Ayuni menghentikan laju taksi tepat di pintu gerbang utama. Setelah mengonfirmasi identitas, seorang petugas keamanan mempersilakan menunggu. Tak lama buggy car datang menjemput Ayuni. Mobil berdaya aki yang ramah lingkungan.
"Silakan, naik, Nona Ayuni. Nyonya, sudah menunggu di dalam," ucap si pengemudi. Seorang wanita yang terbilang muda dengan sopan menyilakan Ayuni. Rindangnya pepohonan dan semerbak wangi bunga memanjakan indera penciuman Ayuni. Duduk dalam mobil tanpa kaca, mengingatkan Ayuni saat menemani Han bermain golf, dahulu kala.
Ssstt.
Buggy car berhenti. Wanita muda tadi menunjuk tempat di mana Nyonya besar sudah menunggu.
"Silakan Nona berjalan ke arah selatan. Ada sebuah gazebo dengan atap biru. Di sana Nyonya Tyana sudah menunggu," ucap si pelayan sambil menunjukkan jalan, disertai gerak tangan.
"Baik, terima kasih. Mari," balas Ayuni sambil tersenyum.
Ayuni melangkahkan kaki. Berjalan melewati jalanan berpaving. Dari sini pun terdengar kicau burung. Benar-benar seperti kawanan burung itu hidup di alam bebas. Padahal di luar pagar tinggi yang mengelilingi kediaman rumah ini, adalah daaerah yang cukup padat penduduknya.
"Permisi," sapa Ayuni saat melihat punggung seorang wanita. Ia tampak sedang sibuk merangkai bunga.
"Kau, sudah di sini? Kemarilah, Ayu," seru Tyana menyambut ramah.
Ayuni melangkah pasti. Kian mendekat dekat senyum mengembang.
"Ini untukmu," seru Tyana menyodorkan rangkaian lavender ungu. Bunga yang tidak disukai nyamuk. Juga mempunyai arti kesetiaan.
"Terima kasih, Bu Tyana," ucap Ayuni sedikit kaku.
"Santai sajalah, kita sedang di rumah. Tak perlu bicara formal padaku. Kamu bisa memanggilku kakak, jika kau mau." kata Tyana ramah.
SRETT.
Ayuni membuka resleting tasnya. Mengeluarkan sebuah kotak kecil."Saya ada sesuatu untuk Ibu, eh , untuk Kakak," ucap Ayuni. Ia menyerahkan kotak sebesar buah jeruk kepada Tyana.
Tyana menerimanya. "Boleh, aku buka sekarang?"
Ayuni mengangguk. Ia berkata, "Semoga Kakak suka. Bross ini saya beli di Negara Paman Sam. Aku ingat Ibu suka memakai bross."
"Ingatanmu kuat juga, Ayu. Terima kasih, ya," ucap Tyana.
Tyana membuka kotaknya. Ia mengambil bross lalu memakainya. Sebuah filigri menyerupai daun menjari, dengan tiga batu mutiara.
PLUK
Wadah kotaknya jatuh. Ayuni memungutnya. Dahinya jadi berkerut. Ia sedikit memonyongkan bibirnya."Kenapa, Yu? Ekspresi wajahmu seperti kesal," tanya Tyana.
"Lihatlah, Bu. Aku jauh-jauh membelinya di Amerika. Ternyata pengrajinnya dari Indonesia," gerutu Ayuni.
"Sudahlah, aku suka dengan hadiahmu. Seharusnya kita bangga, Yu. Gianyar memang dijuluki Kota Pengrajin Dunia," kata Tyana menghibur.
Kedua wanita itu berbincang tentang banyak hal. Mulai dari nostalgia masa lalu. Selera fashion hingga ranah pribadi. Status pernikahan.
"Jadi, kamu, masih belum menikah?" seru Tyana agak terkejut.
Ayuni mengangguk, mengiyakan.
"Bukankah dulu, alasan kamu risen karena akan menikah?" tanya Tyana lagi.
"Aku batal menikah dengannya. Dia memilih wanita lain," ucap Ayuni dengan nada dingin.
