Rasanya seperti baru lima menit tertidur. Ndaru terbangun saat mendengar suara ketukan pintu. Keadaan kamar hotel yang ia tiduri masih gelap, tetapi dia bisa melihat cahaya mulai mengintip dari balik tirai jendela.
Ndaru segera terduduk sambil mengusap wajahnya. Dia meraih ponsel dan melihat jam yang tertera. Jam tujuh pagi, artinya dia terlambat bangun. Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini terkesan lebih keras dan cepat dari sebelumnya. "Pak Ndaru?" Itu suara Gilang. "Ya," balas Ndaru bergegas membuka pintu. "Ada apa?" tanyanya langsung. Gilang menghela napas kasar. Dia menatap atasannya itu dengan tatapan lelah. Ada apa? Seingat Ndaru dia tidak memiliki kegiatan pagi ini. "Apa yang terjadi semalam, Pak?" tanya Gilang. Seketika kantuk Ndaru hilang. Dia menatap asistennya lekat. "Apa maksud kamu?" Gilang memberikan sebuah iPad yang menampilkan beberapa gambar tangkapan layar. Ada beberapa potret yang sangat Ndaru kenal. "Nama Pak Ndaru kembali jadi trending topic. Kali ini bukan karena kedatangan Bapak ke Jakarta, melainkan adegan tak senonoh yang Bapak lakukan semalam." Sial! Ndaru mengabaikan Gilang dan bergegas duduk di sofa depan kamar. Kamar dengan tipe presidential room yang mereka tempati terlihat begitu nyaman. Namun sayang, Ndaru tidak bisa menikmatinya. Dia terbangun dengan berita yang menghebohkan. "Kamu bilang hotel ini aman dari wartawan?" Ndaru mulai gusar. "Bukan dari wartawan, Pak. Berita itu viral karena cuitan anonimus di aplikasi X." "Siapa yang menjamin kalau dia bukan wartawan?" "Saya akan mencari tahu nanti." Gilang memijat pangkal hidungnya. "Jadi kejadian itu benar, Pak?" Ndaru menutup iPad-nya dan mengangguk. "Kenapa Pak Ndaru nggak bilang?" Ndaru sendiri juga tidak tahu. Dia memang terkejut dengan aksi seorang gadis yang tiba-tiba menciumnya. Namun entah kenapa dia memilih untuk mengabaikannya. Toh, gadis itu juga pergi secara tiba-tiba. Ndaru pikir tidak perlu diperpanjang. Namun siapa sangka justru kejadian itu menjadi masalah baru untuknya? (Flashback on) Ndaru sudah terlalu lama menunggu Gilang. Dia juga sudah mengakhiri panggilan video dengan anaknya 15 menit yang lalu. Jam sudah menunjukkan pukul 1 malam. Ndaru benar-benar ingin tidur. Dia tidak mau tubuhnya tumbang dalam keadaan berduka seperti ini. Ndaru memilih untuk menghubungi Gilang. Begitu nada dering pertama terdengar, panggilan langsung terangkat. "Kenapa lama?" tanya Ndaru. "Maaf, Pak. Saya sedang menunggu petugas hotel untuk menyiapkan kamar Bapak." "Masih lama?" "Sebentar lagi, Pak." "Kalau gitu saya langsung ke sana. Lantai berapa?" "Lantai 30, Pak." "Oke." Ndaru memutus panggilannya dan bergegas keluar dari ruangan VIP itu. Ini bukan kali pertama dia berada di Atma Hotel, jadi tidak sulit untuknya berjalan sendiri di tempat ini. Ndaru sempat menangani beberapa properti milik Atmadjiwo Grup sebelum menikah dulu. Hari yang sudah malam membuat suasana benar-benar sepi. Bahkan Ndaru berada di dalam lift seorang diri. Dia bersandar sambil mengatur napas, sesekali matanya terpejam karena rasa lelah. Begitu lift berhenti, Ndaru kembali membuka mata. Tanpa banyak menunggu, dia langsung keluar dari lift. Ternyata tidak sepenuhnya sepi, Ndaru melihat ada beberapa orang di sana. Belum sempat berlalu, Ndaru merasakan tarikan kencang pada lengannya. Dia berbalik dan merasakan tangan seseorang yang mencengkeram erat kemejanya. Tak sempat menjauhkan diri, Ndaru merasakan sesuatu yang lembut mendarat di bibirnya. Matanya membulat menyadari apa yang baru saja terjadi. Seorang gadis muda