Irene masuk, saat pintu itu terbuka. Tentu Campy yang membukanya. Terlihat Rad duduk di kursi panjang yang ada di dekat jendela, menopang satu kaki dengan tangan terlipat di dada. "Ada apa?" tanya Rad. "Itu…" Irene perlu mengatur napasnya. Dia jarang berbicara pada Rad, dan saat berbicara padanya, Irene selalu merasa pria itu sedikit terlalu mengintimidasi, jauh sekali dari kesan hangat ayahnya. Kesan yang tidak berubah seperti saat pertama dia bertemu Rad, karena memang Rad tetap terlihat persis sama seperti saat mereka bertemu beberapa tahun lalu. "Aku ingin bicara sesuatu, tapi aku harap kau tidak marah." Irene berhasil mengucapkan kalimat yang seharusnya menjadi bagian Blanche. Irene ingin menggunakan Blanche sebagai saksi lain yang lebih meyakinkan. Kini dia harus bisa meyakinkan Rad sendiri. "Aku tidak bisa memutuskan akan marah atau tidak, saat belum mendengar isi pembicaraan itu." Rad sebenarnya sedikit geli, melihat usaha Irene untuk terlihat kebingungan, tapi menghar
Tok! Tok! Irene mengetuk kamar Blanche dengan sedikit keras, karena ini sudah yang ketiga kalinya ia melakukan itu. “Apa dia belum bangun?” tanya Irene, pada Eva, pelayan dari Blanche yang terjadi kebingungan di depan kamar, karena tidak mendapat jawaban. “Sepertinya begitu. Saya sudah mencoba untuk mengetuk dan memanggil sejak tadi, dan belum ada jawaban.” “Apa kau sudah meminjam kunci dari Campy?” tanya Irene. “Sudah, tapi Campy mengatakan kunci kamar ini dan beberapa ruangan lain di lantai 1 kebetulan hilang. Dia mengatakan baru saja memesan gantinya, dan menyarankan saya menunggu sampai Lady Blanche bangun,” jawab Eva. “Hah! Aku tak punya waktu untuk menunggu saat ini!” bentak Irene, dan Eva mundur menjauhinya. Irene tampak geram, karena dia memang terburu-buru. Irene tidak ingin jika sampai Bree dan Ben terbangun terlebih dulu. Dan sekarang justru Blanche tidak bisa dibangunkan untuk membantu membuat kebohongan. Irene sudah memperingatkan Blanche untuk tidak tidur malam k
Pascal perlahan mengangkat tubuh Blanche, lalu diiringi omelan Bree yang semakin tak sabar, mereka keluar, menuju lantai dua. Tentu tak lupa Bree kembali mengunci pintu kamar Blanche. Untuk menyempurnakan jebakannya. Bree menyusul Pascal, yang akhirnya menunjukkan sedikit kelebihan. Tenaganya cukup kuat, karena tidak terlihat kesulitan mengangkat Blanche. Bree melambai pada Aima yang masih berdiri di depan kamar Irene. “Dia tidak bergerak bukan?” tanya Bree. “Tidak ada suara.” Aima menjawab mantab. “Tres bien!” Bree lalu menarik tangan Aima mengikuti Pascal, yang telah sampai di lantai dua, dan berhenti di depan kamar Ben Bree kembali maju, dan mengetuk seperti kamar Blanche. Tidak ada terdengar balasan apapun dari dalam, maka berarti sudah aman. Dan kamar itu tentu saja sudah dibuka oleh Aima juga. Untuk kunci kamar Ben, Aima bahkan tidak perlu mengambil dari kamar Campy, karena Irene yang memberikannya. *** Kamar Ben sunyi seperti seharusnya, dan Ben terlihat tertidur nyeny
“Sss… seratus livre.” Pascal masih terbata. “Wow! Itu sangat lumayan,” seru Bree. Itu jumlah uang yang kurang lebih sama, dengan jumlah yang dihabiskan Rad saat mereka berbelanja alat lukis kemarin. Pantas jika Pascal tergoda. Bree menurunkan pedangnya. Melihat jika Pascal tidak memerlukan ancaman pedang lagi. Kini saatnya mengancam dengan kata “Aku sebenarnya tidak terlalu suka mengampuni orang, Pascal. Kau sudah dengar bukan? Aku bahkan tidak mengampuni kakakku, dan tetap menghukumnya, karena dia telah menyakitiku.” Pascal mengangguk pelan. Jelas dia tahu apa yang terjadi dengan Amber. Semua pelayan membicarakannya selama berhari-hari. Sebagian besar mengira Bree akan memaafkan. Saat mereka mendengar Amber ternyata dihukum meski tidak dipenggal, semua orang terkejut. Mereka terlalu sering melihat kaum aristrokrat bersalah dan tidak dihukum. Jadi sepengetahuan Pascal, Bree akan tegas pastinya. “Maafkan saya, Duchess. Saya sangat menyesal... Saya tidak akan mengulangi lagi.”
Rad menghela napas. Galau memikirkan kenapa hari ini---berulang kali. Dia ingin sekali membunuh Ben. Pria itu sangat tidak tahu batas saat memuji Bree. Seharusnya dia paham jika Bree adalah istrinya, itu berarti dia harus menjauh. Rad tidak pernah berprasangka buruk kepada Ben, tetapi jelas apa yang dilakukan, membuatnya berprasangka buruk secara terus menerus. Ben tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memuji Bree meski hanya pujian sembarangan Satu-satunya hal yang membuat Rad tidak menghajar Ben setiap kali dia mengajak bicara Bree, adalah pikiran jika menghajar Ben akan berakibat panjang. Dan Rad belum ingin menegur, karena tipikal Ben dia akan mengiyakan, tapi akan mengulanginya. Kini Rad hanya bisa bekerja keras untuk memperkecil kemungkinan Bree dan Ben bersama berdua saja. Awalnya memang hanya ingin melakukan apa yang diminta oleh Bree, namun sekarang, membayangkan Bree dan Ben menghabiskan waktu bersama saja, membuat mulut Rad terasa pahit. Dan niat membunuh itu semaki
“Halo! Apa kau baru kembali dari melukis?” Sapaan hangat dari Ben menyambut Bree, saat dia baru masuk lewat pintu samping kastil. Bree untuk yang kesekian kali mengutuk dan menyumpah. Satu minggu terakhir ini dia sering sekali memaki. Untung hanya di dalam hati saja, jadi tidak sampai membuatnya terlihat seperti orang yang benar-benar tidak tahu sopan santun. Bree sedang berusaha melupakan kejadian di kapal itu, karena dia terlalu kesal dan malu, tapi dalam proses melupakan itu, membuatnya menjadi sedikit sensitif, terlalu tidak bertoleransi pada hal yang sedikit saja menyebalkan. Dan itu diwujudkan dalam makian oleh Bree. Sedang keinginan untuk bersikap sopan di hadapan orang lain, membuat Bree lebih sering memendam makian itu. Seperti sekarang. Bree tidak mungkin memaki Ben dengan keras. Menghindari pria itu ternyata pekerjaan yang sedikit menantang menurut Bree, karena meski sudah memakai pintu samping yang jarang dilewati, Bree masih bertemu dengannya. Tapi seminggu berlalu,