Home / Romansa / Dua Tuan Tampan / 6. Pengirim Mawar

Share

6. Pengirim Mawar

Author: bluaeya
last update Last Updated: 2025-05-08 08:53:57

Setelah berjam-jam berkutat dengan angka-angka dan laporan keuangan tanpa akhir, Karina akhirnya menghela napas lega. Pekerjaannya selesai. Rasa lelah menyelimuti tubuhnya, namun kepuasan kecil menangkap hatinya. Ia cepat-cepat merapikan mejanya, mematikan komputer, dan meraih tasnya, tidak sabar untuk segera kembali ke ketenangan kamar kosnya.

Suasana kantor di lantai atas benar-benar sepi. Hanya lampu-lampu darurat yang memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang tidak biasa. Langkah kaki Karina menggema pelan di koridor yang kosong saat ia berjalan menuju lift.

Dalam lift yang lambat dan sunyi, pikiran Karina kembali melayang pada buket mawar merah dan sikap tidak biasa Julian malam ini. Pertanyaan-pertanyaan itu masih menanti jawaban di benaknya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengusir kebingungan itu dan fokus pada keinginan untuk segera beristirahat.

Tiba di lantai dasar, Karina sedikit terkejut melihat lampu lobi masih menyala terang. Biasanya, selarut ini, hanya petugas keamanan yang berjaga. Namun, di salah satu sudut lobi yang mewah dengan sofa-sofa kulit yang besar, ia melihat sosok familiar sedang duduk seorang diri.

Julian Pratama masih di sana.

Ia tampak santai, melepas jasnya dan melonggarkan dasinya. Cahaya lampu lobi memantulkan kilau jam tangan mewah di pergelangan tangannya. Tatapannya kosong, seolah sedang memikirkan sesuatu yang dalam.

Karina sedikit ragu untuk menghampirinya. Ia tidak yakin apakah ia harus menyapanya lagi atau hanya melewatinya dan segera pulang. Namun, rasa ingin tahu yang kuat menarik langkahnya mendekat.

Saat Karina semakin dekat, Julian mengangkat kepalanya dan menatap wanita itu dengan senyum tipis yang melembut.

"Karina," sapa Julian pelan, nada suaranya lebih rendah dan lebih pribadi dari sebelumnya. "Kamu sudah selesai?"

"I-iya, Pak," jawab Karina dengan nada gugup namun berusaha tetap sopan. "Sudah selesai. Saya mau pulang."

Julian mengangguk pelan, tatapannya melekat pada Karina. Suasana lobi yang mewah namun sepi seolah menciptakan ruang pribadi di antara mereka, jauh dari hiruk pikuk kantor di siang hari.

Julian mengalihkan pandangannya sejenak ke arah jendela besar lobi yang menampilkan gemerlap lampu kota Jakarta di kejauhan.

"Jakarta di malam hari... berbeda ya," ujar Julian pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. "Semua lebih tenang, lebih... jujur."

Karina termenung mendengar ucapan atasannya. Ia tidak pernah membayangkan akan berbincang santai dengan Julian Pratama di lobi kantor selarut ini. Ada kelembutan dalam nada suaranya yang menimbulkan rasa ingin tahu semakin besar dalam diri Karina.

Julian kembali menatap Karina, tatapannya menyelidik namun kali ini melembut seolah mencari jawaban atau pemahaman dari wanita di hadapannya.

"Karina," ujar Julian lagi, kali ini dengan nada suara yang lebih rendah dan lebih pribadi. "Bunga mawar merah itu... sangat indah. Kamu pasti sangat menyukainya."

"I-iya, Pak," jawab Karina pelan, mencoba menyembunyikan debar jantungnya yang semakin kencang. "Bunganya sangat indah.."

"Karina," ujar Julian lagi, nada suaranya kini merasa lebih rendah, hampir berbisik, memecah keheningan lobi yang merasa menyelimuti mereka. "Sebenarnya... akulah yang mengirimkan bunga itu."

Pengakuan itu seperti sambaran petir di tengah malam yang sunyi. Karina terkejut hingga tanpa sadar melangkah mundur. Matanya membulat sempurna, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Julian Pratama, CEO dingin dan formal yang menangani perusahaan dengan tangan besi, ternyata adalah pengirim buket mawar merah itu.