menciumnya. Ini tidak benar! Ndaru ingin mendorong gadis itu, tetapi dia merasakan rasa asin pada bibirnya. Sekarang dia malah terdiam kaku ketika menyadari jika gadis itu menangis dalam ciumannya. "Shana, apa-apaan!" Teriakan itu kembali menyadarkan Ndaru. Kali ini dia benar-benar ingin melepaskan diri, tetapi gadis itu malah meraih wajahnya dan memperdalam ciumannya. Sial! Beruntung pada akhirnya ciuman tak terduga itu berakhir. Ndaru masih terkejut sampai tak bisa mendengar jelas apa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan dia tidak sadar sudah kembali masuk ke dalam lift bersama gadis asing itu. Tak lama pintu lift kembali terbuka. Gadis itu keluar dan bergumam minta maaf. Ndaru masih bisa mendengarnya. Bahkan dia juga bisa melihat air mata yang mengalir di pipinya. Sebenarnya apa yang baru saja ia alami? Ndaru menggeleng pelan dan mengusap wajahnya kasar. Seketika rasa kantuk langsung hilang digantikan dengan pusing yang menyerang. Kepalanya mendongak untuk melihat ke mana lift akan membawanya. Namun ada yang aneh, detik itu juga Ndaru sadar jika ia salah turun lantai dan kesalahan itu membawanya pada petaka malam yang tak terduga. Seharusnya dia menunggu Gilang dan tak pergi sendiri. (Flashback off) "Bapak kenal wanita itu?" Ndaru menggeleng. "Astaga!" Gilang tidak bisa menahan diri untuk berdecak. "Kenapa harus dengan wanita asing, Pak? Kalau Bapak mau, saya bisa carikan wanita yang bisa dipercaya—" "Apa maksud kamu?" Ndaru menatap Gilang tajam. "Kamu tau saya bukan pria seperti itu." "Maaf." Gilang menunduk. "Hari ini Bapak tidak bisa bersantai. Pak Harris ingin bertemu Bapak di rumahnya." Ndaru meringis. "Papa saya tau masalah ini?" "Semua orang sudah tau masalah ini, Pak." Bagus, baru satu hari tiba dia sudah membuat ulah. *** Sarapan kali ini tidak berjalan hangat sama sekali. Padahal untuk pertama kalinya selama tiga tahun Ndaru kembali sarapan bersama ayahnya. Namun ini bukan bagian dari acara lepas rindu, melainkan sidang dadakan. Keberadaan Guna dan kakak iparnya seolah membenarkan pikirannya. "Makan dulu, Mas," pinta Harris pada Ndaru. Ndaru menggeleng. "Nanti aja." Guna yang sedari tadi diam mendadak menghela napas kasar. Dia meletakkan sendoknya dengan kesal. Seperti tidak sabar untuk menghakimi adiknya. "Kamu kenapa, sih, Ndaru?" tanya Guna benar-benar frustrasi. "Kenapa bisa ketauan?" Ndaru mengusap alisnya pelan. Sepertinya kesalah-pahaman ini membuatnya tampak seperti pria bajingan. Padahal kenyataannya dia adalah korban. "Kenapa kamu nggak bisa tahan sedikit aja sampai kamar? Kenapa harus di koridor hotel?" "Mas," potong Ndaru cepat. Dia tidak mau mendengar tuduhan menjengkelkan dari kakaknya lagi. "Itu semua salah paham." "Foto itu jelas, Ndaru. Salah paham gimana?" Kali ini Yanti yang berbicara. "Mbak sampe nggak kuat baca komen netizen tentang kamu." Percayalah, Ndaru juga demikian. Dia meringis ngeri membaca komentar orang-orang tentangnya. "Buset, abangnya baru meninggal eh malamnya langsung cocok tanam." "Oh, jadi ini duda incaran satu Indonesia? Cakep sih, tapi ampun... tahan dikit napa om." "Ternyata Atmadjiwo yang satu ini diam-diam menghanyutkan. Jangan-jangan yang lain gitu juga?" "Please, siapa ceweknya? Mau juga dicium klan Atmadjiwo!" "Bukannya Handaru ini deket sama model? Yang finalis ajang kecantikan itu?" "Abangnya yang mau nyaleg itu bukan? Kalo iya kasus adeknya bisa jadi sasaran empuk buzzer nih." "Yakin mau pilih keluarga Atmadjiwo jadi anggota dewan? Liat aja beritanya, nggak ada akhlak sama sekali." Begitulah kira-kira isi komentar para