Tyana memegang tangan Ayuni.
"Pasti orang bodoh yang sudah meninggalkan gadis seperti dirimu. Bisa jadi lelaki itu sedang menyesali perbuatannya. Sudahlah, tak usah bicara masa lalu. Kau benar mau bekerja denganku lagi?" seru Tyana panjang lebar.Ayuni yang menunduk, menarik sebagian bibirnya ke atas. Senyum mengejek.
"Tentu saja, Bu. Aku harus bekerja. Belum ada lelaki yang memberi nafkah, he he he," jawab Ayuni diikuti tawa garing, bermaksud mencairkan suasana.
"Baiklah, kau bisa bekerja mulai besok," pungkas Tyana memberi solusi pada mantan bawahannya dulu.
***Lelaki yang dihajar Agung telah siuman di rumah sakit.
"Arghhh, kau harus tanggung jawab," ungkapnya lirih menahan sakit. Matanya memandang penuh dendam.
"Tenanglah, aku akan menanggung biaya perawatanmu. Juga jumlah uang yang kau minta," kata Samiah berusaha menenangkan si pria.
Papan putih menempel pada brankar. Bowoman nama yang tertera di sana.
GEERRDD.
Gorden pembatas dibuka. Seorang dokter dan dua perawat memeriksa keadaan pasien Bowoman. Perawat memeriksa cairan infus. Mengecek tekanan darah juga luka yang ada.
"Hasil Rontgen bagus ya, Pak, Bu," kata dokter menatap Bowoman dan Samiah bergantian.
"Dalam dua hari sudah boleh pulang. Tidak ada organ dalam yang terluka. Mari, saya permisi," jelas sang dokter.
Samiah berpikir keras. Bagaimana caranya mendapatkan cukup uang. Untuk membayar rumah sakit juga memberi Bowoman uang.
Wanita lima puluh tahun itu berjalan gontai. Ia menyusuri trotoar. Dari rumah sakit sampai ke pasar. Dengan berat hati ia melepas kiosnya di pasar. Menjualnya demi mendapatkan uang cepat.
"Tolonglah, jangan ditawar. Sudah pas segitu," kata Samiah pada juragan penguasa pasar. Ia akan memulai jualannyal lagi dari nol. Menjajakan sayur di emperan depan pasar. Harus siap main kucing-kucingan dengan satpol PP.
Untuk sejenak Samiah bisa bernafas lega.
***
Agung dan Kokom telah resmi menjadi suami istri. Mereka menikah di kantor urusan agama. Penuh perjuangan bagi Agung dan juga penghulu. Mengulang dan mengajari Agung mengucapkan kalimat sakral dengan benar."Bagaimana ,saksi, sah?" tanya Pak Penghulu dipercobaan keempat.
"Saaaah ...." seru saksi dan keluarga yang hadir. Semua tampak lega. Hadirin menengadahkan tangan ke atas. Mengaminkan doa baik yang dipanjatkan untuk pengantin baru. Kokom dengan malu-malu mencium tangan Agung usai berjabat tangan. Agung membalas dengan mencium punggung tangan istrinya.
Sebagian hadirin jadi tertawa. Ujang menyuruh Agung untuk mengecup dahi istri barunya. Agung menolak, ia menggeleng malu-malu.
Setiap orang sudah ditetapkan jodohnya. Termasuk bagi seseorang seperti Agung dan Kokom. Jika tidak disatukan di dunia, bisa jadi sang belahan jiwa menanti di syurga.
Keesokan paginya, rumah keluarga Samiah tampak lebih ramai dari hari sebelumnya. Kehadiran Kokom dan istrinya memberi warna baru. Farhan sedang bersiap pergi ke sekolah usai makan pagi.
"Kak Farhan, kau terlihat tampan memakai seragam," gumam gadis cilik sambil memperhatikan Farhan yang sedang memakai sepatu.
"Apa, kau lihat-lihat? Dasar kerikil kecil!" sungut Farhan. Ia bangkit lalu berjalan menuju ke sekolah.
Gadis itu melihat buku Farhan tertinggal di balai. Ia berlari mengejar kakak tirinya.
