Di ruangan privat itu, baik Guna dan Ndaru fokus pada pekerjaan masing-masing. Hidangan makan siang yang tersaji di hadapan mereka belum mereka sentuh sedikit pun. Mereka berdua tampak sibuk membahas sesuatu. Membahas hal yang membuat nama mereka goyah akhir-akhir ini.
"Aku jadi ikutan kena, Ru," keluh Guna. "Peluang suara menurun?" tanya Ndaru. "Betul, Pak. Sekitar dua persen, tapi Pak Guna tetap unggul dari caleg lain," jawab Rahmat, orang kepercayaan Guna. "Tetap kita nggak boleh jumawa, Mat. Pemilu masih tahun depan." Ndaru mendorong laptopnya lelah. Menyadari perubahan itu, Gilang pun mengambil alih. Dia ikut meringis melihat banyaknya email yang masuk. Rata-rata berasal dari para wartawan. Belum selesai dengan kabar duka dari Haryadi Atmadjiwo, mereka kembali menyerang atasannya dengan foto skandalnya. Setelah Harris memberi perintah tadi pagi, satu jam kemudian orang-orang Guna berhasil menghapus cuitan penyebar skandal itu. Bukan hanya cuitan, tetapi akunnya juga hilang. Bukan itu saja, Gilang juga sudah menemukan pelakunya. Karena itu mereka semua berkumpul di restoran ini, di ruangan privat ini, untuk menunggu kedatangan manusia yang mengganggu ketenangan mereka. "Kamu sudah tau perempuan itu, Ru?" tanya Guna. Ndaru menggeleng. Dia benar-benar tidak mau mencari tahu dengan membuka sosial media atau portal berita apapun. Dia lelah membaca artikel aneh tentang dirinya. Bahkan ketika cuitan itu telah dihapus, namanya masih menjadi trending. Jejak digital memang menakutkan. "Banyak yang bilang perempuan itu berprofesi sebagai penulis, Pak." Guna dan Ndaru kompak menatap Gilang. "Penulis?" tanya Guna. "Dia terkenal?" Gilang memberikan iPad-nya yang menampilkan biografi seseorang. "Shana Arkadewi, penulis novel fantasi yang cukup ternama." "Bukan orang biasa. Kamu yakin ini bukan kesengajaan?" Guna mulai was-was. Sekarang ia paham kenapa berita ini tidak tenggelam begitu saja. Bukan hanya nama Handaru Atmadjiwo yang menjadi perbincangan tetapi Shana Arkadewi juga. "Dia sudah memberi keterangan pada wartawan?" tanya Ndaru. "Hingga saat ini belum, Pak." Gilang menggeleng. Ndaru menatap Guna dengan bahu terangkat. "Artinya memang bukan disengaja." Guna mengusap wajahnya kasar. "Tetep aja dia bikin ulah." Benar. Ndaru membenarkan. Gadis itu benar-benar nekat menciumnya. Yang akhirnya membuat mereka terjebak pada banyak spekulasi negatif dari masyarakat. Ini tidak baik untuk citra mereka. "Kenapa biang kerok itu lama sekali? Aku ada pertemuan dengan ketum partai setelah ini." Guna kembali berdecak. Emosi pria itu benar-benar diuji akhir-akhir ini. "Sebentar lagi, Pak. Mereka sudah hampir sampai," jelas Gilang yang mendapat pesan dari salah satu pengawal Ndaru. Ya, Ndaru sudah mendapatkan tiga pengawal sejak tadi pagi. Suara ketukan pintu membuat perbincangan mereka terhenti. Pintu terbuka dan muncul dua pengawal Ndaru dan satu pria jangkung di belakangnya. Pria itu terlihat menunduk takut. "Silakan duduk," ucap Gilang. Pria itu segera duduk, tepat di hadapan Ndaru dan Guna. Siapa sangka jika ia akan disidang oleh dua saudara dari Atmadjiwo? Benar-benar menegangkan. "Wawan?" ucap Gilang sambil membaca profil pria itu. "Saya dengar kamu akan menikah bulan depan." "Pak, saya minta maaf, Pak." Wawan tiba-tiba langsung memohon. Dia memberanikan diri menatap Ndaru yang juga menatapnya lekat itu. Ndaru kembali melirik Gilang, meminta pria itu untuk melanjutkan ucapannya. "Maaf kalau kami mengganggu persiapan pernikahan Anda." Gilang menarik napas dalam. "Pihak Pak Ndaru akan menuntut Anda." "Pak, jangan! Saya mohon. Tweet saya juga sudah hilang, Pak." "Tidak menutup fakta kalau kamu sudah mencemarkan nama baik atasan saya," geram Gilang. "Saya akan lakukan apa saja, Pak. Asal jangan tuntut saya." "Dari media