netizen yang budiman. Benar-benar membuat kepala Ndaru berdenyut. Bukan hanya kepalanya, tetapi semua anggota keluarga Atmadjiwo. Citra mereka ternoda karena skandal si bungsu. "Kamu kenal perempuan itu, Ndaru?" Ndaru menggeleng. "Tiba-tiba dia cium aku gitu aja. Mas Guna bisa cek CCTV kalau nggak percaya." "Apa ada orang yang sengaja jebak kamu?" Pertanyaan Yanti membuat semua orang terdiam. Ini bisa saja terjadi mengingat jika banyak orang yang ingin menjatuhkan keluarga mereka. Atmadjiwo seolah tidak memiliki celah, karena itu skandal panas harus tercipta. "Ndaru single, duda incaran banyak orang, kaya, sukses, nggak punya masalah, pasti ada orang yang sengaja senggol kita." "Nggak mungkin," gumam Ndaru pada akhirnya. Entah kenapa dia yakin dengan jawabannya karena teringat dengan air mata yang keluar dari mata gadis itu. "Mas Guna, untuk sekarang segera minta orangmu untuk hapus cuitan itu," perintah ayahnya. "Kita juga harus cari siapa dalang dibalik akun anonimus itu." Ndaru beralih pada Gilang. "Tolong cari sampai ketemu, Lang. Kalau bisa tuntut dia juga." "Baik, Pak." "Kita akan sibuk setelah ini. Nama kamu harus bersih, Mas." Meskipun terlihat tenang, tetapi Harris begitu tegas. "Semua demi kebaikan keluarga kita. Untuk karir politik Mas Guna dan juga karir kamu di perusahaan nanti. Jangan sampai kejadian ini membuat para pemegang saham nggak percaya Mas Ndaru untuk memimpin perusahaan." Benar. Skandal ini harus segera diatasi. *** Shana duduk di sofa dengan kaki tertekuk. Selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya. Dengan ditemani teh hangat, dia menatap Erina dengan wajah polosnya. Tatapan tidak bersalah itu membuat keadaan semakin tidak nyaman. Shana sudah siap jika kakaknya akan kembali mengomel kali ini. "Lo bikin masalah apa lagi, sih, Shana?" Erina memijat kepalanya yang terasa berat. "Kayak gue bikin masalah terus aja, Mbak," gumam Shana dengan bibir yang maju. "Lo pacaran sama Dito aja udah bikin gue pusing. Sekarang lo malah—" Erina tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. "Dito selingkuh, Mbak. Gue liat ada cewek setengah bugil di kamar itu." Shana kembali mengingat malam menyesakkan itu. "Iya, tapi ini bukan lagi tentang Dito, tapi lo! Bukan Dito yang viral malah lo yang jadi trending topic." Shana mengembungkan pipinya. Dia tahu jika ia salah. Namun sungguh, Shana tidak pernah berpikir jika aksi nekatnya semalam memberikan posisi yang merugikan untuknya. Bagaimana bisa foto ciumannya beredar padahal tidak ada siapa pun di sana selain dirinya dan Dito serta pria asing itu? "Terus ini gimana? Bukan Dito yang dihujat malah lo yang dituduh selingkuh. Lo nggak takut karir lo hancur?" "Wajah gue nggak keliatan banget, kok. Masih bisa ngelak." Benar katas Shana. Netizen masih kabur dengan identitas gadis di foto itu. Memang sudah ada yang berhasil menebak dirinya. Namun ada juga yang tidak mempercayainya. Pukulan keras Shana dapatkan di kepala. Dia menghindar dari Erina cepat. Kakaknya benar-benar marah kali ini. Profesi mereka memang bersinggungan dengan publik, tentu masalah ini akan mempengaruhi nama mereka. Apa lagi Shana. Ini pertama kalinya dia terlibat skandal yang merugikan. Selama ini dia dikenal sebagai penulis yang tidak memiliki masalah. Bahkan aktifnya dia di dunia filantropi memberikan citra yang positif. Namun lihat sekarang, semua hancur dalam satu malam. "Ada media yang hubungi lo?" Erina kembali duduk. "Banyak, gue sampe trauma buka email." Ya, Shana mendapatkan banyak email dari para wartawan yang ingin mencari kebenaran. Jangankan