"B-Bapak?" tanya Karina dengan nada suara tercekat, seolah kata-kata tercekat di tenggorokannya. Ia merasa semuanya menjadi tidak masuk akal. Kenapa seorang CEO mengirimkan bunga kepada karyawan biasa seperti dirinya?

Julian mengangguk pelan, "Iya, Karina. Saya ingin membuat harimu lebih indah setelah... insiden kopi kemarin."

"T-tapi... kenapa, Pak?" tanya Karina akhirnya, suaranya nyaris berbisik, takut memecah keheningan di antara mereka. Ia seolah sedang bermimpi, dan ia takut gerakan atau suara keras akan membuyarkan ilusi ini.

"Saya... saya merasa bersalah atas kejadian kopi kemarin," ujar Julian akhirnya dengan nada suara yang мераsa (merasa) rendah dan мераsa (merasa) tulus.

Penjelasan itu sederhana namun tidak sepenuhnya memuaskan rasa ingin tahu Karina. Hanya karena insiden kopi tanpa sengaja), seorang CEO mengirimkan buket mawar merah mewah tanpa nama?

"Sebenarnya, Pak," ujar Karina pelan, mencoba bersikap formal meskipun perasaannya sedikit kacau. "Buket bunga itu... sebenarnya tidak perlu. Insiden kopi kemarin juga bukan salah Bapak sepenuhnya. Saya juga ceroboh."

Julian termenung sejenak mendengar ucapan Karina. Ekspresi wajahnya sulit dibaca. Keheningan kembali menyelimuti mereka.

"Bukankah... bukankah Bapak punya pacar?" tanya Karina akhirnya dengan nada suara yang pelan dan sedikit ragu.Ia merasa perlu menanyakan hal ini, mencari kepastian atau alasan logis di balik sikap atasannya.

Julian menghela napas pelan dan mengalihkan pandangannya sejenak ke arah jendela besar lobi yang menampilkan gemerlap lampu kota di kejauhan. Ada sebuah kesedihan yang dalam tatapannya.

"Dulu," jawab Julian akhirnya dengan nada suara yang rendah. "Tapi... itu sudah lama sekali."

Julian kembali menatap Karina, "Karina," ujar Julian lagi, "Saya serius."

Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati agar tidak menyinggung atasannya,"Bukan maksud saya lancang, Pak," ujar Karina pelan, berusaha menjaga nada suaranya, "Tapi... saya pernah melihat Bapak menunggu seorang wanita di lobi kantor ini beberapa waktu yang lalu. Malam itu... setelah insiden kopi."

Julian mengalihkan pandangannya sejenak ke arah lantai, "Malam itu..." gumam Julian pelan, seolah sedang mengingat-ingat kejadian beberapa waktu lalu. Ia terdiam sebelum kembali menatap Karina. "Mungkin kamu salah lihat, Karina."

"Saya... saya rasa tidak salah lihat, Pak," balas Karina pelan namun tegas, mempertahankan keyakinannya. "Wanita itu... sangat cantik dan anggun."

Karina menarik napas dalam-dalam, mencoba mengalihkan topik dan mengakhiri percakapan yang semakin tidak biasa ini. Rasa lelah semakin menyelimuti tubuhnya, dan ia hanya ingin segera pulang dan beristirahat.

"Kalau begitu, Pak Julian," ujar Karina pelan, menarik tali tasnya di bahu. "Saya permisi pulang dulu. Sudah larut malam." Ia berusaha menjaga jarak profesional meskipun jantungnya masih berdebar.

Julian mengalihkan pandangannya sejenak ke arah pintu lobi yang gelap sebelum kembali menatap wanita di hadapannya.

"Karina," ujar Julian, "Sudah selarut ini... saya rasa tidak ada ojek atau bus yang beroperasi lagi."

Karina terkejut mendengar ucapan Julian. Ia tidak memikirkannya. Biasanya, ia selalu mengandalkan ojek online untuk pulang, namun ia tidak yakin apakah masih ada yang beroperasi selarut ini. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan hampir tengah malam.

"Eh... iya, Pak. Saya belum cek," jawab Karina gugup. Ia sedikit khawatir. Kosnya cukup jauh, dan berjalan kaki selarut ini tidak aman.

