Malam itu, di tengah hiruk pikuk pembersihan Grand Ballroom, ingatan Raina tentang Bima Samudra jauh lebih kuat daripada bayangan dingin Arjuna Dirgantara.
Kata-kata Bima, "Jangan pernah berhenti berkarya," bagai bisikan penenang di tengah badai kecemasan. Pujian tulus dari seorang seniman yang ia kagumi terasa seperti sebuah validasi, sebuah dorongan yang sangat ia butuhkan setelah hari-hari penuh kemalangan. Ketika ia tiba di rumah menjelang tengah malam, seluruh anggota keluarganya sudah terlelap. Raina menyelinap masuk ke kamarnya, merasa lelah namun juga dipenuhi energi baru yang aneh. Ia melemparkan seragam katering yang sedikit kotor ke sudut ruangan, lalu segera mengeluarkan buku sketsa kesayangannya. Di sanalah, terselip di antara halaman-halaman yang penuh coretan, selembar sketsa Rian yang sempat terjatuh dan dipungut oleh Bima. Raina memegang lembaran itu, mengamati goresan pensilnya sendiri seolah melihatnya untuk pertama kali. Senyum Rian yang polos terpampang jelas. Ia teringat bagaimana Bima menatap sketsa itu, bagaimana senyumnya mengembang, dan bagaimana ia mengucapkan kata-kata penyemangat dengan nada yang begitu tulus. Itu adalah interaksi singkat, tidak lebih dari dua menit, namun meninggalkan jejak yang dalam di hati Raina. Ia merasa, untuk pertama kalinya setelah dipecat, ada secercah harapan yang muncul. Ia mengambil pensilnya, lalu mulai menggambar. Kali ini, ia mencoba menangkap ekspresi Bima. Bagaimana matanya berbinar saat berbicara tentang seni, dan senyum hangatnya yang menular. Raina tenggelam dalam proses menggambar, melupakan sejenak masalah finansial, melupakan bayangan angkuh Arjuna, melupakan segala beban yang menghimpitnya. Hanya ada dia, pensilnya, dan semangat yang baru saja ia temukan kembali. --- Keesokan paginya, Raina bangun dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Meskipun pekerjaan sebagai asisten katering hanya bersifat sementara, ada sebuah tujuan baru yang memberinya semangat: terus berkarya. Ia harus terus mencari inspirasi, terus belajar, dan tidak pernah menyerah pada mimpinya. Pagi itu diisi dengan rutinitas harian yang sama. Membantu Ibu menyiapkan sarapan, memastikan Rian siap ke sekolah, lalu kembali ke ponselnya untuk mencari lowongan pekerjaan. Namun kali ini, ada perbedaan. Ia tidak lagi mencari hanya demi uang, tapi juga demi kesempatan untuk tumbuh sebagai seorang seniman. Maya menelepon di tengah hari. "Rain, lo sibuk nggak hari ini?" tanyanya ceria. "Nggak terlalu, May. Kenapa?" "Bagus! Gue butuh bantuan nih. Ada sisa properti acara lelang kemarin yang belum diangkut. Terutama lukisan yang gede-gede itu. Gue nggak bisa sendiri, lo mau nemenin nggak? Nanti gue traktir makan siang enak deh!" Raina berpikir sejenak. Lukisan-lukisan itu... mungkin termasuk lukisan Bima Samudra yang baru dilelang. Ini adalah kesempatan untuk melihat karya-karya itu lebih dekat, mungkin juga sekadar menghirup aura seni di sana. "Oke, May. Gue bantu." Mereka berdua tiba di hotel Dharmawangsa di siang hari. Ballroom yang semalam penuh gemerlap kini terasa sepi dan hampa, hanya ada beberapa petugas kebersihan yang masih bekerja. Properti lelang, termasuk lukisan-lukisan berukuran besar, sudah dikemas rapi di sudut ruangan, siap untuk diangkut. Raina dan Maya mulai bekerja. Mereka mengangkat kotak-kotak kecil, memindahkan stand display, dan perlahan-lahan membereskan sisa-sisa kemewahan semalam. Saat mereka memindahkan sebuah lukisan yang cukup besar, yang ternyata adalah