mana kamu?" tanya Ndaru pada akhirnya membuka suara. Wawan menggeleng cepat. "Saya bukan wartawan, Pak." "Terus apa keuntungan kamu menyebarkan foto itu?" Gilang mulai kesal. Tentu saja kesal, munculnya Wawan membuat pekerjaannya semakin bertambah. "Biar viral, Pak." Wawan menunduk takut. "Siapa tau saya jadi seleb." Bodoh! Sebenarnya Ndaru tidak mau ikut turun tangan menyelesaikan masalah ini. Bisa saja dia meminta Gilang untuk membereskan semuanya. Namun entah kenapa Ndaru benar-benar dibuat kesal dengan berita yang tersebar. Oleh karena itu dia ingin melihat sendiri seperti apa wujud orang yang mengusiknya itu. "Kalau Bapak mau, saya bisa bantu klarifikasi, Pak. Saya bisa bilang kalau foto itu editan." Wawan kembali berusaha. Guna mendengkus samar. Mulutnya sudah ingin mengumpat tetapi dia menahannya. Dia harus tetap tenang agar namanya tetap baik. "Kamu sudah buat laporannya, Lang?" tanya Ndaru. "Sudah, Pak." Ndaru kembali beralih pada Wawan. "Kamu boleh pergi. Tunggu surat panggilan dari polisi." "Pak, jangan, Pak." Wawan masih memohon tetapi Gilang dengan cepat meminta para pengawal untuk membawa pria itu pergi. Sekarang Gilang yang akan menyelesaikan sisanya. Dia yakin atasannya meminta Wawan pergi karena tidak ingin meledak di hadapan pria itu. "Aku harus pergi." Guna berdiri. "Selain partai, Pak Darma juga ingin mengetahui kebenaran berita itu, Ru." "Biar aku yang bicara dengan Pak Darma." Guna menggeleng dan menepuk bahu Ndaru. "Nggak perlu. Biar aku yang temui nanti. Kamu fokus sama masalah ini aja. Waktu kita nggak banyak. Kamu harus segera ambil alih perusahaan." Seketika kepala Ndaru kembali berdenyut. Dia ragu jika akan mendapat kepercayaan dari para petinggi perusahaan karena skandal itu. Dia juga curiga jika akan ada orang yang berusaha menusuknya dari belakang melalui skandal itu. "Pak Ndaru?" Gilang kembali setelah Guna pergi. "Mbak Shella ingin bertemu." Dahi Ndaru berkerut. Untuk apa adik iparnya itu ingin bertemu di saat keadaan begitu memusingkan? "Minta dia ke sini, Lang. Saya malas pindah tempat." "Baik, Pak." *** Makanan yang telah dipesan pun akhirnya tersentuh. Meskipun tidak bernafsu, Ndaru tetap berusaha untuk mengisi perutnya. Begitu banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini. Membuat kepalanya hampir pecah. "Aku nggak liat Mas Ndaru semalam di rumah Mas Arya," tanya seorang wanita yang duduk di hadapan Ndaru. Wanita itu adalah Shella, adik dari almarhum istrinya. Meskipun hanya adik ipar, tetapi hubungan mereka cukup baik. Shella sering berkunjung ke Surabaya untuk melihat keadaan Juna. "Aku pulang duluan." "Mas Ndaru nginep di Atma Hotel?" Ndaru menghentikan kunyahannya. Dia meletakkan sendoknya dan mengelap bibirnya dengan tisu. "Kamu ingin bertemu untuk bahas masalah ini?" Jujur, Ndaru sudah tidak ingin membahas kebodohannya itu. "Bukan gitu, Mas. Aku cuma kaget aja liat berita." Shella menunduk. "Selama ini berita Mas Ndaru selalu bagus. Tapi yang ini... agak beda." "Kamu nggak perlu pikirin itu." "Jadi berita itu benar, Mas?" "Ada hal lain yang mau kamu bicarakan, La?" Ndaru tidak perlu basa-basi. Lagi pula dia tidak harus menceritakan masalahnya pada Shella. "Juna. Aku kangen Juna, Mas." Shella menunduk. "Juna nggak main ke sini?" "Besok atau lusa Mas Juna bisa ke sini. Kata dokter demamnya sudah turun." "Kayaknya Juna kangen sama mamanya, Mas." Shella menunduk sedih. "Mas Ndaru nggak mau ke makam Mbak Farah?" Sebenarnya niat itu terlintas di benak Ndaru. Namun keadaan benar-benar tidak memungkinkan. Kakaknya baru saja meninggal, bahkan tanah makamnya masih belum kering. Lalu masalah foto skandal tak senonohnya juga muncul. Ndaru tidak bisa berkeliaran dengan bebas. Para wartawan masih setia untuk mengikutinya dan meminta pernyataan darinya. Bukan