Share

Orang dari Masa Lalu

Penulis: Reinma
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-07 23:25:21

Satu orang tampak terkapar di tanah. Kokom menutup mukanya sambil menangis. Di sebelahnya duduk seorang lelaki sedang memukul kepalanya sendiri.

Samiah mendekat, ke arah anaknya. Tak percaya pada apa yang dilihatnya.

"Agung! Sadarlah, ini ibu. Ibu ada di sini." Samiah mengambil tangan Agung. Ia letakkan di dadanya.

Beberapa orang yang tadi mengikuti Samiah berlari. Langsung mengecek keadaan satu pria yang lainnya.

"Kita harus membawanya ke rumah sakit. Cepat! Telepon ambulan, sebelum semua terlambat."

Farhan meremas rambut di atas kepalanya. Bingung tak tahu harus berbuat apa.

"Kak Farhan, apa ayah akan baik-baik saja?" tanya anak perempuan Kokom.

"Menurut kamu bagaimana? Ini terjadi karena dia membela kamu dan wanita itu!" seru Farhan sambil menunjuk ke arah Kokom.

"Kakak, hiks ... hiks ...." Isak si gadis kecil.

"Diamlah! Dan satu lagi, jangan panggil aku 'kakak'. Aku bukan kakak kamu! Dasar kerikil kecil." ancam Farhan.

Sirine ambulan terdengar, beruntung jarak rumah sakit cukup dekat. Tandu diturunkan dari dalam mobil. Seorang petugas memeriksa nadi dan tekanan darah si pasien.

"Siapa di sini yang jadi wali pasien? Ikut masuklah ke dalam mobil," tanya petugas ambulan lagi.

Samiah melihat kondisi anaknya. Ia mengacungkan tangan kanannya ke atas.

"Saya. Biar saya saja yang bertanggung jawab."

Samiah berjalan mendekat ke arah Farhan. Ia melihat area tersebut mulai ramai. Sirine ambulan yang tadi berbunyi mengundang perhatian banyak orang.

"Cu, jagalah ayahmu baik-baik!" pesan Samiah sambil menyentuh pundak Farhan.

Farhan mengangguk, menyetujui perintah neneknya.

Mereka berjalan mendekat. Menuju lelaki yang berjongkok sambil memeluk kakkinya sendiri.

Lelaki itu mendongak, menyadari sandal yang sangat dikenalnya mendekat.

"Ibu ... maafkan Agung. Agung salah. Ibu tidak suka berkelahi. Agung hanya membela keluarga. Kokom dan Anak Kokom," ucap Agung panjang lebar.

"Pulanglah ke rumah bersama Farhan. Bangunlah, ibu mengerti." Samiah mengulurkan tangannya pada Agung. Lelaki itu bangkit. Berjalan menunduk, dan pulang.

•~reinma~•

Bara mendekat ke ranjang sang kakek. Tuan Besar Adi Wilaga. Hidungnya terpasang slang oksigen. Kekayaan yang dimilikinya tak mampu memperbaiki alat pernapasan anugerah Tuhan. Hanya mampu menggunakan alat untuk membantu oksigen masuk ke tubuhnya.

"Hai, Kek? Bagaimana pengobatan kakek di Singapore?" tanya Bara.

"Semakin baik. Kemarilah, kakek merindukanmu," balas Adi Wilaga. Tangannya terjulur ke arah Bara. Memintanya datang.

"Bara juga rindu sama Kakek." Bara menghambur dalam pelukan lelaki tua itu. Dibelainya lembut rambut sang cucu.

"Kakek ingin mendengar lagumu. Maukah kau memainkannya?" Tuan besar melirik cucunya. Lalu beralih menatap benda hitam yang berdiri gagah di pojok ruangan.

Bara tersenyum. Memamerkan satu lesung pipit di pipi kirinya.

"Siap, kakekku sayang." Pemuda itu meletakan tangan kanan di pelipis. Membentuk sikap hormat.

Bara berjinjit lalu melompat-lompat hingga menyentuh tepi piano. Membuka tutupnya, kemudian mengusap bangku empuk tempatnya duduk nanti.

