Share

Orang dari Masa Lalu

Satu orang tampak terkapar di tanah. Kokom menutup mukanya sambil menangis. Di sebelahnya duduk seorang lelaki sedang memukul kepalanya sendiri.

Samiah mendekat, ke arah anaknya. Tak percaya pada apa yang dilihatnya.

"Agung! Sadarlah, ini ibu. Ibu ada di sini." Samiah mengambil tangan Agung. Ia letakkan di dadanya.

Beberapa orang yang tadi mengikuti Samiah berlari. Langsung mengecek keadaan satu pria yang lainnya.

"Kita harus membawanya ke rumah sakit. Cepat! Telepon ambulan, sebelum semua terlambat."

Farhan meremas rambut di atas kepalanya. Bingung tak tahu harus berbuat apa.

"Kak Farhan, apa ayah akan baik-baik saja?" tanya anak perempuan Kokom.

"Menurut kamu bagaimana? Ini terjadi karena dia membela kamu dan wanita itu!" seru Farhan sambil menunjuk ke arah Kokom.

"Kakak, hiks ... hiks ...." Isak si gadis kecil.

"Diamlah! Dan satu lagi, jangan panggil aku 'kakak'. Aku bukan kakak kamu! Dasar kerikil kecil." ancam Farhan.

Sirine ambulan terdengar, beruntung jarak rumah sakit cukup dekat. Tandu diturunkan dari dalam mobil. Seorang petugas memeriksa nadi dan tekanan darah si pasien.

"Siapa di sini yang jadi wali pasien? Ikut masuklah ke dalam mobil," tanya petugas ambulan lagi.

Samiah melihat kondisi anaknya. Ia mengacungkan tangan kanannya ke atas.

"Saya. Biar saya saja yang bertanggung jawab."

Samiah berjalan mendekat ke arah Farhan. Ia melihat area tersebut mulai ramai. Sirine ambulan yang tadi berbunyi mengundang perhatian banyak orang.

"Cu, jagalah ayahmu baik-baik!" pesan Samiah sambil menyentuh pundak Farhan.

Farhan mengangguk, menyetujui perintah neneknya.

Mereka berjalan mendekat. Menuju lelaki yang berjongkok sambil memeluk kakkinya sendiri.

Lelaki itu mendongak, menyadari sandal yang sangat dikenalnya mendekat.

"Ibu ... maafkan Agung. Agung salah. Ibu tidak suka berkelahi. Agung hanya membela keluarga. Kokom dan Anak Kokom," ucap Agung panjang lebar.

"Pulanglah ke rumah bersama Farhan. Bangunlah, ibu mengerti." Samiah mengulurkan tangannya pada Agung. Lelaki itu bangkit. Berjalan menunduk, dan pulang.

•~reinma~•

Bara mendekat ke ranjang sang kakek. Tuan Besar Adi Wilaga. Hidungnya terpasang slang oksigen. Kekayaan yang dimilikinya tak mampu memperbaiki alat pernapasan anugerah Tuhan. Hanya mampu menggunakan alat untuk membantu oksigen masuk ke tubuhnya.

"Hai, Kek? Bagaimana pengobatan kakek di Singapore?" tanya Bara.

"Semakin baik. Kemarilah, kakek merindukanmu," balas Adi Wilaga. Tangannya terjulur ke arah Bara. Memintanya datang.

"Bara juga rindu sama Kakek." Bara menghambur dalam pelukan lelaki tua itu. Dibelainya lembut rambut sang cucu.

"Kakek ingin mendengar lagumu. Maukah kau memainkannya?" Tuan besar melirik cucunya. Lalu beralih menatap benda hitam yang berdiri gagah di pojok ruangan.

Bara tersenyum. Memamerkan satu lesung pipit di pipi kirinya.

"Siap, kakekku sayang." Pemuda itu meletakan tangan kanan di pelipis. Membentuk sikap hormat.

Bara berjinjit lalu melompat-lompat hingga menyentuh tepi piano. Membuka tutupnya, kemudian mengusap bangku empuk tempatnya duduk nanti.

Bara berdiri tegak di samping piano. Ia mengayunkan tangan kanannya sekali. Dari arah kiri ke kanan sembari membungkuk sebentar.

Sang Kakek tersenyum lalu mengangguk. Bara duduk. Jemarinya mulai menekan tut piano. Membuka permainannya dengan Caravansary milik Kitaro. Sang Kakek memejamkan matanya. Terlihat menikmati melodi yang dimainkan.