bertemu, untuk keluar rumah saja Shana tidak mau. Dia bahkan mengungsi ke rumah kakaknya sejak semalam. "Apa kita minta bantuan Mas Fathur aja, Mbak?" tanya Shana. Fathur Ranjana, kekasih Erina, pemilik dari Ranjana Media yang juga memiliki dua stasiun televisi. Tentu dia memiliki kekuatan untuk mengendalikan berita yang tersebar. "Kita udah sering minta bantuan dia." Suara langkah kaki yang mendekat membuat kedua gadis itu menoleh. Panjang umur. Pria yang mereka bicarakan datang dengan wajah masam. "Apa lagi kali ini, Shana?" tanya Fathur langsung. "Mas sudah capek urus berita miring tentang Dito. Eh, sekarang malah gantian kamu." "Aku khilaf, Mas." Shana menunduk. "Kamu bisa bantu Shana, Yang?" tanya Erina ragu. "Dia butuh pengalihan isu." "Bisa, tapi kayaknya kali ini berita nggak akan hilang gitu aja." Fathur menatap Shana lekat. "Kenapa harus Handaru Atmadjiwo, Shana?" Shana menggigit bibirnya pelan. "Cuma dia yang ada di sana." Erina menepuk dahinya pelan. Adiknya benar-benar membuatnya pusing. Benar, dia pusing bukan hanya karena foto ciuman Shana yang tersebar. Melainkan kenapa harus Handaru Atmadjiwo yang adiknya libatkan? Benar-benar petaka. *** TBCHari ini Ndaru mengambil cuti setengah hari. Bukan untuk keluarga, melainkan ia akan hadir dalam pelantikan presiden. Sebagai wajah pengusaha yang peduli akan politik, dia harus menampakkan diri. Mewakili ayahnya yang memilih untuk bermain di belakang layar dan menikmati masa purnanya. Jalanan hari ini pasti akan penuh dengan para pendukung. Tentu kemacetan akan ikut mengurung. Oleh karena itu, Ndaru memilih untuk cepat bangun. Bersiap di kala langit masih gelap dan mendung. Ndaru masih sibuk bersiap, sedangkan Shana sibuk dengan masakan. Secara mendadak, Bibi Lasmi izin pulang kampung semalam. Dengan alasan cucunya yang berada di pondok pesantren sakit. Yang membuatnya khawatir dan memilih untuk pulang. Tak masalah bagi Shana dan Ndaru, toh Bibi Lasmi hanya izin satu hari. "Dasinya yang mana?" Ndaru muncul ke dapur dengan dua dasi di tangannya. Warnanya sama tetapi dengan motif yang berbeda. "Yang garis aja," ujar Shana kembali fokus memasak. Dia tengah membuat nasi go
Seruan lagu ulang tahun mulai menggema. Tepukan tangan juga ikut menyerta. Tak lupa dengan kue ulang tahun yang tinggi bak menara. Menandakan jika yang merayakan bukanlah orang biasa. Harris Atmadjiwo tengah berulang tahun hari ini. Usianya tepat menginjak 70 tahun. Meski sudah lanjut usia, tak membuatnya lupa untuk merayakan. Bersama teman dan keluarga, dia mengadakan pesta. Cukup besar tetapi diadakan secara intim. "Selamat ulang tahun, Pak Harris. Semoga panjang umur, sehat selalu, sukses selalu, semua doa yang terbaik buat Bapak." Salah satu ucapan yang terdengar jelas di telinga. Begitu banyak ucapan yang terlontar malam ini. Terdengar klasik, tetapi semuanya terucap dari bibir orang-orang penting. Lalu Shana Arkadewi juga hadir di sana. Sebagai pendamping dari anak bungsu tercinta. Jika bukan karena suaminya, mungkin dia tidak akan hadir di sana, berada di tengah orang-orang yang bergelimang harta. Ayo lah, meski hidup Shana tidak kekurangan, tetap saja dia merasa ada