bermaksud menghindar. Namun Ndaru tidak boleh salah mengambil langkah. Dia harus membicarakan masalah ini dengan keluarganya karena akan menyangkut banyak nama. Yang bisa Ndaru lakukan saat ini adalah menyelesaikan akarnya. "Nanti," jawan Ndaru singkat. "Aku bisa temenin Mas Ndaru." Ndaru mengangguk. "Terima kasih." "Mas?" Shella kembali memanggil. Wajahnya tidak tenang sama sekali. "Mas Ndaru deket sama Shana Arkadewi?" Ternyata masalah itu masih mengganggu Shella. Bahkan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. "Kamu kenal dia?" tanya Ndaru kembali fokus pada makanannya. "Shana?" Alis Shella bertaut. "Aku pernah ikut casting untuk filmnya dulu." Ndaru mengangguk paham. Sekarang dia yakin jika posisi Shana sama seperti dirinya. Yaitu, diikuti oleh banyak wartawan. Namun satu hal yang masih Ndaru tidak mengerti. Kenapa gadis itu menciumnya? Ah, memikirkannya kembali membuat Ndaru kesal. Andai saja waktu bisa berputar. "Masih ada yang perlu dibicarakan, La? Aku harus pergi. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan." Shella menggeleng. "Nggak ada, Mas. Aku juga ada pemotretan sebentar lagi." "Bawa mobil?" Shella menggeleng. "Boleh bareng, Mas?" "Ke mana?" "Studio Evana." "Kita beda arah." Ndaru beralih pada Gilang. "Minta salah satu bodyguard untuk antar Shella." "Baik, Pak." "Kalau nggak bisa, aku bisa berangkat sendiri, Mas." "Diantar aja." Ndaru berdiri. "Habiskan makan siang kamu baru pergi," ucapnya memakai jasnya. "Aku duluan." Ndaru pun pergi, meninggalkan Shella yang meletakkan sendoknya dengan lemas. Seketika dia tidak ingin menghabiskan makanannya. *** TBCHari ini Ndaru mengambil cuti setengah hari. Bukan untuk keluarga, melainkan ia akan hadir dalam pelantikan presiden. Sebagai wajah pengusaha yang peduli akan politik, dia harus menampakkan diri. Mewakili ayahnya yang memilih untuk bermain di belakang layar dan menikmati masa purnanya. Jalanan hari ini pasti akan penuh dengan para pendukung. Tentu kemacetan akan ikut mengurung. Oleh karena itu, Ndaru memilih untuk cepat bangun. Bersiap di kala langit masih gelap dan mendung. Ndaru masih sibuk bersiap, sedangkan Shana sibuk dengan masakan. Secara mendadak, Bibi Lasmi izin pulang kampung semalam. Dengan alasan cucunya yang berada di pondok pesantren sakit. Yang membuatnya khawatir dan memilih untuk pulang. Tak masalah bagi Shana dan Ndaru, toh Bibi Lasmi hanya izin satu hari. "Dasinya yang mana?" Ndaru muncul ke dapur dengan dua dasi di tangannya. Warnanya sama tetapi dengan motif yang berbeda. "Yang garis aja," ujar Shana kembali fokus memasak. Dia tengah membuat nasi go
Seruan lagu ulang tahun mulai menggema. Tepukan tangan juga ikut menyerta. Tak lupa dengan kue ulang tahun yang tinggi bak menara. Menandakan jika yang merayakan bukanlah orang biasa. Harris Atmadjiwo tengah berulang tahun hari ini. Usianya tepat menginjak 70 tahun. Meski sudah lanjut usia, tak membuatnya lupa untuk merayakan. Bersama teman dan keluarga, dia mengadakan pesta. Cukup besar tetapi diadakan secara intim. "Selamat ulang tahun, Pak Harris. Semoga panjang umur, sehat selalu, sukses selalu, semua doa yang terbaik buat Bapak." Salah satu ucapan yang terdengar jelas di telinga. Begitu banyak ucapan yang terlontar malam ini. Terdengar klasik, tetapi semuanya terucap dari bibir orang-orang penting. Lalu Shana Arkadewi juga hadir di sana. Sebagai pendamping dari anak bungsu tercinta. Jika bukan karena suaminya, mungkin dia tidak akan hadir di sana, berada di tengah orang-orang yang bergelimang harta. Ayo lah, meski hidup Shana tidak kekurangan, tetap saja dia merasa ada
