259. Bernafas namun mati

Dirian melanjutkan langkahnya, meninggalkan balkon.

Begitu bayangannya menghilang, suasana langsung kacau. Nafas tertahan berubah menjadi isak. Beberapa wanita menangis ketakutan, yang lain gemetar tak mampu berdiri tegak. Bisikan panik saling tumpang tindih, tidak lagi soal ketertarikan, tetapi tentang keluarga, kekuasaan, dan masa depan yang kini terasa rapuh.

Dirian memutuskan untuk pulang.

Mobil hitam berlapis baja melaju menembus senja yang perlahan tenggelam. Suara mesin terdengar stabil, teratur, terlalu hidup dibanding suasana di dalam kabin yang membisu. Lampu kota kekaisaran satu per satu tertinggal di belakang, berubah menjadi garis panjang di balik kaca jendela.

Dirian duduk di kursi belakang, punggung tegak, kedua tangannya terlipat tenang di atas pahanya. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Tatapannya kosong, menembus kaca seolah jalan di depannya hanyalah lorong tak berujung yang harus dilewati, bukan tujuan.

Sven duduk di kursi depan, di samping sopir. Ia tidak menoleh, nam