salah satu karya Bima Samudra yang lain—sebuah kanvas abstrak dengan sentuhan warna-warna earthy—Raina berhenti sejenak. "Wah, ini karya Bima Samudra ya? Keren banget," gumam Raina, mengagumi sapuan kuas yang tebal dan berani. "Iya, dia emang lagi naik daun," jawab Maya, yang tidak terlalu tertarik pada seni lukis. "Katanya sih, dia itu sosok yang down to earth banget. Beda sama seniman lain yang kadang suka belagu." Raina tersenyum. Itu persis seperti yang ia rasakan. Bima memang memancarkan aura kerendahan hati. Saat mereka berdua sedang berusaha mengangkat sebuah display yang cukup berat, sebuah suara mengagetkan mereka. "Perlu bantuan?" Raina menoleh. Bima Samudra! Pria itu berdiri di ambang pintu ballroom, mengenakan kaos oblong putih dan celana jeans. Ia tampak lebih santai, namun auranya tetap hangat dan menawan. Ia membawa sebuah tas besar berisi peralatan melukis. "Eh, Pak Bima!" seru Maya, sedikit terkejut namun langsung tersenyum ramah. "Nggak usah repot-repot, Pak. Kami bisa kok." "Tidak apa-apa," Bima tersenyum tipis. "Saya memang ke sini untuk mengambil beberapa peralatan yang tertinggal. Sekalian saja membantu." Tanpa banyak bicara, Bima langsung mendekat. Dengan kekuatan yang tak terduga dari tubuhnya yang tampak ramping, ia mengangkat display itu dengan mudah, lalu menurunkannya ke dalam sebuah troli. Raina terpaku, mengagumi kekuatan dan kesederhanaannya. "Terima kasih banyak, Pak," kata Raina, merasa sedikit canggung namun juga senang. "Sama-sama," jawab Bima, menatap Raina dengan sorot mata yang hangat. "Dan, maaf, saya belum tahu nama Anda?" "Raina, Pak. Raina Atmaja," jawab Raina, pipinya sedikit merona. "Raina," Bima mengulang nama itu, seolah meresapinya. "Nama yang indah. Senang bertemu Anda, Raina. Saya Bima." Ia mengulurkan tangannya. Raina menyambut uluran tangan itu. Jabatannya hangat, tulus, dan berbeda jauh dari jabat tangan profesional yang kaku. "Senang juga bertemu Anda, Pak Bima." "Jangan panggil Pak," Bima tertawa ringan. "Terlalu formal. Panggil saja Bima." "Baik, Bima," Raina tersenyum, merasa lebih nyaman. Mereka bertiga kemudian bekerja sama untuk beberapa saat. Bima, meskipun seorang seniman terkenal, tak ragu untuk mengangkat barang-barang berat atau membantu menyusun kotak. Ia bahkan sesekali melontarkan lelucon ringan yang membuat Maya dan Raina tertawa. "Jadi, Anda benar-benar seorang seniman, Raina?" tanya Bima di sela-sela mereka mengangkut. Matanya berbinar penasaran. Raina sedikit terkejut. "Bagaimana Bima tahu?" "Ah, sketsa yang jatuh kemarin," Bima menunjuk. "Saya melihatnya. Garis-garisnya sangat kuat dan punya karakter. Sangat ekspresif." Pujian dari Bima kembali menghangatkan hati Raina. "Saya... baru belajar, Bima. Masih jauh dari kata seniman." "Tidak ada yang langsung jadi ahli, Raina. Setiap seniman pasti mulai dari 'baru belajar'," Bima meyakinkan. "Yang penting itu, hasratnya. Dan saya bisa melihat itu di sketsa Anda. Ada jiwa di sana." Mereka berdua terlibat dalam percakapan ringan tentang seni, teknik menggambar, dan inspirasi. Bima bertanya tentang jenis gambar apa yang paling disukai Raina, dan Raina menceritakan tentang impiannya menjadi ilustrator. Bima mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk, dan memberikan tips-tips kecil yang berharga. Maya hanya tersenyum melihat interaksi mereka. Ia tahu Raina adalah seorang seniman yang berbakat, dan ia senang melihat Raina menemukan seseorang yang bisa diajak berbicara tentang passion-nya. Sebelum