Akhirnya hari ini tiba, hari di mana Erina akan melepas masa lajangnya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ia juga mendapatkan kebahagiaannya. Bukan tanpa alasan Erina mendunda. Dulu, dia harus fokus pada Shana. Jujur saja, apa yang dialami Shana cukup membuatnya sakit kepala. Mulai dari skandal yang ada, pernikahan kontraknya, yang kemudian berakhir dengan terbongkarnya tersangka utama penghancur keluarga mereka. Namun Erina tak menyesalinya. Semua itu tak berakhir sia-sia. Secara perlahan, satu-persatu dari mereka mendapatkan kebahagiannya. Dengan balutan kebaya bewarna merah hati, Shana tampak jauh kebih menawan. Kulitnya yang bersih tampak kontras dengan warna kebayanya. Tak lupa juga dengan rambut panjangnya yang digulung sederhana tetapi tetap terkesan mewah. Intinya, aura kecantikan Shana Arkadewi benar-benar terpancar. "Di mana jam tangan saya?" tanya Ndaru membongkar isi kopernya. "Ada di sana. Semalam udah saya masukin," jawab Shana masih fokus dengan lensa ma
Awalnya, Shana kira meminta restu pada Erina adalah satu-satunya kejutan yang Ndaru berikan. Namun ternyata tidak. Sepulangnya dari rumah Erina, Ndaru tidak langsung membawanya pulang, melainkan menuju tempat yang mampu membuat jantung Shana berdegup kencang. Secara mendadak dia merasa mual dengan tangan yang mendadak dingin. Apa lagi saat mobil Ndaru sudah terparkir sempurna di halaman rumah yang asri dan begitu luas. Rumah siapa lagi jika bukan kediaman sang ketua, yaitu Harris Atmadjiwo. Shana yakin apa yang di kepalanya saat ini akan terjadi. Ndaru, pria itu membawanya untuk meminta restu. Sekarang Shana ikut merasakan bagaimana gugupnya Ndaru saat berhadapan dengan Erina. "Pak, saya takut." Shana menahan lengan Ndaru yang akan keluar dari mobil. "Ada saya." "Tetep aja," decak Shana. Ndaru mengerutkan dahinya. "Kenapa takut? Bukannya selama ini kamu selalu bertengkar sama Papa? Saya nggak liat ada raut takut di wajah kamu sebelumnya." Benar juga. Seketika Shan
Dalam waktu 24 jam, banyak hal yang bisa terjadi. Bagai jungkir balik, keadaan bisa langsung berubah 180 derajat. Itu yang Shana rasakan saat ini. Shana masih belum melupakan rasanya rindu akan rumah. Keinginan untuk kembali ke rumah begitu kuat. Namun dia hanya bisa menahannya. Namun sekarang, Shana benar-benar merasakannya. Pagi ini, detik ini, dia kembali ke rumah. Rumahnya bersama Handaru Atmadjiwo. "Bu, yang benerin pintu belum selesai?" tanya Bibi Lasmi yang membantu Shana di dapur. Meski sudah ada Bibi Lasmi, tetapi Shana tetap ikut turun tangan untuk mengolah isi dapur. Memasak adalah salah satu kegiatan yang ia sukai. Selain itu, dia juga ingin memperhatikan gizi anak dan suaminya. Ya, benar. Anak dan suaminya. Bolehkah Shana menyebutnya demikian sekarang? Setelah pergulatan batin dan fisik semalam, baik Shana dan Ndaru berhasil mencurahkan isi hati. Yang hasilnya cukup memuaskan. Pilihan yang sangat baik untuk semuanya. Yang akhirnya sama-sama membawa kebahagiaan
Terjebak dalam situasi yang tak diinginkan memang menegangkan. Menimbulkan rasa sesak yang sulit untuk dihilangkan. Rasa pasrah pun turut menjadi bagian. Hingga lambai tangan seolah menjadi akhir pilihan. Akan tetapi… Jangankan untuk melambaikan tangan, lolos dari rengkuhan pun sepertinya tak akan. Shana memejamkan matanya erat, berusaha untuk menyingkirkan lengan besar yang melilit tubuhnya. Sebenarnya mudah, hanya saja Shana tak mau membuat si pemilik tangan itu ikut terbangun, karena tujuannya saat ini adalah melarikan diri. Ya, setelah kesadarannya kembali. Shana ingin kembali melarikan diri. Dengan pelan tapi pasti akhirnya Shana bisa lolos. Hela napas lega keluar begitu saja dari bibirnya. Shana sangat bersyukur jika Ndaru dalam keadaan benar-benar pulas saat ini. Jika tidak, entah apa yang bisa ia lakukan saat ini untuk menghadapi Ndaru. Jujur saja, Shana masih belum tahu bagaimana akan bersikap saat berhadapan dengan Ndaru nanti. Bagaimana bisa dia lupa diri d