Akhirnya hari ini tiba, hari di mana Erina akan melepas masa lajangnya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ia juga mendapatkan kebahagiaannya. Bukan tanpa alasan Erina mendunda. Dulu, dia harus fokus pada Shana. Jujur saja, apa yang dialami Shana cukup membuatnya sakit kepala. Mulai dari skandal yang ada, pernikahan kontraknya, yang kemudian berakhir dengan terbongkarnya tersangka utama penghancur keluarga mereka. Namun Erina tak menyesalinya. Semua itu tak berakhir sia-sia. Secara perlahan, satu-persatu dari mereka mendapatkan kebahagiannya. Dengan balutan kebaya bewarna merah hati, Shana tampak jauh kebih menawan. Kulitnya yang bersih tampak kontras dengan warna kebayanya. Tak lupa juga dengan rambut panjangnya yang digulung sederhana tetapi tetap terkesan mewah. Intinya, aura kecantikan Shana Arkadewi benar-benar terpancar. "Di mana jam tangan saya?" tanya Ndaru membongkar isi kopernya. "Ada di sana. Semalam udah saya masukin," jawab Shana masih fokus dengan lensa ma
Awalnya, Shana kira meminta restu pada Erina adalah satu-satunya kejutan yang Ndaru berikan. Namun ternyata tidak. Sepulangnya dari rumah Erina, Ndaru tidak langsung membawanya pulang, melainkan menuju tempat yang mampu membuat jantung Shana berdegup kencang. Secara mendadak dia merasa mual dengan tangan yang mendadak dingin. Apa lagi saat mobil Ndaru sudah terparkir sempurna di halaman rumah yang asri dan begitu luas. Rumah siapa lagi jika bukan kediaman sang ketua, yaitu Harris Atmadjiwo. Shana yakin apa yang di kepalanya saat ini akan terjadi. Ndaru, pria itu membawanya untuk meminta restu. Sekarang Shana ikut merasakan bagaimana gugupnya Ndaru saat berhadapan dengan Erina. "Pak, saya takut." Shana menahan lengan Ndaru yang akan keluar dari mobil. "Ada saya." "Tetep aja," decak Shana. Ndaru mengerutkan dahinya. "Kenapa takut? Bukannya selama ini kamu selalu bertengkar sama Papa? Saya nggak liat ada raut takut di wajah kamu sebelumnya." Benar juga. Seketika Shan
Dalam waktu 24 jam, banyak hal yang bisa terjadi. Bagai jungkir balik, keadaan bisa langsung berubah 180 derajat. Itu yang Shana rasakan saat ini. Shana masih belum melupakan rasanya rindu akan rumah. Keinginan untuk kembali ke rumah begitu kuat. Namun dia hanya bisa menahannya. Namun sekarang, Shana benar-benar merasakannya. Pagi ini, detik ini, dia kembali ke rumah. Rumahnya bersama Handaru Atmadjiwo. "Bu, yang benerin pintu belum selesai?" tanya Bibi Lasmi yang membantu Shana di dapur. Meski sudah ada Bibi Lasmi, tetapi Shana tetap ikut turun tangan untuk mengolah isi dapur. Memasak adalah salah satu kegiatan yang ia sukai. Selain itu, dia juga ingin memperhatikan gizi anak dan suaminya. Ya, benar. Anak dan suaminya. Bolehkah Shana menyebutnya demikian sekarang? Setelah pergulatan batin dan fisik semalam, baik Shana dan Ndaru berhasil mencurahkan isi hati. Yang hasilnya cukup memuaskan. Pilihan yang sangat baik untuk semuanya. Yang akhirnya sama-sama membawa kebahagiaan
Terjebak dalam situasi yang tak diinginkan memang menegangkan. Menimbulkan rasa sesak yang sulit untuk dihilangkan. Rasa pasrah pun turut menjadi bagian. Hingga lambai tangan seolah menjadi akhir pilihan. Akan tetapi… Jangankan untuk melambaikan tangan, lolos dari rengkuhan pun sepertinya tak akan. Shana memejamkan matanya erat, berusaha untuk menyingkirkan lengan besar yang melilit tubuhnya. Sebenarnya mudah, hanya saja Shana tak mau membuat si pemilik tangan itu ikut terbangun, karena tujuannya saat ini adalah melarikan diri. Ya, setelah kesadarannya kembali. Shana ingin kembali melarikan diri. Dengan pelan tapi pasti akhirnya Shana bisa lolos. Hela napas lega keluar begitu saja dari bibirnya. Shana sangat bersyukur jika Ndaru dalam keadaan benar-benar pulas saat ini. Jika tidak, entah apa yang bisa ia lakukan saat ini untuk menghadapi Ndaru. Jujur saja, Shana masih belum tahu bagaimana akan bersikap saat berhadapan dengan Ndaru nanti. Bagaimana bisa dia lupa diri d