berpamitan, Bima menyarankan, "Jika ada waktu luang, Raina, datang saja ke galeri saya. Mungkin kita bisa diskusi lebih banyak. Atau saya bisa menunjukkan beberapa referensi buku yang bagus." Ia bahkan memberikan kartu namanya, sebuah kartu sederhana tanpa embel-embel kemewahan, hanya nama dan nomor telepon. Raina menerima kartu itu dengan perasaan berdebar. "Tentu, Bima. Terima kasih banyak." Bima tersenyum, lalu melangkah keluar. Ia melambaikan tangan kecil sebelum benar-benar menghilang dari pandangan. Raina masih berdiri di sana, memegang kartu nama Bima. Ada rasa optimisme yang membuncah dalam dirinya. Bima Samudra. Seorang seniman yang ramah, rendah hati, dan yang paling penting, melihat bakat dalam dirinya. Ia adalah kebalikan total dari Arjuna Dirgantara, sang pewaris dingin yang hanya melihat seni sebagai prestise. Jika Arjuna adalah kegelapan yang misterius, maka Bima adalah cahaya yang hangat dan mengundang.Suara tembakan yang menusuk telinga, kegelapan yang mencekam, dan aura ancaman dari Prakoso kini memudar, digantikan oleh gema sirene polisi yang mendekat. Raina terhuyung, bersandar pada dinding yang dingin, membiarkan napasnya tersengal.Ia mencengkeram erat tangan Arjuna Dirgantara, yang kini berdiri di sampingnya, memandangi Bima Samudra yang menahan Prakoso yang tak sadarkan diri. Mata Raina berkaca-kaca, bukan karena takut, melainkan karena lega yang luar biasa. Mereka berhasil. Mereka selamat. Polisi tiba beberapa menit kemudian, menggeledah rumah Prakoso dan mengamankan Bramantyo yang juga masih terlihat syok. Mereka menemukan pistol Prakoso yang tergeletak di sudut ruangan, dan segera mengambil berkas bukti yang dipegang Arjuna. Rekaman suara kecil dari dalam berkas itu menjadi kunci utama, suara yang merekam percakapan Prakoso dan kaki tangannya mengenai skandal yayasan dan, yang paling mengerikan, perintah untuk membungkam Arya. Seluruh ruangan itu kini dipenuhi petugas y
Rencana Raina untuk memicu alarm kebakaran di kediaman Prakoso bagaikan percikan api yang akan menyulut ledakan. Di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari rumah mewah itu, Arjuna Dirgantara mengangguk, menyetujui strategi berani Raina. Ketegangan memenuhi udara pagi di kota kecil itu, sebuah ketegangan yang hanya bisa dibandingkan dengan bisikan angin dingin yang menyelinap melalui celah jendela mobil. Raina merasakan jantungnya berdebar kencang, setiap detiknya terasa seperti sebuah hitungan mundur menuju momen krusial."Bagaimana Anda akan melakukannya, Raina?" tanya Arjuna, suaranya rendah, matanya menatap Raina penuh kekaguman sekaligus kekhawatiran. Ia melihat tekad di mata Raina, sebuah keberanian yang jauh melampaui tugas seorang asisten.Raina tersenyum tipis, sebuah senyum penuh keyakinan. "Saya sudah mempelajari beberapa sistem keamanan yang biasa digunakan di rumah-rumah mewah. Ada celah kecil yang bisa dimanfaatkan pada panel alarm eksternal. Dengan sedikit modifikasi pa
Nama yang dibisikkan Arjuna Dirgantara di dalam mobil, nama yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan dalam dunia Grup Dirgantara, kini terasa bagai hantaman palu godam bagi Raina. Prakoso. Mitra bisnis terdekat Tuan Dirgantara Senior. Sosok yang selama ini dianggap sebagai tangan kanan keluarga. Kenyataan bahwa dialah dalang di balik pembunuhan Arya adalah pengkhianatan yang paling kejam, sebuah duri yang menusuk hingga ke inti jiwa Arjuna.Raina merasakan darahnya berdesir dingin. Ia menatap Arjuna, wajah pria itu kini lebih pucat dari sebelumnya, matanya memancarkan campuran duka yang mendalam dan kemarahan yang membara. Aura kuat yang biasa menyelimuti Arjuna kini tergantikan oleh kerapuhan yang menyayat hati. Raina tahu, ini adalah titik balik. Arjuna tidak hanya kehilangan adiknya, tetapi juga kepercayaannya pada dunia yang selama ini ia anggap aman."Prakoso..." Raina berbisik, namanya terasa asing di lidahnya, berlumuran pengkhianatan. "Bagaimana mungkin?"Arjuna menggeleng, t
