna mengingatnya? Atau apakah ia hanya bingung melihat seorang pelayan yang tampak canggung?

Raina buru-buru berbalik, melangkah menjauh dari meja VIP lima. Ia ingin menghilang, tenggelam di balik kerumunan tamu. Namun, punggungnya terasa panas, seolah tatapan Arjuna masih mengikutinya. Ia bersembunyi di balik meja katering, berpura-pura mengatur minuman.

"Rain, kenapa? Kok pucat gitu?" tegur Maya, menepuk pundaknya.

"Ah, nggak apa-apa, May. Gerah aja," jawab Raina, berusaha tersenyum tipis. Ia melirik ke arah meja VIP lima. Arjuna masih di sana, kini mengobrol dengan seorang wanita bergaun merah yang glamor. Tatapannya sudah tak lagi ke arahnya, namun rasa gelisah Raina tak kunjung hilang.

Sepanjang sisa jam persiapan dan awal acara, Raina bekerja seperti robot. Ia mengambil piring kosong, mengisi ulang minuman, dan sesekali mengantarkan hidangan ringan.

Setiap kali ia harus mendekati area VIP, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Arjuna Dirgantara adalah orang penting dengan ratusan bahkan ribuan karyawan. Mustahil ia akan mengingat wajah seorang gadis yang tak sengaja ia tabrak di trotoar, apalagi di tengah acara semewah ini. Itu hanya khayalannya saja.

Suatu kali, saat Raina sedang membereskan gelas-gelas di dekat panggung, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Arjuna dan seorang pria lain yang tampak lebih tua.

"Lukisan ini sepertinya akan mencapai harga tinggi, Arjuna," ujar pria tua itu, menunjuk lukisan di panggung.

Arjuna hanya bergumam, "Apapun yang dibutuhkan untuk citra perusahaan, Paman. Ini bukan soal seni, ini soal prestise." Nada suaranya dingin dan pragmatis, seolah seni adalah angka-angka di laporan keuangan.

Raina mengerutkan kening. Betapa berbedanya pria ini dengan dirinya. Baginya, seni adalah jiwa, ekspresi, dan kehidupan. Bagi Arjuna, seni hanyalah alat untuk mencapai tujuan.

Ia menghela napas. Tentu saja. Seorang pebisnis kejam yang tak mengenal kompromi seperti Arjuna tak akan mengerti.

Waktu berlalu. Acara lelang semakin meriah. Dentuman palu juru lelang, sorakan penawar, dan tepuk tangan riuh mengisi ruangan. Raina, yang kini berdiri di sudut dekat pintu dapur, sedikit santai karena pekerjaannya mulai berkurang. Ia bisa mengamati orang-orang dari kejauhan, menikmati suasana asing ini.

Ia melihat Arjuna di barisan depan, masih dengan ekspresi datarnya, sesekali mengangkat kartu penawarnya dengan gerakan kecil, namun efektif. Setiap kali ia menawar, harga lukisan langsung melonjak drastis. Ia benar-benar penguasa di ruangan ini, bahkan tanpa banyak bicara.

Di tengah pengamatannya, Raina merasakan sesuatu yang lain. Ada keramaian kecil di dekat pintu masuk utama, di mana beberapa tamu sedang berkerumun.

Seorang pria muda mengenakan kemeja linen berwarna krem yang terlihat kasual namun artistik, sedang tertawa lepas. Senyumnya begitu hangat, kontras dengan kaku dan formalnya suasana ballroom. Pria itu memegang sebatang arang sketsa dan sebuah buku kecil, sedang menandatangani sesuatu untuk seorang tamu.

Raina tertarik. Ada aura kebebasan yang memancar dari pria itu, seperti angin sejuk yang tiba-tiba berhembus di ruangan ber-AC yang dingin.

Ia adalah Bima Samudra, seorang seniman muda yang karyanya mulai naik daun, dan malam ini, salah satu lukisannya menjadi bagian dari lelang amal. Raina tahu namanya dari poster-poster pameran seni yang sering ia lihat di media sosial. Ia selalu mengagumi gaya Bima yang ekspresif dan penuh jiwa.