Julian memperhatikan ekspresi khawatir di wajah Karina. "Begini saja, Karina," ujar Julian akhirnya. "Saya antar kamu pulang.."

Karina menatap Julian dengan keraguan yang jelas terlihat di wajahnya. Ia tidak yakin apakah ia pantas menerima kebaikan hati atasannya ini.

"Ehm... Bapak tidak merepotkan?" tanya Karina hati-hati, "Kos saya... jauh dari pusat kota."

Julian tersenyum tipis, "Sama sekali tidak, Karina. Lebih baik daripada kamu menunggu ojek yang belum tentu ada."

"Tidak masalah, Karina," jawab Julian akhirnya dengan nada suara yang tenang dan meyakinkan. "Saya antar kamu sampai ke sana. Yang penting kamu selamat sampai tujuan."

Karina menatap Julian sejenak, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Di bawah cahaya lampu lobi, wajah atasannya itu tampak tenang dan tulus. Tidak ada niat buruk atau paksaan yang terpancar dari tatapannya.

"Terima kasih banyak, Pak," ujar Karina akhirnya, "Saya sangat menghargai tawaran Bapak." Ia merasa tidak punya pilihan lain selain menerimanya.

Julian tersenyum tipis lagi, "Sama-sama, Karina. Mari." Ia melambaikan tangannya sedikit ke arah pintu keluar lobi.

Karina mengikuti Julian keluar dari lobi menuju tempat parkir mobil. Langkahnya sedikit kaku. Di tempat parkir yang sunyi, Julian membuka pintu mobil untuk Karina, tindakan sopan yang menimbulkan perasaan dalam diri wanita itu. Apa sebenarnya yang Julian inginkan darinya? Kebimbangan dan rasa ingin tahu menyelimuti hatinya saat ia duduk di dalam mobil mewah Julian Pratama, menanti tujuan akhir di tengah kegelapan malam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dua Tuan Tampan   12. Perdebatan

    Malam semakin menghampiri di depan toko bunga "Lavender Dreams", namun ketegangan di antara Julian dan Alex belum juga mereda. Setelah Karina berpamitan dan bergegas menuju halte, keduanya masih berdiri di tempat yang sama, saling menatap dengan sorot mata yang menyimpan berbagai pertanyaan dan kecurigaan. Julian, sebagai pihak yang lebih dulu mengenal Karina (sebagai atasannya), merasa memiliki keunggulan. Ia memandang Alex dengan tatapan dingin, mencoba menunjukkan superioritasnya. "Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini, Tuan...?" Julian menggantungkan kalimatnya, seolah meremehkan Alex yang belum ia ketahui identitasnya secara pasti. Alex menyeringai tipis, tidak terpengaruh sedikit pun oleh nada bicara Julian yang merendahkan. "Rossi. Alex Rossi. Dan saya juga tidak menyangka akan bertemu dengan seorang CEO yang berkeliaran di sekitar toko bunga pada malam hari. Sedang mencari inspirasi untuk buket ucapan selamat atas keberhasilan proyek?" balas Alex dengan nada san

  • Dua Tuan Tampan   11. Dua Tuan Tampan

    Senja merayap turun, membalut jalanan dengan cahaya temaram setelah kesibukan jam kantor mereda. Karina, dengan seulas senyum puas menghiasi wajahnya, baru saja keluar dari toko bunga "Lavender Dreams". Di tangannya tergenggam buket bunga matahari cerah untuk ulang tahun Risa. Namun, kedamaian sore itu terusik oleh kedatangan dua sosok pria secara bersamaan dari arah yang berlawanan. Tepat di sisi kanan Karina, sebuah mobil sedan mewah berwarna grafit berhenti. Pintu pengemudi terbuka, dan dari sana keluar Julian Pratama. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung lengannya hingga siku, namun aura CEO yang berwibawa tetap melekat padanya. Karina terkejut bukan main. Belum hilang rasa kagetnya, dari sisi kiri Karina, suara deru motor sport yang khas terdengar mendekat. Sebuah motor Ducati berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya. Pengendaranya menurunkan visor helm, memperlihatkan wajah tegas namun memikat milik Alex. Jaket kulit hitam yang dikenakannya semakin menambah daya ta