Bara berdiri tegak di samping piano. Ia mengayunkan tangan kanannya sekali. Dari arah kiri ke kanan sembari membungkuk sebentar.

Sang Kakek tersenyum lalu mengangguk. Bara duduk. Jemarinya mulai menekan tut piano. Membuka permainannya dengan Caravansary milik Kitaro. Sang Kakek memejamkan matanya. Terlihat menikmati melodi yang dimainkan.

•~reinma~•

Dalam sebuah kamar yang cukup luas. Terlihat dua orang yang sedang berdiri. Sang wanita tampak membantu memakaikan dasi pada si pria. Pemilik tangan lentik, membuka laci pertama pada lemari kabinet mewah di kamar itu. Memilih jam tangan yang akan dipakai sang suami. 

Ujung telunjuknya menyentuh jam rolex. Ia menggeleng. Memindai satu per satu koleksi lewat tatapan mat. Lalu berhenti pada sebuah arloji. Jam yang dibuat dari batu mulia. Piaget SA yang dibelinya langsung dari Swiss satu tahun lalu.

Tyana menyerahkan jam tangan itu pada Handoko.

"Kau semakin sibuk, Han," kata Tyana.

"Harus pandai jaga kesehatan. Berapa lama kau akan pergi kali ini?" tanya Tyana lagi.

"Mungkin sekitar satu hingga dua minggu. Menyusul saja, jika kau rindu," ucapnya mencandai sang istri.

"Ah, kau ini. Ayolah kita beri Bara seorang adik supaya aku tidak kesepian. Kau jaga kesehatan, ya, suamiku!"

"Tenang, Sayang, aku pasti jaga kesehatan." Han memegang dagu Tyana. Sekejap mengecup bibir istrinya. Kedua alisnya tampak bertaut, menyembunyikan kemelut. Vasektomi seumpama mahar yang ia persembahkan pada Tuan Adi Wilaga sesaat setelah menyetujui menikahi Tyana.

"Oh iya, apa kau ingat Ayuni?" tanya Tyana membuyarkan lamunan Handoko.

 Pria itu menarik kedua alisnya ke atas. Membuatnya seolah sedang berpikir.

"Dulu, dia adalah asisten pribadiku. Kau ingat? Kemarin dia menghubungiku. Selama ini ternyata dia tinggal di Amerika. Baru seminggu ini kembali ke Indonesia," terang Tyana. Ia sama sekali tak memperhatikan perubahan raut wajah sang suami. Tyana sedang fokus menatap cermin di meja rias. Mengoleskan concealer di hidungnya.

"Oh, iya. Aku sedikit ingat," respon Handoko.

"Wajarlah jika kau lupa. Sudah sekitar delapan tahun aku tak pernah ketemu dia lagi. Oh iya, apa kau sedang butuh orang? Dia sedang membutuhkan pekerjaan," jelas Tyana lagi. Wanita itu masih setia menatap wajah cantiknya sendiri.

"Tidak." ucap Han tegas.

"Baiklah, biar aku saja yang membantunya mendapatkan pekerjaan." Tyana sudah menyelesaikan riasannya.

Mereka berdua lalu meninggalkan kamar. Tyana mengantar sang suami hingga ke pintu depan.

"Aku berangkat dulu. Nanti jika sudah landing, aku akan menghubungimu lagi," pamit Handoko pada sang istri.

Pintu mobil sudah dibukakan oleh seorang pelayan. Suami istri itu tampak saling memeluk barang sekejap.

"Masuklah, matahari masih terik," ucap Han lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Lelaki itu melambaikan tangannya dari kaca yang diturunkan.

•~reinma~•

Dalam sebuah kamar hotel tampak wanita sedang mengemas barangnya. Ia harus segera pindah kamar. Uangnya semakin menipis jika berlama-lama menginap di kamar VIP.

"Apa aku harus mendekatinya lagi? Sekarang dia sudah jadi bos besar," gumam si wanita. Ia melihat bayangan dirinya di cermin. Rambutnya terurai panjang. Hitam berkilau. Alisnya rapi. Simetris kanan dan kiri. Dahinya mulus tanpa kerutan. Tak nampak jika usianya sudah tiga puluh tiga tahun. Wanita itu tersenyum. Meringis. Terlihat giginya yang tersusun rapi. Kecil dan putih bak biji mentimun. Ia memang cantik dan pandai merawat badan.

