“Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya
“Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu
“Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa
“Tanda tangani ini.” Cita baru saja keluar dari kamar mandi, saat melihat pria yang baru dinikahinya melempar sebuah map di atas tempat tidur. Ia baru saja membersihkan tubuh, dari semua penat setelah menjadi ratu sehari di pelaminan. “Apa itu?” Dengan mengeratkan tali bathrobe, Cita menghampiri tempat tidur. Menghempas bokongnya di tepi, lalu membuka map berwarna biru tersebut. “Surat … pernyataan …” Cita membacanya dengan seksama dan perlahan, agar tidak ada yang terlewat sama sekali. “Kamu tahu sendiri, kita menikah karena dijodohkan keluarga.” Pandu ikut duduk di sudut tempat tidur. Hanya memberi jarak sekitar 50 senti dari tempat Cita berada. “Dan, sebenarnya aku juga sudah punya rencana nikah dengan pacarku.” Dahi Cita mengerut, saat membaca surat izin untuk berpoligami dari Pandu, suaminya. Belum ada 24 jam mereka menikah, tetapi pria itu sudah berani meminta izin untuk menikahi wanita lain. “Mas, kalau kamu sudah punya pacar, kenapa mau dijodohin sama aku?” tanya Cita
Satu tahun kemudian.~~“Ini, kan, rumah sakit bersalin?” Cita melirik sebentar pada sang mami yang duduk di sebelahnya. Setelah itu, ia kembali berkonsentrasi dengan kemudinya, guna mencari tempat parkir. “Mau ngapain kita ke sini, Mi?” tanyanya kembali pada Sandra.“Kamu sudah nikah satu tahun, tapi belum isi juga.” Sandra menjawab, sembari terus mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Satu tawa sinis kemudian Sandra lontarkan, saat masa lalu terbersit di benaknya. “Kalau omamu masih hidup, dia pasti jadi orang pertama yang tertawa dan–”“Mami, sudah!” henti Cita sedikit meninggikan nada bicaranya. Membicarakan mendiang Joana, selalu membuat hati Cita sesak. Sejak kecil, cap anak haram selalu saja diberikan oleh sang oma tanpa pernah mau berbasa-basi. Tidak hanya itu, Joana juga kerap membandingkan Cita dengan Kasih, dalam hal apa pun, tanpa terkecuali. Karena hal tersebut pula, Cita bahkan tidak merasa sedih sedikitpun ketika Joana terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dan pada akhi
“Mami!” Cita segera berbalik, ketika mendengar suara Sandra memanggil. Ia tidak mau peduli dengan keadaan Pandu, yang mungkin tengah kebingungan menyembunyikan Laura. Bila Pandu saja tidak pernah peduli dengannya, mengapa Cita harus peduli dengan pria itu.Hidup satu atap bagai orang asing selama satu tahun ke belakang, sudah cukup membuat Cita terluka. Puncaknya adalah hari ini, di mana Cita melihat Laura yang ternyata sudah berbadan dua, dan akan melahirkan dalam waktu dekat.“Mami ngapain?” tanya Cita menyimpan kegugupannya rapat-rapat.“Mami juga mau ke toi … Pandu?” Sandra menatap heran, sekaligus curiga dengan kehadiran menantunya. “Kamu ada di sini juga? Ngapain?”Cita kembali berbalik menatap Pandu. Sorot matanya berlari mencari sosok Laura, tetapi, wanita itu mendadak hilang begitu saja.“Kebetulan.” Pandu mengusap tengkuk, berusaha terlihat biasa dan sedang mencari alasan yang tepat. Tadinya, Pandulah yang ingin bersembunyi, dengan segera masuk ke dalam kamar kecil khusus pr
“Malam, Pa,” sapa Cita saat melihat Harry berada di ruang tengah kediaman Lukito. Setelah bicara dengan Pandu, Cita memutuskan untuk pulang ke rumah. Tempat di mana ia dibesarkan, dengan mendengar banyak cacian dari mulut Joana setiap harinya.“Malam,” balas Harry tanpa menoleh, dan tetap memandang televisi layar datar di hadapan. Melihat Cita, selalu mengingatkan Harry tentang kebodohan yang dilakukannya dahulu kala. Bermain api dengan Sandra, dan terlalu ceroboh sehingga Cita hadir di antara mereka. Harry tidak membenci Cita, tetapi sangat susah baginya untuk memberikan semua rasa cintanya kepada putrinya itu. Andai saja Sandra tidak hamil anak Harry, kemungkinan besar ia masih bisa rujuk dan kembali dengan Elok.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Karena kecerobohan Elok jualah, akhirnya Sandra memiliki satu senjata yang digunakannya untuk mengancam keluarga Lukito. Mau tidak mau, Harry akhirnya menikahi Sandra, dan membawa wanita itu ke dalam keluarganya.Cita menarik napas melihat s
Cita menarik napas panjang, sebelum memasuki ruang tengah keluarga Atmawijaya. Pagi-pagi sekali, mama mertuanya menelepon dan meminta Cita untuk datang ke rumah wanita itu. Tanpa bertanya kabar, ataupun berbasa-basi seperti biasanya. Cita yakin, Tessa sudah mengetahui kabar kisruh rumah tangga yang sudah ia simpan sendiri selama hampir satu tahun. Setelah memantapkan hati, Cita pun memasuki ruang tersebut. Ia mendapati Sandra, dan seluruh anggota keluarga Atmawijaya ada di sana, tanpa terkecuali. Sepertinya, Sandra sudah menceritakan semua hal kepada besannya itu. “Pagi,” sapa Cita menyematkan senyum kecil, dan langsung menghampiri kedua mertuanya lebih dulu. Setelah mencium punggung tangan sepasang suami istri itu dengan hormat, Cita segera beralih pada Sandra, dan duduk di sebelah sang mami. Sejenak, Cita menyapa Pasha dan Erina yang duduk berseberangan dengannya. Tidak lupa, ada Pandu yang duduk tepat di samping Pasha, dan sangat terlihat kacau. “Ada liputan pagi ini, Cit?” tany