  • Dua Tuan Tampan   10. Kafe Eskrim

    Sore hari, Maya mengajak Karina untuk mencari udara segar sepulang kerja. "Kar, kepala gue udah berasap nih gara-gara brainstorming ide iklan yang nggak jelas. Kita cari es krim yuk di kafe Gelato. Siapa tahu ketemu oppa-oppa ganteng yang lagi nyari inspirasi juga," ajak Maya dengan nada penuh harapan. Karina, yang otaknya juga terasa lelah berjam-jam berkutat dengan angka, menyetujui ajakan Maya. Suasana sore yang ramai dengan lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki sedikit mengalihkan pikirannya dari rutinitas kantor. Sesampainya di kafe Gelato dengan aroma manis yang melekat di udara, Maya langsung memesan dua scoop rasa mint chocolate dan strawberry cheesecake. Karina sendiri memilih rasa salted caramel yang selalu berhasil menghiburnya. Mereka duduk di salah satu meja di sudut kafe, menikmati es krim sambil sesekali mengamati pengunjung lain. "Tuh kan, Kar! Gue bilang juga apa, kafe ini tuh sarangnya cowok-cowok ganteng!" bisik Maya sambil menyikut lengan Karina, matanya berbin

  • Dua Tuan Tampan   9. Hiruk Pikuk Klub Malam

    Dentuman musik menimbulkan vibrasi di lantai dan riuh rendah percakapan menyelimuti malam itu dengan atmosfer yang memekakkan telinga. Di tengah kerumunan pesta yang berjingkrak-jingkrak mengikuti ritme musik, Karina merasa semakin tidak nyaman. Ia seolah menjadi sosok asing di tengah dunia yang menarik namun sedikit mengintimidasi baginya. Meskipun Maya dan Toni tampak menikmati suasana pesta dengan bersemangat, Karina merindukan ketenangan kamar kosnya. Aroma alkohol dan keringat yang bercampur di udara menimbulkan perasaan tidak nyaman. Dengan langkah hati-hati, Karina mulai menepi dari kerumunan yang semakin padat. Ia mencari sudut yang sedikit lebih sepi di mana ia bisa sedikit bernapas dan menjernihkan pikirannya. Matanya menyelidik sekeliling, mencari keberadaan sofa atau kursi kosong yang bisa ia duduki sejenak. Setelah beberapa saat mencari, Karina akhirnya menemukan sofa tersembunyi di sudut ruangan yang remang-remang. Sofa kulit berwarna gelap itu tampak menawarkan sedik

  • Dua Tuan Tampan   8. Kehebohan teman

    Mentari pagi menyusup malu-malu melalui celah ventilasi kamar Karina, membangunkan gadis itu dari tidur lelap yang menyenangkan. Karina menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur dengan gerakan lemah. Ia masih merasa sedikit lelah namun rasa penasaran tentang kejadian kemarin lebih mendominasi. Ia perlu menceritakan ini pada kedua teman kosnya, Risa dan Beno, meskipun ia yakin reaksinya pasti akan heboh. Setelah menyelesaikan ritual pagi seadanya, Karina keluar dari kamar dan mendapati Risa sudah berkutat di dapur dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Beno, seperti biasa di pagi hari, tampak duduk tenang di meja makan dengan sebuah buku tebal di tangannya. "Pagi, Kar! Muka lo kusut banget kayak cucian belum disetrika," sapa Risa mengalihkan pandangannya dari cangkir kopi merasuk indra penciumannya. "Pagi, Ris. Pagi, Ben," jawab Karina lemah sambil duduk di kursi sebelah Beno. Beno hanya mengangguk singkat tanpa memalingkan wajahnya dari bukunya yang berjudul "Eksistens