Seolah ditarik oleh magnet tak kasat mata, Raina diam-diam mendekat. Ia ingin melihat karya Bima yang dipajang. Pria itu kini sedang berinteraksi dengan beberapa seniman lain, tawanya masih renyah, senyumnya menawan. Mata Raina terpaku pada Bima, yang terlihat begitu hidup dan bersemangat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dua Tuan Tampan   59. Cahaya

    Suara tembakan yang menusuk telinga, kegelapan yang mencekam, dan aura ancaman dari Prakoso kini memudar, digantikan oleh gema sirene polisi yang mendekat. Raina terhuyung, bersandar pada dinding yang dingin, membiarkan napasnya tersengal.Ia mencengkeram erat tangan Arjuna Dirgantara, yang kini berdiri di sampingnya, memandangi Bima Samudra yang menahan Prakoso yang tak sadarkan diri. Mata Raina berkaca-kaca, bukan karena takut, melainkan karena lega yang luar biasa. Mereka berhasil. Mereka selamat. Polisi tiba beberapa menit kemudian, menggeledah rumah Prakoso dan mengamankan Bramantyo yang juga masih terlihat syok. Mereka menemukan pistol Prakoso yang tergeletak di sudut ruangan, dan segera mengambil berkas bukti yang dipegang Arjuna. Rekaman suara kecil dari dalam berkas itu menjadi kunci utama, suara yang merekam percakapan Prakoso dan kaki tangannya mengenai skandal yayasan dan, yang paling mengerikan, perintah untuk membungkam Arya. Seluruh ruangan itu kini dipenuhi petugas y

  • Dua Tuan Tampan   58. Jejak di Dalam

    Rencana Raina untuk memicu alarm kebakaran di kediaman Prakoso bagaikan percikan api yang akan menyulut ledakan. Di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari rumah mewah itu, Arjuna Dirgantara mengangguk, menyetujui strategi berani Raina. Ketegangan memenuhi udara pagi di kota kecil itu, sebuah ketegangan yang hanya bisa dibandingkan dengan bisikan angin dingin yang menyelinap melalui celah jendela mobil. Raina merasakan jantungnya berdebar kencang, setiap detiknya terasa seperti sebuah hitungan mundur menuju momen krusial."Bagaimana Anda akan melakukannya, Raina?" tanya Arjuna, suaranya rendah, matanya menatap Raina penuh kekaguman sekaligus kekhawatiran. Ia melihat tekad di mata Raina, sebuah keberanian yang jauh melampaui tugas seorang asisten.Raina tersenyum tipis, sebuah senyum penuh keyakinan. "Saya sudah mempelajari beberapa sistem keamanan yang biasa digunakan di rumah-rumah mewah. Ada celah kecil yang bisa dimanfaatkan pada panel alarm eksternal. Dengan sedikit modifikasi pa

  • Dua Tuan Tampan   57. Dalang

    Nama yang dibisikkan Arjuna Dirgantara di dalam mobil, nama yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan dalam dunia Grup Dirgantara, kini terasa bagai hantaman palu godam bagi Raina. Prakoso. Mitra bisnis terdekat Tuan Dirgantara Senior. Sosok yang selama ini dianggap sebagai tangan kanan keluarga. Kenyataan bahwa dialah dalang di balik pembunuhan Arya adalah pengkhianatan yang paling kejam, sebuah duri yang menusuk hingga ke inti jiwa Arjuna.Raina merasakan darahnya berdesir dingin. Ia menatap Arjuna, wajah pria itu kini lebih pucat dari sebelumnya, matanya memancarkan campuran duka yang mendalam dan kemarahan yang membara. Aura kuat yang biasa menyelimuti Arjuna kini tergantikan oleh kerapuhan yang menyayat hati. Raina tahu, ini adalah titik balik. Arjuna tidak hanya kehilangan adiknya, tetapi juga kepercayaannya pada dunia yang selama ini ia anggap aman."Prakoso..." Raina berbisik, namanya terasa asing di lidahnya, berlumuran pengkhianatan. "Bagaimana mungkin?"Arjuna menggeleng, t