"Kak ... Kak Farhan!" panggil si gadis dari belakang.
Bocah lelaki yang namanya di panggil tak merespon. Ia etap berjalan lurus.
BUK.
"Aduh! Kakiku tersandung batu." Suara teriakan dari arah belakang.
Farhan pun menoleh. Ia melihat si adik dalam posisi duduk. Di tangannya ada buku PR milik Farhan.
Pemuda itu berbalik. Berlari ke belakang.
"Kau tidak apa-apa? Harusnya kau bilang jika bukuku tertinggal. Bukan hanya teriak-teriak memanggil namaku!" cerocos Farhan.
Si gadis meringis kesakitan.
"Apa kau bisa jalan?" tanya Farhan khawatir. Si gadis mengangguk, ia mencoba berdiri.
Namun roboh. Kakinya terkilir."Cepat naik! Kau akan kugendong." perintah Farhan.
Si gadis menggeleng.
"Cepatlah, nanti kau membuatku terlambat jika tak segera naik!"
Farhan pun menggendong sang adik. Beruntung rumahnya masih dekat.
Tergopoh Agung saat membukakan pintu untuk kedua anaknya.
"Kau kenapa anaknya Kokom? Apa ada yang sakit dan terluka?" tanya Agung khawatir.
***Handoko yang sudah terlanjur basah berjalan bersisian dengan Bara. Mereka melewati jalan berbatu koral sikat yang disusun membentuk mozaik indah. Sampai di pintu samping masuk ke dalam rumah, Bara berlari kecil meninggalkan ayah dan ibunya yang berjalan di belakang."Saya mandi dulu, ya, Yah!" seru Bara.Handoko mengangguk sambil mengacungkan jempol kanannya. Tyana menepuk pundak suaminya, lalu berkata, "Kamu juga harus lekas mandi, Sayang. Bajumu basah."Usai mandi ada hal yang ditunggu oleh mereka; Bara yang penasaran dengan hadiah dari ayahnya; Tyana yang ingin bicara dengan Adi Wilaga, dan Handoko yang ketar ketir kenapa mertuanya tiba-tiba memanggil pengacara ke rumah.Bara masih mengusap rambut basahnya setelah keramas saat Handoko masuk ke dalam kamarnya."Rupanya mandimu lama juga, Jagoan!" seru Handoko mendekati Bara."Rasanya cuma sebentar, kok, Yah." Bara meleta
Sebuah saung yang dikelilingi kolam ikan menjadi tempat makan sore bagi pasangan Handoko dan Tyana. Mereka duduk bersebelahan sambil memandang puluhan ikan mas yang berenang."Tumben, kamu mengajak aku makan di sini, Sayang," kata Tyana sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjing warna putih merk ternama."Sudah lama kita tidak makan nasi liwet. Dulu, tiap kali berhasil menyelesaikan ujian emak selalu memasakkannya untukku."Pramusaji meletakkan sebakul nasi liwet, ikan bakar, sambel terasi dan lalapan. Dua minuman sudah tersaji sebelumnya di meja. Satu gelas jus melon milik Tyana dan sebutir kelapa muda kepunyaan Handoko."Oh, begitu. Selamat, ya," ucap Tyana sembari menyedot jus melon ya. Nada suaranya terdengar sedikit ketus. Bagaimana pun wanita itu merasa tidak enak hati pada ayahnya, Tuan Besar Adi Wilaga. Beberapa waktu yang lalu sang ayah pernah mengutarakan maksud hatinya. Namun, Tyana memilih memberi kepercayaan pada suaminya."T