  • Dua Tuan Tampan   7. Tumpangan Julian

    Mobil mewah Julian meluncur lembut membelah jalanan Jakarta yang mulai sepi di tengah malam. Lampu-lampu jalan menari di kaca jendela, menciptakan refleksi cahaya di wajah Karina. Karina duduk dengan sedikit kaku di kursi penumpang. Ia melirik Julian yang fokus menyetir dengan ekspresi wajah tenang. Sorot lampu jalan sesekali menerangi garis rahangnya yang tegas. Julian memecah keheningan setelah beberapa saat dengan pertanyaan. "Jadi, kos kamu di daerah mana?" "Di daerah luar kota, Pak," jawab Karina. "Dekat dengan kampus baru." Julian mengangguk pelan, Karina memberanikan diri untuk melirik Julian lagi. Julian tiba-tiba memecah keheningan lagi. "Kamu sudah lama tinggal di sana, Karina?" "Sejak kuliah, Pak," jawab Karina pelan. "Sekitar lima tahunan." Karina memberanikan diri untuk bertanya balik. "Kalau Bapak... sudah lama tinggal di Jakarta?" Julian sekilas tersenyum tipis. "Sejak lahir. Tapi... kadang saya merasa pusat kota Jakarta terlalu ramai dan... melelahkan." "Kamu.

  • Dua Tuan Tampan   6. Pengirim Mawar

    Setelah berjam-jam berkutat dengan angka-angka dan laporan keuangan tanpa akhir, Karina akhirnya menghela napas lega. Pekerjaannya selesai. Rasa lelah menyelimuti tubuhnya, namun kepuasan kecil menangkap hatinya. Ia cepat-cepat merapikan mejanya, mematikan komputer, dan meraih tasnya, tidak sabar untuk segera kembali ke ketenangan kamar kosnya.Suasana kantor di lantai atas benar-benar sepi. Hanya lampu-lampu darurat yang memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang tidak biasa. Langkah kaki Karina menggema pelan di koridor yang kosong saat ia berjalan menuju lift.Dalam lift yang lambat dan sunyi, pikiran Karina kembali melayang pada buket mawar merah dan sikap tidak biasa Julian malam ini. Pertanyaan-pertanyaan itu masih menanti jawaban di benaknya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengusir kebingungan itu dan fokus pada keinginan untuk segera beristirahat.Tiba di lantai dasar, Karina sedikit terkejut melihat lampu lobi masih menyala terang. Biasany

  • Dua Tuan Tampan   5. Mawar

    Keesokan harinya, Karina terbangun dengan perasaan sedikit lelah. Rutinitas pagi di kos berjalan seperti biasa. Risa sudah sibuk dengan ritual dandan sebelum kerja, sementara Beno tampak tenang dengan laptopnya."Muka lo kenapa ditekuk gitu, Kar? Mimpi buruk ketemu Pak Bambang nagih laporan?" celetuk Risa sambil menyisir rambutnya di depan cermin."Nggak kok. Cuma kurang tidur aja," jawab Karina berbohong sambil meraih mug kopinya.Sesampainya di kantor, suasana pagi terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Beberapa karyawan tampak berbisik-bisik dan melihat ke arah pintu masuk. Karina tidak terlalu menghiraukannya dan langsung menuju mejanya."Pagi, Kar! Ada kejutan buat lo!" seru Maya dengan senyum misterius saat Karina baru sampai."Kejutan apaan?" tanya Karina skeptis. Biasanya, "kejutan" ala Maya berkisar antara gosip terbaru yang belum tentu benar atau makanan aneh dari kantin.Maya menunjuk ke arah mejanya dengan gerakan dramatis. Di atas mejanya, Karina melihat sebuket bunga

  • Dua Tuan Tampan   4. Alex Draxler

    Di balik tatapan menyelidik dan aura misterius yang melingkupi Alex Draxler, tersembunyi sebuah dunia yang jauh dari hiruk pikuk kantor biasa dan senyaman kedai kopi. Alex Draxler, nama lengkapnya, bukanlah sekadar pria asing. Ia adalah putra sulung dari keluarga Draxler, sebuah nama yang disegani sekaligus ditakuti dalam lingkaran bisnis yang abu-abu. Apartemen mewah Alex di pusat kota Jakarta menjadi saksi bisu kehidupannya yang diwarnai dengan pertemuan-pertemuan larut malam. Di ruang kerja apartemennya yang mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap, ayah Alex, Don Rafael Draxler, sudah menunggunya. Don Rafael, pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih namun tatapan matanya masih setajam elang, duduk di kursi kulit besar di balik meja kerjanya yang dipenuhi dokumen dan telepon antik. Aura kekuasaan dan ketegasan melingkupi figur ayahnya. "Alex, akhirnya kau pulang juga," ujar Don Rafael dengan nada suara berat yang menandakan ketidaksenangan. "Aku menunggumu sejak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status