DRRRT

Gawai di atas nakas bergetar, sebuah pesan baru saja masuk dari Nyonya Besar.

"Datanglah ke rumah. Sudah lama kita tidak bertemu," bunyi pesan sang Nyonya.

"Baik, Bu, Tyana." balas si wanita cepat.

"Ha ha ha," wanita itu tertawa sendirian di kamar hotelnya. Ia menyesal telah mengepak barangnya terlalu cepat. Ia bertekad tak lagi lari dan bersembunyi. Menampakkan diri di hadapan orang yang pernah mencampakkannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dulu Dibuang, Kini Dicari   Laba-laba

    Handoko yang sudah terlanjur basah berjalan bersisian dengan Bara. Mereka melewati jalan berbatu koral sikat yang disusun membentuk mozaik indah. Sampai di pintu samping masuk ke dalam rumah, Bara berlari kecil meninggalkan ayah dan ibunya yang berjalan di belakang."Saya mandi dulu, ya, Yah!" seru Bara.Handoko mengangguk sambil mengacungkan jempol kanannya. Tyana menepuk pundak suaminya, lalu berkata, "Kamu juga harus lekas mandi, Sayang. Bajumu basah."Usai mandi ada hal yang ditunggu oleh mereka; Bara yang penasaran dengan hadiah dari ayahnya; Tyana yang ingin bicara dengan Adi Wilaga, dan Handoko yang ketar ketir kenapa mertuanya tiba-tiba memanggil pengacara ke rumah.Bara masih mengusap rambut basahnya setelah keramas saat Handoko masuk ke dalam kamarnya."Rupanya mandimu lama juga, Jagoan!" seru Handoko mendekati Bara."Rasanya cuma sebentar, kok, Yah." Bara meleta

  • Dulu Dibuang, Kini Dicari   20. Farhan Penasaran

    Sebuah saung yang dikelilingi kolam ikan menjadi tempat makan sore bagi pasangan Handoko dan Tyana. Mereka duduk bersebelahan sambil memandang puluhan ikan mas yang berenang."Tumben, kamu mengajak aku makan di sini, Sayang," kata Tyana sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjing warna putih merk ternama."Sudah lama kita tidak makan nasi liwet. Dulu, tiap kali berhasil menyelesaikan ujian emak selalu memasakkannya untukku."Pramusaji meletakkan sebakul nasi liwet, ikan bakar, sambel terasi dan lalapan. Dua minuman sudah tersaji sebelumnya di meja. Satu gelas jus melon milik Tyana dan sebutir kelapa muda kepunyaan Handoko."Oh, begitu. Selamat, ya," ucap Tyana sembari menyedot jus melon ya. Nada suaranya terdengar sedikit ketus. Bagaimana pun wanita itu merasa tidak enak hati pada ayahnya, Tuan Besar Adi Wilaga. Beberapa waktu yang lalu sang ayah pernah mengutarakan maksud hatinya. Namun, Tyana memilih memberi kepercayaan pada suaminya."T

  • Dulu Dibuang, Kini Dicari   19. Ucapan Selamat

    Sebuah mobil jenis MVP warna hitam melaju cepat, membelah jalan tol Jagorawi. Di dalamnya berisi tiga orang penumpang. Pak Wahono berbincang dengan si pengemudi di kursi depan. Sementara kursi di tengah yang dibatasi kaca tampak seorang bocah sedang bermain game di tab. Berulang kali Lexus LM itu menyalip truk, bus, dan kendaraan lain yang melaju pada hari Minggu pagi. Seberapa cepat mobil itu melaju tetap terasa nyaman, meski begitu keselamatan berkendara tetap menjadi poin utama. Sekali saja ketahuan ugal-ugalan maka dengan mudahnya Nyonya Tyana memecat sang pengemudi.Setelah menang tiga kali dan kalah dua kali dalam permainannya, Bara pun tiba di kediaman kakek dan orang tuanya. Pintu gerbang otomatis terbuka begitu melihat mobil si empunya rumah datang. Dari gerbang ke pintu utama berjarak tiga ratus meter, mobil pun berhenti tepat di muka teras. Bara membuka pintu mobilnya sendiri. Ia bergegas naik ke lantai atas. Ruang istirahat sang kakek tepat berada di depan lift. N