Sebuah mobil jenis MVP warna hitam melaju cepat, membelah jalan tol Jagorawi. Di dalamnya berisi tiga orang penumpang. Pak Wahono berbincang dengan si pengemudi di kursi depan. Sementara kursi di tengah yang dibatasi kaca tampak seorang bocah sedang bermain game di tab. Berulang kali Lexus LM itu menyalip truk, bus, dan kendaraan lain yang melaju pada hari Minggu pagi. Seberapa cepat mobil itu melaju tetap terasa nyaman, meski begitu keselamatan berkendara tetap menjadi poin utama. Sekali saja ketahuan ugal-ugalan maka dengan mudahnya Nyonya Tyana memecat sang pengemudi.Setelah menang tiga kali dan kalah dua kali dalam permainannya, Bara pun tiba di kediaman kakek dan orang tuanya. Pintu gerbang otomatis terbuka begitu melihat mobil si empunya rumah datang. Dari gerbang ke pintu utama berjarak tiga ratus meter, mobil pun berhenti tepat di muka teras. Bara membuka pintu mobilnya sendiri. Ia bergegas naik ke lantai atas. Ruang istirahat sang kakek tepat berada di depan lift. N
Tirai warna kuning gading tertutup otomatis saat beranjak malam. Penerangan di kamar utama tempat Tuan Besar Adi Wilaga berbaring berganti sepenuhnya dengan lampu yang menempel di atas plafon. Pria akhir enam puluhan itu mengenakan baju piyama warna biru tua. Selang oksigen menempel pada hidung jambu miliknya. Alat medis terpasang pada dada dan jari telunjuknya. Layar monitor yang terpampang di sisi kiri ranjang memantau kinerja organ vital sang pasien. Terbata ia berkata pada putri semata wayangnya, Listyana."Di ma—na cu—cu—ku?" tanya Adi Wilaga dengan nafas terputus-putus."Bara sedang tidak di rumah, Ayah. Apa ayah lupa, dia sedang berlibur di vila kita di Puncak." Tyana menjawab dengan lembut sambil mengusap punggung tangan sang ayah."A—ku ingin meli—hat—nya," Tuan besar menatap anaknya, "AW Corp. milik Bara. Harus dija—ga—""Iya Ayah, Tyana tahu,
Bunyi ketukan langkah dari sepatu Ayuni makin lirih terdengar di telinga Farhan. Wanita itu benar-benar pergi tanpa sepatah kata pun ia ucapkan pada Farhan. Foto Ayuni masih tersimpan dalam dompet lusuh milik neneknya. Farhan tak mungkin salah mengingat karena foto itu masih tampak sama dengan wanita yang baru saja datang dan pergi itu. Ia yakin dialah bibinya, anak perempuan dari sang nenek. Ayuni si kembang desa yang digembar-gemborkan warga kampung bahwa pernah hamil tanpa suami."Berantakan sekali di sini!" ucap Samiah dengan nada keras. Wanita itu sengaja meninggiky suaranya guna menyamarkan hatinya yang bergejolak. Satu sisi ia merasa lega karena anak perempuannya baik-baik saja. Sisi yang lain ia merasa sedih juga penasaran. Kenapa tadi Ayuni sempat ngotot ingin membawa bayinya pergi, bahkan sampai membuat Samiah emosi. Akan tetapi dengan tiba-tiba ia malah berpamitan, tanpa sempat makan sesuap nasi dari rumah masa kecilnya."Iy
Satu kalimat dari Farhan hampir saja membuat Cantika dan Bara terkecoh."Kamu siapa? Aku tidak mengenalmu, Bara," ucap Bara menirukan perkataan Farhan sebelumnya, "Kau baru saja menyebut namaku, haha haha ha."Cantika masih diam menunggu reaksi sang kakak, sementara Bara tertawa terpingkal sambil memegangi perutnya."Dia temanku dari kota." Farhan memberi tahu Cantika lewat lirikan mata dan kalimat penjelas barusan.Ketiga bocah itu lalu menuju dapur. Mereka bersiap makan. Cantika bahkan memamerkan kemampuannya telur dadar. Bara dan Farhan terlihat kaku ketika masing-masing memecah telur warna coklat lalu, memasukkannya ke dalam wadah."Aku bisa, lihatlah!" ucap Bara sambil melubangi bagian atas. Perlahan ia merontokkan kulit dengan mencungkilnya sedikit demi sedikit. Hal itu menjadikan Farhan tidak merasa sabar."Meuni lama pisan! Kelamaan, Bro!" cetus Farhan, "harusnya begini, nih!" Kali ini Farhan giliran unjuk