Beberapa hari setelah penemuan surat Arya, Arjuna dan Raina menghabiskan waktu luang mereka untuk menggali lebih dalam tentang Bramantyo. Mereka menyadari, nama ini tidak hanya terkait dengan skandal yayasan, tetapi juga dengan kepergian Arya yang misterius.Raina, dengan kemampuannya yang teliti, mulai mencari informasi tentang Bramantyo melalui jaringan internal kantor dan sumber-sumber terbuka. Ia menemukan bahwa Bramantyo, setelah skandal yayasan mereda, tidak benar-benar menghilang. Ia hanya mengubah namanya, dan hidup di bawah radar, jauh dari sorotan publik. Ia memiliki beberapa bisnis kecil di luar kota, yang tidak terkait langsung dengan sektor keuangan atau properti."Dia sengaja bersembunyi," Raina berbisik pada Arjuna saat mereka membahas temuan ini di ruang kerja Arjuna yang sepi. "Dia tahu ada yang mencarinya."Arjuna mengangguk, rahangnya mengeras. "Kita harus menemukannya. Dia pasti tahu sesuatu."Namun, Raina tahu, mendekati Bramantyo adalah langkah yang sangat berbah
Pengakuan Tuan Dirgantara Senior tentang Sinta adalah bom yang telah meledak, menghancurkan tembok kebohongan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, penolakannya untuk berbicara tentang kaitan Arya membuat Raina, Arjuna Dirgantara, dan Bima Samudra terdiam. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih menyakitkan, yang masih terkubur dalam-dalam di benak pria tua itu. Sebuah bayangan yang enggan terungkap, mengisyaratkan tragedi yang lebih besar dari sekadar skandal yayasan.Raina merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Ia kini tahu bahwa perannya tidak hanya sebagai jembatan antara Arjuna dan Bima, melainkan juga sebagai penyelidik kebenaran yang sesungguhnya. Ia harus menemukan apa yang Tuan Dirgantara Senior sembunyikan, bahkan jika itu berarti menggali lebih dalam ke masa lalu yang penuh rasa sakit.Setelah percakapan singkat di kamar rumah sakit, Arjuna dan Bima sepakat untuk tidak menekan Ayah mereka lebih jauh. Mereka tahu, memaksanya dalam kondisi seperti itu tidak
Keesokan harinya, suasana di kantor terasa lebih mencekam. Ketidakhadiran Arjuna dan Tuan Dirgantara Senior meninggalkan kekosongan yang terasa berat. Lia, sekretaris senior, tampak lebih sibuk dari biasanya, menjawab telepon-telepon dari media dan kolega yang penasaran. Raina mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang ke rumah sakit. Bagaimana keadaan Tuan Dirgantara Senior? Bagaimana reaksi Arjuna terhadap semua ini? Apakah ia akan dipecat?Desas-desus mulai beredar di antara karyawan. Ada yang mengasihani Tuan Dirgantara Senior, ada yang menyalahkan Bima karena terlalu gegabah, dan ada pula yang diam-diam menyalahkan Raina karena telah 'membocorkan' rahasia keluarga. Raina merasakan tatapan-tatapan sinis itu, namun ia berusaha mengabaikannya. Ia tahu, ia telah melakukan hal yang benar, terlepas dari konsekuensinya.Ia mencoba menghubungi Arjuna, namun tidak ada jawaban. Pesan singkat yang ia kirimkan juga tak berbalas. Raina merasa putus asa. Ia tahu, kepercay