  • Dulu Dibuang, Kini Dicari   18. Pencapaian Han

    Tirai warna kuning gading tertutup otomatis saat beranjak malam. Penerangan di kamar utama tempat Tuan Besar Adi Wilaga berbaring berganti sepenuhnya dengan lampu yang menempel di atas plafon. Pria akhir enam puluhan itu mengenakan baju piyama warna biru tua. Selang oksigen menempel pada hidung jambu miliknya. Alat medis terpasang pada dada dan jari telunjuknya. Layar monitor yang terpampang di sisi kiri ranjang memantau kinerja organ vital sang pasien. Terbata ia berkata pada putri semata wayangnya, Listyana."Di ma—na cu—cu—ku?" tanya Adi Wilaga dengan nafas terputus-putus."Bara sedang tidak di rumah, Ayah. Apa ayah lupa, dia sedang berlibur di vila kita di Puncak." Tyana menjawab dengan lembut sambil mengusap punggung tangan sang ayah."A—ku ingin meli—hat—nya," Tuan besar menatap anaknya, "AW Corp. milik Bara. Harus dija—ga—""Iya Ayah, Tyana tahu,

  • Dulu Dibuang, Kini Dicari   17. Adi Wilaga Sakit

    Bunyi ketukan langkah dari sepatu Ayuni makin lirih terdengar di telinga Farhan. Wanita itu benar-benar pergi tanpa sepatah kata pun ia ucapkan pada Farhan. Foto Ayuni masih tersimpan dalam dompet lusuh milik neneknya. Farhan tak mungkin salah mengingat karena foto itu masih tampak sama dengan wanita yang baru saja datang dan pergi itu. Ia yakin dialah bibinya, anak perempuan dari sang nenek. Ayuni si kembang desa yang digembar-gemborkan warga kampung bahwa pernah hamil tanpa suami."Berantakan sekali di sini!" ucap Samiah dengan nada keras. Wanita itu sengaja meninggiky suaranya guna menyamarkan hatinya yang bergejolak. Satu sisi ia merasa lega karena anak perempuannya baik-baik saja. Sisi yang lain ia merasa sedih juga penasaran. Kenapa tadi Ayuni sempat ngotot ingin membawa bayinya pergi, bahkan sampai membuat Samiah emosi. Akan tetapi dengan tiba-tiba ia malah berpamitan, tanpa sempat makan sesuap nasi dari rumah masa kecilnya."Iy

  • Dulu Dibuang, Kini Dicari   16. Rencana yang Gagal

    Satu kalimat dari Farhan hampir saja membuat Cantika dan Bara terkecoh."Kamu siapa? Aku tidak mengenalmu, Bara," ucap Bara menirukan perkataan Farhan sebelumnya, "Kau baru saja menyebut namaku, haha haha ha."Cantika masih diam menunggu reaksi sang kakak, sementara Bara tertawa terpingkal sambil memegangi perutnya."Dia temanku dari kota." Farhan memberi tahu Cantika lewat lirikan mata dan kalimat penjelas barusan.Ketiga bocah itu lalu menuju dapur. Mereka bersiap makan. Cantika bahkan memamerkan kemampuannya telur dadar. Bara dan Farhan terlihat kaku ketika masing-masing memecah telur warna coklat lalu, memasukkannya ke dalam wadah."Aku bisa, lihatlah!" ucap Bara sambil melubangi bagian atas. Perlahan ia merontokkan kulit dengan mencungkilnya sedikit demi sedikit. Hal itu menjadikan Farhan tidak merasa sabar."Meuni lama pisan! Kelamaan, Bro!" cetus Farhan, "harusnya begini, nih!" Kali ini Farhan giliran unjuk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status