•~reinma~•

Dalam sebuah kamar yang cukup luas. Terlihat dua orang yang sedang berdiri. Sang wanita tampak membantu memakaikan dasi pada si pria. Pemilik tangan lentik, membuka laci pertama pada lemari kabinet mewah di kamar itu. Memilih jam tangan yang akan dipakai sang suami. 

Ujung telunjuknya menyentuh jam rolex. Ia menggeleng. Memindai satu per satu koleksi lewat tatapan mat. Lalu berhenti pada sebuah arloji. Jam yang dibuat dari batu mulia. Piaget SA yang dibelinya langsung dari Swiss satu tahun lalu.

Tyana menyerahkan jam tangan itu pada Handoko.

"Kau semakin sibuk, Han," kata Tyana.

"Harus pandai jaga kesehatan. Berapa lama kau akan pergi kali ini?" tanya Tyana lagi.

"Mungkin sekitar satu hingga dua minggu. Menyusul saja, jika kau rindu," ucapnya mencandai sang istri.

"Ah, kau ini. Ayolah kita beri Bara seorang adik supaya aku tidak kesepian. Kau jaga kesehatan, ya, suamiku!"

"Tenang, Sayang, aku pasti jaga kesehatan." Han memegang dagu Tyana. Sekejap mengecup bibir istrinya. Kedua alisnya tampak bertaut, menyembunyikan kemelut. Vasektomi seumpama mahar yang ia persembahkan pada Tuan Adi Wilaga sesaat setelah menyetujui menikahi Tyana.

"Oh iya, apa kau ingat Ayuni?" tanya Tyana membuyarkan lamunan Handoko.

 Pria itu menarik kedua alisnya ke atas. Membuatnya seolah sedang berpikir.

"Dulu, dia adalah asisten pribadiku. Kau ingat? Kemarin dia menghubungiku. Selama ini ternyata dia tinggal di Amerika. Baru seminggu ini kembali ke Indonesia," terang Tyana. Ia sama sekali tak memperhatikan perubahan raut wajah sang suami. Tyana sedang fokus menatap cermin di meja rias. Mengoleskan concealer di hidungnya.

"Oh, iya. Aku sedikit ingat," respon Handoko.

"Wajarlah jika kau lupa. Sudah sekitar delapan tahun aku tak pernah ketemu dia lagi. Oh iya, apa kau sedang butuh orang? Dia sedang membutuhkan pekerjaan," jelas Tyana lagi. Wanita itu masih setia menatap wajah cantiknya sendiri.

"Tidak." ucap Han tegas.

"Baiklah, biar aku saja yang membantunya mendapatkan pekerjaan." Tyana sudah menyelesaikan riasannya.

Mereka berdua lalu meninggalkan kamar. Tyana mengantar sang suami hingga ke pintu depan.

"Aku berangkat dulu. Nanti jika sudah landing, aku akan menghubungimu lagi," pamit Handoko pada sang istri.

Pintu mobil sudah dibukakan oleh seorang pelayan. Suami istri itu tampak saling memeluk barang sekejap.

"Masuklah, matahari masih terik," ucap Han lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Lelaki itu melambaikan tangannya dari kaca yang diturunkan.

•~reinma~•

Dalam sebuah kamar hotel tampak wanita sedang mengemas barangnya. Ia harus segera pindah kamar. Uangnya semakin menipis jika berlama-lama menginap di kamar VIP.

"Apa aku harus mendekatinya lagi? Sekarang dia sudah jadi bos besar," gumam si wanita. Ia melihat bayangan dirinya di cermin. Rambutnya terurai panjang. Hitam berkilau. Alisnya rapi. Simetris kanan dan kiri. Dahinya mulus tanpa kerutan. Tak nampak jika usianya sudah tiga puluh tiga tahun. Wanita itu tersenyum. Meringis. Terlihat giginya yang tersusun rapi. Kecil dan putih bak biji mentimun. Ia memang cantik dan pandai merawat badan.

DRRRT

Gawai di atas nakas bergetar, sebuah pesan baru saja masuk dari Nyonya Besar.

"Datanglah ke rumah. Sudah lama kita tidak bertemu," bunyi pesan sang Nyonya.

"Baik, Bu, Tyana." balas si wanita cepat.

"Ha ha ha," wanita itu tertawa sendirian di kamar hotelnya. Ia menyesal telah mengepak barangnya terlalu cepat. Ia bertekad tak lagi lari dan bersembunyi. Menampakkan diri di hadapan orang yang pernah mencampakkannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status