  • Dua Tuan Tampan   56. Terowongan Kegelapan

    Beberapa hari setelah penemuan surat Arya, Arjuna dan Raina menghabiskan waktu luang mereka untuk menggali lebih dalam tentang Bramantyo. Mereka menyadari, nama ini tidak hanya terkait dengan skandal yayasan, tetapi juga dengan kepergian Arya yang misterius.Raina, dengan kemampuannya yang teliti, mulai mencari informasi tentang Bramantyo melalui jaringan internal kantor dan sumber-sumber terbuka. Ia menemukan bahwa Bramantyo, setelah skandal yayasan mereda, tidak benar-benar menghilang. Ia hanya mengubah namanya, dan hidup di bawah radar, jauh dari sorotan publik. Ia memiliki beberapa bisnis kecil di luar kota, yang tidak terkait langsung dengan sektor keuangan atau properti."Dia sengaja bersembunyi," Raina berbisik pada Arjuna saat mereka membahas temuan ini di ruang kerja Arjuna yang sepi. "Dia tahu ada yang mencarinya."Arjuna mengangguk, rahangnya mengeras. "Kita harus menemukannya. Dia pasti tahu sesuatu."Namun, Raina tahu, mendekati Bramantyo adalah langkah yang sangat berbah

  • Dua Tuan Tampan   55. Surat Arya

    Pengakuan Tuan Dirgantara Senior tentang Sinta adalah bom yang telah meledak, menghancurkan tembok kebohongan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, penolakannya untuk berbicara tentang kaitan Arya membuat Raina, Arjuna Dirgantara, dan Bima Samudra terdiam. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih menyakitkan, yang masih terkubur dalam-dalam di benak pria tua itu. Sebuah bayangan yang enggan terungkap, mengisyaratkan tragedi yang lebih besar dari sekadar skandal yayasan.Raina merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Ia kini tahu bahwa perannya tidak hanya sebagai jembatan antara Arjuna dan Bima, melainkan juga sebagai penyelidik kebenaran yang sesungguhnya. Ia harus menemukan apa yang Tuan Dirgantara Senior sembunyikan, bahkan jika itu berarti menggali lebih dalam ke masa lalu yang penuh rasa sakit.Setelah percakapan singkat di kamar rumah sakit, Arjuna dan Bima sepakat untuk tidak menekan Ayah mereka lebih jauh. Mereka tahu, memaksanya dalam kondisi seperti itu tidak

  • Dua Tuan Tampan   54. Sunyi

    Keesokan harinya, suasana di kantor terasa lebih mencekam. Ketidakhadiran Arjuna dan Tuan Dirgantara Senior meninggalkan kekosongan yang terasa berat. Lia, sekretaris senior, tampak lebih sibuk dari biasanya, menjawab telepon-telepon dari media dan kolega yang penasaran. Raina mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang ke rumah sakit. Bagaimana keadaan Tuan Dirgantara Senior? Bagaimana reaksi Arjuna terhadap semua ini? Apakah ia akan dipecat?Desas-desus mulai beredar di antara karyawan. Ada yang mengasihani Tuan Dirgantara Senior, ada yang menyalahkan Bima karena terlalu gegabah, dan ada pula yang diam-diam menyalahkan Raina karena telah 'membocorkan' rahasia keluarga. Raina merasakan tatapan-tatapan sinis itu, namun ia berusaha mengabaikannya. Ia tahu, ia telah melakukan hal yang benar, terlepas dari konsekuensinya.Ia mencoba menghubungi Arjuna, namun tidak ada jawaban. Pesan singkat yang ia kirimkan juga tak berbalas. Raina merasa putus asa. Ia tahu, kepercay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status